Bruss
Sepuluh menit kemudian.
Sebuah tangan mengangkat sehelai kertas tipis yang terasa begitu berat. Meski benda itu telah terangkat dari sebuah tempatnya tetapi sapasang mata dengan bulu lentik itu masih terasa enggan untuk melihatnya.
Tubuh yang terpatri di atas toilet duduk itu hanya bisa merasakan tubuhnya kaku. Dengan perlahan membuka kedua matanya diselingi dengan helaan napas panjang. Namun, itu tidak seberapa dibandingkan dengan hasil yang wanita itu dapat.
Sepasang garis yang diharapkan tidaklah ia dapat dan membuatnya merasa seperti jelly. Harapannya hancur serta tubuhnya remuk hingga tidak mampu lagi menahan juga menyelaraskan berat tubuhnya.
Tok Tok Tok
"Han, kenapa lama sekali?" panggil Arya dengan pertanyaan menyertainya.
Suara itu menyadarkan Hana. Membuat wanita itu dengan cepat menyeka air mata yang menetes melewati pipinya. Beranjak dari tempatnya, Hana dengan ragu-ragu menarik pegangan pintu dan membukanya.
"Mas," lirih Hana dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
Seolah mengerti, Arya yang mendapati istrinya dengan raut wajahnya yang sendu hanya bisa menarik tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya.
"Maafkan Hana, Mas. Hana belum bisa kasih apa yang mas mau," ucap Hana dengan terisak.
Arya hanya bisa tersenyum, sambil mengelus punggung Hana lelaki itu berujar, "tidak apa-apa, Han." Dengan lembut.
Cukup lama Hana berada dalam pelukan suaminya untuk menuntaskan perasaannya yang kacau. Karena di sanalah tempat ternyaman untuk berbagi rasa. Ya, bagi Hana semua masalah bisa dia tangani selama suami Arya yang sudah menikahinya selama lima tahun belakangan ini masih berada didekatnya.
"Sudah, jangan menagis lagi!" Arya menangkup wajah Hana yang masih berkaca kaca. Lalu mengusap lelehan yang berada di pipi istrinya dengan menggunakan kedua ibu jarinya. "Nanti pasienmu malah takut lihat mata kamu yang bengkak."
"Dan nanti aku yang akan jadi korbannya karena mereka kira akulah yang pelakunya," imbuh Arya dengan sedikit menggoda. Hal itu membuat Hana sedikit menarik senyum ke arahnya.
"Cepat sana ganti baju! Terus mas antar ke rumah sakit," titahnya dengan menjawil hidung mancung Hana.
"Terimakasih ya mas. Karena sudah mengerti keadaan Hana," ucap Hana lembut.
Sebagai seorang suami, Arya hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. Arya melihat tubuh Hana yang kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Arya merasa ada kecewa di hatinya. Bagaimana tidak? Sudah lima tahun dia menikah dengan Hana dan sekarang usianya sudah tidak muda lagi. Tetapi sampai sekarang istrinya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengandung dan memberikannya keturunan.
Kecewa pasti ada, karena di dalam pernikahan adanya keturunan pasti sangat diharapkan. Meski begitu, Arya masih menyembunyikan semua itu dengan senyuman. Dia masih bersabar menanti meski dia tidak tahu sampai kapan penantian itu akan berakhir.
Drttt drttt
Lamunan Arya dibuyarkan dengan getaran yang dia rasa di saku celananya. Dengan cepat Arya mengambil ponselnya dan mengusap layarnya hingga menyala. Sebuah notifikasi pesan muncul di sana. Dengan sekali tekan Arya dapat melihat dan membaca isi di dalamnya.
'Pak Arya, nanti saya tunggu di cafe biasa dekat universitas'
Singkat, padat, dan jelas. Tetapi mampu membuat Arya mengembangkan senyum tipis. Tidak lama, Arya kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku.
**
Setelah cukup lama mengemudi, mobil yang Arya kemudikan sudah berhenti. Perjalanan dua puluh menit dari rumah sampai rumah sakit berhasil dilalui Arya dengan baik. Sudah rutinitas selama tiga tahun terakhir untuk mengantarkan istrinya itu ke rumah sakit setiap pagi.
"Mas, terima kasih, ya." Hana menunduk dengan kedua tangannya yang berusaha membuka sabuk pengaman. "Mas hati-hati, ya."
"Ya, kamu juga." Arya tersenyum menanggapi. "Nanti malam kamu ada jadwal jaga lagi?"
Hana menimang sambil memikirkan apa yang ditanyakan Arya. Tapi sayangnya tidak ada jadwal tambahan jadi Hana menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, nanti mas jemput, ya." Hana mengangguk.
“Iya, sudah. Hana masuk dulu, ya, Mas.” Hana melepaskan tangannya dan menarik tangan Arya untuk dikecupnya. "Assalamualaikum."
"Wa'allaikumsalam."
Mendengar salam dari Arya, Hana pun bersembunyi dari dalam mobilnya. Dengan pintu yang setengah terbuka Hana melambaikan tangannya yang dibalas oleh Arya di dalam mobil. Begitu pintu tertutup sempurna, Arya kembali melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit dan pergi ke universitas tempat mengajar.
Melihat suaminya yang sudah menjauh, Hana pun melangkah ke dalam rumah sakit. Entah karena masih pagi atau memang rumah sakit sedikit sepi Hana juga tidak tahu. Tidak dia pungkiri kalau keadaan ini membuatnya sedikit senang karena mengingat ucapan Arya tadi yang akan menjemputnya.
"Selamat pagi, Dokter Hana," sapa Mawar yang juga masuk di belakang Hana.
Hana terkejut lalu menoleh dan menemui temannya itu di sana. Membuat Hana mengembangkan senyum di wajahnya.
"Kenapa mata kamu, Han? Habis nangis ya?" terka Mawar. Tidak mengelak Hana justru mengangguk membenarkan. Mawar pun menghentikan langkah Hana dan menatap wajah temannya itu dengan serius.
"Jangan bilang suami kalau kamu selingkuh!" tuduh Mawar membuat tangan ringan Hana matras ke pundaknya.
Plak
"Kalau ngomong suka enggak dijaga!" Mawar pun meringis sakit.
"Ya, habisnya. Lihat tuh! Mata kamu sudah mirip mata panda. Sudah bengkak, hitam lagi," ledek Mawar.
Mendengar itu, Hana langsung merogoh sakunya dan mengangkat ponselnya. Melihat dirinya sendiri di layar ponselnya dan sadar kalau yang dikatakan Mawar memang benar.
"Hah," hela Hana dengan keras. "Aku lagi sedih, Mawar."
"Kenapa? Jangan-jangan tadi benar," tuduh Mawar lagi yang membuat Hana kesal dan cemberut.
"Bukan itu, mawar!" gerutu Hana. Mawar hanya cengengesan menanggapinya. "Kamu tahu, kan? Kalau aku sudah lima tahun menikah?"
Sebagai teman yang sudah bersama dengan Hana dari SMA tentunya Mawar tahu apa yang ditanyakan temannya itu. Mawar dengan cepat dan tanpa ragu mengangguk menjawab pertanyaan Hana.
"Terus kenapa?" tanya Mawar. Yang membuat Hana kembali menghela napas berat.
"Apa aku mandul, ya, War?" gumam Hana lirih. "Setiap aku tes kehamilan pasti hasilnya negatif terus."
"Cek kalau mau tahu, Han. Jagan menerka-nerka! Lagi pula kamu sudah berada di rumah sakit ini bertahun-tahun giliran di suruh periksa enggak mau!" cerocos Mawar yang membuat Hana semakin lemas dan tidak bersemangat.
Jangan salah paham dulu! Mawar tidak berniat buruk kok sama Hana. Hanya saja wanita lajang dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter itu sudah bosan. Bosan karena mendengar Hana yang selalu mengeluh dengan keadaannya tetapi setiap diberikan saran tidak pernah dilakukan. Jelas hal itu membuat Mawar bosan mendengarnya.
"Maaf! Aku tahu pasti suamimu tidak mau lagi diajak periksa, kan?" sesal mawar. Dia tidak mampu melihat Hana yang kehilangan semangatnya seperti ini. Hana tidak punya jawaban lain selain mengangguk.
"Sudahlah," pungkasnya. "Ayo isi absen dulu."
"Ayo! Cepat," ajak Mawar dengan menarik tangan Hana. "Oh ya, Han. Kamu enggak tahu kalau hari ini ada anak Koas?"
"Benarkah?"
Sambil berjalan keduanya sambil bercerita. Rumah sakit Husada ini sudah menjadi rumah kedua bagi Hana dan setiap tahunnya dia akan mendapatkan teman baru. Karena rumah sakit ini banyak menampung mahasiswa dan mahasiswi baru setiap tahunnya.
Berhubungan dengan apa yang tadi Mawar sampaikan. Semua anggota dokter dan perawat menyambut datangnya mahasiswa Koas. Bukannya senang di dalam aula rumah sakit besar itu semua tampak kebingungan."Kemana teman kalian? Bukankah seharusnya kalian berempat kemari?" tanya Dion sebagai kepala rumah sakit. Semua terlihat sedikit takut karena melihat raut wajah Dion yang dingin dan beringas."Saya tidak tahu, Pak." Salah seorang mahasiswi menyahut dengan melirik temannya."Balapan mungkin, Pak anaknya.""Tidak niat memang anaknya," imbuh pemuda lainnya.Tatapan nyalang yang Dion berikan memberikan atmosfer gelap ke seluruh aula. Yang membuat semua mata dan pandangan menunduk. Tetapi Hana berbeda, dia dengan berani mengangkat wajahnya. Dan tanpa sengaja tatapan antara Hana dan Dion bertemu. Yang sesaat membuat waktu seakan berjalan sangat lambat.Entahlah, bukannya tidak takut. Hanya saja Hana merasa dirinya tidak bersalah hingga menundukkan pandangannya sendiri. Karena itu Dion menarik pand
ByurrSaat sedang asik berbincang dengan temannya, Hana dikejutkan dan sontak menghentikan langkahnya. Karena berjalan paling di ujung Hana bersenggolan dengan seseorang hingga orang itu menumpahkan minumannya. Semua teman Hana yang berjalan di sebelahnya melihat baju yang Hana kenakan sudah basah kuyup."Maaf," kata orang itu."Kamu enggak punya mata, ya! Enggak lihat sekarang baju Dr. Hana sudah basah kuyup seperti ini!" Mawar melihat ke arah baju Hana dengan terus marah."Oh, kamu yang tadi, kan? Sudah bikin kita enggak bisa pulang sekarang bikin kacau. Kayaknya memang kamu enggak punya mata!""Mawar, sudah," lerai Hana. "Aku enggak apa-apa kok. Ini cuma air.""Tapi, Han. Ini anak baru ngeselin tahu, enggak!""Sudah aku enggak apa-apa," kata Hana tidak ingin membuat kekacauan lagi.Mawar pun tidak melanjutkan lagi amarah yang menyala dalam dirinya dan memendamnya saja karena perintah Hana. Namun, tatapan nyalangnya tetap mengintimidasi pemuda itu sampai mengulitinya. Sayangnya yang
Ceklek"Baru pulang, Han?"Hana yang baru saja menutup pintu dikejutkan dengan suara Aminah, ibu mertuanya. Hana tidak tahu jika Aminah datang dan Arya juga tidak memberitahunya jika Aminah akan datang. Sebagai menantu yang baik Hana mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan Aminah."Iya, ma. Tadi nunggu teman yang gantiin shift sedikit terlambat," jawab Hana. "Mama kapan datang?""Sedikit gimana sih, Han. Sudah jam satu pagi ini loh," timpal Aminah dengan nada yang tidak begitu senang."Enggak apa-apa, ma. Sudah biasa juga soalnya jadi dokter memang harus seperti ini. Pasiennya juga suka datang tiba-tiba.""Ya, jangan jadi kebiasaan. Kamu enggak kasian sama Arya tidur sendirian terus." Aminah melenggang pergi kembali ke dalam kamarnya. "Pantas sampai sekarang belum punya anak."Hana jelas tidak tuli, suara Aminah membuat denyut jantungnya seakan terhenti. Matanya panas dan berkaca-kaca siap menurunkan air. Tetapi menagis bukan pilihan yang tepat sekarang, Hana dengan kasar me
"kenapa wajahmu berubah begitu, Ar?" tanya Aminah.Arya menggelengkan kepalanya dengan pelan tersenyum. Menghancurkan kembali ponselnya lalu menatap ke arah depan dengan tangan yang memegang kemudi."Kamu jangan bohong sama mama, Ar! Hana sering giniin kamu?" tutut Aminah pada anak-anaknya. Sedangkan Arya hanya diam dan memendamnya."Jangan dipendam, Ar! Kamu itu laki-laki!" bentak Aminah."Kamu kepala rumah tangga, Ar. Kalau istri kamu terus terusan berada di luar dan tidak punya waktu untuk kamu, kapan kalian punya momongan?""Ingat, Ar! Perempuan itu harusnya di rumah dan melayani suaminya. Bukannya bekerja sampai lupa waktu dan mengabaikan kewajibannya.""Ma, sudahlah!"Aminah heran dengan anak-anaknya. Perasaan dulu Arya selalu menerima masukan darinya. Tapi sekarang dia memilih mengalah dan terlalu patuh pada istrinya.Arya ucapan akan ucapan Aminah kemarin padanya. Di dalam mobil yang dia kendarai, Arya menghela nafas berat. Ia memang mencintai Hana dan tidak keberatan jika ist
Dua minggu sudah Hana selalu jaga malam. Dan selama itu, Hana sudah membuat kantung hitam di bawah matanya. Tetapi hari ini Hana senang karena bisa pulang lebih awal. Semua karena Mawar yang menggantikannya karena kasian melihat Hana yang terlihat sangat memprihatinkan. Hana menghentikan mobilnya di teras rumah. Menarik tuas rem lalu mencabut kuncinya dan turun. Senyum mengembang Hana sematkan di bibirnya. Akhirnya setelah beberapa hari dia bisa bertemu dan menumpahkan rasa rindunya pada Arya. Hana membuka pintu dan mendapati rumah yang sepi. "Tumben sudah pulang," sindir Aminah pada Hana. Yang membuat Hana terkejut karena ia pikir tidak ada satu orang pun di rumah. Aminah muncul tiba-tiba dari arah kamarnya. Yang mungkin mendengar dia membuka pintu. "Iya, Ma. Hana digantiin teman buat malam ini." Hana celingukan mencari sesuatu tetapi tidak menemukannya. "Mas Arya belum pulang, Ma?" "Belum, cari wanita lain mungkin," ketus Aminah. "Ma!" Hana terkejut mendengar balasan Aminah. Ha
Ting, lampu di atas pintu ruang operasi meredup setelah menyala hampir enam jam lamanya. Dibarengi dengan pintu terbuka, dokter muda yang cantik keluar dari sana. Hana, dengan wajahnya yang terlihat serius meninggalkan tempat tersebut. Di belakangnya juga ikut keluar beberapa perawat yang mendorong bangsal.Di sisi lain lorong tersebut terlihat sepasang mata yang mengagumi cara berjalan Hana. Sejak melihatnya keluar dari ruangan operasi hingga menjauh. Pandangannya tidak berhenti menatapnya."Aji!"Mendengar namanya dipanggil, Aji sontak merotasikan matanya menatap dokter senior di hadapannya. Dilihatnya juga wajah temannya yang sama terkejutnya."Kamu bisa serius sedikit atau tidak," tegurnya."Kalau kamu cuma main-main sebaiknya cari tempat lain!"Aji diam mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Wajahnya yang dingin dan cuek terlihat sangat nyata bahwa dia tidak menyukai tempatnya berada."Ya," ketus Aji. Sambil merotasikan matanya malas.Suara Aji membuat semuanya tampak tidak
Ceklek, belum sempat Hana duduk pintu ruangan sudah terbuka lagi. Hana kira Aji kembali lagi dan akan mengucapkan terimakasih. Ternyata itu hanya pikirannya saja.Karena nyatanya yang masuk ke sana adalah mawar. Melihatnya membuat Hana menghela napas lega. Hana merasa bisa mengeluarkan unek-uneknya melihat sahabatnya itu."Han, itu anak koas yang kurang ajar ngapain keluar dari sini?" tanya Mawar."Kamu enggak diapa-apain 'kan?" tanya Mawar lagi."Enggak, War. Memangnya dia bisa apa?" Hana duduk di kursinya dengan helaan napas panjang yang terdengar sangat berat.Mawar yang sadar akan hal itu mendekat. Menarik kursi yang tersisa dan menatap Hana penuh tanda tanya."Terus mukamu kenapa ditekuk begitu?" selidik Mawar.Hana menunduk kemudian mengangkat wajahnya yang penuh dengan genangan di matanya. Mawar yang sadar akan suasana Hana segera merengkuhnya."Han, kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir, Han. Kamu kenapa sih?"Hanya isakan yang terdengar. Hana benar benar tidak bisa menyembun
Arya mengambil ponselnya dan melihat notifikasi pesan yang baru masuk di ponselnya. Nama yang baru disebutkan muncul di layar ponselnya.Matanya jeli membaca beberapa kata yang dikirimkan Susan padanya. Lalu, mengalihkan pandangannya sekilas ke arah istrinya yang terlelap. Helaan napas panjang yang sedikit disamarkan keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Arya menyibak selimut yang menutup tubuhnya. Dengan perlahan tangannya memunguti pakaiannya yang berserakan dan memakainya. Kemudian keluar dari kamar, Arya menutup pintunya pelan dan menghubungi kembali nomor Susan."Hallo, aku akan ke sana," kata Arya.Setelah mematikan panggilan itu Arya bergegas keluar dari rumah. Langkahnya cepat tetapi masih tidak menimbulkan kecurigaan. Hingga dia pergi dengan menggunakan mobilnya.Terdengar suaranya yang semakin menjauh, ranjang yang ditempati Hana berderit. Tangannya mencari keberadaan Arya dengan kedua mata yang sulit terbuka."Mas," panggil Hana.Tidak ada sahutan.Karena tidak kunjung m