Gala Giyantara kembali torehkan prestasi di ajang internasional. Lewat film Mengepak Bersama Badai, produser muda sekaligus pemilik rumah produksi Fantasia Picture tersebut berhasil membawa pulang piala Grand Prix di ajang Cannes Film Festival. Penghargaan ini merupakan…
Sementara layar televisi terus menampilkan liputan berita, sepasang suami-istri yang duduk di sofa lebih tertarik memerhatikan putrinya yang baru saja masuk ke kamar dengan lesu.
“Ada apa dengannya?”
Maryam menghela napas menanggapi pertanyaan suaminya, “Seperti biasa.”
“Ditolak kerja lagi?” Bima dapat menebak dengan tepat. Ini bukan sekali dua kali putrinya ditolak kerja. Sudah tak terhitung jumlahnya ia menyaksikan putrinya berangkat dengan wajah berseri lalu pulang dengan lesu. Hanya saja kelesuan itu biasanya menghilang setelah anak itu makan, berbeda dengan malam ini. Kelihatannya ekspektasi putrinya terhadap peluang kerja kali ini cukup tinggi sehingga rasa kecewa dan sedihnya juga dalam.
“Sudah berkali-kali dia seperti itu. Haruskan kita nasihati supaya dia berhenti melamar kerja dan mendirikan usaha saja? Dia bisa buka warung atau laundry. Kalau tidak ya kembali saja ke jaga tempat fotokopi, gajinya lumayan kok.”
“Biarkan sajalah. Jadi editor atau apalah itu, kan sudah jadi keinginan dia. Biarkan saja Ariel mencari kerja yang sesuai minatnya. Biar senang juga dia.” Bima menarik Maryam ke jangkauan lengannya. “Lagi pula, mungkin itu satu-satunya cita-cita yang masih bisa diperjuangkan. Kita jangan larang.”
Maryam mengangguk, merenungkan kembali segala kesulitan yang telah dilalui oleh putri mereka. Sudah merupakan hal luar biasa bahwa Ariel tidak terpuruk, tidak larut dengan keadaan, bahkan mau bangkit dan memulai lembar hidup yang baru. Mereka sebagai orang tua hanya bisa mendukung semua langkah dan keputusan yang diambil oleh Ariel.
Di dalam kamar, orang yang dibicarakan sedang tertelungkup di atas meja, membiarkan layar laptopnya menyala menunjukkan lembar Microsoft Word yang kosong. Ariel tidak sanggup jika harus menulis surat lamaran lagi.
“Kalau begini terus, aku bisa gila.” Perlahan ia mengangkat kepalanya lalu mengalihkan pandang ke daftar lowongan kerja yang ia tempel di dinding hanya untuk menambahkan satu lagi coretan panjang di sana. Tidak ada lagi daftar yang tersisa, semua lowongan yang ia kumpulkan sudah ia coba dan gagal.
Namun, ia belum boleh menyerah. Satu lembar habis, masih ada lembar lain yang sudah ia siapkan. Ia tidak mengira akan membutuhkannya sebab ia sudah sangat yakin akan mendapatkan pekerjaan hari ini. Bidang yang dilamar sudah sesuai dengan keahliannya, penugasan juga ia kerjakan dengan sempurna, bahkan wawancaranya lancar tanpa hambatan. Tapi siapa sangka pemberitahuan yang ia terima kemudian adalah kalimat ‘dengan menyesal kami beritahukan bahwa Anda tidak lolos wawancara’. Tidak lolos wawancara dengkulmu!
Ariel membuang napas lesu. Hal ini bukannya tidak terduga sama sekali. Ia hanya terlalu berharap terhadap perusahaan tempatnya melamar baru-baru ini karena mereka sangat terbuka menerima karyawan lulusan SMA, tidak mengharuskan memiliki pengalaman kerja terkait, asalkan penugasannya bagus dan prospek kerjanya menjanjikan. Ariel kira perusahaan ini akan berbeda, nyatanya sama saja dengan yang lainnya. Ia tahu, bukan wawancara yang membuatnya tidak lolos, melainkan rekam jejaknya. Dikeluarkan dari kampus, pernah masuk penjara karena kasus berat, siapa pula yang bisa mempercayakan perusahaan mereka kepada mantan napi sepertinya. Huh, stereotipe masyarakat memang begitu. Mau bagaimana lagi.
Dengan sedikit kesedihan yang menjejak dalam benaknya akan fakta itu, Ariel mencoba mengembalikan fokusnya. Ia memilih lowongan yang terdekat tanggal berakhirnya, mengecek informasi persyaratannya lalu bersiap menulis resume dan membuat ulang surat lamaran.
Namun begitu jarinya menyentuh keyboard, moodnya seketika hilang. “Tidak. Aku tidak bisa menulis sesuatu dengan perasaan campur aduk begini. Ah!”
Ariel mengacak rambutnya lalu menyibaknya dari dahi sampai tengkuk untuk menemukan lagi kestabilan emosinya.
Akhirnya, Ariel menutup lembar putih di layar dan beralih ke akun web novel tempatnya menulis. Ia membaca lagi komentar-komentar di unggahan karyanya.
Siapa yang naruh bawang di sini? (emotikon menangis)
Ini terlalu (emotikon menangis)
Apa ini miskah? Kenapa sad bgt. Ini bukan endingnya kan plis
Lanjut, kak, lanjut
Gila sih, Fall emang sebagus itu. Gak tahu kenapa kaya relate aja gitu konfliknya sama kehidupan nyata
Fall the best lah (emotikon jempol)
Penasaran sih ntar endingnya Fall bakal kaya gimana. Berharapnya semua masalah sama teka-tekinya clear, tapi kok bau-bau sad ending ya? No, aku tim happy ending
Ariel tersenyum membaca setiap komentar itu. Bagi penulis, apresiasi terbesar untuk karyanya adalah dibaca dan dikomentari. Dari beberapa karya yang terbengkalai dan tidak selesai, dalam dua tahun terakhir ini Ariel konsisten terhadap satu cerita. Novel fantasi yang ia tulis dan kembangkan berdasarkan kisah hidupnya sendiri. Dari hanya beberapa ratus pembaca lalu naik ke lima ribu, puluhan ribu, ratusan ribu, sampai sekarang mencapai tujuh juta pembaca.
Semangat lanjutin ceritanya kak @sunshine
Aku bayangin kalo novel ini jadi film atau drama pasti bakal pecah bgt
Berharap novel ini punya versi cetaknya, hayuk kak @sunshine (emotikon tersenyum)
Sukses selalu buat kak @sunshine. Gak sabar nunggu bab berikutnya
Sukses ya? Kalau saja mereka tahu, penulis Sunshine yang populer di internet ternyata hanyalah pengangguran. “Hah, satire di siang bolong.” Ariel mengejek dirinya sendiri.
Selalu dibuat penasaran di setiap bab. Keren. Lanjutkan (emotikon jempol)
Next next next
Up up up!
Ngalamat gak bisa tidur nih karena penasaran. Ayo up secepatnya kak @sunshine
Gawat. Dibanding mood menulis lamaran kerja, mood untuk melanjutkan novel jauh lebih membara. Tidak, sekali Ariel masuk dalam cerita, ia bisa lupa waktu, menulis sampai pagi buta. Kalau gitu kapan ia bisa dapat kerja? Ariel menepuk dua pipinya, menekan keinginan menulis dalam dirinya. Sebagai gantinya, ia menghibur diri dengan lanjut membaca beberapa komentar lagi yang ditinggalkan oleh pembacanya.
Gak kebayang sih kalo jadi tokoh utamanya (emotikon sedih)
Aku jadi ngerti kenapa cerita ini dijudulin Fall. Tahu gak sih feelnya pas baca itu loh bener-bener ngerasa kaya kitanya yang jatuh
Cobaan oh cobaan, kak @sunshine jangan dikasih yang terlalu sedih kaya gini (emotikon menangis)
Ariel hampir tertawa membaca komentar itu.
Habis happy terus sedih terus happy terus sedih, ah roller coaster pokoknya
Kalau dipikir-pikir ya, walaupun genrenya fantasi, tapi cerita di Fall tuh emang realistis sama kehidupan kita. Kaya siapa juga yang gak pernah ngerasain jatuh, ngerasain down dalam hidupnya
Mata Ariel berhenti pada komentar terakhir. Benar, siapa yang tidak pernah mengalami masa-masa terpuruk? Saat-saat jatuh dan merasa tidak berdaya? Merasa seluruh dunia berpaling darinya? Siapa orang di dunia ini yang tidak pernah mengalami persimpangan dalam hidupnya? Tidak ada.
Ariel menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengalihkan pandang dari layar ke jendela, menamati halaman yang temaram oleh cahaya bulan. Kalau diingat-ingat, persimpangan hidupnya mungkin dimulai saat itu, malam enam tahun yang lalu.
Bersambung
Enam tahun laluSuara kecupan dan lenguhan menjadi satu-satunya musik yang mengiringi dua insan memadu nafsu. Bibir saling melumat, gigi bertabrakan, tubuh menempel, dan tangan saling menjelajah, tidak ada yang mampu mengganggu aktivitas mereka sekalipun gang yang sempit atau pejalan yang lewat. Tidak, sampai ujung mata Brian menangkap bayangan seseorang yang tampak familiar."Aku tidak tahu kalau skill ciumanmu sehebat itu."Aktivitas mereka berhenti sepenuhnya. Brian menatap panik sebelum kemudian mendorong dirinya menjauh dari perempuan yang tadi menempel padanya. Ia seakan disambar petir, terkejut. Dari semua orang yang berkemungkinan memergoki dirinya di tempat ini, kenapa harus Ariel?"A-aku bisa jelaskan."Ariel melipat kedua tangannya di depan dada, mengangkat dagu seakan menantang seseorang di depannya untuk bicara.Sepertinya ia ingin mengatakan banyak hal, tapi begitu mulutnya terbuka, ia tiba-tiba lupa ingin mengatakan a
Sudah makan?Apa kamu masih di kampus?Hei, kamu di mana? Aku beliin menu ayam baru dari warung langganan kita.Riel?Ariel?Bisa kita bicara?Aku telpon kamu ya?Riel?Kok gak diangkat?Ketemuan yuk?Kamu gak di apartemen?Kamu ke mana?Maafin aku, aku salah.Jawab, plis.Ariel meletakkan ponselnya di meja, mengabaikan semua pesan masuk dari Brian. Ia tidak ingin terganggu oleh masalah yang menurutnya sudah final terselesaikan.Ia beranjak dari kamar ke dapur untuk mengambil minum, tapi perhatiannya teralihkan oleh suara yang datang dari celah pintu kamar orang tuanya. Ya, sekarang ia berada di rumah orang tuanya, di kampung.Samar-samar Ariel mendengar percakapan papa dan mamanya yang intinya kondisi keuangan mereka sedang tidak baik. Dan bagaiman
Langit berkelambu awan dan bekas hujan semalam masih segar. Pagi ini, satu kehidupan berpulang ke pangkuan Tuhan.Ariel duduk menangkup wajah. Ia masih ingat ketika ujung jarinya tidak lagi merasakan hembusan napas Brian, ketika matanya tidak menangkap pergerakan naik turun di dada orang itu, Ariel tahu bahwa orang itu sudah tiada. Segalanya menjadi samar sejak ia memaksa pikirannya yang macet untuk bekerja, menelpon nomor darurat dengan tangan gemetar hebat hingga polisi datang dan dirinya di bawa ke kantor.Pintu ruangan itu dibuka dan dua orang laki-laki berjaket hitam masuk."Ariel Valeria Barsha?" Mendengar namanya disebut, Ariel mengangkat kepalanya dan dua orang itu duduk di seberang meja."Tentang kejadian pagi ini, kami akan mengambil keterangan darimu. Mohon kerja samanya." Salah satu yang lebih muda bicara."Kapan kau pertama kali menemukan mayat korban?"Mayat? Korban? Brian benar-benar sudah mati? Tapi bagaimana bisa? Dia dibunu
"Aku tidak membunuhnya, aku tidak melakukan apa-apa.""Lalu ke mana kau dari jam dua sampai jam lima? Apa yang kau lakukan?"Ariel mendesah frustasi. Sudah beberapa waktu dan dua orang di depannya terus menanyakan pertanyaan yang sama. Mereka terus mengulanginya seakan jawaban yang ia berikan sebelumnya salah. Apa yang sebenarnya mereka ingin ia katakan?"Sudah kubilang, aku terjatuh di tangga dan berbaring di sana."Orang itu berdecak. "Kau pikir kami akan percaya? Tidak ada bukti yang dapat mengonfimasi kebenaran kata-katamu. Katakan saja yang sejujurnya. Kau tahu, terus berbohong seperti ini tidak akan menguntungkanmu."Ariel menekan seluruh emosinya ke dalam, berusaha keras untuk tidak melayangkan tendangan kepada dua orang di depannya. "Sudah kukatakan, aku jatuh di tangga. Aku tidak peduli apakah kalian percaya atau tidak, tapi itulah kebenarannya. Dan tentang bukti. Kalian bilang aku tidak bisa membuktikan perkataanku. Lalu, apa kalian punya
Suatu hari, ada permintaan kunjungan untuknya. Setelah menelan banyak prasangka, dari lubuk hatinya ia berharap orang tuanyalah yang datang.Namun ia salah.Dalam ruangan ini, ia hanya melihat satu sosok. Wanita dengan setelan formal yang rapi dan itu jelas bukan mamanya. Cahaya yang sempat berkilau di matanya kembali redup, ekspresinya berubah semakin dingin.Wanita ini, ia tahu. Seorang pengacara terkenal, Kamila Erdogan, ibunya Brian.Tatapan mereka segera bertemu. Dari Ariel masuk ke ruangan sampai duduk di depannya, ia tidak melepaskan pandangannya. Pandangan dari dua manik tajam itu menguarkan tatapan mencemooh, benci, geram. Tapi jelas, dengan postur tubuh dan ekspresi wajah itu, ia masih menjaga ketenangan dan martabatnya dari menyerang orang di hadapannya."Kau tidak tampak terkejut? Kau pasti tahu siapa aku."Ariel menjawab dengan kebisuannya. Ya, ia tahu. Ia pernah melihat foto wanita ini di ponsel Brian. Brian pernah membicarakan
Selama menghabiskan beberapa hari dalam sel isolasi, Ariel akhirnya mendapatkan ketenangannya kembali. Ia memang membutuhkan ruang untuk sendiri dan mengekspresikan perasaannya. Setelah keluar, ia diberitahu kalau ada dua kali permintaan kunjungan untuknya. Tetapi karena ia kemarin berbuat ulah, kunjungan bulan ini dibatasi menjadi seminggu sekali.Ariel tidak banyak berharap kali ini. Kalau saja yang datang wanita itu lagi, ia akan langsung keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.Tapi kali ini ia dibawa ke tempat yang berbeda. Ini bukan ruangan luas dengan meja dan kursi, ini ruangan dengan pembatas kaca. Dan di luar kaca transparan itu, ia bisa melihat sosok yang paling ia rindukan tengah menyambutnya dengan senyuman hangat."Mama?" Ariel langsung menghambur, menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia sangat ingin memeluk sosok itu, merasakan harum aroma tubuhnya, merasakan usapan kasih sayangnya, tapi kaca ini sungguh batas yang menyiksa.Mamanya melakuk
Huh, Ariel menghembus napas jengah. Iklim sosial semacam ini pasti ada di mana saja. Di sekolah, di tempat tinggalnya, di tempat kuliah, di lingkungan mana pun itu ia selalu menemui jenis ekosistem seperti ini. Orang-orang membentuk kelompok, membangun kawanannya sendiri-sendiri dan bersaing untuk posisi tertentu dalam arena.Satu kelompok memastikan ia menguasai kantin, mereka bebas menyerobot antrian yang lain, menjahili orang-orang di luar kelompoknya, menciptakan hierarki transparan bahwa mereka berada di atas yang lainnya.Kelompok lainnya memiliki pemimpin yang tampak berkuasa dan berwibawa dengan seorang wanita bertubuh kekar dan tampak garang berada di sisinya. Mereka disegani dan selalu berjalan bersamaan, memastikan semua orang tunduk pada mereka.Kelompok lainnya lebih tenang, mengamati. Ia tidak menakuti siapa pun, tapi ada semacam peraturan tak tertulis yang membuat semua orang di sini akan segan. Mereka seperti sesepuh yang keramat untuk diusik.
Satu kelompok dan beberapa orang acak mengganggunya, Ariel kira itu hanya bagian dari sistem sosial di sini, yang kuat menindas yang lemah. Tapi nampaknya itu bukan yang terjadi padanya belakangan ini. Sekali dua kali, tidak masalah. Mungkin sebuah kebetulan ketika mereka bosan dan ia sedang berada dalam jangkauan mata mereka, mereka mengganggunya. Tapi bahkan saat mereka tidak melihatnya, mereka masih mengeluarkan tenaga untuk mencarinya. Tidakkah artinya mereka sengaja menargetkannya?Ariel mulai menerka sesuatu. "Tentu saja mereka tidak berinisiatif sendiri. Ada orang yang menyuruh mereka."Jadi hari ini ketika ia diganggu, Ariel tidak akan tinggal diam.Dan benar. Siang ini, pemimpin dari kelompok penguasa kantin datang ke mejanya hanya untuk menumpahkan teh ke piring makannya. Orang itu dengan santai berkata tidak sengaja lalu pergi dengan gembira bersama para pengikutnya.Apanya yang tidak disengaja, orang itu jelas-jelas menuangkan isi gelasnya! Hu