Satu kelompok dan beberapa orang acak mengganggunya, Ariel kira itu hanya bagian dari sistem sosial di sini, yang kuat menindas yang lemah. Tapi nampaknya itu bukan yang terjadi padanya belakangan ini. Sekali dua kali, tidak masalah. Mungkin sebuah kebetulan ketika mereka bosan dan ia sedang berada dalam jangkauan mata mereka, mereka mengganggunya. Tapi bahkan saat mereka tidak melihatnya, mereka masih mengeluarkan tenaga untuk mencarinya. Tidakkah artinya mereka sengaja menargetkannya?
Ariel mulai menerka sesuatu. "Tentu saja mereka tidak berinisiatif sendiri. Ada orang yang menyuruh mereka."
Jadi hari ini ketika ia diganggu, Ariel tidak akan tinggal diam.
Dan benar. Siang ini, pemimpin dari kelompok penguasa kantin datang ke mejanya hanya untuk menumpahkan teh ke piring makannya. Orang itu dengan santai berkata tidak sengaja lalu pergi dengan gembira bersama para pengikutnya.
Apanya yang tidak disengaja, orang itu jelas-jelas menuangkan isi gelasnya! Huh, Ariel menghela napas. Ia tidak bisa begitu saja menghampiri orang itu dan membuat keributan yang tidak perlu. Jadi apa yang bisa ia lakukan?
Di mana ia bisa memberikan pelajaran untuk orang itu? Tempat di mana tidak ada pengawasan penjaga atau pun cctv? Ariel diam-diam tersenyum. Tentu saja tempat itu.
Ketika sore tiba, Ariel menunggu di kamar mandi. Banyak orang keluar dan masuk, menggunakan jam bebas untuk mandi dan membersihkan diri. Tak terkecuali geng kantin itu -Ariel sepakat menjuluki mereka dengan nama ini.
Dari kaca wastafel, ia memperhatikan saat geng itu datang dan masuk ke masing-masing bilik di sana. Ariel kemudian dengan tenang mengeluarkan semua orang dengan satu isyarat jari di bibirnya. Orang-orang yang tidak ingin terlibat masalah menyingkir tanpa perlawanan. Setelah itu, Ariel mengunci pintu masuk kamar mandi.
Ariel menyambut geng kantin begitu mereka keluar dari bilik masing-masing.
"Apa ini? Anak baru mau membuat masalah? Menyingkir!" Pemimpin mereka selalu menjadi pihak yang berbicara.
Ariel tersenyum, menyedekapkan kedua tangan di dada. "Bukankah kalian yang selalu membuat masalah padaku?"
Mereka tak ingin kalah. "Kalau memang iya kenapa? Kau tidak terima? Mau membalas? Sadar dirilah! Kau cuma sendiri di sini."
Ariel melihat satu persatu di antara mereka. Pemimpin mereka bertubuh kecil, tapi terlihat paling berkuasa. Dua di belakangnya terlihat cukup mampu dalam hal kekuatan. Terlihat dari gerakan mereka mengepalkan tinju. Sementara dua yang tersisa, satu memiliki kelebihan tinggi dan yang lain memiliki kelebihan lemak.
Well, dilihat dari komposisi ini nampaknya mereka berada dalam satu sel.
"Aku bukan orang yang pendendam. Hanya saja, aku orang yang berprinsip. Ketika orang lain memberiku satu kebaikan, aku akan membalas dengan sepuluh kebaikan." Ariel menurunkan tangannya. Senyum di wajahnya menghilang dan rautnya berubah serius. "Tapi dengan orang yang berbuat buruk padaku, aku akan mengembalikannya seratus kali."
Merasakan atmosfer tekanan yang tiba-tiba, pemimpin geng kantin menjadi agak goyah. Tetapi ia kembali meyakinkan dirinya. Mereka ada lima orang, sedangkan orang di depannya hanya sendiri. Apa yang perlu dikhawatirkan?
"Ja-" Ia memperbaiki suaranya yang mendadak serak. "Jadi kau mau membalas kami?"
Melihat kegugupan yang kentara itu, Ariel mengembalikan ekspresinya yang biasa. "Pikiranku tidak sedangkal itu. Aku tahu ada yang menyuruh kalian. Aku hanya menyarankan kalian untuk berhenti. Bagaimana pun orang yang menyuruh kalian ada di luar sana, tidak peduli dengan keadaan di dalam sini. Kalau kalian berbuat sesuatu, hanya kalian sendiri yang menerima konsekuensinya."
"Bos, apa maksud perkataannya?" Orang di belakang berbisik.
"Diamlah, dia hanya mengancam." Bosnya menjawab juga dengan suara pelan sebelum menanggapi Ariel. "Terus kenapa? Toh kau juga tidak bisa berbuat apapun."
Ariel menyentuh ujung hidung dengan jari telunjuknya, menahan geli karena situasi ini. "Yeah, pokoknya aku sudah memberi saran dan peringatan. Sebaiknya kalian tidak menyalahkanku untuk apa yang akan terjadi selanjutnya."
"Cih! Kau hanya bisa mengancam dengan omonganmu saja. Kau kira kami akan takut?"
"Hanya omongan atau bukan, kenapa tidak kita buktikan saja."
Sementara Ariel dan geng kantin mengurus masalah mereka di dalam kamar mandi, orang-orang yang berada di luar sedang serius memasang taruhan. Mereka bertaruh dengan jatah lauk makan siang besok. Ada delapan orang bertaruh untuk geng kantin dan satu orang untuk si anak baru.
Empat orang dari sel yang sama dengan Ariel baru saja tiba dan tidak tahu apa yang terjadi, mengapa semua orang hanya berdiri di depan pintu dan tidak masuk. Apa ada begitu banyak yang menggunakan bilik kamar mandi sampai mereka harus antri?
"Ada apa ini? Antri?"
"Kurasa bukan. Mungkin seseorang sedang dirundung."
"Dunia memang sangat keras."
"Kalau benar ada sesuatu, kenapa orang-orang ini hanya diam saja. Tidakkah mereka harus melaporkannya? Ayolah, tidak ada apa-apa." Sementara tiga lainnya masih berdiam di tempat, yang satu mengambil langkah ke depan untuk menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu serius yang terjadi.
Namun, ketika ia hampir meraih kenop, pintu kamar mandi dibuka dari dalam. Ariel keluar dari sana. Mengeringkan tangannya dengan siku dan sesekali meregangkan lehernya, ia meninggalkan kamar mandi dengan santai.
Sementara itu, di dalam, lima orang terkapar di lantai. Mereka basah kuyup. Meski tidak ada luka di tubuh mereka, raut wajah mereka memperlihatkan ketakutan yang kentara.
Sesuatu yang besar sepertinya baru saja terjadi.
Bersambung
Menyaksikan dua kontras situasi ini, satu orang yang masih mengambang di muka pintu lekas kembali ke tempat tiga temannya berada. Dengan linglung ia berkata. "Lihat, bukan masalah besar.""Ya, itu bukan masalah besar.""Masalah apa? Kita tidak melihat apa-apa. Tidak ada yang terjadi.""Tentu saja, haha. Bukankah kita masih punya pekerjaan di dapur? Kita belum mencuci peralatan makan."Dan begitu, empat orang dengan pemikiran liarnya memutuskan untuk menunda urusannya di kamar mandi dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.Empat orang pergi dengan tenang. Delapan orang mengeluh karena kehilangan lauk makan siang dan satu orang berbahagia karena keterjaminan makanan yang akan ia dapatkan besok.Ariel tidak tahu akan taruhan yang orang-orang lakukan, juga tidak tahu tentang pemikiran empat orang yang melayang semakin liar. Ia hanya tahu ketika kembali ke sel, empat orang lainnya di dalam sama sekali tidak mau menatapnya bahkan menghindar
Handoko baru saja keluar dari pintu lapas, berjalan menyusuri halaman gersang sebelum sampai ke mobilnya. Ia merebahkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat pertanyaan Ariel yang terngiang di pikirannya, kenapa melakukan semua ini?Ini kali kedua ia datang menjenguk anak itu dan mendapat pertanyaan yang sama, tapi tetap saja, ia tidak terbiasa.Memejamkan mata, mencari ke kedalaman pikirannya. Untuk apa semua hal yang ia lakukan? Murni kemanusiaan? Rasa tanggung jawab? Prinsip? Bukan semua itu!Membuka kembali kelopak matanya, Handoko tidak menemukan jawaban. Ia tidak tahu alasan mengapa ia segigih ini untuk orang asing yang baru beberapa kali ia temui. Ia tidak tahu, mungkin lebih tepatnya tidak punya. Ia tidak memiliki alasan apa pun.Handoko meraih sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan membiarkan asap mengepul keluar dari jendela mobil yang terbuka. Ia kemudian membuka laci mobil dan mengeluarkan selembar foto dari sana. Foto dirinya yang t
Suatu hari, Handoko mendapat kabar bahwa adiknya ditahan di kantor polisi karena kasus penyerangan. Adiknya dituduh melakukan penyerangan menusuk mata kiri teman kerjanya sampai cacat. Dan adiknya bersikeras menjelaskan bahwa kejadiannya tidak seperti apa yang dikatakan oleh temannya itu.Indriana mengatakan bahwa ia tidak dengan sengaja melakukannya. Teman-temannya, termasuk orang yang mengaku sebagai korban, telah menindasnya di tempat kerja. Ia hanya melakukan pembelaan diri. Dan bahwa orang itu tertusuk akibat ulah orang itu sendiri, bukan karenanya. Tetapi teman-teman yang lain memberikan kesaksian yang berbeda. Tidak ada yang percaya kata-katanya.Handoko dan ibunya percaya, adiknya tidak akan pernah melakukan hal buruk itu. Namun, kepercayaan itu sama sekali tidak berguna di mata hukum.Karena korbannya adalah anak dari seorang pejabat politik, adiknya dengan seksama diproses tanpa penyelidikan. Handoko dan ibunya yang hanya orang biasa tak berdaya. Merek
Langit hari ini cerah. Sepanjang mata memandang hanya ada biru. Ariel menyipitkan matanya merasakan silau matahari menyapa begitu ia menginjakkan kaki di halaman. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara yang hangat memenuhi paru-parunya kemudian menghembuskannya dengan ringan. Ah, ini aroma kebebasan.Di depan gerbang yang terbuka itu, seseorang berdiri di samping mobil, menikmati setiap sesapan tembakau dari bibirnya."Ck, polusi udara." Ariel heran, apa enaknya menghirup asap? Sudut bibirnya melengkung tipis, ia memang gagal memahami orang itu sejak awal. Mengapa masih heran lagi?Menyampirkan tasnya di pundak, Ariel mengambil langkah menghampiri orang itu.Handoko selesai dengan rokoknya, membuang batangnya ke bawah lalu menginjaknya. "Selamat atas kebebasanmu.""Um." Ariel menanggapi seadanya. "Terima kasih.""Aneh. Kau tidak senang keluar dari penjara?"Tidak hanya bisa keluar dari penjara, ia bahkan dibebaskan dari tunt
Dari dalam kamar terdengar suara keras. "Kau anak sialan tidak tahu diuntung! Tidak tahu berterima kasih! Berani membandingkanku dengan ibumu? Ibumu sudah mati, apa kau juga ingin mengikutinya ke alam baka? Berani-beraninya melawanku! Aku ayahmu!""Kau bukan ayahku! Aku tidak punya ayah!""Bilang apa kau, ha? Dasar anak kurang ajar!" Suara barang pecah terdengar. "Aku yang merawatmu sejak kecil, menghidupimu. Ibumu itu tidak berguna. Kau pikir siapa yang memberimu uang selama ini. Aku!""Persetan! Aku akan keluar dari rumah ini. Aku hanya tinggal karena ibuku. Sekarang ibuku sudah tidak ada, aku akan segera angkat kaki dari sini.""Dasar anak berandalan! Masih berani melawan? Mau ke mana kau?"Pintu kamar terbuka memperlihatkan satu remaja tanggung dengan kondisi berantakan dan beberapa goresan kecil di wajahnya tengah berusaha keluar, tapi ditahan oleh laki-laki setengah baya di belakangnya.Handoko segera bertindak, melepaskan cengkeraman
Lintang tidak memiliki keluarga lain selain ibu dan ayahnya. Keluarga inti dari ibunya sudah tidak ada, hanya tinggal kerabat jauh yang semuanya berada di luar pulau dan kondisinya tidak terlalu baik. Mereka semua menolak hak asuh atas Lintang. Sementara itu, keluarga dari pihak ayahnya tidak ada yang dapat diandalkan. Pamannya belum menikah dan terlilit hutang. Bibinya berkeluarga, tapi kemudian berpisah, dan sekarang hidup berpindah-pindah tempat dan pekerjaan. Neneknya sudah tinggal di panti jompo sejak tiga tahun lalu.Tidak ada harapan. Lintang sempat berpikir bahwa memang ia ditakdirkan untuk hidup sendiri dan menjadi dewasa lebih cepat daripada orang lain. Ia sudah menyiapkan diri dan mental kalau-kalau pada akhirnya ia akan putus sekolah, lekas mencari kerja untuk menyambung hidup, dan meraba masa depan yang tidak pasti.Lintang tiba-tiba merasa dirinya berada di ruang terkunci yang gelap, terjebak di sana sendirian dan kesepian. Ia tidak memiliki harapan.
[Saldo Anda Rp325.200,00]Angka yang mengerikan. Saldo rekeningnya benar-benar sekarat. Gaji dari kerja paruh waktunya yang terakhir terkikis, sedang pendapatannya dari menulis novel di web bulan ini belum cair. Hidup sebagai pengangguran memang serba sulit.Ariel merebahkan kembali kepalanya ke meja.Ranjana, “Coba kutebak, digitnya pasti jauh di bawah angka pembaca novelnya.”Lintang, “Kenyataan memang kejam.”Mendengar dua ocehan dari samping kanan dan kirinya, Ariel dengan cepat menegakkan kepala, menengok ke dua arah bergantian hanya untuk melihat para tersangka menyuap makanan mereka tanpa ekspresi seolah tidak ada yang terjadi. Ariel heran, mengapa dua anak yang tidak pernah akur itu selalu kompak untuk urusan menjahili dirinya.“Masih belum mendapatkan pekerjaan juga?” Sekarang suara datang dari arah seberang. Handoko yang bergabung dengan acara sarapan keluarga ini tidak ingin ketinggalan kesempat
Sedih, marah, dan putus asa dituliskan dengan begitu epik dalam setiap rangkaian kata. Setiap untaian kalimatnya tegas, detail, tepat, memberikan perasaan akrab seolah penulis itu sendiri berada dalam medan cerita. Narasinya tidak pernah menghakimi, namun juga sangat pribadi, emosional. Hal-hal dalam cerita nampak jauh sekaligus dekat.Semakin Gala membaca, semakin heran ia. Awalnya ia hanya berpikir plot cerita ini menarik, tapi sekarang sesuatu sepertinya membuat benaknya gelisah. Seakan beberapa hal tersembunyi dan tak terkatakan dalam pikirannya tiba-tiba dikuliti, dipaparkan baris demi baris.“Pak Gala?”Gala masih tenggelam dalam tulisan yang ia baca dari layar tab di tangannya, sama sekali tidak memperhatikan ketika namanya disebut. Baru setelah panggilan ketiga, ia bisa menyadarkan dirinya.Rapat sekarang ini membahas tindak lanjut dari proyek drama Fantasia berikutnya. Walaupun posisi Gala adalah CEO, tapi peran utamanya dalam setiap