Iora berdiri di ruang kerja papanya dan disana ada kedua orang tuanya dan 3 orang tidak dikenalnya.
“Pa,” panggil Eliora atau Iora didepan pintu. “Duduk,” perintah papanya dengan suara tegas. “Sepertinya aku sudah ketahuan,” batin Iora mendesah pasrah. “Sudah tahu kesalahanmu, bukan? pergi secara diam-diam dan jualan di pasar, tidak ada pengampunan setelah ini,” urai papanya. Iora menganggukan kepalanya sambil menunduk. Habis sudah dia hari ini. “Mulai saat ini papa akan menempatkan pengawal disisimu. Mereka akan menjagamu 24 jam setiap hari,” putus papa dengan tegas. Iora mengangkat kepalanya dan menatap Papanya tidak senang. “Aku bisa sendiri, kenapa harus ada pengawal?” protes Iora. “Apa papa memberikanmu pilihan?” tanya papanya dengan tatapan tidak mau dibantah “Kenapa harus ada pengawal? aku bukan anak presiden atau orang penting, apa gunanya ada pengawal?” tanya Iora beruntun. Tidak terima dengan keputusan orang tuanya. “Kamu masih anakku dan kami orang tua berhak mengaturmu. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan papa. Mulai sekarang mereka akan menjadi pengawalmu,” tegas papa. “Pa, aku tidak mau,” mohon Iora dengan wajah memohon. “Kembali ke kamarmu sekarang!” perintah papa kembali. Tanda tidak mau membahas masalah ini lagi. Mama menggelengkan kepalanya, mamanya juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau suaminya sudah turun tangan. “Iora tetap tidak mau ada pengawal.” Iora menegaskan lagi dan keluar dari sana. Dengan hati dongkol Iora keluar dari ruang kerja papanya. “Aku harus berpikir cepat, bagaimana caranya aku bisa lepas dari pengawal tersebut? Kalau ada mereka aku tidak bisa berjualan dipasar lagi,” gumam Iora. Di dalam kamarnya Iora memikirkan cara agar bisa keluar rumah hari ini. “Sepertinya aku harus cepat-cepat pergi sebelum orang rumah menyadarinya,” ucap Iora dan mengambil tasnya serta kunci mobil. Iora turun dari lantai dua lewat tangga samping. “Biasanya jam segini pelayan sedang tidak ada didapur,” gumam Iora. Diam mengendap-endap keluar ke pintu samping “Aman,” gumamnya dan masuk ke mobilnya yang untungnya terparkir paling depan. Iora keluar dari halaman rumah dengan cepat. “Pasar, Princess Iora datang,” seru Iora dengan senang. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, selagi jalanan tidak ramai. Pagi ini di lewati Iora tanpa halangan sedikitpun, dagangannya pun laku keras. “Sampai jumpa besok,” pamit Iora pada dua orang yang membantunya berjualan. “Setelah ini aku kemana ya?” gumam Iora begitu masuk ke mobilnya. “Kira-kira mereka sedang mencariku tidak ya?” tanyanya pada diri sendiri. “Lebih baik aku beli bahan kue dulu sebelum pulang,” ujarnya. Iora melajukan mobilnya, dia belum ingin kembali ke rumah. Sebagai aksi protesnya kepada kedua orang tuanya. “Pengawal, lucu sekali hidupku harus diikuti oleh pengawal setiap harinya,” ucap Iora dan masuk ke kawasan yang cukup sepi, dia memilih jalan berputar untuk pulang. Karena kalau memutar dia akan melewati toko kue langganannya lalu kediaman milik orangtuanya. Saat sudah berada di tengah kawasan tersebut, Iora memperhatikan satu mobil sedan warna silver dibelakangnya. “Bukannya itu mobil yang di pasar tadi ya?” gumam Iora. Iora terus memperhatikan mobil tersebut dan menaikkan kecepatannya. Benar saja, mobil itu juga menaikkan kecepatannya. “Apa hanya kebetulan saja?” Iora kemudian menurunkan kecepatan mobilnya “Sepertinya ada yang aneh,’’ gumam Iora. Dengan berani Iora menepikan mobilnya dan berhenti tanpa mematikan mobilnya. sama mobil itu juga berhenti. “Ini sudah tidak beres, dia pasti mengikutiku,” gumam Iora dan melajukan mobilnya langsung dengan kecepatan penuh. Sopir mobil sedan itu seperti terkejut dan mengikut Iora. Iora sedikit panik dan terus menginjak pedal gasnya. “Sialan. Siapa orang itu?” Iora menaikkan kembali kecepatan mobilnya. Mobil yang dibelakang ikut menaikan kecepatan mobilnya juga. Iora menjadi semakin panik hingga tangannya yang memegang setir gemetar. Iora dengan tangan kirinya mencoba untuk mengambil ponselnya yang ada di tas. Posisi tas ada di kursi penumpang samping. Berhasil. “Aku hubungi papa saja,” gumamnya dengan bibir yang ikut gemetar. Iora membuka ponselnya, namun tiba-tiba mobilnya tertabrak dari belakang. BRAK! Ponsel Iora terjatuh. “Ahh…” teriak Iora terkejut. Iora menoleh ke belakang. Mobil sedan itu sudah ada tepat di belakangnya. BRAK! Mobil itu menabrak bagian belakang mobil Iora lagi,kali ini lebih kuat. Mobil Iora oleng ke kanan dan hampir menabrak pembatas jalan. Bunyi decitan mobil yang direm secara tiba-tiba, jejak ban mobil sangat kentara di aspal jalan itu. Dengan sisa keberanian yang ada dihatinya, Iora memegang setir mobil dengan kuat dan menstabilkan posisi mobilnya. “Tidak, aku tidak boleh mati disini,” gumam Iora dan mengembalikan posisi mobil ke jalan dan dia menginjak dalam-dalam pedal gas. Iora berhasil menguasai diri dan kembali melaju untuk keluar dari kawasan tersebut. Di ujung jalan ada beberapa mobil yang melaju dari arah berlawanan. Iora menyipitkan matanya dan menarik nafas lega, itu adalah mobil dari sopir papanya. TIN…TIN… Iora menekan klakson mobil, untuk memberi sinyal pada mobil yang ada di depannya. Mobil sedan yang ada di belakang sepertinya menyadari pertolongan untuk Iora telah datang, jadi dia segera memutar balik mobilnya. “DASAR CEMEN! BERANINYA DENGAN PEREMPUAN,” teriak Iora meluapkan rasa kesal dan takut yang ada dihatinya. Mobil Iora berhenti, begitu juga dengan mobil yang datang dari arah berlawanan tersebut. Iora membuka pintu tanpa keluar dari mobilnya. “Anda baik-baik saja nona?” tanya supir dengan wajah khawatir. Iora hanya menganggukan kepalanya sambil menutup mata. “Anda pindah mobil saja nona,” ucap supir itu. Iora membuka matanya, dia melihat ke sekitar dan disana ada tiga pengawal yang berdiri di samping dan belakang mobilnya. Iora tidak memperdulikan mereka, segera mengambil tas dan ponselnya untuk pindah mobil. Rasa lega di hati Iora saat dia tidak sendirian lagi. Ada satu mobil yang datang dari arah berlawanan, mobil itu mengejar mobil sedan yang mengikuti Iora. Dari jendela mobil Iora samar-samar mendengarkan pembicaraan mereka. “Mobil itu terparkir di sisi jalan tanpa ada orang, sepertinya dia langsung kabur.” Iora menutup matanya dan mencoba mengingat orang-orang mencurigakan yang dia temui hari ini. “Siapa dia?” gumam Iora menatap ke arah mobilnya.“LIHAT! APA YANG TERJADI? semua karena kamu terlalu keras kepala. Bagaimana kalau pertolongan datang terlambat? Keras kepalamu itu hampir saja membuatmu mati sia-sia,” teriak papa Iora dengan marah. Iora hanya menundukkan kepalanya, tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan satu katapun. “Masuk kamar!” perintah papanya tanpa menurunkan nada bicaranya. Iora berdiri dan dengan cepat naik ke lantai dua. Bruk! Iora membanting tubuhnya diatas tempat tidurnya itu. Matanya menatap langit-langit kamar, dia menerawang jauh. “Tidak, semuanya hanya kebetulan saja. Mungkin itu adalah orang iseng saja,” gumam Iora mengusir kemungkinan buruk yang sedang dia pikirkan. “Lebih baik aku mandi,” ujarnya. Iora mandi dan merilekskan tubuhnya. “Aku sudah seperti pembalap saja siang ini,” gelaknya pada diri sendiri. Iora menikmati acara berendamnya kurang lebih setengah jam. “Kiko, buatkan aku teh hijau,” pinta Iora dari intercom kamar. Iora membuka pintu kamarnya dan duduk di so
Iora duduk di gazebo di belakang rumahnya. Menikmati teh dan kue kering buatan pelayan khusus untuknya. “Sepertinya terlalu aneh dan kebetulan. Orang itu tahu rumah ini dan mengawasi dari luar, apakah dia ada orang dalam?” pikir Iora. “Aku harus mencari tahu, kalau aku takut dengan teror ini, sudah pasti mereka akan gencar menerorku.” Iora memutar otak untuk menguak orang dibalik teror yang dialami sekarang. “Lebih baik aku tunggu sampai situasi mereda dan aku akan menyelidiki hal ini,” gumam Iora. Beberapa hari setelah Iora hampir saja ditusuk, orang tuanya menahan Iora tetap dirumah. “Ke arah pasar,” perintah Iora pada pengawalnya. “Anda tidak bisa berjualan nona,” sahut pengawal tersebut. “Apa aku mengatakan akan berjualan dipasar?” tanya Iora dengan sinis. “Maaf Nona,” balas pengawal tersebut. “Jalan!” perintah Iora. Mobil tersebut akhirnya keluar dari kediaman Wirantana. Iora memperhatikan area sekitar saat keluar dari kawasan kediamannya. Papanya bahkan sudah memasang
Iora menundukkan kepalanya. Dia melirik pengawalnya dan mengumpat dalam hati. “Dasar pengadu, tidak hanya badannya yang sixpack, mulutnya juga ada enam,” umpat Iora dalam hatinya. “Kamu tahu, tindakanmu hari ini dapat membuat orang yang ingin mencelakaimu mendapatkan kesempatan untuk menyakitimu,” ujar papa dengan nada tegas. Iora menarik nafas, dia sudah tidak tahan. Dia juga harus bertindak kalau ada orang ingin menyakitinya. “Pa, aku pun sudah mempertimbangkan situasi sebelum bertindak. Apa gunanya ada pengawal kalau mereka tidak bisa menjagaku? Kalau orang itu lebih dari satu, dan memanfaatkan situasi tadi untuk menyakitiku, apa gunanya pengawal-pengawal ini bersamaku?” tukas Iora dan menunjuk para pengawal-pengawal yang berdiri di samping Iora. “Apa sebenarnya tugas mereka? Hanya untuk melaporkan apa yang sudah ku lakukan? Kalau aku saat di toko roti itu tidak menghindar dan menunggu mereka melindungiku, apa yang akan terjadi? Apa yang dilakukan para pengawal ini? Kalau aku
“Ya Tuhan,” lirih Iora dengan bibir bergetar. -Ditemukan seorang tukang ojek online di dalam parit dekat jembatan dengan keadaan sudah meninggal dunia, kemungkinan adalah korban begal.- Tangan Iora bergetar menggeser halaman berita tersebut di ponselnya, ada foto korban yang sudah disamarkan dan plat motor korban yang terparkir di samping jembatan. “Dia bukan penjahat, dia psikopat gila,” tutur Iora dengan mata berkaca-kaca. Hatinya merasa bersalah pada bapak tersebut. “Ini pasti ulah nya, dia pasti ingin menghilangkan jejak agar tidak ada saksi,” lirih Iora. Iora menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan aku pak, anda orang baik. Aku janji akan membuat orang itu mempertanggungjawabkan semua yang sudah dia lakukan,” janji Iora. Iora bersiap dia akan pergi hari ini. “Siapkan mobil,” suruh Iora pada pengawalnya yang sedang siaga di teras rumah. “Baik nona,” balas pengawal dan dengan cepat melakukan tugasnya. Begitu mobil sedan itu terparkir, Iora langsung naik. “Kamu sudah baca ber
Iora menatap tempat tidur pasien dengan rasa bersalah.“Apakah dia tidak apa-apa?” tanya Iora pada papanya yang duduk disampingnya.“Dia pingsan karena hantaman di kepalanya terlalu keras. Beruntung tidak ada cedera otak. Hanya saja luka robek dari atas telinga kiri sampai ke pelipis cukup dalam,” jelas papanya.Iora menatap tangan kanannya yang di perban, hanya luka robek kecil yang tidak perlu dijahit.Mungkin kalau pengawal pribadinya tidak menolong Iora tepat waktu saat itu, Iora-lah yang ada di atas tempat tidur pasien, kalau beruntung. Kemungkinan besar dia sudah mati tertusuk pecahan pot bunga keramik tersebut.“Apakah dia sudah punya keluarga?” tanya Iora pada papanya.“Anak laki-laki umur tiga tahun,” jawab papanya.Iora menarik nafas dalam-dalam.“Aku ingin beri anak dan istrinya tunjangan dua kali lipat selama dia tidak bisa bekerja. Dan terlebih beri dia cuti panjang untuk masa pemulihan,” mohon Iora pada papanya.Papanya merangkul Iora dengan sayang.“Tenang saja, papa su
“Jangan menghalangiku!” tegas Iora pada pria yang menjulang tinggi di depan itu.“Maaf nona, saya menjalankan perintah tuan besar. Anda tidak bisa berjualan di pasar,” jawab Peter dengan nada sopan.“Bukan urusanmu, Awa!” Iora mendorong Peter yang berdiri di depannya.Iora terkungkung di antara pintu mobil dan tubuh Peter.“Lebih baik anda masuk kedalam mobil nona,” tukas Peter tidak bergeser sesenti pun dari tempatnya berdiri.“Minggir,” teriak Iora kesal.Peter tidak menanggapi.Buk!Iora menekan kakinya yang ada diatas kaki Peter yang mengenakan pantofel hitam itu.Peter sama sekali tidak kesakitan.“Hah!” desah Iora. “Minggir,” desak Iora sambil mencoba mendorong tubuh Peter lagi.Peter tidak bereaksi apapun. Dia tetap pada tempatnya.“Apa yang kamu makan sih? Batu?” ejek Iora karena tidak bisa mendorong tubuh Peter.Peter menunduk sedikit dan menyeringai.“Apa yang ada makan nona? Batu? Anda terlalu keras kepala,” sahut Peter mengembalikan pertanyaan Iora dengan sarkas.Iora men
“Nona…” rengek Kiko sambil menahan tangan Iora yang sedang membuka pintu pagar yang ada di halaman paling belakang.“Ssst… Jangan berisik nanti ketahuan,” bisik Iora dengan gerakan jari telunjuk di depan mulutnya.“Nona… tolonglah… saya yang akan di hukum oleh tuan besar kalau nona kabur lagi,” mohon Kiko dengan wajah memelas.Iora mendecih kesal.“Cih.. makanya kamu ikut.”Kiko berlutut dan memeluk kaki Iora dengan erat.“Nona, jangan nona, saya mohon. Kalau nona kabur lagi, bisa-bisa saya dikirim ke luar negeri jadi TKW, hiks…” mohon Kiko sambil menangis.Iora menghentikan gerakan tubuhnya. Dia menatap Kiko dengan cemberut.“Saya mohon jangan aneh-aneh lagi nona. Saya tidak mau jadi TKW.” Kiko terus memohon pada Iora.Iora menarik nafas dalam-dalam, dia juga tidak ikhlas kalau Kiko benar-benar dijadikan TKW oleh papanya.“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya seseorang dengan suara tegas.“Pa-papa,” sebut Iora lalu memasang senyuman lebar.Iora dengan cepat menarik tangan Kiko dan
“Silakan pindah mobil Nona,” ucap Peter membuka pintu mobil taksi tersebut.Iora hanya melirik sinis pada Peter, hatinya sangat dongkol.“Awas!” ucap Iora kasar dan mendorong pintu mobil tersebut.“Cepat sekali dia menemukan ku? Pakai ilmu apa dia? Jangan-jangan dia sudah menyadap ku,” gumam Iora.“Nona… Apakah nona baik-baik saja?” tanya Kiko sambil memeriksa tubuh Iora.Iora tidak menanggapi dan bertanya, “Bagaimana bisa dia menemukanku?” Kiko memberikan botol minum pada Iora dan menjawab, “setelah tahu nona kabur, pengawal itu tidak mengatakan apa-apa dan kamu keluar dari taman langsung mengikuti taksi itu.”Iora menyipitkan matanya.“Hm… mencurigakan,” gumamnya.“Apa yang mencurigakan?” tanya Kiko dan mengikuti arah pandangan dari Iora.Iora menarik nafas dan menatap Kiko.Peter masuk ke dalam mobil.“Sekali lagi anda kabur nona, saya pastikan izin anda keluar rumah akan dicabut selamanya,” ucap Peter dan melajukan mobil tersebut dengan kecepatan normal.Iora mengangkat tangannya