Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Raga. Untungnya saat anak itu menangis dan menjelek-jelekkan ayahnya, tidak ada satu pun yang datang ke kamar, dan Claudia bersyukur tidak ada kamera pengawas di sana, karena selama menemani Raga menangis, Claudia menyetujui dan mengiyakan apa pun hal-hal buruk yang anak itu katakan tentang Malven.
Siapa sangka pria seksi yang menjadi buah bibir setiap wanita itu ternyata memiliki nilai yang sangat mines di mata putranya sendiri."Kakak," Raga memanggil pelan setelah tangisnya agak reda."Ya?" Claudia membersihkan jejak ingus dan air mata di pipi Raga. "Kamu lapar? Mau makan sekarang?"Raga menggeleng perlahan. "Itu ... yang aku bilang tentang Papa, bisa nggak jadi rahasia kita berdua aja? Na-nanti kalau sampai ada berita buruk tentang Papa--""Oke, Sayang!" Claudia langsung menunjukkan jari kelingkingnya, "Pembicaraan kita akan selalu jadi rahasia, entah sekarang atau pun nanti. Raga juga mau janji untuk tidak cerita pada siapa pun tentang Kakak, kan? Tentang pertemuan pertama kita juga, tidak perlu bilang siapa-siapa, bagaimana?"Senyum manis serta anggukan yang Raga berikan membuat Claudia tersenyum senang, rasanya hangat ketika mereka saling menautkan jari kelingking dan berjanji untuk menjaga rahasia.Mengingat reaksi Malven pagi ini, Claudia yakin pria itu tidak mengingat pertemuan mereka beberapa hari lalu. Mungkin kondisi Claudia yang basah kuyup dengan wajah berantakan membuat penampilannya tidak bisa dikenali Malven."Nah, kalau sudah tenang, gimana kalau kita turun dan makan? Kamu tidak boleh melewatkan makan apa pun kondisinya."Claudia mengulurkan tangan dan Raga menyambutnya tanpa ragu.Sampai di ruang makan, tampak beberapa pelayan yang sedang membereskan meja terkejut melihat kedatangan Raga. Untungnya mereka segera bergerak untuk menyiapkan makanan baru.Saat sedang menunggu makanan siap, Dera datang dengan langkah tergesa, terlihat seperti dia berlari dari tempat yang cukup jauh karena napasnya tampak putus-putus. Claudia tidak mengerti kenapa Dera yang sudah tua melakukan tindakan seperti itu--berlari-lari maksudnya."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya Dera?" Claudia yang sebelumnya duduk di sisi Raga segera berdiri dan menyapa. Sedikitnya dia lupa posisinya sebagai babysitter di rumah ini, bukan seorang kenalan yang datang bertamu."Tidak, bukan apa-apa. Hanya ...." Dera menghentikan kata-katanya, sedikit ragu, tapi tatapannya tidak teralih dari tuan kecilnya yang duduk dengan patuh. Wanita tua itu tersenyum setelah beberapa saat. "Aku akan meminta staff dapur untuk menyiapkan makanan kesukaan Tuan Muda dan untuk kamu juga, Claudia. Apakah ada makanan atau minuman yang tidak bisa kamu konsumsi?"Claudia mengerjap, melihat senyum lembut dan binar senang di mata Dera membuatnya sedikit tidak nyaman. "Tidak ada, aku bisa makan dan minum apa pun, tapi tidak perlu repot karena aku sudah--!""Duduklah di samping Tuan Muda, biar aku yang ke dapur!"Claudia tidak sempat mengatakan apa-apa lagi karena Dera sudah bergerak cepat meninggalkan ruang makan. Wanita itu kembali duduk di kursi samping Raga, baru menyadari bahwa majikan kecilnya sedang tersenyum lebar padanya."Ada apa, Tuan Muda?"Senyum di wajah Raga perlahan memudar. "Kenapa jadi Tuan Muda? Kan, tadi Kakak panggil aku Raga! Apa namaku nggak bagus?"Claudia yang sempat khawatir dengan senyum Raga yang tiba-tiba hilang hanya bisa terkekeh kecil. "Bukan begitu, tapi Kakak harus menjaga sopan santun saat kita di luar 'kan? Kakak bisa dipecat kalau tiba-tiba sok akrab."Raga menelengkan kepalanya, mata jernih yang menatap Claudia jelas menunjukkan rasa penasaran."Kenapa Kakak tiba-tiba ke sini jadi pengasuhku? Apa karena permintaan aku ke Papa waktu itu untuk bawa Kakak ke sini?""Ehm ... mungkin takdir? Kakak sedang membutuhkan pekerjaan dan kebetulan Papa-nya Raga juga membutuhkan pengasuh untuk Raga. Sebenarnya Kakak juga kaget lho saat lihat Tuan Malven tadi, kaget dan senang karena anak yang akan bersama Kakak adalah Raga."Claudia tersenyum sangat lebar, diam-diam memuji dirinya yang pandai sekali mengambil hati anak-anak."Beneran karena aku, kan? Bukan karena Papa? Semua orang cuma suka waktu ada Papa aja."Claudia mengernyit tidak mengerti. "Apa yang--!"Belum sempat Claudia menanyakan maksud perkataan Raga, para pelayan sudah datang membawakan makanan hingga Claudia harus menelan kebingungannya. Dia akan menanyakannya nanti.Awalnya Claudia tidak mau menyentuh makanan yang disajikan untuknya, tapi melihat tampilan menu dan harum yang menguar membuat perutnya tidak bisa diajak kompromi, apalagi Claudia memang belum makan dengan benar selama beberapa hari ini.Mungkin ini akan jadi awal yang baik bagi kehidupan baru Claudia selama beberapa bulan ke depan, jadi ia memutuskan untuk makan bersama Raga sebagai tanda untuk lembaran baru hidupnya.Hari itu Raga membawa Claudia berkeliling rumah, lebih tepatnya house tour itu baru selesai di lantai satu, itu pun Claudia tidak benar-benar ingat koridor-koridor yang dilewatinya. Sudah pasti ia akan tersesat kalau berkeliling sendiri, tapi itu tidak mungkin karena Claudia akan selalu bersama Raga.Malamnya, Raga masih memiliki banyak energi untuk bermain menyusun puzzle, dan berakhir dengan mendengarkan Claudia membacakan buku dongeng."Akhirnya dia tidur." Claudia hampir menangis haru ketika menyelimuti Raga yang terlelap. Rasa lelah karena berkeliling dan berjalan ke sana ke mari seharian baru Claudia rasakan sekarang, saat kepalanya memikirkan tentang tidur."Jadi seperti ini rasanya punya anak kelebihan energi?" Claudia meringis saat membayangkan betapa sulit ibu dan ayahnya dulu, karena Claudia sendiri merupakan anak yang sangat aktif.Claudia yang berpikir untuk segera ke kamar dan tidur dengan lelap, harus menghapus bayangan menyenangkan itu saat Dera sudah berdiri di depan pintu kamar Raga, menunggu Claudia keluar."Tuan baru saja pulang dan dia ingin bicara denganmu," ucap Dera tanpa basa-basi saat melihat raut tanya Claudia.Claudia menahan diri untuk berdecak dan mencari jam dinding, kepalanya mengangguk dan dengan patuh mengikuti Dera dari belakang.Mereka tidak turun ke lantai satu, juga tidak memasuki salah satu ruangan di lantai dua. Claudia menelan ludah gugup saat Dera membuka pintu di ujung lorong dan mereka menaiki tangga menuju lantai tiga."Lantai tiga berisi ruang baca dan ruang bermain untuk Tuan Muda, tapi perpustakaan dan ruang kerja milik Tuan juga di sini, jadi berhati-hatilah ke depannya agar tidak salah memasuki ruangan."Claudia mengangguk dalam diam, selama ada tanda di depan pintu yang membedakan antara ruang bermain Raga dan ruang kerja Malven, maka ia pasti tidak akan salah masuk ruangan."Apa pun yang Tuan katakan nanti, kamu hanya perlu diam dan mengiyakannya." Dera memberi peringatan singkat saat mereka sampai di depan sebuah pintu sebelum mengetuknya."Masuk!"Claudia menarik napas panjang, ini pertama kali ia akan bertemu dengan atasan. Selama ini Claudia hanya pernah menjadi atasan seseorang, jadi ini merupakan pengalaman baru baginya.'Semoga dia bukan majikan brengsek seperti di novel-novel!'Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan."Selamat malam, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan. "Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan p
Pesan itu dikirim oleh nomor asing, tidak hanya satu, Claudia bahkan tidak mau menghitungnya, belum lagi panggilan tidak terjawab. Meski Claudia sudah memblokir nomor Deon, nyatanya pria itu masih berusaha menghubunginya dengan nomor lain.Sebagai seorang direktur sebuah yayasan yang nomornya sudah diketahui banyak kolega membuat Claudia tidak bisa mengganti nomor ponselnya. Ia hanya sempat berharap Deon menyerah dan tidak lagi mengganggu setelah Claudia memblokirnya, tapi nyatanya pria itu masih saja egois dan tidak tahu malu.Sama seperti Deon yang melakukan usaha sia-sia dengan terus menghubungi, Claudia juga akan terus memblokir pria itu dari hidupnya entah berapa kali pun Deon berusaha mendekat."Ayo tidur, aku harus bangun pagi dan memastikan Raga sarapan bersama ayahnya!" Mengembalikan ponselnya ke tas tanpa berniat mengisi dayanya, Claudia segera berbaring dan menarik selimut. Wanita itu berulang kali menarik napas, menenangkan diri dari hatinya yang kembali teringat luka. T
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia tidak menyesali keputusannya untuk membawa Raga main. Melihat bagaimana anak itu akhirnya tersenyum riang sambil mengelus para kucing membuat perasaan Claudia juga ikut senang."Mbak Claudia sepertinya benar-benar suka tuan muda, ya? Kelihatan beda dari pengasuh-pengasuh sebelumnya." Claudia menoleh pada kata-kata Ali. "Beda apanya? Memangnya pengasuh sebelumnya bagaimana?" tanyanya sambil sesekali memperhatikan Raga yang berada tidak jauh darinya. Claudia berusaha agar raut wajah dan nada suaranya tenang, seolah pertanyaannya hanyalah basa-basi."Bagaimana, ya? Sebenarnya mereka memperlakukan tuan muda dengan baik, pekerjaannya juga bagus. Mereka hanya melakukan satu kesalahan." "Kesalahan?"Ali mengangguk, tatapannya tampak sendu saat menatap Raga. "Mereka menggoda tuan Malven," ucapnya pelan, helaan napasnya agak berat didengar.Menggoda. Satu kata itu membuat Claudia tanpa sadar mencengkeram gelas minumannya lebih erat. Mengingat betapa rupawan wajah Malven, tubuh tinggi
Dipecat. Satu kata itu membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. "Pergilah, aku sudah selesai bicara." "Sebentar, Pak! Saya benar-benar tidak merasa melakukan kesalahan, tapi kenapa dipecat? Bisakah saya diberitahu letak salah saya di mana? Kalau ada hal yang tidak sesuai menurut Pak Malven, saya akan belajar memperbaikinya!" Claudia tidak pernah menduga akan dipecat hanya dua hari sejak memasuki kediaman Pranaja, padahal ia tidak merasa melakukan sesuatu yang melanggar aturan, Claudia juga tidak menggoda Malven sama sekali. Wanita itu melirik pada pakaian yang dikenakannya hari ini dan mengingat yang ia gunakan kemarin, tapi tidak ada yang salah dengan pakaiannya."Kamu benar-benar bertanya apa salahmu setelah membawa Raga bolos hari ini?" Pertanyaan yang dilayangkan dengan tatapan tajam itu membuat Claudia mengerutkan kening. Dari mana pria itu tahu kalau Raga membolos hari ini? Apakah pihak sekolah menelpon?"Aku ke sekolah Raga hari ini, ingin menjemputnya sebagai ganti tidak b
Pagi ke dua di kediaman Pranaja, kali ini Claudia tidak kesiangan dan menjalankan pekerjaannya untuk membangunkan Raga tepat waktu. Saat wanita itu memasuki kamar Raga, bocah itu masih bergelung dalam selimut. Padahal pukul enam kemarin Raga sudah menggedor kamar Cludia."Dia pasti kelelahan setelah menangis dan bermain kemarin, kan?" Claudia mendekati ranjang, perlahan menyibak anak rambut dari kening Raga. "Sayang, selamat pagi," ucapnya lembut sembari mendekat dan mencuri kecupan di pipi Raga."Padahal kalau mau cium tinggal bilang aja, nggak perlu curi-curi pas aku tidur gitu." Raga yang sebenarnya sudah bangun tapi malas bergerak dari ranjang, membuka kedua matanya dan menatap Claudia yang terkejut. "Selamat pagi juga, Kak!"Claudia terkekeh, "Wah, serius? Kakak akan sering cium dan cubit pipimu, lho!" "Tadi kayanya cuma cium aja?!" Raga ikut tertawa saat Claudia mencubit pelan pipinya. "Ayo siap-siap! Oh iya, karena ini hari Sabtu, itu berarti Papa-nya Raga libur, kan?" Perta
Tadinya Claudia berniat menghibur, bahkan sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan Eaga. Tapi, mendengar kata-kata yang diucap Raga sambil menangis membuat Claudia tidak bisa menahan air matanya. Wanita itu berakhir menangis juga, yang bisa ia lakukan adalah memeluk Raga tanpa bisa mengatakan apa pun.Bagaimana bisa seorang anak yang belum genap berusia lima tahun, mempertanyakan statusnya? Berapa banyak luka dan kekecewaan yang menumpuk hingga membuat Raga berpikir demikian? Ini bukan lagi seorang yang haus perhatian karena masih anak-anak, tapi karena memang ia tidak diperhatikan dengan benar oleh orang tuanya. "Kenapa Mama ninggalin aku sendirian ... aku mau ikut Mama!" Claudia menggigit bibir, menahan suaranya agar tidak ikut terisak bersama Raga. Ia hanya bisa mendekap anak itu, mengelus kepalanya penuh sayang, berharap bisa mengobati sedikit saja luka di hatinya."Nggak ada yang sayang sama Aga! Mama pergi, Papa nggak peduli, orang-orang juga cuma suka sama Papa
Claudia kembali ke ruang bermain Raga sambil membawa tisu basah dan kering, juga sebaskom air hangat dengan handuk kecil untuk mengompres mata Raga yang sedikit membengkak. "Sayang, mainannya ditaruh dulu, sini!" Claudia meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja. Raga yang mulai memainkan miniatur menaranya saat menunggu Claudia, bergegas bangkit dan duduk di sisi wanita itu. Melihat adanya handuk kecil dan baskom berisi air hangat, Raga yang tidak pernah menerima perlakuan seperti itu sebelumnya tidak bisa menahan senyumnya. Entah para pelayan, pengasuh-pengasuh sebelumnya yang Malven bayar, bahkan Dera, tidak ada satu pun yang pernah membawakan air hangat untuk mengompres mata Raga yang membengkak karena menangis."Buat Kakak airnya tidak terlalu panas, tapi mungkin buat kamu suhunya agak tinggi, tapi ditahan ya?" Claudia memasukkan handuk ke dalam baskom sebelum memerasnya dan menekan pelan di sekitar mata Raga yang telah dibersihkan dengan tisu basah.Claudia melakuka
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t