"Aku tidak membunuhnya, aku tidak melakukan apa-apa."
"Lalu ke mana kau dari jam dua sampai jam lima? Apa yang kau lakukan?"
Ariel mendesah frustasi. Sudah beberapa waktu dan dua orang di depannya terus menanyakan pertanyaan yang sama. Mereka terus mengulanginya seakan jawaban yang ia berikan sebelumnya salah. Apa yang sebenarnya mereka ingin ia katakan?
"Sudah kubilang, aku terjatuh di tangga dan berbaring di sana."
Orang itu berdecak. "Kau pikir kami akan percaya? Tidak ada bukti yang dapat mengonfimasi kebenaran kata-katamu. Katakan saja yang sejujurnya. Kau tahu, terus berbohong seperti ini tidak akan menguntungkanmu."
Ariel menekan seluruh emosinya ke dalam, berusaha keras untuk tidak melayangkan tendangan kepada dua orang di depannya. "Sudah kukatakan, aku jatuh di tangga. Aku tidak peduli apakah kalian percaya atau tidak, tapi itulah kebenarannya. Dan tentang bukti. Kalian bilang aku tidak bisa membuktikan perkataanku. Lalu, apa kalian punya bukti kalau akulah pelakunya? Kalian punya bukti aku membunuh Brian?"
Kali ini Ariel tidak menahan pikirannya lagi. Apa yang ingin ia katakan, ia keluarkan. Ia paling tidak suka disudutkan dan dituduh atas sesuatu yang tidak ia lakukan.
Sementara itu, satu orang yang telah memperhatikan semuanya beberapa saat yang lalu akhirnya melibatkan diri. Ia masuk dan menggiring dua orang di sana keluar lalu menutup pintu ruangan menguncinya. Orang ini adalah salah satu dari dua orang yang datang kemarin, orang yang hanya duduk mengamatinya dari seberang meja.
"Kau mantan pacar korban?" Handoko langsung bertanya tanpa pengantar apa-apa.
"Ya."
"Kau membunuhnya?"
Belum sempat Ariel menjawab, ia sudah diberondong pertanyaan lain.
"Bagaimana caramu membunuhnya? Kau mengundangnya ke apartemen lalu menikamnya? Kau sakit hati karena putus dengannya sampai ingin membunuhnya?"
Handoko mendekat, menatap intens ke kedua manik Ariel. "Atau dia berselingkuh dan kau merasa muak dengannya? Kalian bertengkar dan kau tidak sengaja membunuhnya? Kau takut ketahuan lalu membuat alibi dengan menelpon polisi?"
Ariel mendengarkan semua tuduhan itu, mendengarkan setiap pertanyaan yang menghakimi dirinya tanpa sedikitpun kesempatan untuk menjelaskan.
"Kau sudah selesai?" Begitu orang di hadapannya tidak lagi bicara, Ariel melanjutkan. "Benar, aku sakit hati karena dia selingkuh. Itu juga alasan kami putus, aku meminta putus dengannya. Aku benar-benar kesal sampai ingin memukulnya, menendangnya, membuatnya babak belur. Tapi tidak kulakukan."
Ariel menekan gigi-giginya kuat dan suaranya menjadi lebih dalam. "Dan kalau pun aku ingin membunuhnya, aku tidak akan menundanya walau hanya sehari. Saat aku memergokinya berciuman dengan perempuan lain, aku pasti akan melakukannya saat itu juga."
Intensitas tinggi dalam ruangan itu menciptakan ilusi kelengangan panjang saat mereka hanya terdiam sesaat.
"Lalu bagaimana bisa orang itu berakhir di dalam kamar apartemenmu?"
Ariel tidak sedikit pun melepaskan pandang dari sepasang mata tajam yang kini menatapnya. "Itu juga yang ingin aku tahu. Kenapa seseorang yang sudah kuputuskan dan sudah tidak kutemui selama sebulan bisa berakhir di sana."
Pandangan Handoko belum beralih, masih menyelami orang di hadapannya sebelum ia melempar satu pertanyaan lagi dengan suara yang lebih rendah. "Apa kau membunuhnya?"
Tanpa mengendurkan tatapannya, Ariel menjawab. "Aku.tidak.membunuhnya." Ada penekanan di setiap katanya untuk menegaskan.
"Aku bukan pembunuhnya. Aku tidak membunuh siapa pun."
Tidak ada kata-kata lagi. Handoko menarik tatapannya lalu keluar dari ruangan begitu saja.
"Apa katanya?" Aji mengikuti langkah cepat Handoko.
"Dia tidak berbohong."
Handoko tidak menjawab langsung pertanyaannya, tapi Aji tahu apa maksudnya. Kalau Ariel tidak berbohong artinya ia bukan pembunuhnya. "Lalu bagaimana dengan kasusnya? Itu akan segera diserahkan ke kejaksaan. Aku tidak berpikir kejaksaan akan memperhatikan pernyataan itu."
Langkah mereka tiba-tiba berhenti. Aji ingin bertanya ada apa, tapi ia urungkan begitu ia melihat raut serius kapten timnya.
Di sana, di kantor kepala, Handoko melihat pimpinan tertinggi di markas mereka baru saja keluar dari ruangan bersama seseorang dan Handoko tahu siapa orang itu. Orang itu adalah Samuel, seorang jaksa penyidik.
Mengetahui orang itu terlibat, Handoko bisa menebak bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres tentang kasus ini.
.
.
.
Tidak peduli apa yang aku katakan, mereka sudah memutuskan bahwa aku bersalah. Jaksa terus menyudutkan, pengacara tidak mau berbicara untukku, dan hakim hanya melihat drama di antara keduanya. Betapa tidak adilnya itu, betapa aku ingin marah dan berteriak pada dunia, tapi aku tetap tidak berdaya. Saat palu pengadilan diketuk, aku tahu, masa depanku sudah berakhir.
- Ariel Valeria Barsha -
.
.
.
Para jurnalis dari berbagai media sudah berkerumun di depan pintu masuk pengadilan. Jepretan kamera dan mikrofon bergerak mengikuti saat sosok berpakaian oranye digiring keluar dari gedung. Semua orang berusaha mendapatkan berita eksklusif mengenai kasus yang sedang panas tiga minggu belakangan ini tentang 'mahasiswi bunuh mantan pacar karena tidak terima diputus sepihak.' Ada banyak judul yang tak kalah heboh dan semuanya berisi kebohongan, fakta yang dibelokkan dengan bumbu-bumbu tidak terkait untuk membuatnya lebih dramatis.
Ariel tidak peduli bagaimana dunia memandangnya. Ia hanya peduli tentang keluarganya. Dengan banyaknya pemberitaan yang menyudutkannya, keluarganya pasti kena imbasnya juga.
Tapi fakta bahwa ia tidak mampu berbuat apa-apa sekali lagi menusuknya. Sepanjang perjalanan, Ariel tidak mengendurkan kedua tangannya yang saling terkepal, menciptakan cetakan merah dari kuku-kuku yang menggores telapak tangannya.
Setelah melalui berbagai prosedur, Ariel diarahkan ke salah satu sel. Ia sekarang resmi dipindahkan dari rutan ke lapas, menghuni sel ukuran 3×5 meter ini dengan status sebagai tahanan 1366.
Ariel masuk dengan lesu, melihat sebentar ke empat orang lain yang akan menjadi teman satu selnya kemudian duduk tanpa mengeluarkan suara.
Sementara itu, empat orang di sana saling bertukar pandang, memperlihatkan pemikiran yang sama tentang satu orang baru ini. Siapa dia?
Mengapa anak muda ini berakhir bersama mereka? Kejahatan apa yang ia lakukan? Mencuri? Menipu? Mengencani suami orang? Kekerasan? Atau.... narkoba? Karena tidak memiliki cukup informasi, mereka memutuskan untuk belum melakukan apa-apa. Siapa yang tahu apakah orang ini tipe yang mudah atau orang dengan kekuasaan. Intinya, mereka tidak ingin terlibat dengan orang yang salah.
Ariel tidak tahu tentang pikiran mereka, tidak juga peduli. Ia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Menjadi pendiam dan tenang, ia sangat berbeda dari sikapnya yang biasa. Waktu berlalu, siang dan malam terlewati seperti mimpi. Dan Ariel tidak bersusah payah untuk bersuara, apalagi mencoba bersosialisasi. Hidupnya sementara berjalan seperti roda mati.
Ia belum mendapat kunjungan dari kerabatnya, belum juga mendapat kabar tentang mereka. Ia begitu frustasi dengan pikiran-pikiran buruknya sendiri. Bagaimana jika papa mamanya tidak mempercayainya?
Perasaan negatif itu hampir mencekiknya. Apa yang harus ia lakukan?
Bersambung
Suatu hari, ada permintaan kunjungan untuknya. Setelah menelan banyak prasangka, dari lubuk hatinya ia berharap orang tuanyalah yang datang.Namun ia salah.Dalam ruangan ini, ia hanya melihat satu sosok. Wanita dengan setelan formal yang rapi dan itu jelas bukan mamanya. Cahaya yang sempat berkilau di matanya kembali redup, ekspresinya berubah semakin dingin.Wanita ini, ia tahu. Seorang pengacara terkenal, Kamila Erdogan, ibunya Brian.Tatapan mereka segera bertemu. Dari Ariel masuk ke ruangan sampai duduk di depannya, ia tidak melepaskan pandangannya. Pandangan dari dua manik tajam itu menguarkan tatapan mencemooh, benci, geram. Tapi jelas, dengan postur tubuh dan ekspresi wajah itu, ia masih menjaga ketenangan dan martabatnya dari menyerang orang di hadapannya."Kau tidak tampak terkejut? Kau pasti tahu siapa aku."Ariel menjawab dengan kebisuannya. Ya, ia tahu. Ia pernah melihat foto wanita ini di ponsel Brian. Brian pernah membicarakan
Selama menghabiskan beberapa hari dalam sel isolasi, Ariel akhirnya mendapatkan ketenangannya kembali. Ia memang membutuhkan ruang untuk sendiri dan mengekspresikan perasaannya. Setelah keluar, ia diberitahu kalau ada dua kali permintaan kunjungan untuknya. Tetapi karena ia kemarin berbuat ulah, kunjungan bulan ini dibatasi menjadi seminggu sekali.Ariel tidak banyak berharap kali ini. Kalau saja yang datang wanita itu lagi, ia akan langsung keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.Tapi kali ini ia dibawa ke tempat yang berbeda. Ini bukan ruangan luas dengan meja dan kursi, ini ruangan dengan pembatas kaca. Dan di luar kaca transparan itu, ia bisa melihat sosok yang paling ia rindukan tengah menyambutnya dengan senyuman hangat."Mama?" Ariel langsung menghambur, menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia sangat ingin memeluk sosok itu, merasakan harum aroma tubuhnya, merasakan usapan kasih sayangnya, tapi kaca ini sungguh batas yang menyiksa.Mamanya melakuk
Huh, Ariel menghembus napas jengah. Iklim sosial semacam ini pasti ada di mana saja. Di sekolah, di tempat tinggalnya, di tempat kuliah, di lingkungan mana pun itu ia selalu menemui jenis ekosistem seperti ini. Orang-orang membentuk kelompok, membangun kawanannya sendiri-sendiri dan bersaing untuk posisi tertentu dalam arena.Satu kelompok memastikan ia menguasai kantin, mereka bebas menyerobot antrian yang lain, menjahili orang-orang di luar kelompoknya, menciptakan hierarki transparan bahwa mereka berada di atas yang lainnya.Kelompok lainnya memiliki pemimpin yang tampak berkuasa dan berwibawa dengan seorang wanita bertubuh kekar dan tampak garang berada di sisinya. Mereka disegani dan selalu berjalan bersamaan, memastikan semua orang tunduk pada mereka.Kelompok lainnya lebih tenang, mengamati. Ia tidak menakuti siapa pun, tapi ada semacam peraturan tak tertulis yang membuat semua orang di sini akan segan. Mereka seperti sesepuh yang keramat untuk diusik.
Satu kelompok dan beberapa orang acak mengganggunya, Ariel kira itu hanya bagian dari sistem sosial di sini, yang kuat menindas yang lemah. Tapi nampaknya itu bukan yang terjadi padanya belakangan ini. Sekali dua kali, tidak masalah. Mungkin sebuah kebetulan ketika mereka bosan dan ia sedang berada dalam jangkauan mata mereka, mereka mengganggunya. Tapi bahkan saat mereka tidak melihatnya, mereka masih mengeluarkan tenaga untuk mencarinya. Tidakkah artinya mereka sengaja menargetkannya?Ariel mulai menerka sesuatu. "Tentu saja mereka tidak berinisiatif sendiri. Ada orang yang menyuruh mereka."Jadi hari ini ketika ia diganggu, Ariel tidak akan tinggal diam.Dan benar. Siang ini, pemimpin dari kelompok penguasa kantin datang ke mejanya hanya untuk menumpahkan teh ke piring makannya. Orang itu dengan santai berkata tidak sengaja lalu pergi dengan gembira bersama para pengikutnya.Apanya yang tidak disengaja, orang itu jelas-jelas menuangkan isi gelasnya! Hu
Menyaksikan dua kontras situasi ini, satu orang yang masih mengambang di muka pintu lekas kembali ke tempat tiga temannya berada. Dengan linglung ia berkata. "Lihat, bukan masalah besar.""Ya, itu bukan masalah besar.""Masalah apa? Kita tidak melihat apa-apa. Tidak ada yang terjadi.""Tentu saja, haha. Bukankah kita masih punya pekerjaan di dapur? Kita belum mencuci peralatan makan."Dan begitu, empat orang dengan pemikiran liarnya memutuskan untuk menunda urusannya di kamar mandi dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.Empat orang pergi dengan tenang. Delapan orang mengeluh karena kehilangan lauk makan siang dan satu orang berbahagia karena keterjaminan makanan yang akan ia dapatkan besok.Ariel tidak tahu akan taruhan yang orang-orang lakukan, juga tidak tahu tentang pemikiran empat orang yang melayang semakin liar. Ia hanya tahu ketika kembali ke sel, empat orang lainnya di dalam sama sekali tidak mau menatapnya bahkan menghindar
Handoko baru saja keluar dari pintu lapas, berjalan menyusuri halaman gersang sebelum sampai ke mobilnya. Ia merebahkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat pertanyaan Ariel yang terngiang di pikirannya, kenapa melakukan semua ini?Ini kali kedua ia datang menjenguk anak itu dan mendapat pertanyaan yang sama, tapi tetap saja, ia tidak terbiasa.Memejamkan mata, mencari ke kedalaman pikirannya. Untuk apa semua hal yang ia lakukan? Murni kemanusiaan? Rasa tanggung jawab? Prinsip? Bukan semua itu!Membuka kembali kelopak matanya, Handoko tidak menemukan jawaban. Ia tidak tahu alasan mengapa ia segigih ini untuk orang asing yang baru beberapa kali ia temui. Ia tidak tahu, mungkin lebih tepatnya tidak punya. Ia tidak memiliki alasan apa pun.Handoko meraih sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan membiarkan asap mengepul keluar dari jendela mobil yang terbuka. Ia kemudian membuka laci mobil dan mengeluarkan selembar foto dari sana. Foto dirinya yang t
Suatu hari, Handoko mendapat kabar bahwa adiknya ditahan di kantor polisi karena kasus penyerangan. Adiknya dituduh melakukan penyerangan menusuk mata kiri teman kerjanya sampai cacat. Dan adiknya bersikeras menjelaskan bahwa kejadiannya tidak seperti apa yang dikatakan oleh temannya itu.Indriana mengatakan bahwa ia tidak dengan sengaja melakukannya. Teman-temannya, termasuk orang yang mengaku sebagai korban, telah menindasnya di tempat kerja. Ia hanya melakukan pembelaan diri. Dan bahwa orang itu tertusuk akibat ulah orang itu sendiri, bukan karenanya. Tetapi teman-teman yang lain memberikan kesaksian yang berbeda. Tidak ada yang percaya kata-katanya.Handoko dan ibunya percaya, adiknya tidak akan pernah melakukan hal buruk itu. Namun, kepercayaan itu sama sekali tidak berguna di mata hukum.Karena korbannya adalah anak dari seorang pejabat politik, adiknya dengan seksama diproses tanpa penyelidikan. Handoko dan ibunya yang hanya orang biasa tak berdaya. Merek
Langit hari ini cerah. Sepanjang mata memandang hanya ada biru. Ariel menyipitkan matanya merasakan silau matahari menyapa begitu ia menginjakkan kaki di halaman. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara yang hangat memenuhi paru-parunya kemudian menghembuskannya dengan ringan. Ah, ini aroma kebebasan.Di depan gerbang yang terbuka itu, seseorang berdiri di samping mobil, menikmati setiap sesapan tembakau dari bibirnya."Ck, polusi udara." Ariel heran, apa enaknya menghirup asap? Sudut bibirnya melengkung tipis, ia memang gagal memahami orang itu sejak awal. Mengapa masih heran lagi?Menyampirkan tasnya di pundak, Ariel mengambil langkah menghampiri orang itu.Handoko selesai dengan rokoknya, membuang batangnya ke bawah lalu menginjaknya. "Selamat atas kebebasanmu.""Um." Ariel menanggapi seadanya. "Terima kasih.""Aneh. Kau tidak senang keluar dari penjara?"Tidak hanya bisa keluar dari penjara, ia bahkan dibebaskan dari tunt