"kenapa wajahmu berubah begitu, Ar?" tanya Aminah.
Arya menggelengkan kepalanya dengan pelan tersenyum. Menghancurkan kembali ponselnya lalu menatap ke arah depan dengan tangan yang memegang kemudi.
"Kamu jangan bohong sama mama, Ar! Hana sering giniin kamu?" tutut Aminah pada anak-anaknya. Sedangkan Arya hanya diam dan memendamnya.
"Jangan dipendam, Ar! Kamu itu laki-laki!" bentak Aminah.
"Kamu kepala rumah tangga, Ar. Kalau istri kamu terus terusan berada di luar dan tidak punya waktu untuk kamu, kapan kalian punya momongan?"
"Ingat, Ar! Perempuan itu harusnya di rumah dan melayani suaminya. Bukannya bekerja sampai lupa waktu dan mengabaikan kewajibannya."
"Ma, sudahlah!"
Aminah heran dengan anak-anaknya. Perasaan dulu Arya selalu menerima masukan darinya. Tapi sekarang dia memilih mengalah dan terlalu patuh pada istrinya.
Arya ucapan akan ucapan Aminah kemarin padanya. Di dalam mobil yang dia kendarai, Arya menghela nafas berat. Ia memang mencintai Hana dan tidak keberatan jika istrinya itu harus bekerja. Namun, mendengar ucapan Aminah tiba-tiba saja membuat dirinya merasa apa yang dilakukan Hana tidaklah benar.
Omongan Aminah berputar di dalam benaknya. Hingga tanpa sadar ia sudah berkata kasar pada Hana. Di tambah lagi keinginan mereka untuk memiliki momongan belum mendapatkan hasil. Itu membuat Arya semakin terperangkap dalam persekutuan Aminah.
Sesampainya di tempatnya mengajar, Arya menenteng buku dan berjalan ke ruangannya. Tepat di depan pintu menuju ke ruangannya, Arya berhenti. Matanya menangkap sosok gadis dengan rambut lurus tergerai sedang berdiri dekat pintu. Gadis itu sadar dengan kehadiran Arya yang membuat keduanya saling membocorkan.
"Pak Arya," panggil Susan. Arya mendekat dan melihat raut wajah Susan yang gelisah. Tidak puas, Arya membuka pintu.
"Masuklah!" kata Arya mempersilahkan Susan masuk.
Susan menurut, berjalan pelan masuk ke dalam ruangan Arya. Begitu Susan berada di dalam, Arya menutup pintu lalu menguncinya dari dalam. Susan menoleh dan mendapati Arya yang sudah dekat dengannya.
"Ada apa menungguku?" Tanya Arya dengan memegang pundak Susan. Tidak hanya itu tangan kanannya juga menyibak rambut anak gadis itu dan menyelipkannya ke sela telinga.
Susan menatap mata Arya dalam sedikit rasa takut lalu menghela nafas. Dia merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sebelum memberikannya pada Arya benda itu dia kepal kuat kuat.
"Susan hamil, Pak." Susan menyodorkan tes kehamilan ke hadapan Arya.
Wajah Arya yang semula menatap Susan pun ia alihkan dan menunduk. Menatap benda kecil bergaris merah dua yang diulurkan Susan. Tangannya tergerak mengambil benda itu.
“Kalau Pak Arya tidak bisa bertanggung jawab, Susan akan gugurkan sebelum kandungan Susan besar,” imbuhnya.
"Siapa saja yang tahu masalah ini?" tanyanya dengan tetap fokus melihat benda bergaris itu.
"Tidak ada, hanya kita saja," jawab Susan.
Arya menyimpan benda itu lalu mengalihkan pandangannya menatap Susan. Wajah Susan sudah terlihat berkabut juga takut. Arya menariknya lalu memeluknya dan juga menenangkannya.
"Terima kasih, Susan. Aku tidak menyangka akan mendapatkan hadiah ini darimu." Susan menangis di pelukan Arya mendengar ucapannya.
"Jangan sesekali memikirkan menggugurkannya. Aku akan bertanggung jawab dan membahagiakan kalian."
"Tapi... bagaimana dengan istri Pak Arya?" tanya Susan pelan.
Arya melepaskan pelukannya dan sedikit terdiam. Menatap wajah Susan dan melihat kekhawatiran di sana. Arya mengambil kedua tangan Susan dan membawanya ke depan dadanya.
"Aku akan bicara padanya, kamu tidak perlu khawatir, ya. Sekarang yang terpenting kamu harus menjaga kesehatan bayi kita," ucap Arya sambil mengusap usap telapak tangan Susan dengan lembut.
Susan mengangguk dan kembali menelusupkan tangannya memeluk tubuh Arya. Ada rasa bahagia yang Arya rasakan. Setelah penantian lima tahun dalam pernikahannya akhirnya dia dapat membuktikan jika dirinya bisa memiliki keturunan. Meski bukan dengan Hana tapi Arya bahagia.
Hubungan gelap yang dia jalani dengan Susan selama beberapa bulan ini membuahkan hasil. Susan yang menjadi anak didiknya dapat mewujudkan harapannya. Saat ini Arya tersenyum senang juga haru bertolak belakang dengan apa yang Hana rasakan di rumah sakit saat ini.
Hana menangis di pelukan Mawar. Menumpahkan rasa sedihnya yang teramat sangat karena mengingat perlakuan dari Arya.
"Sudahlah, Han. Kamu enggak salah kok. Pekerjaan ini kamu dapatkan dengan susah payah jangan hanya karena ucapan Arya kamu jadi berpikir untuk melepaskan impian yang sudah kamu bangun sejak lama," tutur Mawar.
"Tapi mas Arya menyalahkan aku, War. Aku tidak menyangka jika mas Arya akan berkata sekasar itu padaku," keluh Hana.
"Arya mungkin sedang kesal saja, Han. Sudah, ya. Jangan menangis lagi kalau kamu menangis terus bagaimana nasib pasienmu?" kata mawar.
Mendengar itu Hana menarik tubuhnya dari Mawar. Benar, dia adalah dokter dan tugasnya di rumah sakit ini untuk merawat pasien. Menagis seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah.
"Kamu benar, War. Aku harus mengunjungi pasienku dan memberi mereka obat," ucap Hana mengusap air matanya lalu bangkit dari duduknya. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya War."
Ceklek
Saat Hana hendak keluar dari ruangan istirahat itu dia berpapasan dengan Aji. Hana mengalihkan pandangannya saat matanya bersitatap dengan Aji dan melewatinya. Aji sendiri masuk ke dalam ruangan itu yang di sana masih ada Mawar.
“Sepertinya ada yang tidak beres dengan Arya,” gumam Mawar. Mawar melirik Aji yang mungkin saja mendengar ucapannya.
"Lihat apa kamu?" tanya Mawar dengan sinis.
"Tidak ada," jawabnya.
"Lalu, buat apa kamu kemari? Ini bukan tempatmu!"
"Sudah tahu," balas Aji lebih dingin, "cuma mau ambil jas dokter firman."
Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Aji keluar lagi dari sana. Menyisakan Mawar yang diamati dengan geram. Sementara di luar, Aji berjalan dengan pikirannya yang beberapa saat lalu melihat wajah Hana yang sembab. Ditambah lagi dia juga dengan apa yang dikatakan Mawar.
"Lama banget sih, Ji. Kamu ngambilnya ke planet mana?"
"Berisik, nih!" Aji menyerahkan jas yang tadi dia ambil ke fajar. "Lain kali kalau bisa jangan nyuruh orang lain."
"Sensi amat. Tadi ketemu senior galak ya, di sana?"
Aji tidak menanggapi dan terus berjalan dengan fajar di dekatnya. Rasa penasaran muncul di hatinya. Aji tanpa sadar menghentikan langkahnya membuat fajar menabraknya dari belakang.
"Ngapain berhenti sih, Ji!" Fajar mengusap kepalanya yang membentur tubuh Aji.
"Kamu tahu dokter Hana?" tanya Aji yang sudah keluar dari topik.
"Dokter Hana? Tahulah. Kenapa?" timpal fajar.
"Arya itu siapanya?" tanya Aji penasaran juga takut.
"Arya? Enggak pernah dengar. Suaminya mungkin," terka fajar dengan menggedikkan bahunya.
Aji terdiam di tempatnya, sementara fajar sudah berjalan kembali. Aji tahu dia hanya penasaran tapi mendengar jawaban fajar membuat sesuatu dalam dirinya tidak terkendali. Rasanya sesak saat tahu jika dokter Hana sudah menikah.
"Ngapain bengong, Ji. Ayo! Ditunggu dokter firman kita nanti kalau telat lembek dikurangi loh."
Dua minggu sudah Hana selalu jaga malam. Dan selama itu, Hana sudah membuat kantung hitam di bawah matanya. Tetapi hari ini Hana senang karena bisa pulang lebih awal. Semua karena Mawar yang menggantikannya karena kasian melihat Hana yang terlihat sangat memprihatinkan. Hana menghentikan mobilnya di teras rumah. Menarik tuas rem lalu mencabut kuncinya dan turun. Senyum mengembang Hana sematkan di bibirnya. Akhirnya setelah beberapa hari dia bisa bertemu dan menumpahkan rasa rindunya pada Arya. Hana membuka pintu dan mendapati rumah yang sepi. "Tumben sudah pulang," sindir Aminah pada Hana. Yang membuat Hana terkejut karena ia pikir tidak ada satu orang pun di rumah. Aminah muncul tiba-tiba dari arah kamarnya. Yang mungkin mendengar dia membuka pintu. "Iya, Ma. Hana digantiin teman buat malam ini." Hana celingukan mencari sesuatu tetapi tidak menemukannya. "Mas Arya belum pulang, Ma?" "Belum, cari wanita lain mungkin," ketus Aminah. "Ma!" Hana terkejut mendengar balasan Aminah. Ha
Ting, lampu di atas pintu ruang operasi meredup setelah menyala hampir enam jam lamanya. Dibarengi dengan pintu terbuka, dokter muda yang cantik keluar dari sana. Hana, dengan wajahnya yang terlihat serius meninggalkan tempat tersebut. Di belakangnya juga ikut keluar beberapa perawat yang mendorong bangsal.Di sisi lain lorong tersebut terlihat sepasang mata yang mengagumi cara berjalan Hana. Sejak melihatnya keluar dari ruangan operasi hingga menjauh. Pandangannya tidak berhenti menatapnya."Aji!"Mendengar namanya dipanggil, Aji sontak merotasikan matanya menatap dokter senior di hadapannya. Dilihatnya juga wajah temannya yang sama terkejutnya."Kamu bisa serius sedikit atau tidak," tegurnya."Kalau kamu cuma main-main sebaiknya cari tempat lain!"Aji diam mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Wajahnya yang dingin dan cuek terlihat sangat nyata bahwa dia tidak menyukai tempatnya berada."Ya," ketus Aji. Sambil merotasikan matanya malas.Suara Aji membuat semuanya tampak tidak
Ceklek, belum sempat Hana duduk pintu ruangan sudah terbuka lagi. Hana kira Aji kembali lagi dan akan mengucapkan terimakasih. Ternyata itu hanya pikirannya saja.Karena nyatanya yang masuk ke sana adalah mawar. Melihatnya membuat Hana menghela napas lega. Hana merasa bisa mengeluarkan unek-uneknya melihat sahabatnya itu."Han, itu anak koas yang kurang ajar ngapain keluar dari sini?" tanya Mawar."Kamu enggak diapa-apain 'kan?" tanya Mawar lagi."Enggak, War. Memangnya dia bisa apa?" Hana duduk di kursinya dengan helaan napas panjang yang terdengar sangat berat.Mawar yang sadar akan hal itu mendekat. Menarik kursi yang tersisa dan menatap Hana penuh tanda tanya."Terus mukamu kenapa ditekuk begitu?" selidik Mawar.Hana menunduk kemudian mengangkat wajahnya yang penuh dengan genangan di matanya. Mawar yang sadar akan suasana Hana segera merengkuhnya."Han, kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir, Han. Kamu kenapa sih?"Hanya isakan yang terdengar. Hana benar benar tidak bisa menyembun
Arya mengambil ponselnya dan melihat notifikasi pesan yang baru masuk di ponselnya. Nama yang baru disebutkan muncul di layar ponselnya.Matanya jeli membaca beberapa kata yang dikirimkan Susan padanya. Lalu, mengalihkan pandangannya sekilas ke arah istrinya yang terlelap. Helaan napas panjang yang sedikit disamarkan keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Arya menyibak selimut yang menutup tubuhnya. Dengan perlahan tangannya memunguti pakaiannya yang berserakan dan memakainya. Kemudian keluar dari kamar, Arya menutup pintunya pelan dan menghubungi kembali nomor Susan."Hallo, aku akan ke sana," kata Arya.Setelah mematikan panggilan itu Arya bergegas keluar dari rumah. Langkahnya cepat tetapi masih tidak menimbulkan kecurigaan. Hingga dia pergi dengan menggunakan mobilnya.Terdengar suaranya yang semakin menjauh, ranjang yang ditempati Hana berderit. Tangannya mencari keberadaan Arya dengan kedua mata yang sulit terbuka."Mas," panggil Hana.Tidak ada sahutan.Karena tidak kunjung m
"1 ... 2 ... 3, kejut!"Rumah sakit terlihat begitu ramai pagi ini. Semua dokter, perawat, dan semua yang dapat membantu ikut turun tangan.Karena tabrakan beruntun yang mengakibatkan banyak korban luka mengharuskan mereka bekerja ekstra. Dokter Hana yang baru saja tiba langsung turun tangan melakukan penanganan pertama.Di atas ranjang pasien yang tiba-tiba henti jantung. Hana dengan berani duduk di atasnya dan melakukan pertolongan untuk mengembalikan denyut jantung pasien.Hal yang lumrah bagi seorang dokter untuk pemandangan seperti itu. Tetapi yang menarik adalah Hana Yori berhasil membuatnya merasa lega."Kalian urus sisanya. Saya mau ke ruang operasi. Tangani yang paling gawat lebih dulu, ingat!""Baik dokter," jawab rekannya.Sebelum benar benar pergi ke ruang operasi, Hana memerhatikan semua pasien sudah ditangani. Hana bernapas lega dan bisa pergi meneruskan pekerjaannya.Sementara itu Aji yang baru tiba di rumah sakit pun heran begitu melihat ruang ICU penuh. Aji terlihat b
Setelah seharian berkutat dengan banyak macam cara membuat pasien sembuh. Kini Hana memiliki peluang untuk pulang dan istirahat di rumah.Seperti kesepakatannya kemarin, selama satu minggu ini Mawar akan mengganti gilirannya jaga. Jadi satu minggu ini dia bisa memanjakan Arya agar suaminya itu tidak marah. Karena setelah ini Hana masih memiliki jadwal jaga yang panjang.Mengingat dirinya mulai diakui sebagai dokter bedah terbaik di tempatnya bekerja. Hal tersebut harus memaksanya mengabdi lebih baik lagi."War, terimakasih ya," ucap Hana. Keduanya berjalan beriringan di lorong rumah sakit."Untuk apa? Bukankah kita sahabat jadi tidak perlu sungkan untuk meminta bantuanku," balasnya sambil tersenyum lebar."Bukan, bukan itu. Aku ingin berterimakasih untuk coklat dengan gambar penyemangatnya," ujar Hana.Coklat? Mawar terdiam karena tidak mengerti maksud Hana. Dia menatap wajah sahabatnya yang masih tidak mengerti akan maksudnya.Hana yang merasakan tatapan Mawar pun ikut bingung. Dan s
Cekrek, bunyi pengambilan gambar berhasil. Hana melihat betapa kotor pikirannya hingga dengan berani mengambil gambarnya sendiri. Bukan gambar biasa, Hana memotret dirinya yang memakai baju dinas transparan yang terpantul di cermin. Digigitnya bibir bawahnya sebab ragu. Hana menimang ingin mengirimkan foto itu atau tidak. "Kirim tidak, ya?" tanyanya dalam hati. Hana melihat room chatnya dengan Arya. Entah kapan terakhir kali suaminya itu mengirimkan pesan. Rasanya hubungan mereka sangat renggang akhir akhir ini. Dirinya yang disibukkan pekerjaan ditambah dengan cuek dan marahnya Arya. Membuat Hana sangat merindukan sosok suami yang sudah menemaninya selama ini. "Kirim saja," pungkasnya, "biar mas Arya semangat pulang." Hana terkekeh sendiri saat mengirimkan pesan itu. Melihat centang dua di bawah foto yang dikirimkan membuat Hana tidak sabar. Diletakkannya ponselnya, Hana beralih mengambil sisir dan parfum kemudian kembali mempersiapkan diri. Senyumnya tidak luntur sedikit pun b
Lima tahun, selama itu hubungan pernikahannya dengan Arya. Hana jelas ingat bagaimana suaminya itu meminangnya dulu.Di hadapan kedua orang tuanya, Arya tidak gentar sedikit pun untuk membawanya pergi berumah tangga. Selama itu juga Arya selalu bersikap baik bahkan tidak pernah sedikit pun membentaknya.Namun, beberapa hari belakangan sikapnya berubah. Dari yang awalnya selalu perhatian dan pengertian padanya. Sekarang Arya bahkan tidak memberikan kabar sedikit pun padanya.Rumah tangga macam apa ini? Apa marah harus dilampiaskan dengan cara seperti ini? Apa masalah akan berakhir dengan cara menghindar seperti ini?"Ke mana kamu, Mas?" gumam Hana.Tidak hanya berdiam diri saja. Hana sudah melakukan apa yang dia bisa. Mencoba mencari keberadaan Arya dengan menghubungi beberapa teman Arya yang dia tahu. Tetapi apa? Tidak satu dari mereka tahu keberadaan suaminya tersebut.Jika Hana tidak memiliki jadwal operasi siang ini. Sudah pasti Hana akan pergi untuk mencari keberadaan suaminya. Is
Lagi, entah keberapa kalinya hidup Arya harus dibelenggu. Pupusnya biduk rumah tangganya dengan Hana telah menjadi satu kegagalannya. Dan sekarang masalah lain di rumah tangganya dengan Susan kembali dalam masalah.Arya tidak ingin perceraian kembali melanda rumah tangganya. Tetapi kata-kata Susan begitu keterlaluan di telinga. bagaimana bisa dirinya yang rela mengakhiri rumah tangganya sebelumnya sekarang harus menerima kenyataan sebagai alat baginya."Ayo," ajak Aminah pergi meninggalkan Susan, "biarkan wanita jalang ini di sini sendiri.""Ya, pergi sana! Aku tidak peduli!"Aminah semakin murka dan menarik tangan anaknya dengan lebih keras. Hingga Arya dengan tatapan kecewanya meninggalkan ruangan Susan. Kesadarannya sementara berada di awang-awang karena belum siap menerima kenyataan."Wanita sialan, berani sekali memperdayai putraku," gerutu Aminah sambil berjalan pergi.Arya menghentikan langkahnya yang membuat Aminah bingung dengannya. Melihat gelagat Arya, Aminah pun hendak men
Pertengkaran tidak terelakkan lagi. Arya bingung harus memilih siapa untuk dibelanya. Di satu sisi ia adalah seorang putra dan di sisi lain dia menjadi seorang suami."Berhenti!" bentak Arya."Kalian bisa diam tidak. Susan kamu masih dalam masa pemulihan jangan seperti ini. Dan Mama jangan seperti ini pada Susan, nanti pasti akan ada waktunya kita kembali normal lagi.""Dengan gaya hidupnya yang mewah apa yang bisa kita pertahankan, Arya?" tanya Aminah setengah menyinggung."Oh, jadi gitu?" tantang Susan, "Mama pikir aku mau menikah cuma buat hidup susah gitu?"Sebagai seorang mama mertua yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik, harga diri Aminah sedang dipertaruhkan sekarang. Ia sadar dengan ucapan Susan yang bermaksud pada pernikahannya semata-mata karena harta.Jika Aminah memasang mode waspada, Susan justru terlihat begitu menantang. Entah apa yang diinginkannya sekarang. Mengapa dia begitu terus terang menunjukkan dirinya yang seperti itu. Bukannya itu justru akan membuat
Di kantin rumah sakit, di saat jam makan siang memang selalu ramai. Tidak hanya para dokter dan staf tetapi pasien juga. Tetapi pusat perhatian kali ini adalah Hana.Dokter wanita yang tengah mengandung itu terlihat sedang asik menyantap makanannya. Tidak sendiri Hana bersama dengan dokter Mawar yang juga ikut serta. Keduanya tampak sangat asik bercerita pasal kehamilan."Han," panggil Aji yang tiba-tiba muncul entah dari mana."Heh!" bentak dokter Mawar, "kalau manggil jangan sembarangan, ya!""Ikut campur aja sih, terserahlah aku mau manggil apa," bantah Aji."Yang mesra gitu panggil istrinya. Sayang, my love, honey, sweety gitu. Ini main panggil Han Han aja," tutur dokter Mawar."Kalau itu juga tahu, dokter. Enggak usah protes melulu deh," bantah Aji lagi.Akhirnya Mawar sendiri yang menyerah. Sedangkan Aji sudah duduk lebih dulu di hadapan istrinya yang menertawakan pertengkaran suami dan sahabatnya. "Makannya belepotan banget sih." Aji mengulurkan tangannya mengusap bibir Hana d
Di rumah sakit itu siapa yang tidak mengenal Hana? Hampir semua kenal dengannya termasuk pasiennya yang selalu menjadi prioritasnya. Sebab itulah di dalam toilet sekarang ini ada yang tengah membicarakannya.Suaranya sedikit terdengar sampai Aminah yang lewat pun mendengar. Menghentikan langkahnya begitu nama Hana disebut. Memperhatikan dengan baik bagaimana seseorang membicarakan mantan menantunya itu di dalam sana."Iya, dokter Hana itu sekarang sedang hamil. Sudah dua bulan dan dia masih bekerja dengan baik.""Benar, aku jadi iri dengannya. Selain mual parfum sepertinya dokter Hana tidak terganggu dengan yang lain.""Lucu sekali kalau mengigit itu, suaminya sampai minta diganti partner karena tidak mau didekati karena bau parfum perempuan."Terdengar kekehan setelah itu. Sekaligus menjadi saat untuk Aminah pergi dari sana. Sambil berjalan menyusuri lorong, orang tua itu terus berpikir. Tentunya tentang apa yang didengarnya tadi."Bagaimana Hana bisa hamil?" tanya Aminah pada diriny
Begitu notifikasi masuk ke ponsel Hana dan dia membacanya. Wanita yang baru mengandung itu sontak melebarkan kedua matanya. Melihat nominal yang dikirimkan Aji membuatnya syok."Ji, kenapa dikirim ke aku semua?" tanya Hana bingung."Kok tanyanya begitu?" Aji merengkuh tubuh istrinya dan melihat ponsel Hana yang diarahkan padanya."Ya, kamu kenapa dikirim semuanya ke aku?" ulang Hana penuh penekanan."Di sini yang jadi istri aku 'kan kamu, sayang. Kalau enggak ke kamu terus ke siapa?""Tapi, Ji ... kenapa harus semuanya? Emangnya kamu enggak pegang?" tanya Hana masih protes.Sekarang Aji yang bingung. Kenapa istrinya malah bertanya perihal nominal yang diberikan padanya. Dan masalahnya apa sampai membuatnya terus bertanya.Aji memegang kedua pundak Hana dan membuat mereka berhadapan. Dia menatap istrinya dalam dan teduh tentunya. Membuat Hana merasakan cinta yang Aji berikan seutuhnya padanya."Han, aku itu suami kamu. Jadi mulai sekarang yang akan memegang keuanganku ya kamu. Kamu eng
"lagi?" Arya seolah tidak percaya mendengar perkataan Aminah.Aminah sendiri sampai tidak bisa menahan keterkejutannya. Wajah Arya pun membuat Aminah seperti kebingungan."Iya, memangnya kenapa kamu sampai terkejut seperti itu?""Ma, bukannya kemarin sudah Arya berikan, ya?" tanya Arya."Yang kemarin sudah habis, Nak. Kamu tahu sendiri 'kan istrimu bahkan tidak mau makan makanan yang murah," jelas Aminah.Benar, Arya tahu satu hal itu. Dia juga tidak menyangka jika setelah menikah Susan telah banyak berubah. Gaya hidupnya yang terlihat sekarang begitu wah.Mulai dari makanan saja harus sekelas makanan di hotel. Gaya berpakaiannya juga tidak main-main, sebelum kandungannya sebesar sekarang ini dia sering menghamburkan uang untuk pergi belanja keperluan yang tidak perlu.Kalau Arya tidak melarangnya pasti Susan masih melakukannya sampai sekarang. Berhubung sekarang Arya memiliki tabungan yang sedikit menipis, ia melarang Susan untuk berfoya-foya."Kalau kamu tidak bisa mengirimkan uang,
Setelah mengetahui kebenaran bahwa dirinya hamil, Hana terlihat sangat berhati-hati sekali. Makanan yang dimakannya pun harus dipastikan kandungan gizi di dalamnya. Tidak seperti dulu yang asal makan penting kenyang.Sekarang Hana jadi lebih sering memasak makanannya sendiri dan hidup sehat. Dia dibantu Aji tentunya karena keduanya benar benar antusias menjaga bayi mereka yang belum lahir. Dan sejauh ini Hana tidak begitu tersiksa. Dia hanya akan merasa mual jika Aji dekat dengan Nasya dan parfumnya menempel.Selebihnya tidak begitu, Hana masih bisa mengontrol dirinya sendiri. Bahkan keadaannya tidak membuatnya kesulitan dalam menjalani pekerjaannya. Karena banyak yang perhatian padanya dan selalu mendukungnya juga.Jadwalnya pun sedikit dikurangi karena sebagai seorang yang tengah mengandung tentunya tidak boleh kelelahan. Ia bahkan hanya diperbolehkan menangani operasi kecil saja. Untuk operasi besar dilempar pada rekannya yang lain."Bosen banget rasanya," gumam Hana. Dengan helaan
"ehemm," dehem Dion yang ada di belakang.Aji dan Hana sontak melepaskan pelukan mereka. Dan keduanya baru menyadari adanya Dion di sana. Hana sedikit malu karena hal tersebut tetapi sepertinya tidak dengan Aji.Bocah, suami Hana itu mendekat dengan merentangkan kedua tangannya ke arah Dion. Memeluk kakaknya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hanya ada haru dan bahagia yang bercampur jadi satu."Kak, aku bakal jadi ayah, Kak," ucap Aji terlewat senang."Kakak bakal jadi paman," katanya antusias."Jangan lupa, Kak. Kamu pernah janji bakal jadiin anakku anak kesayangan kamu juga," imbuhnya lagi."Selamat, Ji. Semoga aja dia enggak kayak kamu yang bandelnya minta ampun. Aku bakalan jadi Om yang sayang banget sama dia. Kamu enggak usah khawatir meskipun aku benci dengan sikap kamu tapi aku pastikan tidak dengan anakmu. Dia bakal dapet ap
Bagaimana perasaanmu jika harus menunggu? Pasti rasanya gelisah, gugup, dan penuh harap. Ya, semua itu yang sedang dokter Mawar rasakan setelah Hana masuk ke dalam kamar mandi.Di dalam ruangan yang udara dingin tersedia pun seolah tidak berguna. Semua rasa penasarannya membuat seluruh tubuhnya merespon lain."Seharusnya Hana sudah keluar 'kan?" batin dokter Mawar bertanya."Aku susul aja kali ya?" Dokter Mawar sepertinya yakin untuk keluar dan menyusul Hana ke toilet.Baru saja melangkah beberapa langkah dan pintu sudah terbuka. Hana masuk ke dalam dan tanpa aba-aba berhambur memeluknya. Menenggelamkan wajahnya di pelukan dokter Mawar kemudian menangis sejadi jadinya.Dokter Mawar yang seolah tahu bagaimana rasa sedihnya pun mengelus surai Hana dengan penuh sayang. Memberinya penguatan agar temannya tidak begitu larut dalam sedih. Sepertinya dia ikut hancur melihat Hana yang seperti ini.Menyesal, harusnya itu juga yang dokter Mawar rasakan. Dia yang melihat Hana hancur merasa iba ka