Malven dan kata-kata anehnya! Claudia menghela napas mendengar pengaduan Raga. Kalau anak berusia empat tahun yang baru kehilangan ibunya disebut kekanakkan, bagaimana dengan Claudia yang masih sering menangis dan merecoki pekerjaan ayahnya hingga sekarang? "Sebenernya kakak pengasuhku waktu itu terlalu banyak ngomongin papa, meskipun yang sebelum-sebelumnya juga begitu, tapi yang kali ini lebih nyebelin. Masa dia nanya ke aku harus pake baju apa biar keliatan cantik di depan papa. Setiap kali kita mau makan malem, aku harus nungguin dia ganti baju dulu, bukan aku yang didandani kayak yang biasa Kak Cla lakuin." Claudia mengernyit, mencoba mengingat siapa nama pengasuh yang sebelumnya ia kirim ke kediaman Pranaja. "Dia tidak pernah menyakiti kamu secara fisik, kan?" Raga menggeleng. "Nggak kok, dia cuma terlalu suka sama papa aja. Aku sih udah biasa kalau orang-orang lebih suka papa daripada aku atau mereka deketin aku karna aku anaknya papa, tapi waktu itu aku beneran udah l
Ucapan selamat ulang tahun yang Claudia katakan dengan lembut sambil mencium keningnya membuat Raga menangis keras, air matanya mengalir begitu saja, merasakan kehangatan dari kata-kata dan sentuhan lembut Claudia.Claudia membawa Raga ke pangkuannya, memeluk anak asuh yang telah mencuri seluruh atensinya. Claudia tidak berbohong atau hanya omong kosong belaka saat mengatakan Raga adalah yang paling berharga di dunia, karena Claudia telah jatuh cinta pada Raga seutuhnya."Tidak apa-apa menangis sekarang, setelah ini kamu hanya boleh tersenyum dan tertawa bahagia." Claudia kembali berucap lembut sambil mengusap punggung Raga yang bergetar.Raga mengangguk dalam tangisnya, tidak bisa mengatakan apa pun karena dadanya sesak oleh haru dan perasaan bahagia. Sebenarnya Raga tidak pernah membahas masalah pengasuh sebelumnya pada siapa pun, bahkan ketika ia tahu Malven ingin bertanya. Ia takut jika mengatakan sesuatu pada ayahnya, pria itu akan semakin marah dan menganggapnya kekanakkan.Memb
Raga kembali tidak bisa menahan air matanya. Bagaimana mungkin ada suara ibunya? Apa ada rekaman suara yang ditinggalkan? 'Tapi, katanya tadi surat?' Raga menelan ludah, melihat sebuah video dimana ibu dan ayahnya sedang berjalan-jalan di taman bunga belakang villa. "Hari ini Raga berusia lima tahun, ya? Tolong jangan dengarkan perkataan papamu tentang usia menuju dewasa, karena kamu belum dewasa sama sekali. Mama harap Raga masih menikmati waktu saat menjadi anak-anak. Buatlah banyak kenangan, tersenyum dan tertawa, berbahagia selalu kapan pun." Suara Elodia kembali terdengar, bersamaan dengan foto ketika Raga baru saja lahir ditampilkan di layar. Melihat sang ibu menggendongnya yang masih sangat kecil, bersama Malven yang memeluk Elodia, air mata Raga mengalir semakin deras. Kebahagiaan yang tercetak jelas di wajah dan senyum orang tuanya mengingatkan Raga tentang ibunya yang selalu mengatakan jika kehadiran Raga adalah anugerah paling berharga yang pernah Elodia dan Malven mi
Kalau hanya Ali, Raga masih bisa membayangkannya, tapi Vall, Sean bahkan Arfa juga sama-sama memakai topi ulang tahun dan membawa kado, itu benar-benar pemandangan yang mengesankan. "Selamat ulang tahun, Tuan Muda Raga, semoga apa yang Anda harap dan cita-citakan terkabul. Semua doa baik untuk Tuan Muda hari ini." Sean maju lebih dulu, memberikan kadonya pada Raga dan tersenyum lembut, untuk pertama kali menunjukkan perasaan sejak bergabung dengan Phantom."Saya tidak punya apa-apa untuk diberikan, tapi semoga hal kecil ini bisa menjadi kado yang akan Tuan Muda ingat sebagai sesuatu yang indah. Selamat ulang tahun, Tuan Muda Raga, saya akan selalu mendoakan kebahagiaan Anda. Terima kasih karena sudah mengizinkan saya melayani Tuan Muda." Ali mengusap lembut kepala Raga, memberikan kado yang ia siapkan sejak beberapa bulan lalu.Raga sedikit sedih saat menerima kado dari Ali, karena tahu jika sekarang adalah saat terakhir Ali sebagai sopir sekaligus pengawal pribadinya sebelum Ali res
Saat mendengar cerita Raga pagi tadi, Claudia jadi menyadari ketakutan-ketakutan yang anak itu hadapi, tidak jauh berbeda dengan Claudia dulu. Hal yang sangat wajar jika seorang anak merasa takut juga khawatir jika ayahnya membawa wanita lain dan membuat posisi ibunya bergeser.Seperti Claudia yang dulu takut memiliki ibu tiri dan ayahnya akan melupakan bundanya begitu saja, Raga juga memiliki kekhawatiran yang sama, jadi Claudia sangat memahaminya. Bagi Claudia saat ini, yang paling penting adalah kebahagiaan Raga. Cludia tidak mau perjanjian mau pun perasaannya pada Malven membuat anak yang sangat disayanginya dipenuhi pikiran takut dan khawatir."Jadi, sekarang saatnya membuka kado yang Raga terima, kan?" Claudia berkedip antusias, menatap pada kado-kado yang baru saja pelayan letakkan di atas meja. Setelah meniup lilin dan membagikan kue untuk semua orang, dilanjut dengan makan malam bersama, akhirnya acara santai karena khusus hari ini Malven mengizinkan Raga untuk tidur pukul s
Claudia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Memang sih ia tahu jika Arfa, Sean dan Vall adalah anggota Phantom yang sejujurnya tidak Claudia ketahui apa saja pekerjaannya selain menjadi pengawal pribadi Malven dan Raga, tapi Claudia tidak pernah membayangkan akan melihat mereka membelikan senjata berbahaya untuk Raga yang masih berusia lima tahun!"Kalian kan bisa membelikan sesuatu yang lebih normal seperti sepatu, jam tangan, baju atau buku!" Claudia berdecak, tidak terima anak kesayangannya menerima sesuatu yang berbahaya saat harusnya yang dilihat Raga hanyalah hal-hal indah saja. Pasti akan datang masanya Raga harus belajar melindungi dirinya sendiri, tapi kan tidak sekarang!"Saya belum pernah memberi hadiah pada seseorang, jadi saya pikir sesuatu yang bisa berguna untuk melindungi diri itu adalah hadiah terbaik." Sean berkata pelan, sedikit membela diri karena ia adalah orang pertama yang menerima tatapan tajam Claudia. "Sa-saya juga berpikir hal yang sama.""Saya juga--""
Pertanyaan Raga membuat Claudia tidak bisa langsung bereaksi. Raga memang pernah mengatakan sesuatu yang mirip beberapa malam lalu, tapi saat itu ia mengatakannya sebelum terlelap, jadi Claudia hanya menganggap itu sebagai kata-kata yang diucap asal menjelang tidur. Tapi, bagaimana dengan sekarang? Claudia berdeham pelan, mengecup tangan kecil Raga di genggamannya sebelum menatap lembut anak yang juga sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya."Kalau kamu jadi anak Kakak, kamu tidak bisa lagi jadi putranya Elodia dan Malven, yakin? Kakak sudah pernah sedikit menjelaskan tentang adopsi, kan? Kalau pun misal Kakak mendapat izin untuk mengadopsi Raga sebagai anak, Kakak tidak akan pernah mengizinkan Raga untuk kembali ke kediaman Pranaja lagi, dan jika Kakak menikah nanti, maka kamu akan punya ayah baru. Sungguh mau?" Claudia bertanya dengan raut serius.Sejujurnya Claudia hampir berdebar dan berharap mendengar pertanyaan Raga, tapi menjadi ibu seseorang tidak harus menikah dulu de
Malven menahan lengan Claudia yang hampir pergi. Sejak datang bersama Raga tadi, Claudia memang bertingkah aneh. Tidak hanya menolak saat Malven ingin memegang tangannya tadi, Claudia juga menghindari tatapan Malven. Mereka bahkan belum sempat bicara berdua sejak pagi ini, jadi Malven tidak mengerti dengan sikap Claudia sekarang. "Apa aku melakukan kesalahan? Daripada menghindar tanpa mengatakan apa-apa, bukankah jauh lebih baik kalau kamu bicara? Claudi, aku tidak akan mengerti kalau kamu tidak mengatakan letak salahku." Malven berucap lembut, menarik Claudia lebih dekat dan mengernyit saat merasakan penolakan jelas wanita itu."Maaf, Pak, kita di depan umum. Ada banyak mata di sini, dan yang lebih penting ... Raga sedang melihat." Claudia berbisik sembari melepaskan tangan Malven dari lengannya. "Kalau begitu saya permisi," ucap Claudia lagi, kali ini bergerak lebih cepat dan meninggalkan Malven bersama Raga.Malven yang ditinggalkan tanpa mendengar jawaban apa pun hanya bisa meng
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun