Langit berkelambu awan dan bekas hujan semalam masih segar. Pagi ini, satu kehidupan berpulang ke pangkuan Tuhan.
Ariel duduk menangkup wajah. Ia masih ingat ketika ujung jarinya tidak lagi merasakan hembusan napas Brian, ketika matanya tidak menangkap pergerakan naik turun di dada orang itu, Ariel tahu bahwa orang itu sudah tiada. Segalanya menjadi samar sejak ia memaksa pikirannya yang macet untuk bekerja, menelpon nomor darurat dengan tangan gemetar hebat hingga polisi datang dan dirinya di bawa ke kantor.
Pintu ruangan itu dibuka dan dua orang laki-laki berjaket hitam masuk.
"Ariel Valeria Barsha?" Mendengar namanya disebut, Ariel mengangkat kepalanya dan dua orang itu duduk di seberang meja.
"Tentang kejadian pagi ini, kami akan mengambil keterangan darimu. Mohon kerja samanya." Salah satu yang lebih muda bicara.
"Kapan kau pertama kali menemukan mayat korban?"
Mayat? Korban? Brian benar-benar sudah mati? Tapi bagaimana bisa? Dia dibunuh? Siapa pembunuhnya? Pikiran Ariel berkeliaran.
Melihat orang di depannya menunjukkan tatapan kosong, orang yang bertanya tadi mengulangi lagi pertanyaannya dan menambahkan, "Tolong tetap fokus."
Ariel akhirnya tersadar. "Sekitar pukul lima pagi."
"Kau menemukan mayat korban begitu masuk apartemen. Apa yang Kau lakukan sebelumnya? Kenapa Kau berada di luar saat pagi-pagi buta padahal apartemen itu dihuni olehmu? Kau tidak pulang semalaman?"
"Dua minggu ini aku pulang ke kampung halaman dan baru kembali tadi malam."
Sementara satu orang lainnya tetap diam, yang satu terus melanjutkan pertanyaan. "Jam berapa kau sampai?"
"Aku tiba di terminal pada tengah malam dan sampai di lingkungan apartemen pukul satu pagi."
Menyadari ada satu bagian yang timpang, orang yang bertanya menajamkan pandangannya, menelisik setiap gerik untuk mencari celah. "Kau sampai di lingkungan apartemen pukul satu, tapi menemukan korban pada pukul lima. Ada jeda waktu empat jam. Apa ketika kau menemukan korban itu bukan pertama kali kau masuk ke apartemen?"
"Ketika aku menemukannya itu juga adalah pertama kali aku masuk ke apartemen setelah tiba."
"Lalu apa yang kau lakukan selama jeda waktu itu? Menunggu di luar tanpa tujuan?"
Ariel tidak tahu mengapa orang ini seakan menggiring pernyataannya ke spekulasi tertentu. Tapi meski begitu, Ariel tetap menjawab. "Ketika aku tiba hujan masih cukup lebat dan perjalanan dari gerbang depan ke lobi lumayan jauh. Jadi aku pergi ke minimarket di seberang jalan yang lebih dekat."
"Minimarket?" Adalah satu hal tak terduga untuk menyebutkan minimarket. "Apa yang kau lakukan di sana?"
"Makan pop mi."
Kalau saja raut wajah Ariel tidak serius, orang lain akan meragukan apakah ia sedang sungguh-sungguh menjawab pertanyaan atau hanya melempar lelucon.
"Kau makan pop mi sampai jam lima pagi?"
"Tentu saja tidak." Ariel menundukkan pandangannya sejenak sebelum kembali mengangkat wajahnya. "Aku pergi dari minimarket sekitar pukul dua pagi. Ketika aku tiba di depan pintu, aku bertemu tetangga dari lantai atas. Dia petugas damkar. Dia bilang ada kejadian konstruksi rusak atau semacamnya-"
Melihat raut jelek dari orang di depannya, Ariel berhenti sejenak. Apa baru saja keluar dari topik? "Intinya karena hal itu aku menyadari ponselku tidak ada saat aku mencarinya untuk mengecek berita, jadi aku turun lagi untuk melihat ke bangku depan minimarket."
"Apa itu menghabiskan waktu tiga jam?"
"Tentu saja tidak." Ariel membuang napas lelah. "Alasan kenapa itu menjadi sangat lama adalah karena ketika aku berjalan di tangga, aku jatuh dan terbaring di lantai selama beberapa waktu."
Orang yang bertanya sedikit tercengang. Bukankah orang yang berbohong sekalipun akan paling tidak menemukan alasan yang lebih masuk akal? Terbaring di lantai untuk beberapa waktu? Apa kau mati?
Tapi pertanyaan itu tidak pernah diutarakan.
"Jadi karena itu kau baru bisa masuk ke apartemen pukul lima pagi dan menemukan korban?"
Ariel mengangguk.
Orang yang bertanya menutup buku catatannya. "Baik, keterangan ini sudah kami rekam. Tapi kau masih harus menunggu di sini sampai beberapa waktu ke depan."
Dengan begitu, dua orang tadi keluar dari ruangan, menyisakan Ariel sendiri yang masuk duduk dengan tanda tanya besar. Ia sebenarnya sedang diinterogasi kan?
.
.
.
"Dia benar-benar makan pop mi." Kata yang lolos dari mulut Aji begitu melihat rekaman cctv dari minimarket.
Setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, ia berjalan keluar, menghampiri laki-laki paruh baya yang kini tengah memulai batang rokok keduanya sejak mereka tiba di lokasi.
"Keterangannya bisa dikonfirmasi." Aji melapor. "Haruskah kita mencari cctv lain di sekitar sini?"
Laki-laki paruh baya itu tenang, seolah apa yang barusan dikatakan Aji barusan sama sekali bukan urusannya. "Tidak perlu. Sudah ada tiga rekaman yang kita dapatkan, itu membuktikan pernyataannya."
Mereka adalah bagian tim yang menangani kasus pembunuhan di kamar 503 yang saat ini hanya memiliki satu orang terduga sebagai pelaku. Yang baru saja mengepulkan asap tembakau ialah Handoko, kapten tim yang memimpin penyelidikan.
"Kau benar. Ah, kasus ini sangat membingungkan. Dengan bukti rekaman ini, pernyataannya jelas dapat dikonfirmasi. Artinya ia berkata jujur. Tapi masalahnya semua rekaman cctv hanya membuktikan keberadaannya pada waktu-waktu tertentu itu saja, tidak ada yang bisa membuktikan apa yang orang itu lakukan dari setelah ia terekam sampai dia menghubungi nomor darurat."
Aji meluapkan isi pikirannya. Selama ia bertugas di lapangan, ini adalah kasus pertama di mana hanya ada tersangka tunggal yang sangat mungkin menjadi pelaku, tapi sulit untuk membuktikan apakah ia benar-benar pelakunya atau bukan.
"Perkiraan waktu kematian korban sangat sinkron dengan waktu-waktu yang tidak bisa dikonfirmasi. Apakah orang itu benar-benar pelakunya?"
Handoko mendengus. "Ada banyak tempat di dunia ini. Ada banyak kemungkinan juga. Tapi siapa yang bisa membuktikan dengan pasti mana kemungkinan yang dilakukan seseorang. Bagaimana menurutmu?"
Aji menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kata-kata kaptennya sulit ia pahami maksudnya. Jadi, ia setuju atau tidak tentang siapa pelakunya?
"Dia penghuni kamar apartemen itu. Korban tidak mungkin berada di sana tanpa alasan. Tidak ada pula tanda-tanda pembobolan atau pemaksaan masuk. Akan sangat tidak terduga apabila ternyata orang lainlah pelakunya."
Sudut mulut di wajah matang itu sedikit naik. Asap putih tipis sekali lagi mengepul dari mulutnya. "Menurutmu begitu?"
"Hem?" Aji menoleh. Apakah bukan?
Ia ingin menanyakan pemikiran kaptennya mengenai kasus ini lebih lanjut, tetapi dering ponselnya menginterupsi. Itu adalah panggilan dari rekan mereka yang lain. Ia dihubungi karena kapten tidak menjawab panggilan telponnya. Aji menengok sekilas ke arah kaptennya dan hanya memiliki satu asumsi, -untuk yang kesekian kali- kaptennya lupa mengisi daya ponselnya lagi.
Informasi yang disampaikan rekannya lewat telepon cukup mengejutkan. Ia merasa ada sesuatu yang janggal, tapi memutuskan untuk menunda memikirkannya dan menyampaikannya ke kapten.
"Kapten, ada informasi dari kantor. Tentang kasus ini-"
Mendengar keragu-raguan dalam ucapan Aji, Handoko mengalihkan perhatiannya ke pemuda itu. "Ada apa?"
"Mereka bilang, kita harus kembali ke kantor sekarang. Kasus yang kita tangani akan diambil alih oleh kejaksaan."
"Apa katamu?" Handoko memusatkan perhatian penuh pada kata-kata Aji. Ini baru 48 jam sejak kasus dilaporkan, tapi sudah naik ke kejaksaan. Apalagi dengan bukti-bukti lapangan yang ada, mustahil secepat ini. "Apa lagi yang mereka katakan?"
"Kasusnya sudah diputuskan sebagai kasus pembunuhan dengan tersangka tunggal. Orang itu, maksudku orang bernama Ariel, ia sudah ditetapkan sebagai tersangka."
"Belum ada bukti tentang hal itu, bagaimana mereka bisa-" Handoko tidak menyelesaikan kalimatnya, melainkan mengubah pertanyaannya. "Apa dasar pertimbangannya?"
"Motif. Mereka bilang motifnya cukup jelas. Korban adalah mantan pacarnya."
Handoko segera melupakan batang rokoknya dan membuangnya begitu saja. Ia merasakan ada sesuatu yang salah tentang kasus ini sekarang. Ia bergegas kembali ke kantor.
Bersambung
"Aku tidak membunuhnya, aku tidak melakukan apa-apa.""Lalu ke mana kau dari jam dua sampai jam lima? Apa yang kau lakukan?"Ariel mendesah frustasi. Sudah beberapa waktu dan dua orang di depannya terus menanyakan pertanyaan yang sama. Mereka terus mengulanginya seakan jawaban yang ia berikan sebelumnya salah. Apa yang sebenarnya mereka ingin ia katakan?"Sudah kubilang, aku terjatuh di tangga dan berbaring di sana."Orang itu berdecak. "Kau pikir kami akan percaya? Tidak ada bukti yang dapat mengonfimasi kebenaran kata-katamu. Katakan saja yang sejujurnya. Kau tahu, terus berbohong seperti ini tidak akan menguntungkanmu."Ariel menekan seluruh emosinya ke dalam, berusaha keras untuk tidak melayangkan tendangan kepada dua orang di depannya. "Sudah kukatakan, aku jatuh di tangga. Aku tidak peduli apakah kalian percaya atau tidak, tapi itulah kebenarannya. Dan tentang bukti. Kalian bilang aku tidak bisa membuktikan perkataanku. Lalu, apa kalian punya
Suatu hari, ada permintaan kunjungan untuknya. Setelah menelan banyak prasangka, dari lubuk hatinya ia berharap orang tuanyalah yang datang.Namun ia salah.Dalam ruangan ini, ia hanya melihat satu sosok. Wanita dengan setelan formal yang rapi dan itu jelas bukan mamanya. Cahaya yang sempat berkilau di matanya kembali redup, ekspresinya berubah semakin dingin.Wanita ini, ia tahu. Seorang pengacara terkenal, Kamila Erdogan, ibunya Brian.Tatapan mereka segera bertemu. Dari Ariel masuk ke ruangan sampai duduk di depannya, ia tidak melepaskan pandangannya. Pandangan dari dua manik tajam itu menguarkan tatapan mencemooh, benci, geram. Tapi jelas, dengan postur tubuh dan ekspresi wajah itu, ia masih menjaga ketenangan dan martabatnya dari menyerang orang di hadapannya."Kau tidak tampak terkejut? Kau pasti tahu siapa aku."Ariel menjawab dengan kebisuannya. Ya, ia tahu. Ia pernah melihat foto wanita ini di ponsel Brian. Brian pernah membicarakan
Selama menghabiskan beberapa hari dalam sel isolasi, Ariel akhirnya mendapatkan ketenangannya kembali. Ia memang membutuhkan ruang untuk sendiri dan mengekspresikan perasaannya. Setelah keluar, ia diberitahu kalau ada dua kali permintaan kunjungan untuknya. Tetapi karena ia kemarin berbuat ulah, kunjungan bulan ini dibatasi menjadi seminggu sekali.Ariel tidak banyak berharap kali ini. Kalau saja yang datang wanita itu lagi, ia akan langsung keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.Tapi kali ini ia dibawa ke tempat yang berbeda. Ini bukan ruangan luas dengan meja dan kursi, ini ruangan dengan pembatas kaca. Dan di luar kaca transparan itu, ia bisa melihat sosok yang paling ia rindukan tengah menyambutnya dengan senyuman hangat."Mama?" Ariel langsung menghambur, menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia sangat ingin memeluk sosok itu, merasakan harum aroma tubuhnya, merasakan usapan kasih sayangnya, tapi kaca ini sungguh batas yang menyiksa.Mamanya melakuk
Huh, Ariel menghembus napas jengah. Iklim sosial semacam ini pasti ada di mana saja. Di sekolah, di tempat tinggalnya, di tempat kuliah, di lingkungan mana pun itu ia selalu menemui jenis ekosistem seperti ini. Orang-orang membentuk kelompok, membangun kawanannya sendiri-sendiri dan bersaing untuk posisi tertentu dalam arena.Satu kelompok memastikan ia menguasai kantin, mereka bebas menyerobot antrian yang lain, menjahili orang-orang di luar kelompoknya, menciptakan hierarki transparan bahwa mereka berada di atas yang lainnya.Kelompok lainnya memiliki pemimpin yang tampak berkuasa dan berwibawa dengan seorang wanita bertubuh kekar dan tampak garang berada di sisinya. Mereka disegani dan selalu berjalan bersamaan, memastikan semua orang tunduk pada mereka.Kelompok lainnya lebih tenang, mengamati. Ia tidak menakuti siapa pun, tapi ada semacam peraturan tak tertulis yang membuat semua orang di sini akan segan. Mereka seperti sesepuh yang keramat untuk diusik.
Satu kelompok dan beberapa orang acak mengganggunya, Ariel kira itu hanya bagian dari sistem sosial di sini, yang kuat menindas yang lemah. Tapi nampaknya itu bukan yang terjadi padanya belakangan ini. Sekali dua kali, tidak masalah. Mungkin sebuah kebetulan ketika mereka bosan dan ia sedang berada dalam jangkauan mata mereka, mereka mengganggunya. Tapi bahkan saat mereka tidak melihatnya, mereka masih mengeluarkan tenaga untuk mencarinya. Tidakkah artinya mereka sengaja menargetkannya?Ariel mulai menerka sesuatu. "Tentu saja mereka tidak berinisiatif sendiri. Ada orang yang menyuruh mereka."Jadi hari ini ketika ia diganggu, Ariel tidak akan tinggal diam.Dan benar. Siang ini, pemimpin dari kelompok penguasa kantin datang ke mejanya hanya untuk menumpahkan teh ke piring makannya. Orang itu dengan santai berkata tidak sengaja lalu pergi dengan gembira bersama para pengikutnya.Apanya yang tidak disengaja, orang itu jelas-jelas menuangkan isi gelasnya! Hu
Menyaksikan dua kontras situasi ini, satu orang yang masih mengambang di muka pintu lekas kembali ke tempat tiga temannya berada. Dengan linglung ia berkata. "Lihat, bukan masalah besar.""Ya, itu bukan masalah besar.""Masalah apa? Kita tidak melihat apa-apa. Tidak ada yang terjadi.""Tentu saja, haha. Bukankah kita masih punya pekerjaan di dapur? Kita belum mencuci peralatan makan."Dan begitu, empat orang dengan pemikiran liarnya memutuskan untuk menunda urusannya di kamar mandi dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.Empat orang pergi dengan tenang. Delapan orang mengeluh karena kehilangan lauk makan siang dan satu orang berbahagia karena keterjaminan makanan yang akan ia dapatkan besok.Ariel tidak tahu akan taruhan yang orang-orang lakukan, juga tidak tahu tentang pemikiran empat orang yang melayang semakin liar. Ia hanya tahu ketika kembali ke sel, empat orang lainnya di dalam sama sekali tidak mau menatapnya bahkan menghindar
Handoko baru saja keluar dari pintu lapas, berjalan menyusuri halaman gersang sebelum sampai ke mobilnya. Ia merebahkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat pertanyaan Ariel yang terngiang di pikirannya, kenapa melakukan semua ini?Ini kali kedua ia datang menjenguk anak itu dan mendapat pertanyaan yang sama, tapi tetap saja, ia tidak terbiasa.Memejamkan mata, mencari ke kedalaman pikirannya. Untuk apa semua hal yang ia lakukan? Murni kemanusiaan? Rasa tanggung jawab? Prinsip? Bukan semua itu!Membuka kembali kelopak matanya, Handoko tidak menemukan jawaban. Ia tidak tahu alasan mengapa ia segigih ini untuk orang asing yang baru beberapa kali ia temui. Ia tidak tahu, mungkin lebih tepatnya tidak punya. Ia tidak memiliki alasan apa pun.Handoko meraih sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan membiarkan asap mengepul keluar dari jendela mobil yang terbuka. Ia kemudian membuka laci mobil dan mengeluarkan selembar foto dari sana. Foto dirinya yang t
Suatu hari, Handoko mendapat kabar bahwa adiknya ditahan di kantor polisi karena kasus penyerangan. Adiknya dituduh melakukan penyerangan menusuk mata kiri teman kerjanya sampai cacat. Dan adiknya bersikeras menjelaskan bahwa kejadiannya tidak seperti apa yang dikatakan oleh temannya itu.Indriana mengatakan bahwa ia tidak dengan sengaja melakukannya. Teman-temannya, termasuk orang yang mengaku sebagai korban, telah menindasnya di tempat kerja. Ia hanya melakukan pembelaan diri. Dan bahwa orang itu tertusuk akibat ulah orang itu sendiri, bukan karenanya. Tetapi teman-teman yang lain memberikan kesaksian yang berbeda. Tidak ada yang percaya kata-katanya.Handoko dan ibunya percaya, adiknya tidak akan pernah melakukan hal buruk itu. Namun, kepercayaan itu sama sekali tidak berguna di mata hukum.Karena korbannya adalah anak dari seorang pejabat politik, adiknya dengan seksama diproses tanpa penyelidikan. Handoko dan ibunya yang hanya orang biasa tak berdaya. Merek