Menyaksikan dua kontras situasi ini, satu orang yang masih mengambang di muka pintu lekas kembali ke tempat tiga temannya berada. Dengan linglung ia berkata. "Lihat, bukan masalah besar."
"Ya, itu bukan masalah besar."
"Masalah apa? Kita tidak melihat apa-apa. Tidak ada yang terjadi."
"Tentu saja, haha. Bukankah kita masih punya pekerjaan di dapur? Kita belum mencuci peralatan makan."
Dan begitu, empat orang dengan pemikiran liarnya memutuskan untuk menunda urusannya di kamar mandi dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.
Empat orang pergi dengan tenang. Delapan orang mengeluh karena kehilangan lauk makan siang dan satu orang berbahagia karena keterjaminan makanan yang akan ia dapatkan besok.
Ariel tidak tahu akan taruhan yang orang-orang lakukan, juga tidak tahu tentang pemikiran empat orang yang melayang semakin liar. Ia hanya tahu ketika kembali ke sel, empat orang lainnya di dalam sama sekali tidak mau menatapnya bahkan menghindar
Handoko baru saja keluar dari pintu lapas, berjalan menyusuri halaman gersang sebelum sampai ke mobilnya. Ia merebahkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat pertanyaan Ariel yang terngiang di pikirannya, kenapa melakukan semua ini?Ini kali kedua ia datang menjenguk anak itu dan mendapat pertanyaan yang sama, tapi tetap saja, ia tidak terbiasa.Memejamkan mata, mencari ke kedalaman pikirannya. Untuk apa semua hal yang ia lakukan? Murni kemanusiaan? Rasa tanggung jawab? Prinsip? Bukan semua itu!Membuka kembali kelopak matanya, Handoko tidak menemukan jawaban. Ia tidak tahu alasan mengapa ia segigih ini untuk orang asing yang baru beberapa kali ia temui. Ia tidak tahu, mungkin lebih tepatnya tidak punya. Ia tidak memiliki alasan apa pun.Handoko meraih sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan membiarkan asap mengepul keluar dari jendela mobil yang terbuka. Ia kemudian membuka laci mobil dan mengeluarkan selembar foto dari sana. Foto dirinya yang t
Suatu hari, Handoko mendapat kabar bahwa adiknya ditahan di kantor polisi karena kasus penyerangan. Adiknya dituduh melakukan penyerangan menusuk mata kiri teman kerjanya sampai cacat. Dan adiknya bersikeras menjelaskan bahwa kejadiannya tidak seperti apa yang dikatakan oleh temannya itu.Indriana mengatakan bahwa ia tidak dengan sengaja melakukannya. Teman-temannya, termasuk orang yang mengaku sebagai korban, telah menindasnya di tempat kerja. Ia hanya melakukan pembelaan diri. Dan bahwa orang itu tertusuk akibat ulah orang itu sendiri, bukan karenanya. Tetapi teman-teman yang lain memberikan kesaksian yang berbeda. Tidak ada yang percaya kata-katanya.Handoko dan ibunya percaya, adiknya tidak akan pernah melakukan hal buruk itu. Namun, kepercayaan itu sama sekali tidak berguna di mata hukum.Karena korbannya adalah anak dari seorang pejabat politik, adiknya dengan seksama diproses tanpa penyelidikan. Handoko dan ibunya yang hanya orang biasa tak berdaya. Merek
Langit hari ini cerah. Sepanjang mata memandang hanya ada biru. Ariel menyipitkan matanya merasakan silau matahari menyapa begitu ia menginjakkan kaki di halaman. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara yang hangat memenuhi paru-parunya kemudian menghembuskannya dengan ringan. Ah, ini aroma kebebasan.Di depan gerbang yang terbuka itu, seseorang berdiri di samping mobil, menikmati setiap sesapan tembakau dari bibirnya."Ck, polusi udara." Ariel heran, apa enaknya menghirup asap? Sudut bibirnya melengkung tipis, ia memang gagal memahami orang itu sejak awal. Mengapa masih heran lagi?Menyampirkan tasnya di pundak, Ariel mengambil langkah menghampiri orang itu.Handoko selesai dengan rokoknya, membuang batangnya ke bawah lalu menginjaknya. "Selamat atas kebebasanmu.""Um." Ariel menanggapi seadanya. "Terima kasih.""Aneh. Kau tidak senang keluar dari penjara?"Tidak hanya bisa keluar dari penjara, ia bahkan dibebaskan dari tunt
Dari dalam kamar terdengar suara keras. "Kau anak sialan tidak tahu diuntung! Tidak tahu berterima kasih! Berani membandingkanku dengan ibumu? Ibumu sudah mati, apa kau juga ingin mengikutinya ke alam baka? Berani-beraninya melawanku! Aku ayahmu!""Kau bukan ayahku! Aku tidak punya ayah!""Bilang apa kau, ha? Dasar anak kurang ajar!" Suara barang pecah terdengar. "Aku yang merawatmu sejak kecil, menghidupimu. Ibumu itu tidak berguna. Kau pikir siapa yang memberimu uang selama ini. Aku!""Persetan! Aku akan keluar dari rumah ini. Aku hanya tinggal karena ibuku. Sekarang ibuku sudah tidak ada, aku akan segera angkat kaki dari sini.""Dasar anak berandalan! Masih berani melawan? Mau ke mana kau?"Pintu kamar terbuka memperlihatkan satu remaja tanggung dengan kondisi berantakan dan beberapa goresan kecil di wajahnya tengah berusaha keluar, tapi ditahan oleh laki-laki setengah baya di belakangnya.Handoko segera bertindak, melepaskan cengkeraman
Lintang tidak memiliki keluarga lain selain ibu dan ayahnya. Keluarga inti dari ibunya sudah tidak ada, hanya tinggal kerabat jauh yang semuanya berada di luar pulau dan kondisinya tidak terlalu baik. Mereka semua menolak hak asuh atas Lintang. Sementara itu, keluarga dari pihak ayahnya tidak ada yang dapat diandalkan. Pamannya belum menikah dan terlilit hutang. Bibinya berkeluarga, tapi kemudian berpisah, dan sekarang hidup berpindah-pindah tempat dan pekerjaan. Neneknya sudah tinggal di panti jompo sejak tiga tahun lalu.Tidak ada harapan. Lintang sempat berpikir bahwa memang ia ditakdirkan untuk hidup sendiri dan menjadi dewasa lebih cepat daripada orang lain. Ia sudah menyiapkan diri dan mental kalau-kalau pada akhirnya ia akan putus sekolah, lekas mencari kerja untuk menyambung hidup, dan meraba masa depan yang tidak pasti.Lintang tiba-tiba merasa dirinya berada di ruang terkunci yang gelap, terjebak di sana sendirian dan kesepian. Ia tidak memiliki harapan.
[Saldo Anda Rp325.200,00]Angka yang mengerikan. Saldo rekeningnya benar-benar sekarat. Gaji dari kerja paruh waktunya yang terakhir terkikis, sedang pendapatannya dari menulis novel di web bulan ini belum cair. Hidup sebagai pengangguran memang serba sulit.Ariel merebahkan kembali kepalanya ke meja.Ranjana, “Coba kutebak, digitnya pasti jauh di bawah angka pembaca novelnya.”Lintang, “Kenyataan memang kejam.”Mendengar dua ocehan dari samping kanan dan kirinya, Ariel dengan cepat menegakkan kepala, menengok ke dua arah bergantian hanya untuk melihat para tersangka menyuap makanan mereka tanpa ekspresi seolah tidak ada yang terjadi. Ariel heran, mengapa dua anak yang tidak pernah akur itu selalu kompak untuk urusan menjahili dirinya.“Masih belum mendapatkan pekerjaan juga?” Sekarang suara datang dari arah seberang. Handoko yang bergabung dengan acara sarapan keluarga ini tidak ingin ketinggalan kesempat
Sedih, marah, dan putus asa dituliskan dengan begitu epik dalam setiap rangkaian kata. Setiap untaian kalimatnya tegas, detail, tepat, memberikan perasaan akrab seolah penulis itu sendiri berada dalam medan cerita. Narasinya tidak pernah menghakimi, namun juga sangat pribadi, emosional. Hal-hal dalam cerita nampak jauh sekaligus dekat.Semakin Gala membaca, semakin heran ia. Awalnya ia hanya berpikir plot cerita ini menarik, tapi sekarang sesuatu sepertinya membuat benaknya gelisah. Seakan beberapa hal tersembunyi dan tak terkatakan dalam pikirannya tiba-tiba dikuliti, dipaparkan baris demi baris.“Pak Gala?”Gala masih tenggelam dalam tulisan yang ia baca dari layar tab di tangannya, sama sekali tidak memperhatikan ketika namanya disebut. Baru setelah panggilan ketiga, ia bisa menyadarkan dirinya.Rapat sekarang ini membahas tindak lanjut dari proyek drama Fantasia berikutnya. Walaupun posisi Gala adalah CEO, tapi peran utamanya dalam setiap
Chevrolet camaro melaju di sepanjang jalan, membelah kerlip lampu dan lalu lintas malam. Ravi memacu mobilnya dengan kecepatan stabil, memamerkan deru mesinnya yang memukau.“Tumben banget kamu ngehubungi aku duluan, ternyata buat dijadiin sopir pribadi?” Katanya sambil setengah menoleh ke orang yang duduk di sampingnya.Gala yang disindir tidak mengelak, semakin membangkitkan minat Ravi untuk terus menggodanya. “Pantas saja si Tania kabur, jadi sekretaris tapi cuma diperdayakan sebagai sopir. Ya muaklah.”Kali ini Gala berdecak. “Berkendara saja yang benar, lihat ke depan, jangan noleh-noleh ke sini.”Sekarang giliran Ravi yang mendengus. “Santai aja, Gal. Kamu masih segitunya banget sama mobil. Jangan bilang sampai sekarang kamu masih belum berani nyetir?”Ravi melirik ke samping, tapi Gala yang ia ajak bicara bergeming, mengalihkan pandang keluar sambil diam-diam meremas sabuk pengamannya, tidak in