Iora menundukkan kepalanya.
Dia melirik pengawalnya dan mengumpat dalam hati. “Dasar pengadu, tidak hanya badannya yang sixpack, mulutnya juga ada enam,” umpat Iora dalam hatinya. “Kamu tahu, tindakanmu hari ini dapat membuat orang yang ingin mencelakaimu mendapatkan kesempatan untuk menyakitimu,” ujar papa dengan nada tegas. Iora menarik nafas, dia sudah tidak tahan. Dia juga harus bertindak kalau ada orang ingin menyakitinya. “Pa, aku pun sudah mempertimbangkan situasi sebelum bertindak. Apa gunanya ada pengawal kalau mereka tidak bisa menjagaku? Kalau orang itu lebih dari satu, dan memanfaatkan situasi tadi untuk menyakitiku, apa gunanya pengawal-pengawal ini bersamaku?” tukas Iora dan menunjuk para pengawal-pengawal yang berdiri di samping Iora. “Apa sebenarnya tugas mereka? Hanya untuk melaporkan apa yang sudah ku lakukan? Kalau aku saat di toko roti itu tidak menghindar dan menunggu mereka melindungiku, apa yang akan terjadi? Apa yang dilakukan para pengawal ini? Kalau aku tidak cepat menghindar, mungkin aku sudah mati sia-sia.” Iora meluapkan rasa kesalnya. “Apa aku salah jika ingin mengetahui dalang dari semua teror ini? Apa aku salah untuk mencoba mencari tahu? Apa aku salah…” ucapan Iora terhenti karena dia sedang menahan diri untuk tidak menangis. “Aku ingin beraktivitas tanpa rasa takut ada orang yang mencoba membunuhku atau apapun itu. Aku tidak bisa diam saja, aku tidak suka dibatasi begini,” lirih Iora sambil menundukkan kepalanya. Papa Iora menarik nafas dia mengerti dengan keadaan putrinya. “Kamu istirahat, papa yang akan menangani ini,” ucap papanya dengan nada suara sudah turun. Iora tidak bereaksi apapun. Dia mengambil tasnya dan naik ke kamarnya. Di kamar Iora melempar tas olahraganya sembarang. “Sebenarnya papa mempekerjakan pengawal atau penggosip?” runtuknya dengan wajah gemas dan kesal sudah bercampur aduk. Iora menatap pantulan dirinya yang terlihat berantakan. “Mereka semakin berani menunjukkan diri di depan umum, pasti mereka mengetahui aktivitasku di luar rumah,” lirihnya. “Aku tidak bisa berdiam diri begini, aku harus mencari tahu sendiri. Saingan bisnis papa atau siapapun itu, aku harus tahu apa tujuannya,” tekad Iora. *** Berkaca dari kejadian terakhir, Iora sudah mempersiapkan diri secara matang jika ingin keluar rumah. “Hari ini aku harus melihat wajah asli orang itu, apapun caranya” gumam Iora. Iora mendapatkan izin keluar rumah setelah beberapa hari kemudian. “Pakai mobil yang lebih kecil, pakai sedan yang warna hitam” perintah Iora saat mobil putih yang biasa digunakan terparkir di depan teras. Pengawal itu langsung bergerak cepat sesuai perintah sang nona muda. Mobil sedan warna hitam, sudah meluncur keluar dari gerbang utama kediaman Wirantana. Iora kembali mengawasi sekitarnya, dia yakin orang itu akan mengikutinya. “Ke arah Mall,” perintah Iora yang duduk dengan tenang di belakang. Pengawal langsung mengarahkan mobil sesuai dengan perintah nona muda. “Kita putar arah, cari jalan yang lebih jauh,” ucap Iora saat melihat ada motor matik hitam yang mengikuti mereka sedari masuk ke jalan utama. Iora mengarahkan kameranya dan memotret mobil tersebut. “Sepuluh menit lagi, kalau motor itu masih ada dibelakang, ulangi rute memutar.” Iora mengarahkan. “Baik nona,” jawab pengawal tersebut. Dan benar saja sepuluh menit kemudian, motor itu masih mengikuti mobil Iora. “Suruh temanmu untuk menghadang motor itu di depan ruko yang baru dibangun di dekat simpang,” perintah Iora. “Baik Nona.” Pengawal itu langsung mengirimkan pesan dengan cepat pada rekannya. Saat mereka semua memasuki arah simpang yang daerahnya baru dibangun. Berhasil. Pengawal yang lain berhasil mencegat motor itu dan menahan orang yang mengendarainya. Iora dengan cepat turun dan berlari ke arah mereka. “Angkat kepalanya,” suruh Iora dari jarak kurang lebih satu meter. Keningnya mengerut saat melihat alis dan mata orang itu. “Bukan dia,” batin Iora kesal. “Buka,” sentak Iora. Pengawal membuka masker dan helm orang itu. “Saya hanya disuruh, jangan pukul saya,” mohon orang itu, dia sudah hampir paruh baya. “Bukan dia, dia tukang ojek online,” jelas Iora yakin. “Anda yakin nona?” tanya pengawal. Iora menganggukkan kepalanya. Dia dengan cepat menelusuri sekitar, dia yakin pasti orang itu ada disekitar sini. “Apa bapak melihat wajah pria yang menyuruh bapak mengikuti kami?” tanya Iora yang sudah menaikkan tingkat kewaspadaannya. “Tidak. Tadi dia hanya beri saya uang 100rb dan menyuruh mengikuti mobil anda. Katanya itu istrinya yang sedang selingkuh,” jujur orang itu. Iora menahan rasa marahnya. Penjahat itu memanfaatkan kelemahan orang. “Sebaiknya bapak kembali, dia orang jahat yang ingin mencelakai saya,” tegas Iora. Bapak itu tampak pucat dan ketakutan. “Lebih baik sekarang bapak pulang ke rumah,” suruh Iora. Pengawal melepaskan bapak itu dan kembali ke mobil. “Orang itu pasti tahu kita akan menjebaknya,” runtuk Iora. “Lebih baik kita pulang, orang itu lebih licik dari yang aku pikirkan,” ujarnya. “Baik nona.” Mereka kembali dengan bermacam spekulasi bermunculan di kepala Iora. “Sepertinya dia bukan orang sembarangan, dia pasti punya komplotan,” batin Iora. Iora mengarahkan matanya keluar jendela. “Apakah anda mengenal peneror itu nona?” tanya pengawal penasaran karena Iora langsung tahu bapak tersebut bukanlah penjahatnya. “Saat dia akan menusukku, aku melihat mata dan bentuk alisnya. Dia seorang pria yang berumur 35-40 tahun. Sama persis dengan pria yang ada di jalan waktu itu,” jawab Iora. Iora menarik nafas panjang, dia harus memikirkan cara lain untuk bisa melihat wajah orang tersebut. “Apakah papa sudah mendapatkan informasi tentang peneror tersebut?” tanya Iora. “Sampai saat ini belum ada, tuan besar sudah menargetkan beberapa orang untuk diperiksa, mungkin akan diketahui dua atau tiga hari lagi,” jawab pengawal tersebut. Iora menatap langit mendung. “Jika benar ini adalah ulah saingan bisnis papa, bukankah aku tidak perlu mencari tahu lagi?” batin Iora menggumam.“Ya Tuhan,” lirih Iora dengan bibir bergetar. -Ditemukan seorang tukang ojek online di dalam parit dekat jembatan dengan keadaan sudah meninggal dunia, kemungkinan adalah korban begal.- Tangan Iora bergetar menggeser halaman berita tersebut di ponselnya, ada foto korban yang sudah disamarkan dan plat motor korban yang terparkir di samping jembatan. “Dia bukan penjahat, dia psikopat gila,” tutur Iora dengan mata berkaca-kaca. Hatinya merasa bersalah pada bapak tersebut. “Ini pasti ulah nya, dia pasti ingin menghilangkan jejak agar tidak ada saksi,” lirih Iora. Iora menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan aku pak, anda orang baik. Aku janji akan membuat orang itu mempertanggungjawabkan semua yang sudah dia lakukan,” janji Iora. Iora bersiap dia akan pergi hari ini. “Siapkan mobil,” suruh Iora pada pengawalnya yang sedang siaga di teras rumah. “Baik nona,” balas pengawal dan dengan cepat melakukan tugasnya. Begitu mobil sedan itu terparkir, Iora langsung naik. “Kamu sudah baca ber
Iora menatap tempat tidur pasien dengan rasa bersalah.“Apakah dia tidak apa-apa?” tanya Iora pada papanya yang duduk disampingnya.“Dia pingsan karena hantaman di kepalanya terlalu keras. Beruntung tidak ada cedera otak. Hanya saja luka robek dari atas telinga kiri sampai ke pelipis cukup dalam,” jelas papanya.Iora menatap tangan kanannya yang di perban, hanya luka robek kecil yang tidak perlu dijahit.Mungkin kalau pengawal pribadinya tidak menolong Iora tepat waktu saat itu, Iora-lah yang ada di atas tempat tidur pasien, kalau beruntung. Kemungkinan besar dia sudah mati tertusuk pecahan pot bunga keramik tersebut.“Apakah dia sudah punya keluarga?” tanya Iora pada papanya.“Anak laki-laki umur tiga tahun,” jawab papanya.Iora menarik nafas dalam-dalam.“Aku ingin beri anak dan istrinya tunjangan dua kali lipat selama dia tidak bisa bekerja. Dan terlebih beri dia cuti panjang untuk masa pemulihan,” mohon Iora pada papanya.Papanya merangkul Iora dengan sayang.“Tenang saja, papa su
“Jangan menghalangiku!” tegas Iora pada pria yang menjulang tinggi di depan itu.“Maaf nona, saya menjalankan perintah tuan besar. Anda tidak bisa berjualan di pasar,” jawab Peter dengan nada sopan.“Bukan urusanmu, Awa!” Iora mendorong Peter yang berdiri di depannya.Iora terkungkung di antara pintu mobil dan tubuh Peter.“Lebih baik anda masuk kedalam mobil nona,” tukas Peter tidak bergeser sesenti pun dari tempatnya berdiri.“Minggir,” teriak Iora kesal.Peter tidak menanggapi.Buk!Iora menekan kakinya yang ada diatas kaki Peter yang mengenakan pantofel hitam itu.Peter sama sekali tidak kesakitan.“Hah!” desah Iora. “Minggir,” desak Iora sambil mencoba mendorong tubuh Peter lagi.Peter tidak bereaksi apapun. Dia tetap pada tempatnya.“Apa yang kamu makan sih? Batu?” ejek Iora karena tidak bisa mendorong tubuh Peter.Peter menunduk sedikit dan menyeringai.“Apa yang ada makan nona? Batu? Anda terlalu keras kepala,” sahut Peter mengembalikan pertanyaan Iora dengan sarkas.Iora men
“Nona…” rengek Kiko sambil menahan tangan Iora yang sedang membuka pintu pagar yang ada di halaman paling belakang.“Ssst… Jangan berisik nanti ketahuan,” bisik Iora dengan gerakan jari telunjuk di depan mulutnya.“Nona… tolonglah… saya yang akan di hukum oleh tuan besar kalau nona kabur lagi,” mohon Kiko dengan wajah memelas.Iora mendecih kesal.“Cih.. makanya kamu ikut.”Kiko berlutut dan memeluk kaki Iora dengan erat.“Nona, jangan nona, saya mohon. Kalau nona kabur lagi, bisa-bisa saya dikirim ke luar negeri jadi TKW, hiks…” mohon Kiko sambil menangis.Iora menghentikan gerakan tubuhnya. Dia menatap Kiko dengan cemberut.“Saya mohon jangan aneh-aneh lagi nona. Saya tidak mau jadi TKW.” Kiko terus memohon pada Iora.Iora menarik nafas dalam-dalam, dia juga tidak ikhlas kalau Kiko benar-benar dijadikan TKW oleh papanya.“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya seseorang dengan suara tegas.“Pa-papa,” sebut Iora lalu memasang senyuman lebar.Iora dengan cepat menarik tangan Kiko dan
“Silakan pindah mobil Nona,” ucap Peter membuka pintu mobil taksi tersebut.Iora hanya melirik sinis pada Peter, hatinya sangat dongkol.“Awas!” ucap Iora kasar dan mendorong pintu mobil tersebut.“Cepat sekali dia menemukan ku? Pakai ilmu apa dia? Jangan-jangan dia sudah menyadap ku,” gumam Iora.“Nona… Apakah nona baik-baik saja?” tanya Kiko sambil memeriksa tubuh Iora.Iora tidak menanggapi dan bertanya, “Bagaimana bisa dia menemukanku?” Kiko memberikan botol minum pada Iora dan menjawab, “setelah tahu nona kabur, pengawal itu tidak mengatakan apa-apa dan kamu keluar dari taman langsung mengikuti taksi itu.”Iora menyipitkan matanya.“Hm… mencurigakan,” gumamnya.“Apa yang mencurigakan?” tanya Kiko dan mengikuti arah pandangan dari Iora.Iora menarik nafas dan menatap Kiko.Peter masuk ke dalam mobil.“Sekali lagi anda kabur nona, saya pastikan izin anda keluar rumah akan dicabut selamanya,” ucap Peter dan melajukan mobil tersebut dengan kecepatan normal.Iora mengangkat tangannya
Iora berdiri di ruang kerja papanya dan disana ada kedua orang tuanya dan 3 orang tidak dikenalnya. “Pa,” panggil Eliora atau Iora didepan pintu. “Duduk,” perintah papanya dengan suara tegas. “Sepertinya aku sudah ketahuan,” batin Iora mendesah pasrah. “Sudah tahu kesalahanmu, bukan? pergi secara diam-diam dan jualan di pasar, tidak ada pengampunan setelah ini,” urai papanya. Iora menganggukan kepalanya sambil menunduk. Habis sudah dia hari ini. “Mulai saat ini papa akan menempatkan pengawal disisimu. Mereka akan menjagamu 24 jam setiap hari,” putus papa dengan tegas. Iora mengangkat kepalanya dan menatap Papanya tidak senang. “Aku bisa sendiri, kenapa harus ada pengawal?” protes Iora. “Apa papa memberikanmu pilihan?” tanya papanya dengan tatapan tidak mau dibantah “Kenapa harus ada pengawal? aku bukan anak presiden atau orang penting, apa gunanya ada pengawal?” tanya Iora beruntun. Tidak terima dengan keputusan orang tuanya. “Kamu masih anakku dan kami orang tua berhak men
“LIHAT! APA YANG TERJADI? semua karena kamu terlalu keras kepala. Bagaimana kalau pertolongan datang terlambat? Keras kepalamu itu hampir saja membuatmu mati sia-sia,” teriak papa Iora dengan marah. Iora hanya menundukkan kepalanya, tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan satu katapun. “Masuk kamar!” perintah papanya tanpa menurunkan nada bicaranya. Iora berdiri dan dengan cepat naik ke lantai dua. Bruk! Iora membanting tubuhnya diatas tempat tidurnya itu. Matanya menatap langit-langit kamar, dia menerawang jauh. “Tidak, semuanya hanya kebetulan saja. Mungkin itu adalah orang iseng saja,” gumam Iora mengusir kemungkinan buruk yang sedang dia pikirkan. “Lebih baik aku mandi,” ujarnya. Iora mandi dan merilekskan tubuhnya. “Aku sudah seperti pembalap saja siang ini,” gelaknya pada diri sendiri. Iora menikmati acara berendamnya kurang lebih setengah jam. “Kiko, buatkan aku teh hijau,” pinta Iora dari intercom kamar. Iora membuka pintu kamarnya dan duduk di so
Iora duduk di gazebo di belakang rumahnya. Menikmati teh dan kue kering buatan pelayan khusus untuknya. “Sepertinya terlalu aneh dan kebetulan. Orang itu tahu rumah ini dan mengawasi dari luar, apakah dia ada orang dalam?” pikir Iora. “Aku harus mencari tahu, kalau aku takut dengan teror ini, sudah pasti mereka akan gencar menerorku.” Iora memutar otak untuk menguak orang dibalik teror yang dialami sekarang. “Lebih baik aku tunggu sampai situasi mereda dan aku akan menyelidiki hal ini,” gumam Iora. Beberapa hari setelah Iora hampir saja ditusuk, orang tuanya menahan Iora tetap dirumah. “Ke arah pasar,” perintah Iora pada pengawalnya. “Anda tidak bisa berjualan nona,” sahut pengawal tersebut. “Apa aku mengatakan akan berjualan dipasar?” tanya Iora dengan sinis. “Maaf Nona,” balas pengawal tersebut. “Jalan!” perintah Iora. Mobil tersebut akhirnya keluar dari kediaman Wirantana. Iora memperhatikan area sekitar saat keluar dari kawasan kediamannya. Papanya bahkan sudah memasang