Ting, lampu di atas pintu ruang operasi meredup setelah menyala hampir enam jam lamanya. Dibarengi dengan pintu terbuka, dokter muda yang cantik keluar dari sana.
Hana, dengan wajahnya yang terlihat serius meninggalkan tempat tersebut. Di belakangnya juga ikut keluar beberapa perawat yang mendorong bangsal.
Di sisi lain lorong tersebut terlihat sepasang mata yang mengagumi cara berjalan Hana. Sejak melihatnya keluar dari ruangan operasi hingga menjauh. Pandangannya tidak berhenti menatapnya.
"Aji!"
Mendengar namanya dipanggil, Aji sontak merotasikan matanya menatap dokter senior di hadapannya. Dilihatnya juga wajah temannya yang sama terkejutnya.
"Kamu bisa serius sedikit atau tidak," tegurnya.
"Kalau kamu cuma main-main sebaiknya cari tempat lain!"
Aji diam mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Wajahnya yang dingin dan cuek terlihat sangat nyata bahwa dia tidak menyukai tempatnya berada.
"Ya," ketus Aji. Sambil merotasikan matanya malas.
Suara Aji membuat semuanya tampak tidak percaya. Fajar yang sejak tadi berada di dekatnya pun ikut geleng-geleng karir sikapnya. Di mata mereka Aji adalah sosok yang sombong bahkan berani kepada para seniornya.
Masih di sana, perhatian Aji kembali ditarik oleh sosok yang sama. Saat teman temannya sibuk mendengarkan materi dari dokter Firman. Aji justru sibuk memperhatikan Hana yang pergi entah ke mana.
Rasa penasaran muncul di benaknya. Apalagi saat melihat Hana dengan wajahnya yang serius bercampur khawatir. Aji melirik jam yang melingkar di tangannya dan kembali fokus pada apa yang diterangkan oleh dokter Firman.
"Izin ke toilet," kata Aji.
"Astaga, Aji." Dokter Firman geram dan mengepalkan jari-jarinya dengan mulut yang ingin bersumpah serapah. "Pergilah! Memang sejak tadi memang berniat kabur 'kan?"
Aji merotasikan matanya malas. Menutup buku kecil di tangannya kemudian berbalik dan meninggalkan mereka. Gelengan kembali diberikan mereka melihat sikap Aji yang begitu tidak sopan.
Punggung lebar Aji semakin menjauh. Izinnya memang pergi ke toilet tetapi langkahnya tidak menunjukkannya akan ke sana. Aji justru pergi ke arah kantin rumah sakit.
Sementara itu di halaman rumah sakit yang sejuk. Hana bersandar pada sebuah bangku yang tersedia di sana. Operasinya berjalan lancar tetapi pikirannya sibuk mencari kabar akan Arya.
Sejak semalam hingga saat ini Hana belum bisa menghubunginya. Tengah hari sudah lewat dan pikirannya masih berada pada fokus yang sama. Berkali-kali pula Hana mencoba menghubunginya tetapi masih tidak terhubung.
"Mas, kamu ke mana sih?" tanyanya dengan bergumam. Mengetuk ngetuk ponselnya di atas lutut karena khawatir.
Hana terlalu larut dalam suasana hatinya tanpa tahu di belakangnya ada sosok Aji yang menunggunya beranjak. Pemuda itu bodoh atau bagaimana? Bukannya mengikuti bimbingan dari dokter senior malah berbohong dan bolos hanya untuk mengikuti Hana.
"Apa operasinya gagal? Wajahnya mengerikan sekali," gumam Aji.
Aji menoleh ke sekelilingnya dan tidak melihat dokter seniornya. Tangannya merogoh sesuatu di sakunya. Dilihatnya barang tersebut dengan sesekali melirik Hana yang tidak bergeming di tempatnya.
"Aji!" teriak Fajar.
Begitu namanya dipanggil, Aji memasukkan kembali barang itu. Menoleh ke arah Fajar yang setengah berlari ke arahnya. Dan berhenti di hadapannya dengan napas terengah-engah.
"Ngapain ngelamun di sini? Mau temenan sama setan kamu?" Fajar berusaha menetralkan napasnya.
"Ngapain teriak teriak manggil?" ketus Aji.
"Ck," decak Fajar, "dokter Firman nyuruh nyariin. Kamu lama katanya."
"Nyusahin banget sih. Memangnya mau ngapain harus ada aku?" Aji dengan kesal melangkah meninggalkan Fajar.
"Lah kok ditinggal." Fajar mengejar Aji dan berteriak, "tungguin!"
Memangnya apa tugas anak koas kalau tidak menjadi budak para dokter senior? Ya, mereka harus belajar dari setiap perintah yang diberikan oleh senior mereka. mulai dari materi, praktik, sampai menjadi pesuruh.
Berjalan ke sana kemari membuat kaki Aji rasanya kencang. Decakan terus keluar dari mulutnya. Entah seniornya sengaja atau bagaimana hingga menyuruhnya ke sana kemari seperti setrikaan.
Hingga sekarang dia berada di ruangan para dokter istirahat. Ulah siapa lagi kalau bukan dokter Firman. Aji mencari benda yang diperintahkan oleh dokter Firman di tempat istirahatnya.
"Awas saja lain kali akan kubalas dia," gerutu Aji.
"Ck, di mana dia menaruhnya?" tanyanya sambil membongkar tumpukan kertas di atas ranjang.
Ceklek, Aji mengentikan pergerakannya mendengar pintu terbuka. Langkah berat yang sedikit di seret membuatnya menoleh perlahan. Hingga dengan cepat Aji memposisikan dirinya tegap.
"Heh! Ngapain kamu?" tanya Hana. Dia celingukan seluruh ruangan memastikan tidak salah masuk.
"Benar ini ruangan biasa saya," tambahnya, "kamu ngapain di sini?"
"Mau mencuri, ya?" tuduh Hana. Menunjuk Aji dengan raut wajah yang mengintimidasi.
Aji merotasikan matanya malas. Dan geleng-geleng mendapatkan tuduhan itu. Bukan untuk menyangkal tetapi lebih ke arah meremehkannya.
"Kamu tidak sopan sekali. Masuk ke ruangan orang lain dan diam saja. Kamu mau mengambil apa sampai mengobrak abrik barang dokter Firman?" Hana mendekat ke arah Aji hingga berjarak dekat dengannya.
"Ck," decak Aji, "berisik sekali sih!"
Hana melongo mendengar dirinya dibentak seperti itu. Dia memperhatikan Aji dari atas sampai bawah dan fokus pada tangannya yang sudah berkacak pinggang.
"Dengar! Aku tidak begitu miskin hanya untuk mencuri kertas kertas ini. Kalau kamu terganggu bisa bilang pada si tua bangka itu untuk tidak menyulitkan aku datang kemari untuk mencari barang barangnya yang tidak berguna!" maki Aji dengan cepatnya.
"Dan lagi ... kalau tidak mau membantu setidaknya diam saja. Karena suaramu itu begitu berisik," imbuhnya.
Hana sudah mengeratkan giginya karena sikap Aji padanya. rasanya ingin sekali dia menjambak rambut bocah tengik di hadapannya itu.
"Memangnya mencari apa sih sampai tidak ketemu? Sini biar aku yang cari." Hana maju semakin mendekat.
Melihat itu Aji justru bergerak mundur. Rasanya begitu aneh berada di dekat Hana. Mulutnya begitu lancar tidak terkontrol sementara bagian tubuh yang lain terutama organ dalamnya bekerja lain lagi.
Aji mengatakan apa yang dicarinya pada Hana dan itu membuat Hana sibuk ikut mencari. Di belakangnya Aji wadah barang yang ada di sakunya. Mengeluarkannya dan menatap Hana sekilas.
Aji sangat marah dan kembali mendekati Hana. Agak ragu sebelum akhirnya Aji memasukkan barang itu ke dalam saku Hana secara diam-diam.
"Ini dia ketemu," kata Hana. Tangannya mengangkat kertas sedikit tinggi dan hampir terjatuh karena terkejut Aji ada di belakangnya.
Hap, Aji refleks menangkap pinggang Hana dan menahannya. Mirip drama romantis yang sering dilihatnya. Posisi mereka saat ini begitu mirip dengan itu.
Pandangan mereka bertemu dengan sangat baik. Saking pedasnya Aji merampas kertas di tangan Hana dan buru-buru pergi setelah melepaskan tangannya.
"Dasar tidak sopan. Sudah dibantu tidak bilang terima kasih," gerutu Hana.
Ceklek, belum sempat Hana duduk pintu ruangan sudah terbuka lagi. Hana kira Aji kembali lagi dan akan mengucapkan terimakasih. Ternyata itu hanya pikirannya saja.Karena nyatanya yang masuk ke sana adalah mawar. Melihatnya membuat Hana menghela napas lega. Hana merasa bisa mengeluarkan unek-uneknya melihat sahabatnya itu."Han, itu anak koas yang kurang ajar ngapain keluar dari sini?" tanya Mawar."Kamu enggak diapa-apain 'kan?" tanya Mawar lagi."Enggak, War. Memangnya dia bisa apa?" Hana duduk di kursinya dengan helaan napas panjang yang terdengar sangat berat.Mawar yang sadar akan hal itu mendekat. Menarik kursi yang tersisa dan menatap Hana penuh tanda tanya."Terus mukamu kenapa ditekuk begitu?" selidik Mawar.Hana menunduk kemudian mengangkat wajahnya yang penuh dengan genangan di matanya. Mawar yang sadar akan suasana Hana segera merengkuhnya."Han, kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir, Han. Kamu kenapa sih?"Hanya isakan yang terdengar. Hana benar benar tidak bisa menyembun
Arya mengambil ponselnya dan melihat notifikasi pesan yang baru masuk di ponselnya. Nama yang baru disebutkan muncul di layar ponselnya.Matanya jeli membaca beberapa kata yang dikirimkan Susan padanya. Lalu, mengalihkan pandangannya sekilas ke arah istrinya yang terlelap. Helaan napas panjang yang sedikit disamarkan keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Arya menyibak selimut yang menutup tubuhnya. Dengan perlahan tangannya memunguti pakaiannya yang berserakan dan memakainya. Kemudian keluar dari kamar, Arya menutup pintunya pelan dan menghubungi kembali nomor Susan."Hallo, aku akan ke sana," kata Arya.Setelah mematikan panggilan itu Arya bergegas keluar dari rumah. Langkahnya cepat tetapi masih tidak menimbulkan kecurigaan. Hingga dia pergi dengan menggunakan mobilnya.Terdengar suaranya yang semakin menjauh, ranjang yang ditempati Hana berderit. Tangannya mencari keberadaan Arya dengan kedua mata yang sulit terbuka."Mas," panggil Hana.Tidak ada sahutan.Karena tidak kunjung m
"1 ... 2 ... 3, kejut!"Rumah sakit terlihat begitu ramai pagi ini. Semua dokter, perawat, dan semua yang dapat membantu ikut turun tangan.Karena tabrakan beruntun yang mengakibatkan banyak korban luka mengharuskan mereka bekerja ekstra. Dokter Hana yang baru saja tiba langsung turun tangan melakukan penanganan pertama.Di atas ranjang pasien yang tiba-tiba henti jantung. Hana dengan berani duduk di atasnya dan melakukan pertolongan untuk mengembalikan denyut jantung pasien.Hal yang lumrah bagi seorang dokter untuk pemandangan seperti itu. Tetapi yang menarik adalah Hana Yori berhasil membuatnya merasa lega."Kalian urus sisanya. Saya mau ke ruang operasi. Tangani yang paling gawat lebih dulu, ingat!""Baik dokter," jawab rekannya.Sebelum benar benar pergi ke ruang operasi, Hana memerhatikan semua pasien sudah ditangani. Hana bernapas lega dan bisa pergi meneruskan pekerjaannya.Sementara itu Aji yang baru tiba di rumah sakit pun heran begitu melihat ruang ICU penuh. Aji terlihat b
Setelah seharian berkutat dengan banyak macam cara membuat pasien sembuh. Kini Hana memiliki peluang untuk pulang dan istirahat di rumah.Seperti kesepakatannya kemarin, selama satu minggu ini Mawar akan mengganti gilirannya jaga. Jadi satu minggu ini dia bisa memanjakan Arya agar suaminya itu tidak marah. Karena setelah ini Hana masih memiliki jadwal jaga yang panjang.Mengingat dirinya mulai diakui sebagai dokter bedah terbaik di tempatnya bekerja. Hal tersebut harus memaksanya mengabdi lebih baik lagi."War, terimakasih ya," ucap Hana. Keduanya berjalan beriringan di lorong rumah sakit."Untuk apa? Bukankah kita sahabat jadi tidak perlu sungkan untuk meminta bantuanku," balasnya sambil tersenyum lebar."Bukan, bukan itu. Aku ingin berterimakasih untuk coklat dengan gambar penyemangatnya," ujar Hana.Coklat? Mawar terdiam karena tidak mengerti maksud Hana. Dia menatap wajah sahabatnya yang masih tidak mengerti akan maksudnya.Hana yang merasakan tatapan Mawar pun ikut bingung. Dan s
Cekrek, bunyi pengambilan gambar berhasil. Hana melihat betapa kotor pikirannya hingga dengan berani mengambil gambarnya sendiri. Bukan gambar biasa, Hana memotret dirinya yang memakai baju dinas transparan yang terpantul di cermin. Digigitnya bibir bawahnya sebab ragu. Hana menimang ingin mengirimkan foto itu atau tidak. "Kirim tidak, ya?" tanyanya dalam hati. Hana melihat room chatnya dengan Arya. Entah kapan terakhir kali suaminya itu mengirimkan pesan. Rasanya hubungan mereka sangat renggang akhir akhir ini. Dirinya yang disibukkan pekerjaan ditambah dengan cuek dan marahnya Arya. Membuat Hana sangat merindukan sosok suami yang sudah menemaninya selama ini. "Kirim saja," pungkasnya, "biar mas Arya semangat pulang." Hana terkekeh sendiri saat mengirimkan pesan itu. Melihat centang dua di bawah foto yang dikirimkan membuat Hana tidak sabar. Diletakkannya ponselnya, Hana beralih mengambil sisir dan parfum kemudian kembali mempersiapkan diri. Senyumnya tidak luntur sedikit pun b
Lima tahun, selama itu hubungan pernikahannya dengan Arya. Hana jelas ingat bagaimana suaminya itu meminangnya dulu.Di hadapan kedua orang tuanya, Arya tidak gentar sedikit pun untuk membawanya pergi berumah tangga. Selama itu juga Arya selalu bersikap baik bahkan tidak pernah sedikit pun membentaknya.Namun, beberapa hari belakangan sikapnya berubah. Dari yang awalnya selalu perhatian dan pengertian padanya. Sekarang Arya bahkan tidak memberikan kabar sedikit pun padanya.Rumah tangga macam apa ini? Apa marah harus dilampiaskan dengan cara seperti ini? Apa masalah akan berakhir dengan cara menghindar seperti ini?"Ke mana kamu, Mas?" gumam Hana.Tidak hanya berdiam diri saja. Hana sudah melakukan apa yang dia bisa. Mencoba mencari keberadaan Arya dengan menghubungi beberapa teman Arya yang dia tahu. Tetapi apa? Tidak satu dari mereka tahu keberadaan suaminya tersebut.Jika Hana tidak memiliki jadwal operasi siang ini. Sudah pasti Hana akan pergi untuk mencari keberadaan suaminya. Is
"pelan-pelan bawa motornya! Kalau aku jatuh bagaimana? Kamu mau tanggung jawab!"Di boncengan Aji, Hana terus saja teriak dalam ketakutan. Sedangkan Aji terus memutar stir di tangannya dengan kecepatan yang tinggi."Mau tanggung jawab bagaimana? Ke KUA?"Plakk, entah ke berapa kalinya Aji mendapatkan pukulan dari Hana. Sebelum menerima tawarannya untuk berangkat bersama pun Aji sudah dipukulnya.Ya, memang ucapan Aji sedikit mengundang kesal bagi Hana. Sudah dikatakan dan dijelaskan bahwa dirinya sudah bersuami tetapi masih saja Aji mengulang kata kata yang ngelantur.Wajar kalau Hana memukul Aji. Selain itu, Aji juga membawanya melaju dengan kecepatan yang membuatnya takut. Karena bukan suami atau teman yang dekat dengannya, Hana tidak berani berpegangan kuat."Pelan pelan, aku tidak mau mati sekarang. Aku belum punya anak," pinta Hana."Kalau tidak mau jatuh ya pegangan. Atau mau mampir hotel dulu dan buat anak denganku?""Astaghfirullah, kupukul lagi nih!"Aji tersenyum di balik he
Entah ini sebenarnya kesialan atau keberuntungan. Bagi Hana hari ini terlalu rumit dan menjengkelkan.Bagaimana tidak? Beberapa hari belakangan ini Hana selalu dilanda dengan hati gelisah dan sedih juga sakit. Lalu, pagi tadi banyak lagi yang telah terjadi.Mulai dari bab mobilnya kempes di tengah jalan. Dan yang lebih parahnya dia harus uji nyali di boncengan bocah tengik yang mulai sekarang masuk daftar hitamnya. Nyawanya hampir melayani karena cara Aji mengendarai motornya.Tidak berhenti di sana. Hana masih harus menghadapi banyak pertanyaan dari teman temannya di rumah sakit karena melihat dia datang di boncengan Aji. Bukan hal bagus tentunya karena mereka mengira Hana sudah berhubungan dekat dengan bocah tengik tersebut.Yang lebih menjengkelkan lagi adalah sikap angkuh bocah itu yang tidak peduli dan tidak membantu Hana untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada teman-temannya. Dan memilih acuh seolah tidak pernah terjadi apa-apa."Han," panggil Mawar.Hana yang masih sibuk