Ceklek, belum sempat Hana duduk pintu ruangan sudah terbuka lagi. Hana kira Aji kembali lagi dan akan mengucapkan terimakasih. Ternyata itu hanya pikirannya saja.
Karena nyatanya yang masuk ke sana adalah mawar. Melihatnya membuat Hana menghela napas lega. Hana merasa bisa mengeluarkan unek-uneknya melihat sahabatnya itu.
"Han, itu anak koas yang kurang ajar ngapain keluar dari sini?" tanya Mawar.
"Kamu enggak diapa-apain 'kan?" tanya Mawar lagi.
"Enggak, War. Memangnya dia bisa apa?" Hana duduk di kursinya dengan helaan napas panjang yang terdengar sangat berat.
Mawar yang sadar akan hal itu mendekat. Menarik kursi yang tersisa dan menatap Hana penuh tanda tanya.
"Terus mukamu kenapa ditekuk begitu?" selidik Mawar.
Hana menunduk kemudian mengangkat wajahnya yang penuh dengan genangan di matanya. Mawar yang sadar akan suasana Hana segera merengkuhnya.
"Han, kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir, Han. Kamu kenapa sih?"
Hanya isakan yang terdengar. Hana benar benar tidak bisa menyembunyikan lagi rasa sedihnya. Baru kali ini hatinya begitu tidak tenang karena memikirkan suaminya yang tidak juga memberikannya kabar.
Lima menit lamanya Hana menangis di pelukan Mawar. Begitu sedikit lega Hana menceritakan semuanya. Bagaimana dia semalaman tidak tidur untuk mengkhawatirkan Arya ditambah dengan kata-kata menyakitkan Aminah padanya.
"Kamu kenapa baru cerita sih, Han? Seharusnya kamu kasih tahu kalau ada apa-apa." Mawar menggenggam tangan Hana karena merasa kasian dengan temannya.
"Apa ucapanmu benar tentang mas Arya ya, War?" tanya Hana pilu.
"Hustt! Aku cuma bercanda kali, Han. Masa Arya tega selingkuhin kamu. Enggak mungkin kayaknya deh," timpal Mawar.
"Tapi ... Mamanya seperti mengatakan begitu. Ditambah dengan perubahan mas Arya aku jadi berpikir demikian." Hana kembali menunduk dan memainkan jari-jarinya.
"Gini deh ... kayaknya kamu memang terlalu banyak jadwal jaga jadi itu membuat Arya marah. Aku gantiin jadwal kamu jaga aja gimana?" tawar Mawar.
Hana berbinar mendengar tawaran Mawar. Bagaimana tidak? Memang masalahnya sejak awal adalah karir jadwalnya yang terus menerus membuatnya tertahan di rumah sakit.
Dengan cepat Hana mengangguk mengiyakan tawaran Mawar. Rasanya sedikit lega karena memiliki harapan untuk memperbaiki keadaan dengan suaminya. Beruntung sekali Hana memiliki sahabat seperti Mawar ini.
"Sudah, jangan sedih lagi." Mawar mengusap punggung tangan Hana.
Bukan hanya kasian, Mawar merasa ada yang sedang tidak benar dalam hubungan rumah tangga sahabatnya ini. Entahlah, itu mungkin hanya perasaan Mawar saja.
Hana menghabiskan sisa waktunya dengan baik di rumah sakit. Setelah menceritakan semuanya dan mendapatkan dukungan dari Mawar serasa separuh beban di pundaknya berkurang. Begitu pekerjaannya selesai Hana segera bergegas pergi meninggalkan rumah sakit dan pulang.
Sesampainya di rumah, Hana masih melihat garasi mobil yang kosong. Rasa khawatir kembali merayap. Hana segera turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Dilihatnya keadaan rumah yang sunyi Hana mencari keberadaan ibu mertuanya berada. Tinggal menemukannya di manapun membuat Hana merasa bingung.
Hari sudah sedikit gelap jadi dia juga khawatir pada Aminah. Tidak mungkin Aminah pulang tanpa memberitahu padanya.
"Ke mana semuanya pergi?" tanya Hana membatin.
Hana mengangkat ponselnya dan merasa sia-sia. tidak ada yang bisa diharapkan dari benda persegi tersebut. Karena berulang kali dia mencoba menghubungi suaminya tetapi tidak ada jawaban.
Dengan lesu Hana menarik langkahnya menuju kamar. Melempar tasnya asal lalu masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuhnya di bawah guyuran air dingin rasanya sedikit menyegarkan.
Selesai dengan mandinya, Hana menunaikan kewajibannya. Sholat kemudian keluar dari kamarnya begitu selesai. Hana mengenakan pakaian santainya menuju ke dapur.
Langkah Hana terhenti tatkala mendapati suaminya masuk ke dalam rumah bersama dengan Aminah. Keduanya berpakaian sangat rapi seperti habis menghadiri jamuan makan.
"Mas, Ma," sapa Hana.
Keduanya sontak menatap Hana. Bukannya senang melihat Hana di sana, Arya justru mengalihkan pandangannya dan melunturkan senyum tipis yang tadi sempat Hana lihat.
"Ma, Arya ke kamar duluan ya," pamit Arya. Melirik Hana sekilas kemudian berlalu.
Sementara Aminah beralih ke arah menantunya yang diam saja. Seringai muncul di sudut bibirnya.
"Kamu masih punya muka ya, Han," sindir Aminah.
"Maksud Mama apa?" tanya Hana bingung juga merasa tidak terima.
"Kamu seharusnya ngaca, Hana. Arya itu sudah terlalu baik sama kamu tapi kamu masih dengan santainya berdiri di sini seolah kamu tidak bersalah sedikit pun."
Hana semakin tidak mengerti ibu mertuamu ini bicara tentang apa. Apa mungkin ini masih tentang keturunan lagi?
"Arya terlalu baik padamu. Aku jadi menyesal sudah memberikan restu pada kalian kalau akhirnya hanya membuat putraku hanya memiliki harapan kosong," sinis Aminah.
"Hah, bicara denganmu membuatku kesal sendiri." Aminah berlalu meninggalkan Hana yang masih bingung.
Namun, sedikit banyak Hana mengerti apa yang dimaksud oleh Aminah. Dia paham betul masalah keturunan inilah yang selalu mereka bahas beberapa waktu belakangan.
Jadi tidak mungkin dirinya tidak berpikir ke arah sana, bukan? Hana mengusap dadanya dan berulang beristighfar. Mengambil air minum dari kulkas dan membawanya ke dalam kamar.
Hana meletakkan sebotol air mineral di nakas. Dilihatnya kamar yang sepi dan terdengar suara guyuran air di kamar mandi. Hana mengulas senyum dan menunggu Arya keluar dari sana dengan berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Mas, Hana rindu." Hana langsung berhambur memeluk Arya begitu suaminya itu keluar.
"Hana dari semalam nungguin, Mas. Tapi nomor mas Arya enggak bisa dihubungi. Padahal Hana sudah sangat berharap kita bisa menghabiskan malam bersama."
"Hana rindu sekali dengan, Mas. Beruntung Mawar mau ganti shift dengan Hana jadi Hana bisa manja manja dengan Mas Arya malam ini," cerososnya.
Merasakan Arya yang tidak bereaksi pada semua ucapannya. Hana mengendurkan pelukannya dan menatap wajah Arya.
"Mas tidak suka ya kalau Hana di rumah?" tanya Hana.
Arya menatap wajah Hana yang jujur saja dia juga rindukan. Siapa yang tidak rindu dengan istrinya. Apalagi Hana adalah istri yang dia cintai selama ini.
Tangannya terulur mengusap rambut Hana dengan lembut. Menarik dagunya dan mengecup pelan pisang. Rasa marahnya melebur begitu saja dengan hangatnya kecupan manis itu.
Semakin lama kecupan itu seksi menuntut hingga Hana kewalahan. Tubuhnya sudah dibawa Arya dalam kungkungannya. Aktivitas Anda itu terbayar lunas dalam penyatuan panasnya.
Hingga keduanya saling berpelukan erat setelahnya. Hana terlelap pulas dalam dekapan Arya. Sementara Arya menatap wajah Hana dengan sedikit penyesalan.
"Mas akan menjadi ayah, Han. Mas ingin mengatakannya sama tapi mas pasti akan membuatmu kecewa."
"Mama meminta mas menceraikanmu. Begitu juga dengan Susan yang mendesak mas untuk menikahinya. Sedangkan mas sendiri tidak tahu harus berbuat apa."
"Mas masih mengembalikanmu tapi mas juga tidak bisa mendapatkan hadiah itu darimu. Mas juga ingin menjadi ayah, Han. Maafkan mas."
Tentu saja semua itu hanya bisa didengar Arya sendiri. Pikirannya kalut dengan apa yang dihadapi dan diciptakannya sendiri.
Drttt drtttt
Arya mengambil ponselnya dan melihat notifikasi pesan yang baru masuk di ponselnya. Nama yang baru disebutkan muncul di layar ponselnya.Matanya jeli membaca beberapa kata yang dikirimkan Susan padanya. Lalu, mengalihkan pandangannya sekilas ke arah istrinya yang terlelap. Helaan napas panjang yang sedikit disamarkan keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Arya menyibak selimut yang menutup tubuhnya. Dengan perlahan tangannya memunguti pakaiannya yang berserakan dan memakainya. Kemudian keluar dari kamar, Arya menutup pintunya pelan dan menghubungi kembali nomor Susan."Hallo, aku akan ke sana," kata Arya.Setelah mematikan panggilan itu Arya bergegas keluar dari rumah. Langkahnya cepat tetapi masih tidak menimbulkan kecurigaan. Hingga dia pergi dengan menggunakan mobilnya.Terdengar suaranya yang semakin menjauh, ranjang yang ditempati Hana berderit. Tangannya mencari keberadaan Arya dengan kedua mata yang sulit terbuka."Mas," panggil Hana.Tidak ada sahutan.Karena tidak kunjung m
"1 ... 2 ... 3, kejut!"Rumah sakit terlihat begitu ramai pagi ini. Semua dokter, perawat, dan semua yang dapat membantu ikut turun tangan.Karena tabrakan beruntun yang mengakibatkan banyak korban luka mengharuskan mereka bekerja ekstra. Dokter Hana yang baru saja tiba langsung turun tangan melakukan penanganan pertama.Di atas ranjang pasien yang tiba-tiba henti jantung. Hana dengan berani duduk di atasnya dan melakukan pertolongan untuk mengembalikan denyut jantung pasien.Hal yang lumrah bagi seorang dokter untuk pemandangan seperti itu. Tetapi yang menarik adalah Hana Yori berhasil membuatnya merasa lega."Kalian urus sisanya. Saya mau ke ruang operasi. Tangani yang paling gawat lebih dulu, ingat!""Baik dokter," jawab rekannya.Sebelum benar benar pergi ke ruang operasi, Hana memerhatikan semua pasien sudah ditangani. Hana bernapas lega dan bisa pergi meneruskan pekerjaannya.Sementara itu Aji yang baru tiba di rumah sakit pun heran begitu melihat ruang ICU penuh. Aji terlihat b
Setelah seharian berkutat dengan banyak macam cara membuat pasien sembuh. Kini Hana memiliki peluang untuk pulang dan istirahat di rumah.Seperti kesepakatannya kemarin, selama satu minggu ini Mawar akan mengganti gilirannya jaga. Jadi satu minggu ini dia bisa memanjakan Arya agar suaminya itu tidak marah. Karena setelah ini Hana masih memiliki jadwal jaga yang panjang.Mengingat dirinya mulai diakui sebagai dokter bedah terbaik di tempatnya bekerja. Hal tersebut harus memaksanya mengabdi lebih baik lagi."War, terimakasih ya," ucap Hana. Keduanya berjalan beriringan di lorong rumah sakit."Untuk apa? Bukankah kita sahabat jadi tidak perlu sungkan untuk meminta bantuanku," balasnya sambil tersenyum lebar."Bukan, bukan itu. Aku ingin berterimakasih untuk coklat dengan gambar penyemangatnya," ujar Hana.Coklat? Mawar terdiam karena tidak mengerti maksud Hana. Dia menatap wajah sahabatnya yang masih tidak mengerti akan maksudnya.Hana yang merasakan tatapan Mawar pun ikut bingung. Dan s
Cekrek, bunyi pengambilan gambar berhasil. Hana melihat betapa kotor pikirannya hingga dengan berani mengambil gambarnya sendiri. Bukan gambar biasa, Hana memotret dirinya yang memakai baju dinas transparan yang terpantul di cermin. Digigitnya bibir bawahnya sebab ragu. Hana menimang ingin mengirimkan foto itu atau tidak. "Kirim tidak, ya?" tanyanya dalam hati. Hana melihat room chatnya dengan Arya. Entah kapan terakhir kali suaminya itu mengirimkan pesan. Rasanya hubungan mereka sangat renggang akhir akhir ini. Dirinya yang disibukkan pekerjaan ditambah dengan cuek dan marahnya Arya. Membuat Hana sangat merindukan sosok suami yang sudah menemaninya selama ini. "Kirim saja," pungkasnya, "biar mas Arya semangat pulang." Hana terkekeh sendiri saat mengirimkan pesan itu. Melihat centang dua di bawah foto yang dikirimkan membuat Hana tidak sabar. Diletakkannya ponselnya, Hana beralih mengambil sisir dan parfum kemudian kembali mempersiapkan diri. Senyumnya tidak luntur sedikit pun b
Lima tahun, selama itu hubungan pernikahannya dengan Arya. Hana jelas ingat bagaimana suaminya itu meminangnya dulu.Di hadapan kedua orang tuanya, Arya tidak gentar sedikit pun untuk membawanya pergi berumah tangga. Selama itu juga Arya selalu bersikap baik bahkan tidak pernah sedikit pun membentaknya.Namun, beberapa hari belakangan sikapnya berubah. Dari yang awalnya selalu perhatian dan pengertian padanya. Sekarang Arya bahkan tidak memberikan kabar sedikit pun padanya.Rumah tangga macam apa ini? Apa marah harus dilampiaskan dengan cara seperti ini? Apa masalah akan berakhir dengan cara menghindar seperti ini?"Ke mana kamu, Mas?" gumam Hana.Tidak hanya berdiam diri saja. Hana sudah melakukan apa yang dia bisa. Mencoba mencari keberadaan Arya dengan menghubungi beberapa teman Arya yang dia tahu. Tetapi apa? Tidak satu dari mereka tahu keberadaan suaminya tersebut.Jika Hana tidak memiliki jadwal operasi siang ini. Sudah pasti Hana akan pergi untuk mencari keberadaan suaminya. Is
"pelan-pelan bawa motornya! Kalau aku jatuh bagaimana? Kamu mau tanggung jawab!"Di boncengan Aji, Hana terus saja teriak dalam ketakutan. Sedangkan Aji terus memutar stir di tangannya dengan kecepatan yang tinggi."Mau tanggung jawab bagaimana? Ke KUA?"Plakk, entah ke berapa kalinya Aji mendapatkan pukulan dari Hana. Sebelum menerima tawarannya untuk berangkat bersama pun Aji sudah dipukulnya.Ya, memang ucapan Aji sedikit mengundang kesal bagi Hana. Sudah dikatakan dan dijelaskan bahwa dirinya sudah bersuami tetapi masih saja Aji mengulang kata kata yang ngelantur.Wajar kalau Hana memukul Aji. Selain itu, Aji juga membawanya melaju dengan kecepatan yang membuatnya takut. Karena bukan suami atau teman yang dekat dengannya, Hana tidak berani berpegangan kuat."Pelan pelan, aku tidak mau mati sekarang. Aku belum punya anak," pinta Hana."Kalau tidak mau jatuh ya pegangan. Atau mau mampir hotel dulu dan buat anak denganku?""Astaghfirullah, kupukul lagi nih!"Aji tersenyum di balik he
Entah ini sebenarnya kesialan atau keberuntungan. Bagi Hana hari ini terlalu rumit dan menjengkelkan.Bagaimana tidak? Beberapa hari belakangan ini Hana selalu dilanda dengan hati gelisah dan sedih juga sakit. Lalu, pagi tadi banyak lagi yang telah terjadi.Mulai dari bab mobilnya kempes di tengah jalan. Dan yang lebih parahnya dia harus uji nyali di boncengan bocah tengik yang mulai sekarang masuk daftar hitamnya. Nyawanya hampir melayani karena cara Aji mengendarai motornya.Tidak berhenti di sana. Hana masih harus menghadapi banyak pertanyaan dari teman temannya di rumah sakit karena melihat dia datang di boncengan Aji. Bukan hal bagus tentunya karena mereka mengira Hana sudah berhubungan dekat dengan bocah tengik tersebut.Yang lebih menjengkelkan lagi adalah sikap angkuh bocah itu yang tidak peduli dan tidak membantu Hana untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada teman-temannya. Dan memilih acuh seolah tidak pernah terjadi apa-apa."Han," panggil Mawar.Hana yang masih sibuk
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sekarang Arya mengendarai mobilnya menuju ke rumah sakit. Raut wajahnya penuh dengan harapan yang nyata. Dengan Susan yang berada di sebelahnya.Keduanya antusias untuk melihat perkembangan calon anak mereka yang ada di kandungan Susan."Pak Arya, nanti temani Susan ya," pinta Susan dengan wajah yang dibuat sangat memelas."Tentu, aku juga sangat ingin melihat perkembangannya dengan kedua mataku sendiri," timpal Arya bahagia."Terimakasih, Pak Arya," ucap Susan manja.Setelah memarkirkan mobilnya, Arya turun lebih dulu dan memutar untuk membukakan pintu untuk Susan. Romantis sekali, mereka terlihat seperti pasangan suami istri yang baru saja menikah.Beriringan masuk ke dalam rumah sakit. Lalu, Arya dengan sigap mendaftar kemudian menunggu di kursi tunggu untuk mendapatkan antrian periksa untuk Susan.Keduanya duduk bersebelahan seolah memberitahu kepada dunia bahwa mereka memang memiliki hubungan serius. Senyum yang tidak pernah luntur sedari