Claudia kembali ke ruang bermain Raga sambil membawa tisu basah dan kering, juga sebaskom air hangat dengan handuk kecil untuk mengompres mata Raga yang sedikit membengkak. "Sayang, mainannya ditaruh dulu, sini!" Claudia meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja. Raga yang mulai memainkan miniatur menaranya saat menunggu Claudia, bergegas bangkit dan duduk di sisi wanita itu. Melihat adanya handuk kecil dan baskom berisi air hangat, Raga yang tidak pernah menerima perlakuan seperti itu sebelumnya tidak bisa menahan senyumnya. Entah para pelayan, pengasuh-pengasuh sebelumnya yang Malven bayar, bahkan Dera, tidak ada satu pun yang pernah membawakan air hangat untuk mengompres mata Raga yang membengkak karena menangis."Buat Kakak airnya tidak terlalu panas, tapi mungkin buat kamu suhunya agak tinggi, tapi ditahan ya?" Claudia memasukkan handuk ke dalam baskom sebelum memerasnya dan menekan pelan di sekitar mata Raga yang telah dibersihkan dengan tisu basah.Claudia melakuka
Elodia Farras Ghaniya, nama yang tertera di hadapan Claudia saat ini merupakan ibu kandung Raga yang meninggal delapan bulan lalu. Mungkin kematian yang belum terlalu lama membuat Raga masih tidak bisa melupakan kenangan tentang ibunya, karena Claudia yang ditinggalkan saat berusia delapan tahun pun, hanya sedikit kenangan tentang ibunya yang tersisa.Hanya saja Claudia berharap akan ada seseorang yang terus menceritakan tentang Elodia pada Raga, kenangan-kenangan manis yang pernah anak itu bagikan bersama ibunya jangan sampai dilupakan begitu saja, karena sulit sekali rasanya saat tidak ada satu pun yang bisa meluangkan waktu untuk menceritakan hal-hal itu."Ma, hari ini Aga ke sini bareng Kak Cla! Kenalin, kakak cantik ini namanya Kak Claudia, baik banget orangnya, sayang sama Aga, trus Kak Cla lebih suka aku dibanding Papa! Keren, kan? Kak Cla jadi orang pertama yang lebih suka aku, lho!" Claudia langsung menoleh ke arah Raga yang tengah mengenalkannya pada sang ibu. Cara anak itu
"Kita sudah sampai!" ujar Claudia, sengaja mengalihkan pembicaraan, karena jujur saja ia belum menemukan jawaban yang pas untuk Raga.Raga mengikuti Claudia, berjongkok di depan sebuah makam. Terakhir kali Claudia mengunjungi ibunya adalah beberapa bulan lalu, saat ia dan Deon memutuskan untuk menikah. Kesibukan mempersiapkan pernikahan dan yayasan yang tidak bisa sering ditinggalkan membuat Claudia tidak punya waktu untuk berkunjung lagi, meski ia tahu ayahnya masih memiliki kebiasaan berkunjung di akhir pekan.Melihat seikat bunga lili ungu yang masih segar adalah bukti bahwa ayah Claudia sudah berkunjung ke sini tadi pagi. Ayahnya yang tidak pernah lupa membawakan bunga kesukaan ibunya, juga tidak pernah absen untuk mengunjunginya setiap satu minggu sekali membuat Claudia selalu mengagumi pria itu dan berharap bisa menikah dengan lelaki yang punya cinta sebesar itu juga padanya.Sayangnya, pria yang Claudia pilih malah dengan mudah membagikan cintanya pada wanita lain."Halo, Ma, i
Kedatangan Malven membuat Claudia menghela napas lega, karena sejujurnya dia hampir mengatakan pada Raga bahwa dia mungkin tidak bisa membersamai anak itu hingga besar seperti harapannya."Kakak bilang suka dan sayang itu beda, Pa!" Raga menjawab antusias, lebih tepatnya penasaran dengan jawaban yang akan ayahnya berikan. "Papa ngerti maksudnya gimana?""Hmm ...." Malven mengerutkan kening, memikirkan jawaban yang pas untuk putranya. "Saat kamu sudah dewasa, kamu akan memahami maksudnya," ucap Malven pada akhirnya.Claudia menahan senyumnya, jawaban Malven tidak berbeda darinya karena memang sulit mengatakan jawaban sederhana yang bisa dimengerti oleh anak-anak. "Yaah ... kirain Papa lebih tau, kan Papa lebih tua dari Kakak!" Raga menghela napas kecil, bahunya sedikit turun, tapi saat Malven mengelus kepalanya dengan lembut, senyumnya segera terpatri."Menjadi dewasa tidak berarti bisa dengan mudah memberi pengertian tentang sesuatu. Saat kamu dewasa, kamu mungkin akan memahami perbe
Claudia berbohong. Sejak wanita itu bertanya dengan antusias apa itu taman bermain, Malven sudah tahu kebohongannya. Tidak peduli berasal dari desa terpencil mana seseorang, tidak mungkin ada yang belum tahu tempat apa itu taman bermain, apalagi di zaman serba teknologi seperti saat ini. Tapi, melihat bagaimana Raga dengan cepat percaya dan menerima ajakan ke taman bermain hanya untuk menunjukkan tempat seperti apa itu pada Claudia, Malven tidak bisa menegur pengasuh yang telah berbohong. Raga kembali semangat dan berbinar antusias, dengan cepat melupakan kekecewaannya karena tidak bisa pergi ke pet cafe. Malven masih tidak mengerti kenapa putranya bisa secepat itu lengket pada Claudia, tapi melihat wanita itu tersenyum lega setelah Raga kembali bersemangat membuatnya mau tidak mau memperhatikan wanita itu. Lalu entah kenapa, raut wajah yang tadinya sedikit senang itu berubah diliputi kesedihan, tatapan kosong Claudia ketika melihat keluar jendela mengingatkan Malven saat awal-awal
Ugh! Kenapa pria itu datang di saat tidak tepat? Claudia tersenyum canggung, "Maaf sebelumnya, tapi kami sedang membahas ekpresi wajah tadi dan saya bilang tuan muda berbeda dari Anda karena dia lebih banyak berekspresi. Saya benar-benar minta maaf jika telah menyinggung," ucapnya sembari sedikit membungkuk. Malven mendengus, lagi-lagi melihat kebohongan yang dengan mudah diucap Claudia. Sebenarnya ia sudah berada di dekat mereka ketika Claudia meminta maaf karena berbohong dan Raga mengatakan tidak apa-apa. Entah kenapa rasanya menjengkelkan mendengar komentar yang Claudia lontarkan setelah mendengar kata-kata permintaan maaf dan penuh pengertian dari Raga. 'Maksudnya Raga itu baik hati, pengertian dan pemaaf, berbeda dariku yang langsung mengambil keputusan untuk memecatkan, kan?' Malven berdecak pelan, mau tidak mau mengakui kalau apa yang dilakukannya kemarin memang keterlaluan, saat yang dilakukan Claudia hanyalah menghibur Raga. "Terserah!" Claudia mengerjap heran, entah ke
Claudia tidak bisa menjawab, tatapannya tidak bisa teralih dari Malven yang mengernyit, kemudian menggeleng, beberapa kali pria itu juga berdecak, seolah mempertanyakan rasa dari es krim-nya. Di satu sisi, ada seorang pria yang mengkhianati kekasihnya beberapa hari sebelum pernikahan, tapi di sisi lain ada seseorang yang mencoba menikmati es krim yang tidak disukainya hanya karena itu kesukaan istrinya. Seolah menghapus ketidakberadaan Elodia di sini, Malven tetap membeli apa yang wanita itu sukai. 'Kenapa aku tidak mendapatkan yang seperti itu juga?' Claudia menunduk, air matanya hampir jatuh saat rasa iri menyergap. Perasaan cemburu pada wanita yang diperhatikan, diingat dan dicintai sedemikian rupa, Claudia tidak bisa menahannya. Kenapa wanita lain bisa mendapat cinta setulus itu, sedangkan Claudia tidak? Apa salahnya? "Kalian sudah selesai, kan? Ayo--!" Malven yang berniat mengajak Raga dan Claudia untuk segera meninggalkan taman hiburan, menghentikan ucapannya saat menyada
Iler?! Claudia langsung menutup mulutnya, wajahnya memerah saat masih bisa merasakan sedikit basah di sudut bibirnya."P-pak, saya--!""Kita sudah sampai," potong Malven sembari menujuk dengan dagunya, pada Raga yang sedang berdiri di dekat jendela mobil. Eh, lho?! Sejak kapan sampainya? Claudia cepat-cepat menekan kunci pintu dan membukanya."Saya benar-benar minta maaf, Pak," ucap Claudia lirih sebelum bergegas keluar, sedikit salah tingkah saat Raga bertanya apa Claudia tidur nyenyak.Masih sedikit terdistorsi, Claudia beberapa kali menerima teguran dan cubitan di pipi dari Raga yang berulangkali diabaikan. Tidak hanya melamun saat sedang membantu memakaikan piyama pada Raga, Claudia juga tidak mendengarkan ketika anak asuhnya bertanya tentang keinginannya untuk tidak makan malam."Kakak dari tadi bengong terus kenapa, sih?! Kali ini tuh bengongnya beda dari yang sebelum-sebelumnya!" Raga melipat tangan, bibirnya merengut dan wajahnya jelas menunjukkan kekesalan. "Padahal katanya
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be
Claudia tidak bisa bertanya lebih jauh saat Malven mengatakan dengan yakin jika noda yang ada di ujung lengan kemejanya adalah saus. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi setelah meraih paper bag berisi pakaian ganti yang sebelumnya dibawakan Arfa.Di dalam kamar mandi, wajah lembut Malven perlahan memudar, berganti menjadi raut datar tanpa emosi. Pria itu menghela napas pelan saat membuka kancing kemejanya satu per satu dan melihat ada beberapa bercak merah di ujung kemeja putihnya. Padahal ia menggunakan alat pelindung dan berhati-hati agar tidak ada noda yang merusak penampilannya, tapi tidak menyangka jika beberapa cipratan merusak pakaiannya.“Untung saja yang terkena noda cukup banyak bisa disembunyikan,” gumam Malven sembari berjalan mnuju shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Air yang mengalir juga turut membasuh warna merah yang ada di tangan pria itu.Selesai membersihkan dirinya dan memastikan tidak ada noda atau bau darah yang menempel, Malven keluar kamar mandi
Claudia meletakkan telunjuknya di bibir, matanya melirik ke arah ranjang--menunjukkan keberadaan Raga yang tertidur lelap.Aira segera membelap mulutnya, "Maaf," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya pada Shouki tentang kejadian kemarin?" tanyanya sembari menatap ke arah Shouki.Shouki menggeleng, "Nona bilang akan menunggu sampai Nona Aira datang," ucap pria itu, mengalihkan tatapnya ke arah Claudia dan bertanya dalam diam.Claudia mengangguk. Sejujurnya ia khawatir akan meledak dan dipenuhi emosi saat menceritakannya jika pada Shouki, itu sebabnya Claudia tidak menelpon atau mengatakan apa pun pada pengawalnya itu saat ia melihat Deon berselingkuh. Dulu Claudia masih memikirkan Selena, karena jika ia mengadu pada Shouki, entah apa yang akan pria itu lakukan pada Deon dan Selena, tapi sekarang Claudia tidak bisa menahannya sendirian.Wanita itu menceritakan segalanya, dimulai dari perjalanannya ke kediaman sang kakek untuk menolak p
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T