Berhubungan dengan apa yang tadi Mawar sampaikan. Semua anggota dokter dan perawat menyambut datangnya mahasiswa Koas. Bukannya senang di dalam aula rumah sakit besar itu semua tampak kebingungan.
"Kemana teman kalian? Bukankah seharusnya kalian berempat kemari?" tanya Dion sebagai kepala rumah sakit. Semua terlihat sedikit takut karena melihat raut wajah Dion yang dingin dan beringas.
"Saya tidak tahu, Pak." Salah seorang mahasiswi menyahut dengan melirik temannya.
"Balapan mungkin, Pak anaknya."
"Tidak niat memang anaknya," imbuh pemuda lainnya.
Tatapan nyalang yang Dion berikan memberikan atmosfer gelap ke seluruh aula. Yang membuat semua mata dan pandangan menunduk. Tetapi Hana berbeda, dia dengan berani mengangkat wajahnya. Dan tanpa sengaja tatapan antara Hana dan Dion bertemu. Yang sesaat membuat waktu seakan berjalan sangat lambat.
Entahlah, bukannya tidak takut. Hanya saja Hana merasa dirinya tidak bersalah hingga menundukkan pandangannya sendiri. Karena itu Dion menarik pandangannya dan mengalihkannya. Bertepatan dengan itu, pintu aula terbuka.
Menarik semua pandangan menuju ke arahnya. Seorang pemuda dengan rambut berantakan juga pakaian yang sangat tidak disiplin. Bahkan membawa jas dokternya dengan sembarang yang disampirkan di antara tasnya. Berdiri dengan santainya juga tanpa rasa bersalah memblokir pintu dengan tinggi badannya yang sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter.
Pemuda itu tidak peduli melihat tatapan Dion yang menusuk sampai jantung itu. Melewatinya begitu saja dan menghampiri teman-temannya yang sudah berjejer rapi sebelumnya.
"Kamu tidak punya aturan!" bentak Dion membuat Aji yang baru masuk menoleh. "Keluar dan berdiri di lapangan sekarang!"
"Kenapa aku harus melakukannya?" tantang Aji. Keduanya saling bertatapan dengan sengit bahkan jika satu hewan lewat di depan keduanya akan hangus terbakar.
Semua yang berada di ruang aula itu hanya bisa diam. Menyaksikan betapa beraninya anak koas atau calon dokter muda itu bersitegang dengan Dion yang jabatannya adalah sebagai kepala rumah sakit Husada.
"Kamu tahu sekarang jam berapa? Punya jam, kan?" tanya dion dingin dan ketus. Pemuda itu tidak gentar sedikit pun. bahkan jika dilihat wajahnya juga sama tegangnya seperti Dion saat ini.
"Apa ada hubuganya punya jam dan kedatangan saya?" salaknya ketus, "saya tahu kalau jam operasional di rumah sakit ini tepat jam delapan pagi."
"Dan sekarang pun masih kurang lima menit. Jadi saya pikir itu hanya aturan yang anda ciptakan sendiri," sambungnya.
Tidak hanya dion yang urat di wajahnya terpampang nyata karena emosi mendengar pemuda itu yang terus menyalak. Hana yang berdiri di baris terdepan justru terganggu dengan sesuatu di dalam hidungnya. Ada sesuatu yang ingin keluar rasanya.
"Kau! KELUAR dan ..."
HACIM
"Alhamdulillah," bisik Hana setelah bersin.
Hana mengangkat wajahnya dan melihat semua orang menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Hana pun tahu kesalahannya dan hanya menunduk malu.
"Menyebalkan."
Mendengar kalimat itu, Hana pun mendongak dan melihat ke arah pemuda yang tadi di marahi. tidak memiliki takut sama sekali pemuda itu berjalan dengan santainya kembali keluar.
Semua pasang mata melihat ke arahnya berjalan. semua yang sudah senior di rumah sakit ini memiliki firasat buruk saat melihat raut wajah Dion yang masih menegang tanpa sepatah kata.
"Malam ini tidak ada yang boleh pulang!"
Damn!
Helaan napas panjang terdengar bersamaan begitu perintah itu keluar dari mulut Dion. Semua menjadi lebih parah saat dion melangkah keluar dari ruangan. karena semua yang ada di sana serentak mengeluh.
"Gimana nih? Padahal nanti malam ada acara sama pacar."
"Iya, aku juga sudah janji sama anakku mau ke pasar malam.''
"Malam ini juga hari ulang tahunnya mamaku."
Sebenarnya masih banyak keluhan yang lain. Tidak hanya itu hana pun ikut bergumam dalam hatinya. Meski begitu Hana hanya bisa mengucapkan istighfar di dalam hatinya.
Tidak ada yang bisa melawan saat perintah sudah Dion turunkan. Semua bubar dan mulai menjalankan kembali aktivitas serta tugas mereka masing masing. Tidak terkecuali juga dnegan hana.
**
Sebelah tangan, Hana ketukkan di atas meja dengan satu tangan lagi dia angkat dan menggigit kecil kukunya. Hana gelisah karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore dan satu jam lagi adalah waktunya pulang.
Di depannya tergeletak ponsel yang hanya hana diamkan tanpa menyentuhnya. tetapi yang sebenarnya adalah wanita itu tengah berdiskusi dengan pikirannya. Dia teringat dengan ucapan Arya tadi pagi yang akan menjemputnya. Dia jelas ingat betul perintah dari Dion juga yang melarang semua dokter dan staff agar tidak pulang malam ini.
"Gimana, ya? Kasih tahu mas arya atau enggak, ya? Kalau dia marah gimana?" gumam Hana.
Drttt drttt
Mendengar getaran, Hana melihat ke arah ponselnya berada. Matanya melotot melihat nama suaminya terpampang di layar yang menyala tanpa nada dering di hadapannya. Dengan ragu Hana mengangkat ponselnya dan menggeser tombol hijau.
Benda itu beralih ke telinganya dan terdengar suara merdu Arya yang mengucapkan salam di seberang sana.
"Assalamualaikum, Han."
"Wa'allaikumsalam, Mas," jawab Hana halus.
"Mas ke rumah sakit sekarang, ya? Kamu tidak ada jadwal lagi, kan?"
Pertanyaan ini yang Hana tidak tahu harus bagaimana mengatakan jawabannya. Hana terdiam dengan gelisah menggigit kukunya. Dia ingin sekali bicara pada Arya kalau dia tidak bisa pulang tetapi rasa tidak enak menyeruak dan membungkam mulutnya.
"Kenapa, diam? Kamu dapat giliran jaga lagi?"
"Mas, maaf. Sebenarnya ...."
Hana menceritakan apa yang terjadi pada Arya karena suaminya sudah lebih dulu menebak jika dirinya tidak bisa pulang lebih awal. Meski tidak mendengar Arya marah tapi Hana jelas tahu kalau suaminya sangat kecewa padanya.
"Hana minta maaf, ya, mas."
"Sudahlah, ini bukan salah kamu. Kalau begitu, mas langsung pulang saja."
"Mas tutup dulu, ya. Mas pulang sekarang," pamit Arya.
"Iya, mas. Maaf sekali lagi, assalamualaikum."
"Wa'allaikumsalam."
Tut
Helaan napas Hana keluarkan begitu panggilan suara yang dia lakukan dengan suaminya berakhir. Tidak bersemangat, begitulah yang Hana alami saat ini.
"Han, ke kantin yuk!" ajak Mawar. Teman Hana yang satu itu seakan tahu kalau Hana saat ini butuh dukungan nutrisi untuk membuat tubuhnya kembali semangat.
"Berangkat," timpal Hana dengan beranjak dari tempatnya duduk.
Hana dan Mawar pun berjalan beriringan menuju ke arah kantin. Di perjalanan menuju ke tempat itu banyak teman lainnya juga yang bergabung. Berbincang bincang bersama sambil berjalan.
Byurr
Saat sedang asik berbincang dengan temannya, Hana dikejutkan dan sontak menghentikan langkahnya. Karena berjalan paling di ujung Hana bersenggolan dengan seseorang hingga orang itu menumpahkan minumannya. Semua teman Hana yang berjalan di sebelahnya melihat baju yang Hana kenakan sudah basah kuyup.
"Maaf," kata orang itu.
ByurrSaat sedang asik berbincang dengan temannya, Hana dikejutkan dan sontak menghentikan langkahnya. Karena berjalan paling di ujung Hana bersenggolan dengan seseorang hingga orang itu menumpahkan minumannya. Semua teman Hana yang berjalan di sebelahnya melihat baju yang Hana kenakan sudah basah kuyup."Maaf," kata orang itu."Kamu enggak punya mata, ya! Enggak lihat sekarang baju Dr. Hana sudah basah kuyup seperti ini!" Mawar melihat ke arah baju Hana dengan terus marah."Oh, kamu yang tadi, kan? Sudah bikin kita enggak bisa pulang sekarang bikin kacau. Kayaknya memang kamu enggak punya mata!""Mawar, sudah," lerai Hana. "Aku enggak apa-apa kok. Ini cuma air.""Tapi, Han. Ini anak baru ngeselin tahu, enggak!""Sudah aku enggak apa-apa," kata Hana tidak ingin membuat kekacauan lagi.Mawar pun tidak melanjutkan lagi amarah yang menyala dalam dirinya dan memendamnya saja karena perintah Hana. Namun, tatapan nyalangnya tetap mengintimidasi pemuda itu sampai mengulitinya. Sayangnya yang
Ceklek"Baru pulang, Han?"Hana yang baru saja menutup pintu dikejutkan dengan suara Aminah, ibu mertuanya. Hana tidak tahu jika Aminah datang dan Arya juga tidak memberitahunya jika Aminah akan datang. Sebagai menantu yang baik Hana mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan Aminah."Iya, ma. Tadi nunggu teman yang gantiin shift sedikit terlambat," jawab Hana. "Mama kapan datang?""Sedikit gimana sih, Han. Sudah jam satu pagi ini loh," timpal Aminah dengan nada yang tidak begitu senang."Enggak apa-apa, ma. Sudah biasa juga soalnya jadi dokter memang harus seperti ini. Pasiennya juga suka datang tiba-tiba.""Ya, jangan jadi kebiasaan. Kamu enggak kasian sama Arya tidur sendirian terus." Aminah melenggang pergi kembali ke dalam kamarnya. "Pantas sampai sekarang belum punya anak."Hana jelas tidak tuli, suara Aminah membuat denyut jantungnya seakan terhenti. Matanya panas dan berkaca-kaca siap menurunkan air. Tetapi menagis bukan pilihan yang tepat sekarang, Hana dengan kasar me
"kenapa wajahmu berubah begitu, Ar?" tanya Aminah.Arya menggelengkan kepalanya dengan pelan tersenyum. Menghancurkan kembali ponselnya lalu menatap ke arah depan dengan tangan yang memegang kemudi."Kamu jangan bohong sama mama, Ar! Hana sering giniin kamu?" tutut Aminah pada anak-anaknya. Sedangkan Arya hanya diam dan memendamnya."Jangan dipendam, Ar! Kamu itu laki-laki!" bentak Aminah."Kamu kepala rumah tangga, Ar. Kalau istri kamu terus terusan berada di luar dan tidak punya waktu untuk kamu, kapan kalian punya momongan?""Ingat, Ar! Perempuan itu harusnya di rumah dan melayani suaminya. Bukannya bekerja sampai lupa waktu dan mengabaikan kewajibannya.""Ma, sudahlah!"Aminah heran dengan anak-anaknya. Perasaan dulu Arya selalu menerima masukan darinya. Tapi sekarang dia memilih mengalah dan terlalu patuh pada istrinya.Arya ucapan akan ucapan Aminah kemarin padanya. Di dalam mobil yang dia kendarai, Arya menghela nafas berat. Ia memang mencintai Hana dan tidak keberatan jika ist
Dua minggu sudah Hana selalu jaga malam. Dan selama itu, Hana sudah membuat kantung hitam di bawah matanya. Tetapi hari ini Hana senang karena bisa pulang lebih awal. Semua karena Mawar yang menggantikannya karena kasian melihat Hana yang terlihat sangat memprihatinkan. Hana menghentikan mobilnya di teras rumah. Menarik tuas rem lalu mencabut kuncinya dan turun. Senyum mengembang Hana sematkan di bibirnya. Akhirnya setelah beberapa hari dia bisa bertemu dan menumpahkan rasa rindunya pada Arya. Hana membuka pintu dan mendapati rumah yang sepi. "Tumben sudah pulang," sindir Aminah pada Hana. Yang membuat Hana terkejut karena ia pikir tidak ada satu orang pun di rumah. Aminah muncul tiba-tiba dari arah kamarnya. Yang mungkin mendengar dia membuka pintu. "Iya, Ma. Hana digantiin teman buat malam ini." Hana celingukan mencari sesuatu tetapi tidak menemukannya. "Mas Arya belum pulang, Ma?" "Belum, cari wanita lain mungkin," ketus Aminah. "Ma!" Hana terkejut mendengar balasan Aminah. Ha
Ting, lampu di atas pintu ruang operasi meredup setelah menyala hampir enam jam lamanya. Dibarengi dengan pintu terbuka, dokter muda yang cantik keluar dari sana. Hana, dengan wajahnya yang terlihat serius meninggalkan tempat tersebut. Di belakangnya juga ikut keluar beberapa perawat yang mendorong bangsal.Di sisi lain lorong tersebut terlihat sepasang mata yang mengagumi cara berjalan Hana. Sejak melihatnya keluar dari ruangan operasi hingga menjauh. Pandangannya tidak berhenti menatapnya."Aji!"Mendengar namanya dipanggil, Aji sontak merotasikan matanya menatap dokter senior di hadapannya. Dilihatnya juga wajah temannya yang sama terkejutnya."Kamu bisa serius sedikit atau tidak," tegurnya."Kalau kamu cuma main-main sebaiknya cari tempat lain!"Aji diam mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Wajahnya yang dingin dan cuek terlihat sangat nyata bahwa dia tidak menyukai tempatnya berada."Ya," ketus Aji. Sambil merotasikan matanya malas.Suara Aji membuat semuanya tampak tidak
Ceklek, belum sempat Hana duduk pintu ruangan sudah terbuka lagi. Hana kira Aji kembali lagi dan akan mengucapkan terimakasih. Ternyata itu hanya pikirannya saja.Karena nyatanya yang masuk ke sana adalah mawar. Melihatnya membuat Hana menghela napas lega. Hana merasa bisa mengeluarkan unek-uneknya melihat sahabatnya itu."Han, itu anak koas yang kurang ajar ngapain keluar dari sini?" tanya Mawar."Kamu enggak diapa-apain 'kan?" tanya Mawar lagi."Enggak, War. Memangnya dia bisa apa?" Hana duduk di kursinya dengan helaan napas panjang yang terdengar sangat berat.Mawar yang sadar akan hal itu mendekat. Menarik kursi yang tersisa dan menatap Hana penuh tanda tanya."Terus mukamu kenapa ditekuk begitu?" selidik Mawar.Hana menunduk kemudian mengangkat wajahnya yang penuh dengan genangan di matanya. Mawar yang sadar akan suasana Hana segera merengkuhnya."Han, kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir, Han. Kamu kenapa sih?"Hanya isakan yang terdengar. Hana benar benar tidak bisa menyembun
Arya mengambil ponselnya dan melihat notifikasi pesan yang baru masuk di ponselnya. Nama yang baru disebutkan muncul di layar ponselnya.Matanya jeli membaca beberapa kata yang dikirimkan Susan padanya. Lalu, mengalihkan pandangannya sekilas ke arah istrinya yang terlelap. Helaan napas panjang yang sedikit disamarkan keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Arya menyibak selimut yang menutup tubuhnya. Dengan perlahan tangannya memunguti pakaiannya yang berserakan dan memakainya. Kemudian keluar dari kamar, Arya menutup pintunya pelan dan menghubungi kembali nomor Susan."Hallo, aku akan ke sana," kata Arya.Setelah mematikan panggilan itu Arya bergegas keluar dari rumah. Langkahnya cepat tetapi masih tidak menimbulkan kecurigaan. Hingga dia pergi dengan menggunakan mobilnya.Terdengar suaranya yang semakin menjauh, ranjang yang ditempati Hana berderit. Tangannya mencari keberadaan Arya dengan kedua mata yang sulit terbuka."Mas," panggil Hana.Tidak ada sahutan.Karena tidak kunjung m
"1 ... 2 ... 3, kejut!"Rumah sakit terlihat begitu ramai pagi ini. Semua dokter, perawat, dan semua yang dapat membantu ikut turun tangan.Karena tabrakan beruntun yang mengakibatkan banyak korban luka mengharuskan mereka bekerja ekstra. Dokter Hana yang baru saja tiba langsung turun tangan melakukan penanganan pertama.Di atas ranjang pasien yang tiba-tiba henti jantung. Hana dengan berani duduk di atasnya dan melakukan pertolongan untuk mengembalikan denyut jantung pasien.Hal yang lumrah bagi seorang dokter untuk pemandangan seperti itu. Tetapi yang menarik adalah Hana Yori berhasil membuatnya merasa lega."Kalian urus sisanya. Saya mau ke ruang operasi. Tangani yang paling gawat lebih dulu, ingat!""Baik dokter," jawab rekannya.Sebelum benar benar pergi ke ruang operasi, Hana memerhatikan semua pasien sudah ditangani. Hana bernapas lega dan bisa pergi meneruskan pekerjaannya.Sementara itu Aji yang baru tiba di rumah sakit pun heran begitu melihat ruang ICU penuh. Aji terlihat b