Share

Pagi Kelabu

Sudah makan?

Apa kamu masih di kampus?

Hei, kamu di mana? Aku beliin menu ayam baru dari warung langganan kita.

Riel?

Ariel?

Bisa kita bicara?

Aku telpon kamu ya?

Riel?

Kok gak diangkat?

Ketemuan yuk?

Kamu gak di apartemen?

Kamu ke mana?

Maafin aku, aku salah.

Jawab, plis.

Ariel meletakkan ponselnya di meja, mengabaikan semua pesan masuk dari Brian. Ia tidak ingin terganggu oleh masalah yang menurutnya sudah final terselesaikan.

Ia beranjak dari kamar ke dapur untuk mengambil minum, tapi perhatiannya teralihkan oleh suara yang datang dari celah pintu kamar orang tuanya. Ya, sekarang ia berada di rumah orang tuanya, di kampung.

Samar-samar Ariel mendengar percakapan papa dan mamanya yang intinya kondisi keuangan mereka sedang tidak baik. Dan bagaimana dengan kuliahnya, bagaimana dengan sekolah adiknya. Ariel paham tentang kekhawatiran mereka. Ia bukan dari keluarga berada yang serba kaya. Ayahnya petani, ibunya penjahit. Ia cukup beruntung dapat kuliah di kota bahkan tinggal di apartemen dengan biaya sewa 1,5 juta per bulannya. Semuanya berkat dukungan paman dan bibinya yang sukses. Ia dilimpahi banyak cinta sebagai anak emas karena menjadi satu-satunya yang berhasil melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.

Namun keadaan tidak bisa selamanya stabil. Pamannya gagal dalam pemilihan bupati tahun ini dan tentu ia punya banyak pengeluaran untuk kampanye. Orang tuanya tidak bisa menutup mata akan hal itu, tidak berani menambah beban dengan pembiayaan sekolah dan lainnya yang jelas-jelas bukan tanggung jawab paman. Juga segan apabila ingin meminjam dari saudara-saudara lain, keuangan mereka seakan kompak diuji, belakangan beberapa hal tidak berjalan dengan baik.

Ariel diam-diam menarik dirinya dari sana, kembali ke kamar dengan tenang. Ia merenung, pendapatannya dari menulis web novel tidak bisa banyak membantu. Yang masih membutuhkan biaya bukan dirinya saja, adiknya juga butuh. Terlebih tahun ini adiknya akan masuk SMP. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah segera lulus dan mendapatkan pekerjaan.

Ariel membuang napas, merenggangkan tubuhnya. Sebelum memikirkan banyak hal lain, mari selesaikan dulu skripsinya. Itu kuncinya.

Setelah menghabiskan dua minggu di rumah, Ariel memutuskan kembali ke kota, menjadwalkan bimbingan dan seminar hasil. Ia sudah mengerahkan kerja rodinya selama dua pekan terakhir, harusnya tidak banyak koreksi. Ariel optimis dengan hasil kerjanya.

"Tidak menginap beberapa hari lagi? Katanya tidak ada kelas, kenapa terburu-buru?" Mamanya masih berusaha membujuknya, padahal ia sudah siap berangkat.

"Aku harus menyerahkan tugas." Ariel menjawab santai.

"Baiklah, lain kali luangkan waktu lebih lama. Kamu di rumah juga cuma berdiam di dalam kamar." Mamanya mengeluh dengan sikapnya belakangan ini.

"Jangan khawatir, ini yang terakhir." Melihat wajah bingung mamanya, Ariel melanjutkan sambil tersenyum. "Aku pasti segera lulus."

Mamanya hanya ikut mengangguk. Sebenarnya ia tidak menuntut banyak pada urusan akademik anaknya. Selama ini anaknya sudah menjadi anak baik, tidak macam-macam, itu sudah cukup baginya.

"He-em, sudah sana, ditungguin papamu itu." Pada akhirnya, mamanya juga yang harus mendorongnya setelah beberapa saat lalu masih berusaha menahannya.

Papanya mengantarkan Ariel ke terminal. Perjalanan dari kampung ke kota tempatnya belajar membutuhkan waktu empat sampai lima jam naik bus. Dan kali ini ia mengambil perjalanan malam, sengaja menghindari perjalanan siang yang panas dan tidak nyaman.

Hem, atau seharusnya ia tidak mengambil perjalanan malam sebab hujan deras mengguyur begitu ia tiba di kota. Karena hujan, perjalanannya ke apartemen tertunda hingga larut.

Ariel berteduh di depan pos satpam yang kosong. Hujan tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat. Ariel menoleh, mengukur jarak perjalanannya antara pos satpam dengan lobi apartemen kemudian beralih antara pos satpam dengan minimarket di seberang jalan. Menimbang beberapa hal, ia akhirnya memutuskan tujuan untuk mampir ke minimarket 24 jam. Perutnya keroncongan ngomong-ngomong.

Duduk di kursi, Ariel menikmati pop mie, keripik, dan teh sambil menatap jalanan yang sepi. Lengang, benar-benar tidak ada tanda-tanda kendaraan melintas. Kalau ini sebuah drama, waktunya akan sempurna bagi penulis skrip untuk membuat satu adegan pembunuhan yang misterius. Ariel diam-diam menyunggingkan senyum, haruskan ia mulai menulis saja?

Ia melirik ke layar ponselnya, jam 2 pagi. Sepertinya ia akan begadang sampai matahari terbit.

Ah, seakan teringat sesuatu, Ariel buru-buru mendial satu nomor di kontaknya. Ia ingat, Tita mengatakan akan mampir ke apartemennya untuk mengambil flashdisk. Seharusnya sudah sejak beberapa jam yang lalu.

Nada dering terhubung, tapi tidak diangkat. "Dia ketiduran? Jam segini?"

Ariel mencoba lagi, tapi tidak diangkat. "Ah, ngomel nih pasti besoknya." Ariel membayangkan Tita sampai ke apartemennya tengah malam, tapi penghuninya belum sampai. Ia menggerutu lalu pulang sambil menendang kaleng di jalan. Ah! Pemandangan langka untuk melihat raut kesal sahabatnya itu.

Ngomong-ngomong, sangat tumben tidak ada pesan dari Brian. Biasanya orang itu akan menghubunginya setiap hari.

Ah, lagi pula apa pentingnya. Ia tidak peduli.

Ding! Satu pesan masuk dari Tita.

Tita: Perutku sakit, aku tidak jadi ke apartemenmu. Aku mau tidur.

Lagi dapet?

Kau gak apa-apa? Mau kubawakan obat?

Melihat tidak ada lagi balasan, Ariel menebak bahwa sahabatnya itu sudah jatuh ke alam mimpi. Ya syukurlah, kalau saja ia benaran datang di cuaca sekarang, dijamin ia akan dapat omelan besok karena tidak mengabari jam tibanya yang terlambat.

Jam dua pagi, hujan mulai mereda, tapi jalan di depan tidak berubah dari lengangnya. Sepi, seolah hanya ada minimarket ini yang berpenghuni.

Ariel beranjak meninggalkan tempat nyamannya di depan minimarket untuk pulang ke apartemen. Lari-lari kecil di sepanjang jalan untuk meminimalisir tubuhnya lebih kuyup, ia hampir tergelincir, tapi untungnya bisa sampai ke lobi tanpa jatuh.

Lampu kuning menyorot lorong temaram. Ini bukanlah apartemen kelas atas, tapi biasanya akan ada petugas yang patroli. Ia pikir kekosongan pos satpam ada sebabnya, tapi sepertinya memang penjaganya entah terlelap di tempat mana.

Nomor sandi ditekan, ketika akan membuka pintu, sebuah suara menginterupsi.

"Mau ke mana pagi-pagi begini?" Suara yang familiar ini milik laki-laki petugas damkar yang tinggal di lantai atas.

Begitu mengenali orang itu, Ariel buru-buru mengangguk memberi salam. "Ah, sebenarnya saya baru tiba dari pulang kampung."

"Ah." Petugas damkar menyahut seadanya. Ia tampak buru-buru mengenakan pakaiannya.

"Kelihatannya Anda sedang buru-buru?"

"Hem, urusan mendesak."

"Apa kebakaran? Di saat hujan begini?"

Petugas damkar itu menghela napas maklum, sepertinya bukan sekali dua kali ia mendapat tanggapan serupa. "Petugas damkar tidak hanya menangani kebakaran. Ada konstruksi yang tiba-tiba runtuh dan mengenai bangunan di sebelahnya. Mungkin ada orang yang terjebak. Pokoknya mereka butuh evakuasi secepatnya."

"Ah..."

"Kenapa malah jadi ngobrol denganmu. Aku pergi." Petugas itu bergegas begitu menyadari kelalaiannya telah menyia-nyiakan beberapa waktunya.

Namun, sebelum mencapai lift, ia masih menyempatkan diri berbalik. "Lain kali jangan berkeliaran terlalu larut dan pastikan mengunci pintu dengan benar. Akhir-akhir ini banyak kasus pembobolan rumah."

Ariel hanya bisa mengangguk, memperhatikan petugas damkar yang adalah tetangganya itu sampai hilang di dalam lift. "Sepertinya dia tidak percaya saat aku mengatakan baru tiba dari pulang kampung."

Ngomong-ngomong soal konstruksi yang runtuh, apakah masuk dalam berita? Ariel baru saja akan mengeceknya di internet, merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponsel dan hanya menemukan bahwa benda yang ia cari tidak ada.

"Apa tertinggal di meja depan minimarket?" Menyadari kemungkinan ini, Ariel segera bergegas kembali ke tempat semula. Ia berlari menerobos hujan yang tinggal rintik-rintik.

Syukurlah benda yang ia cari masih tergeletak di sana.

Karena menerobos gerimis sekali lagi, pakaiannya benar-benar kuyu. Untuk menghindari hal-hal yang tidak perlu, masuk angin misalnya, Ariel menambah kecepatan langkahnya saat menaiki tangga. Sebenarnya ia bisa menggunakan lift, tapi tangga lebih akrab dengannya, dan seperti kebiasaan kakinya otomatis menuju ke sana.

Percepat, cepat sampai, cepat mandi, cepat tidur, cepat bangun, dan cepat makan lagi. Ia memotivasi diri sendiri.

Ariel tidak begitu memperhatikan anak tangga yang dipijakinya sampai ia merasakan langkahnya melayang, tergelincir oleh lantai yang licin.

Bunyi bedebam mengiringi kejatuhannya.

Rasa sesak adalah yang pertama ia rasakan kemudian disusul nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Samar-samar Ariel melihat beberapa anak tangga di atasnya.

Sial, jatuh dari tangga bukanlah cara yang elit untuk mati.

Entah sudah berapa lama Ariel berbaring di sana. Ia hanya merasakan beberapa waktu telah berlalu.

Punggungnya kebas dan pinggangnya mati rasa. Ariel mencoba menggapai ponselnya, mengecek layar dan memastikan bahwa satu setengah jam hampir berlalu. Sekarang pukul lima.

Dengan langkah terhuyung, ia menyusuri jalan sambil berpegangan pada dinding. Butuh usaha ekstra untuk mencapai pintu apartemennya.

Memasukkan angka 1234 dan kunci terbuka. Ariel meraba dinding untuk mencari sakelar. Ketika lampu menyala, ruangan yang gelap kini terang.

Ada yang aneh. Ariel yakin itu bukan ilusinya. Ia melihat sepasang sepatu. Tiba-tiba perkataan petugas damkar tadi terlintas di benaknya. Ada maling yang masuk ke apartemennya?

Dengan keraguan dan rasa takut yang ia tekan kuat, Ariel mendekat ke objek mencurigakan itu. Ia merasakan jantungnya melompat keluar. Itu orang, seseorang berbaring di sana.

"Hei!" Ariel menggoyangkan tubuh itu menggunakan kakinya.

Karena tidak ada respon, Ariel akhirnya melangkah lebih dekat. Ia menepuk pundak orang itu dan begitu tubuhnya berbalik, Ariel tidak bisa lagi mempertahankan keseimbangannya. Ia goyah dan secara refleks melangkah mundur.

Tidak hanya seseorang berbaring di sana, tapi juga berlumuran darah. Tidak, itu bukan orang lain. Itu Brian.

Ariel berusaha keras mengendalikan kekagetannya yang menggila.

"Bri... Brian." Ariel memanggil nama orang itu. Tapi semakin lama ia memanggil, rasa takutnya semakin ketara.

Dengan gemetar di seluruh tubuh dan air mata yang tanpa sadar jatuh, Ariel meletakkan jarinya di depan hidung Brian. Dan segera seluruh suaranya hilang dan pikirannya yang sudah buruk jatuh ke titik terendah.

Ia tidak bisa merasakan napas Brian.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status