Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
"C–Claudia?!"Keterkejutan di wajah tampan yang berkeringat itu membuat Claudia gemetar. Ia masih bisa melihat sisa-sisa gairah di mata lelaki itu. Lelaki yang harusnya mengucap janji suci pernikahan untuknya beberapa hari lagi.Beberapa saat lalu, Claudia datang dengan penuh semangat untuk merayakan tujuh tahun kebersamaan mereka. Namun, yang ia temukan di apartemen lelaki itu bukan kebahagiaan, melainkan pengkhianatan yang mengoyak hatinya. Tak pernah sekalipun ia membayangkan kekasihnya akan berselingkuh! Apalagi dengan sepupunya sendiri, Selena!"Cla, aku—!"Deon terbata-bata, buru-buru menarik bokser hitam dari lantai dan mencoba mendekat, tapi–Plak!Tamparan Claudia mendarat keras di pipi pria yang selama tujuh tahun terakhir mengisi hatinya. Tangannya bergetar, terasa panas seperti amarah yang membakar seluruh tubuhnya."Kita putus." Suaranya tegas, final. Tanpa ragu, ia berbalik, melangkah keluar dari kamar yang membuatnya muak."Claudia! Dengarkan aku dulu, Sayang!""Jangan
“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.“Kakak cuma–”“Raga!”Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.“Raga, ayo pulang sama Papa.”Claudia mendongak saat sosok yang memanggil Raga sudah berdiri di sisinya. Rambut hitam kelam, rahang tegas, hidung mancung dan tatapan segelap malam itu membuat Claudia terhenyak. Melihat tetesan air dari rambut hitamnya, juga kemeja putih yang basah hingga mencetak otot-otot keras di baliknya membuat Claudia tidak bisa mengalihkan pandangan.“Ehm, permisi … apa Anda mengenal ana
"Kamu pucat sekali, Cla."Claudia menghela napas. Ia melangkah kembali ke ranjang dan mengabaikan kata-kata Aira. Sudah pasti wajahnya terlihat tidak baik-baik saja dan Claudia tahu sudah saatnya mengatakan sesuatu pada Aira.Sahabatnya itu pasti sudah tahu perihal pernikahannya yang batal. Namun, untuk alasannya, Claudia belum mengatakannya. Beberapa hari ini, Claudia mengurung diri di dalam kamarnya. Setelah mematikan ponsel dan memutus semua akses komunikasinya agar ia bisa berpikir jernih sebelum mengambil keputusan.Meski begitu, rupanya Deon tidak menyerah mengusiknya. Pria itu menggunakan berbagai cara agar Claudia mau bicara padanya. Bahkan hingga mendatangi Claudia di rumah dan mengobrol dengan sang ayah.Namun, Claudia dengan tegas mengatakan pada orang rumah untuk mengusir pria peselingkuh itu.Sampai pada akhirnya, Claudia mantap mengirimkan pemberitahuan pembatalan pernikahan pada semua orang. Mungkin karena itulah Aira datang ke rumahnya hari ini."Aku bawa bubur dan su
Pranaja merupakan salah satu keluarga terpandang yang namanya dikenal hampir seluruh orang di Indonesia, lebih tepatnya keberadaan perusahaan milik keluarga itu yang sering menduduki puncak dunia bisnis di Asia, merambah hingga Amerika dan Eropa, juga beberapa kali mendapat penghargaan internasional, membuat Pranaja menjadi salah satu keluarga yang selalu menjadi topik hangat.Presiden Direktur Pranaja Grup sudah membuat permintaan pengiriman pengasuh profesional beberapa kali, tapi semuanya dikembalikan dengan alasan yang tidak diketahui. Claudia sering mendengar para karyawan dan guru di perusahaannya mengumpamakan jika penggantian pengasuh di keluarga Pranaja seperti seseorang yang setiap dua jam berganti baju karena telalu sering.Dan sekarang, asisten sekaligus sahabatnya ini memberikan ide untuk menjadi pengasuh baru di kediaman itu?"Kurasa itu bukan ide buruk, aku juga harus mencari tahu alasan sebenarnya para pengasuh itu dikembalikan.” Claudia berucap setelah memikirkan ide
"Kalau begitu aku akan mengatakan peraturan lainnya selain yang tertulis di kontrak. Kuharap kamu mendengarkan dan memahami apa yang kukatakan sekarang, karena tidak akan ada maaf kalau kamu melanggarnya."Claudia tidak tahu peraturan seperti apa yang ingin disampaikan Malven, tapi melihat betapa serius raut wajah pria itu, sepertinya itu peraturan yang cukup sulit ditaati.'Apa dia menyuruhku untuk bangun jam tiga pagi setiap hari?'"Iya, Pak, saya mendengarkan."Malven berdecak pelan, jelas berusaha keras untuk menutupi ketidaksukaannya pada Claudia."Pertama, jangan pernah memasuki kamarku atau ruang kerjaku, juga perpustakaan pribadiku."Claudia mengerjap pelan, bukankah hal yang wajar untuk tidak masuk ke daerah privasi majikan? Apalagi status Claudia di sini sebagai pengasuh Raga, bukannya pembantu rumah tangga, jadi bukankah sudah pasti Claudia tidak akan masuk ke ruangan-ruangan yang baru saja Malven sebutkan?"Baik, Pak, saya mengerti." Claudia mengangguk meski merasa aneh de
Kembali ke hari pertama saat Claudia memulai pekerjaannya sebagai pengasuh."Kamu menangis lagi? Kenapa setiap kali kita bertemu, kamu selalu menangis?" "Kakak!" Terkejut dengan reaksi Raga yang tiba-tiba melompat dan memeluknya, Claudia yang hampir hilang keseimbangan akhirnya terkekeh pelan, membalas pelukan erat dari anak lelaki yang akan menjadi tuan kecilnya. Dan seperti kejadian malam itu, Raga kembali menangis. Di sela-sela tangisnya, Raga mengatakan isi hatinya, meski tersendat, anak itu berhasil mengeluarkan kemarahan dan kekecewaan yang tertahan.Ayahnya sudah berjanji pada Claudia akan membawa Raga ke makam ibunya malam itu, Malven bahkan menautkan jari kelingkingnya bersama Claudia, tapi ketika sampai di rumah, pria itu malah mendapat telpon kalau terjadi sesuatu dengan anak perusahaan di luar negeri sehingga ia harus pergi malam itu juga."Papa baru pulang subuh tadi, tapi ... tapi malah kerja lagi. Kenapa Papa selalu ingkar janji? Papa nggak sayang aku, Papa cuma sayan
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun