Share

Sayatan pertama

“LIHAT! APA YANG TERJADI? semua karena kamu terlalu keras kepala. Bagaimana kalau pertolongan datang terlambat? Keras kepalamu itu hampir saja membuatmu mati sia-sia,” teriak papa Iora dengan marah.

Iora hanya menundukkan kepalanya, tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan satu katapun.

“Masuk kamar!” perintah papanya tanpa menurunkan nada bicaranya.

Iora berdiri dan dengan cepat naik ke lantai dua.

Bruk!

Iora membanting tubuhnya diatas tempat tidurnya itu.

Matanya menatap langit-langit kamar, dia menerawang jauh.

“Tidak, semuanya hanya kebetulan saja. Mungkin itu adalah orang iseng saja,” gumam Iora mengusir kemungkinan buruk yang sedang dia pikirkan.

“Lebih baik aku mandi,” ujarnya.

Iora mandi dan merilekskan tubuhnya.

“Aku sudah seperti pembalap saja siang ini,” gelaknya pada diri sendiri.

Iora menikmati acara berendamnya kurang lebih setengah jam.

“Kiko, buatkan aku teh hijau,” pinta Iora dari intercom kamar.

Iora membuka pintu kamarnya dan duduk di sofa yang ada di balkon.

Dari balkon kamarnya dapat melihat halaman depan rumahnya yang terbentang luas. Bahkan Iora dapat melihat jalan raya yang ada di ujung sebelum masuk kedalam area kediaman keluarganya.

“Sepertinya mobil itu tidak asing,” gumam Iora.

Dia dengan cepat mengambil ponselnya dan mengarahkan pada mobil tersebut.

“Baiklah, sekarang kita perbesar,” ujarnya dan menggerakkan jarinya di layar ponsel itu.

“Astaga!” pekik Iora tertahan. Ponselnya hampir saja jatuh.

Iora yang tadinya berdiri langsung terduduk karena terkejut.

“Bukannya itu mobil yang tadi?” lirih Iora.

Iora berdiri dan kembali mengarahkan kameranya di mobil tersebut. Sudah tidak ada.

“Aku yakin itu adalah mobil yang sama, mobilnya juga penyok,” lirih Iora.

Dia buru-buru masuk kembali ke kamar.

****

Sudah tiga hari setelah kejadian tersebut, Iora sama sekali tidak keluar rumah. Dia hanya akan turun ke lantai satu untuk makan atau merasa bosan dikamar.

“Pa, Aku ingin ke salon,” ucap Iora dengan nada memohon.

Papa Iora menatap putrinya dan menganggukkan kepalanya.

“Kembali sebelum pukul 3 sore,” tukas papanya.

“Siap!” seru Iora dan segera naik ke kamarnya untuk bersiap.

Tidak lama Iora dengan terusan bunga daisy warna ungu muda, rambut coklat panjangnya diikat sebagian kebelakang dan diberikan jepit pita berwarna senada dengan pakaiannya. Dia sudah menunggu di depan teras.

Dia siap menjalani harinya dengan secerah warna pakaiannya. tema warnanya hari ini adalah ungu muda.

Mobil warna putih datang, berhenti tepat di depan Iora.

Senyumnya menghilang saat melihat pengawal pribadinya yang ada dibalik kemudi.

“Silahkan nona,” ucap pengawal tersebut.

Iora masuk kedalam mobil dengan wajah masam. Dua pengawal lainnya ada di mobil belakang.

Iora menghela nafas berat.

“Jalan,”  perintah Iora. 

Sepanjang perjalanan terasa sangat membosankan, kalau supirnya dulu seorang bapak yang luwes dan humoris.

“Mungkin ini rasanya naik mobil disopiri oleh robot,” gumam Iora kesal.

Sekitar dua puluh menit mereka tiba di salon kecantikan langganan Iora. 

Iora masuk kedalam dan diikuti oleh satu pengawal. 

Selama 3 jam lebih Iora menjalani perawatan baik wajah, tubuh dan rambut panjangnya. Pengawal tersebut sangat setia menunggu.

Setelah selesai perawatan di salon, Iora tampak ceria kembali. 

Iora menatap jam diponselnya.

“Masih ada satu jam sebelum pulang,” gumam Iora.

“Ayo antar aku ke toko roti,” ajak Iora pada pengawal yang membuka pintu mobil untuknya.

Mereka melaju ke toko roti, toko roti favorit Iora. 

“Tunggu di mobil saja, aku tidak akan lama,” perintah Iora dan turun dari mobil.

Iora masuk kedalam toko roti dan membeli beberapa roti favoritnya.  

“Terima kasih,” ucap pelayan toko saat Iora keluar dari toko roti tersebut.

Suasana hati Iora sangat baik sore ini.

“Tidak sabar untuk minum teh dan makan roti ini,” katanya sambil menghirup aroma roti yang baru saja diangkat dari oven itu.

Saat akan menuju ke mobil, tiba-tiba ada satu orang yang berlari kencang ke arah Iora. Orang itu memakai masker dan jaket topi.

“AHHH…” Iora berteriak kencang saat orang itu hampir saja menusuk Iora, Iora yang memiliki reflek yang cepat dapat menghindari pisau yang diarahkan padanya.

Pengawal yang ada di mobil langsung turun berlari ke arah Iora dan mobil yang ada di belakang mengejar pelaku tersebut.

Orang-orang yang ada di toko roti langsung keluar saat Iora berteriak kencang.

“Tangannya berdarah,” pekik salah satu orang yang ada disana.

Pengawal tersebut langsung mengambil tindakan dan mengamankan nona mudanya ke dalam mobil.

“Kita ke rumah sakit,” ucap pengawal tersebut dan langsung menjalankan mobilnya.

Iora memegang tangannya yang terkena sayatan karena dia menghindar tadi. Kalau dia tidak menghindar mungkin perut atau dadanya yang tertancap pisau.

Iora mulai meneteskan airmata, dia menahan sakit di tangan dan juga melampiaskan rasa takutnya.

Begitu tiba di rumah sakit, mereka  langsung ke UGD. 

Tidak lama kedua orang tua Iora datang dengan wajah tegang.

“Ma,” lirih Iora dengan wajah pucat. 

Mamanya tidak bicara dan langsung memeluk putrinya dengan erat.

“Aku mau pulang,” pinta Iora dengan lirih.

“Iya kita pulang.” Mamanya mengecup puncak kepala putrinya.

Tidak ingin berlama-lama di rumah sakit, Iora sangat tidak suka dengan rumah sakit.

Begitu tiba dirumah, Iora berbaring ditempat tidurnya. Mencoba mengingat kembali mata orang yang hampir menusuknya dengan pisau.

“Orang itu tidak asing, sebenarnya apa mau orang itu, nyawaku atau uang? Apakah itu ulah saingan bisnis papa?” batinnya.

Iora berdiri dan menatap tangannya yang diperban.

“Untung saja hanya luka sayatan, tidak robek.” Iora menggigit bibirnya. Lukanya mulai terasa perih.

“Apa aku tanyakan pada papa saja ya?” tanya Iora pada dirinya sendiri.

Iora berjalan ke arah meja riasnya dan menatap pantulan dirinya di depan kaca riasnya.

“Apakah itu ada hubungannya dengan dirimu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status