Iora duduk di gazebo di belakang rumahnya. Menikmati teh dan kue kering buatan pelayan khusus untuknya.
“Sepertinya terlalu aneh dan kebetulan. Orang itu tahu rumah ini dan mengawasi dari luar, apakah dia ada orang dalam?” pikir Iora. “Aku harus mencari tahu, kalau aku takut dengan teror ini, sudah pasti mereka akan gencar menerorku.” Iora memutar otak untuk menguak orang dibalik teror yang dialami sekarang. “Lebih baik aku tunggu sampai situasi mereda dan aku akan menyelidiki hal ini,” gumam Iora. Beberapa hari setelah Iora hampir saja ditusuk, orang tuanya menahan Iora tetap dirumah. “Ke arah pasar,” perintah Iora pada pengawalnya. “Anda tidak bisa berjualan nona,” sahut pengawal tersebut. “Apa aku mengatakan akan berjualan dipasar?” tanya Iora dengan sinis. “Maaf Nona,” balas pengawal tersebut. “Jalan!” perintah Iora. Mobil tersebut akhirnya keluar dari kediaman Wirantana. Iora memperhatikan area sekitar saat keluar dari kawasan kediamannya. Papanya bahkan sudah memasang pagar menjulang tinggi di jalan masuk ke kediaman mereka, padahal selama ini papanya membiarkan saja agar tidak terlihat anti sosial. Berkendara kurang lebih dua puluh menit, mereka tiba di area parkir pasar Induk. Iora memperhatikan sekitar dan berkata, “Pindahkan mobil tepat di depan kios buah itu.” “Baik Nona.” Mobil itu pindah parkirannya sesuai dengan arahan Iora. Iora memperhatikan dengan seksama setiap area di sekitar dia biasa menjual kue. Iora mengeluarkan kameranya dan memotret setiap area tersebut. Pengawal hanya mengawasi dari balik kemudinya. Mata tajam Iora menyipit melihat satu orang yang baru saja keluar dari mobil warna hitam yang terparkir di seberang sisi mereka. “Tidak mencurigakan,” gumam Iora. “Kamu keluar dan beli kue ditempat itu,” suruh Iora sembari memberikan uang berwarna biru pada pengawalnya. “Tetapi nona, saya tidak bisa membiarkan anda sendirian di mobil,” sangga pengawal tersebut. Iora mendecih. “Aku akan mengunci pintunya, sudah sana,” suruh Iora dengan tidak sabaran. Pengawal itu tidak bisa membantah dan turun dari mobil. Iora langsung mengunci pintu mobil, pengawal tersebut memberikan isyarat pada rekannya. Sehingga dua rekannya turun dari mobil dan mengawasi Iora. Setelah pengawal itu turun, kecurigaan Iora tepat. Mobil disamping mobil hitam yang terparkir di depan terbuka pintunya dan turun seorang pria dengan jaket hitam dan topi. “Benar, dia mengikutiku. Dia masih mengawasi dari sekitar rumah. Siapa sebenarnya orang itu?” gumam Iora penasaran. Kaca mobilnya di pakaikan kaca film hitam sehingga tidak ada yang dapat melihat dari luar. “Aku harus segera memotretnya,” gumam Iora dan mengambil kameranya. Iora memotret orang tersebut dan memperbesar gambarnya. Orang dengan jaket hitam itu mendekati mobil Iora. Iora sedikit was-was, namun orang berpakaian hitam tersebut seperti menghindar saat melihat dua pengawal Iora yang berjalan ke arah mobil saat orang itu mendekat. Orang dengan pakaian hitam itu berjalan ke arah toko di belakang mobil Iora. Kesempatan itu Iora tidak lepaskan dengan mengambil banyak gambar orang itu. Pengawal Iora datang dengan satu plastik kue. “Bagikan pada teman-temanmu, aku sudah tidak menginginkannya lagi,” ujar Iora yang fokus pada ponselnya. “Pulang” perintah Iora lagi. Akhirnya mereka kembali pulang, Iora mengawasi mobil hitam tersebut yang sepertinya tidak mengikuti mereka. *** Tiga hari kemudian Iora memutuskan untuk tetap dirumah, dia sedang mencari cela agar dapat pergi keluar rumah. Pagi hari ini Iora sudah mengantongi izin untuk lari pagi di taman kota. Dengan catatan ketiga pengawal tersebut harus ikut. “Jaga jarak denganku,” perintah Iora saat mereka sudah ada di jalur lari di taman tersebut. “Baik Nona,” jawab mereka dengan kompak. Iora mulai lari pelan sambil meningkatkan kepekaannya. Dia yakin orang itu juga ada disini. Sekitar lima belas menit Iora berlari, dia memutuskan untuk jalan santai sambil menikmati pemandangan danau diseberang jalur lari tersebut. “Dimana dia?” gumam Iora memperhatikan orang-orang sekitar. “Hah..Sangat mengesalkan,” umpat Iora dan duduk di rumput memandang danau tersebut. “Eh, Eliora kan?” tanya seorang bapak-bapak berkacamata. Iora terkejut dan langsung berdiri, menatap orang tersebut. Pengawalnya langsung bereaksi saat ada orang mendekati nona mereka. “Pak Guntur?” tanya Iora memastikan. Pria yang dipanggil pak guntur tersebut tersenyum lebar. “Syukurlah kamu masih kenal dengan bapak,” ucap orang itu. “Apa kabar pak?” tanya Iora basa basi. “Seperti yang kau lihat, tentu bapak masih tampan, bukan?” candanya sambil terkekeh geli. Iora hanya tertawa pelan dan mengangguk kepalanya. “Baiklah, bapak pergi dulu.” Pria itu pergi dan berlari di jalur lari. Iora melirik pengawalnya yang menggunakan baju olahraga warna sama itu. “Dia guruku di SMA dulu,” ucap Iora menjawab rasa penasaran pengawalnya. Iora kembali duduk mengamati. “Hah, mengesalkan sekali,” umpat Iora sambil menendang-nendang rumput. Karena hari semakin siang mereka akhirnya kembali, Iora masih berharap dapat melihat orang yang menerornya itu. “Ada apa?” tanya Iora saat mobilnya berhenti dan sekitar 10 menit belum jalan. “Sepertinya ada kecelakaan di depan,” jawab pengawal tersebut. Iora memperhatikan jalan, banyak orang yang berbondong-bondong turun dari motor untuk melihat kecelakaan tersebut. Iora berdecih, “apakah kecelakaan adalah tontonan?” tanyanya dengan nada sinis. Iora menatap ke arah ke luar, bunyi klakson tiada hentinya bersahutan. Saat mata Iora fokus pada sisi sebelah kiri dekat tiang iklan, matanya memicing. “Itu dia,” sentak Iora dan membuka pintu mobilnya secara tiba-tiba. Pengawal tersebut langsung terkejut melihat Iora turun dari mobil. “Nona,” panggil Pengawal itu ikut turun. “Hei, jangan lari. Dasar penguntit,” teriak Iora dan mengundang perhatian masyarakat. Pria dengan jaket, topi, dan masker hitam tersebut langsung lari menghindari keramaian. Iora memanfaatkan situasi agar dapat menangkap orang tersebut. “Nona, jangan dikejar,” teriak pengawal tersebut saat Iora mencoba melewati beberapa motor di samping mobilnya. Orang-orang disana turut turun dan mencoba untuk mencari pria tersebut. “Sialan, dasar pecundang. Sini kalau berani,” tantang Iora berteriak garang. Nafasnya memburu kesal. Iora di tuntun masuk ke mobil oleh pengawal. Beruntung polisi sedang sibuk didepan, sehingga tidak mendengar teriak Iora yang mengundang keributan dalam situasi macet. “Kamu lihatkan? Dia itu penguntitnya,” teriak Iora dengan heboh. “Nona jangan asal menuduh, bisa saja itu orang biasa,” sanggah pengawal tersebut. Bruk! Iora menendang kursi supir saking kesalnya dengan jawaban sang pengawal. “Dia, itu pasti dia. Dia orang yang sama di toko roti dan di pasar, apa sebenarnya maunya, nyawaku ‘kah?” batin Iora bingung.Iora menundukkan kepalanya. Dia melirik pengawalnya dan mengumpat dalam hati. “Dasar pengadu, tidak hanya badannya yang sixpack, mulutnya juga ada enam,” umpat Iora dalam hatinya. “Kamu tahu, tindakanmu hari ini dapat membuat orang yang ingin mencelakaimu mendapatkan kesempatan untuk menyakitimu,” ujar papa dengan nada tegas. Iora menarik nafas, dia sudah tidak tahan. Dia juga harus bertindak kalau ada orang ingin menyakitinya. “Pa, aku pun sudah mempertimbangkan situasi sebelum bertindak. Apa gunanya ada pengawal kalau mereka tidak bisa menjagaku? Kalau orang itu lebih dari satu, dan memanfaatkan situasi tadi untuk menyakitiku, apa gunanya pengawal-pengawal ini bersamaku?” tukas Iora dan menunjuk para pengawal-pengawal yang berdiri di samping Iora. “Apa sebenarnya tugas mereka? Hanya untuk melaporkan apa yang sudah ku lakukan? Kalau aku saat di toko roti itu tidak menghindar dan menunggu mereka melindungiku, apa yang akan terjadi? Apa yang dilakukan para pengawal ini? Kalau aku
“Ya Tuhan,” lirih Iora dengan bibir bergetar. -Ditemukan seorang tukang ojek online di dalam parit dekat jembatan dengan keadaan sudah meninggal dunia, kemungkinan adalah korban begal.- Tangan Iora bergetar menggeser halaman berita tersebut di ponselnya, ada foto korban yang sudah disamarkan dan plat motor korban yang terparkir di samping jembatan. “Dia bukan penjahat, dia psikopat gila,” tutur Iora dengan mata berkaca-kaca. Hatinya merasa bersalah pada bapak tersebut. “Ini pasti ulah nya, dia pasti ingin menghilangkan jejak agar tidak ada saksi,” lirih Iora. Iora menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan aku pak, anda orang baik. Aku janji akan membuat orang itu mempertanggungjawabkan semua yang sudah dia lakukan,” janji Iora. Iora bersiap dia akan pergi hari ini. “Siapkan mobil,” suruh Iora pada pengawalnya yang sedang siaga di teras rumah. “Baik nona,” balas pengawal dan dengan cepat melakukan tugasnya. Begitu mobil sedan itu terparkir, Iora langsung naik. “Kamu sudah baca ber
Iora menatap tempat tidur pasien dengan rasa bersalah.“Apakah dia tidak apa-apa?” tanya Iora pada papanya yang duduk disampingnya.“Dia pingsan karena hantaman di kepalanya terlalu keras. Beruntung tidak ada cedera otak. Hanya saja luka robek dari atas telinga kiri sampai ke pelipis cukup dalam,” jelas papanya.Iora menatap tangan kanannya yang di perban, hanya luka robek kecil yang tidak perlu dijahit.Mungkin kalau pengawal pribadinya tidak menolong Iora tepat waktu saat itu, Iora-lah yang ada di atas tempat tidur pasien, kalau beruntung. Kemungkinan besar dia sudah mati tertusuk pecahan pot bunga keramik tersebut.“Apakah dia sudah punya keluarga?” tanya Iora pada papanya.“Anak laki-laki umur tiga tahun,” jawab papanya.Iora menarik nafas dalam-dalam.“Aku ingin beri anak dan istrinya tunjangan dua kali lipat selama dia tidak bisa bekerja. Dan terlebih beri dia cuti panjang untuk masa pemulihan,” mohon Iora pada papanya.Papanya merangkul Iora dengan sayang.“Tenang saja, papa su
“Jangan menghalangiku!” tegas Iora pada pria yang menjulang tinggi di depan itu.“Maaf nona, saya menjalankan perintah tuan besar. Anda tidak bisa berjualan di pasar,” jawab Peter dengan nada sopan.“Bukan urusanmu, Awa!” Iora mendorong Peter yang berdiri di depannya.Iora terkungkung di antara pintu mobil dan tubuh Peter.“Lebih baik anda masuk kedalam mobil nona,” tukas Peter tidak bergeser sesenti pun dari tempatnya berdiri.“Minggir,” teriak Iora kesal.Peter tidak menanggapi.Buk!Iora menekan kakinya yang ada diatas kaki Peter yang mengenakan pantofel hitam itu.Peter sama sekali tidak kesakitan.“Hah!” desah Iora. “Minggir,” desak Iora sambil mencoba mendorong tubuh Peter lagi.Peter tidak bereaksi apapun. Dia tetap pada tempatnya.“Apa yang kamu makan sih? Batu?” ejek Iora karena tidak bisa mendorong tubuh Peter.Peter menunduk sedikit dan menyeringai.“Apa yang ada makan nona? Batu? Anda terlalu keras kepala,” sahut Peter mengembalikan pertanyaan Iora dengan sarkas.Iora men
“Nona…” rengek Kiko sambil menahan tangan Iora yang sedang membuka pintu pagar yang ada di halaman paling belakang.“Ssst… Jangan berisik nanti ketahuan,” bisik Iora dengan gerakan jari telunjuk di depan mulutnya.“Nona… tolonglah… saya yang akan di hukum oleh tuan besar kalau nona kabur lagi,” mohon Kiko dengan wajah memelas.Iora mendecih kesal.“Cih.. makanya kamu ikut.”Kiko berlutut dan memeluk kaki Iora dengan erat.“Nona, jangan nona, saya mohon. Kalau nona kabur lagi, bisa-bisa saya dikirim ke luar negeri jadi TKW, hiks…” mohon Kiko sambil menangis.Iora menghentikan gerakan tubuhnya. Dia menatap Kiko dengan cemberut.“Saya mohon jangan aneh-aneh lagi nona. Saya tidak mau jadi TKW.” Kiko terus memohon pada Iora.Iora menarik nafas dalam-dalam, dia juga tidak ikhlas kalau Kiko benar-benar dijadikan TKW oleh papanya.“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya seseorang dengan suara tegas.“Pa-papa,” sebut Iora lalu memasang senyuman lebar.Iora dengan cepat menarik tangan Kiko dan
“Silakan pindah mobil Nona,” ucap Peter membuka pintu mobil taksi tersebut.Iora hanya melirik sinis pada Peter, hatinya sangat dongkol.“Awas!” ucap Iora kasar dan mendorong pintu mobil tersebut.“Cepat sekali dia menemukan ku? Pakai ilmu apa dia? Jangan-jangan dia sudah menyadap ku,” gumam Iora.“Nona… Apakah nona baik-baik saja?” tanya Kiko sambil memeriksa tubuh Iora.Iora tidak menanggapi dan bertanya, “Bagaimana bisa dia menemukanku?” Kiko memberikan botol minum pada Iora dan menjawab, “setelah tahu nona kabur, pengawal itu tidak mengatakan apa-apa dan kamu keluar dari taman langsung mengikuti taksi itu.”Iora menyipitkan matanya.“Hm… mencurigakan,” gumamnya.“Apa yang mencurigakan?” tanya Kiko dan mengikuti arah pandangan dari Iora.Iora menarik nafas dan menatap Kiko.Peter masuk ke dalam mobil.“Sekali lagi anda kabur nona, saya pastikan izin anda keluar rumah akan dicabut selamanya,” ucap Peter dan melajukan mobil tersebut dengan kecepatan normal.Iora mengangkat tangannya
Iora berdiri di ruang kerja papanya dan disana ada kedua orang tuanya dan 3 orang tidak dikenalnya. “Pa,” panggil Eliora atau Iora didepan pintu. “Duduk,” perintah papanya dengan suara tegas. “Sepertinya aku sudah ketahuan,” batin Iora mendesah pasrah. “Sudah tahu kesalahanmu, bukan? pergi secara diam-diam dan jualan di pasar, tidak ada pengampunan setelah ini,” urai papanya. Iora menganggukan kepalanya sambil menunduk. Habis sudah dia hari ini. “Mulai saat ini papa akan menempatkan pengawal disisimu. Mereka akan menjagamu 24 jam setiap hari,” putus papa dengan tegas. Iora mengangkat kepalanya dan menatap Papanya tidak senang. “Aku bisa sendiri, kenapa harus ada pengawal?” protes Iora. “Apa papa memberikanmu pilihan?” tanya papanya dengan tatapan tidak mau dibantah “Kenapa harus ada pengawal? aku bukan anak presiden atau orang penting, apa gunanya ada pengawal?” tanya Iora beruntun. Tidak terima dengan keputusan orang tuanya. “Kamu masih anakku dan kami orang tua berhak men
“LIHAT! APA YANG TERJADI? semua karena kamu terlalu keras kepala. Bagaimana kalau pertolongan datang terlambat? Keras kepalamu itu hampir saja membuatmu mati sia-sia,” teriak papa Iora dengan marah. Iora hanya menundukkan kepalanya, tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan satu katapun. “Masuk kamar!” perintah papanya tanpa menurunkan nada bicaranya. Iora berdiri dan dengan cepat naik ke lantai dua. Bruk! Iora membanting tubuhnya diatas tempat tidurnya itu. Matanya menatap langit-langit kamar, dia menerawang jauh. “Tidak, semuanya hanya kebetulan saja. Mungkin itu adalah orang iseng saja,” gumam Iora mengusir kemungkinan buruk yang sedang dia pikirkan. “Lebih baik aku mandi,” ujarnya. Iora mandi dan merilekskan tubuhnya. “Aku sudah seperti pembalap saja siang ini,” gelaknya pada diri sendiri. Iora menikmati acara berendamnya kurang lebih setengah jam. “Kiko, buatkan aku teh hijau,” pinta Iora dari intercom kamar. Iora membuka pintu kamarnya dan duduk di so