Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia tidak menyesali keputusannya untuk membawa Raga main. Melihat bagaimana anak itu akhirnya tersenyum riang sambil mengelus para kucing membuat perasaan Claudia juga ikut senang."Mbak Claudia sepertinya benar-benar suka tuan muda, ya? Kelihatan beda dari pengasuh-pengasuh sebelumnya." Claudia menoleh pada kata-kata Ali. "Beda apanya? Memangnya pengasuh sebelumnya bagaimana?" tanyanya sambil sesekali memperhatikan Raga yang berada tidak jauh darinya. Claudia berusaha agar raut wajah dan nada suaranya tenang, seolah pertanyaannya hanyalah basa-basi."Bagaimana, ya? Sebenarnya mereka memperlakukan tuan muda dengan baik, pekerjaannya juga bagus. Mereka hanya melakukan satu kesalahan." "Kesalahan?"Ali mengangguk, tatapannya tampak sendu saat menatap Raga. "Mereka menggoda tuan Malven," ucapnya pelan, helaan napasnya agak berat didengar.Menggoda. Satu kata itu membuat Claudia tanpa sadar mencengkeram gelas minumannya lebih erat. Mengingat betapa rupawan wajah Malven, tubuh tinggi
Dipecat. Satu kata itu membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. "Pergilah, aku sudah selesai bicara." "Sebentar, Pak! Saya benar-benar tidak merasa melakukan kesalahan, tapi kenapa dipecat? Bisakah saya diberitahu letak salah saya di mana? Kalau ada hal yang tidak sesuai menurut Pak Malven, saya akan belajar memperbaikinya!" Claudia tidak pernah menduga akan dipecat hanya dua hari sejak memasuki kediaman Pranaja, padahal ia tidak merasa melakukan sesuatu yang melanggar aturan, Claudia juga tidak menggoda Malven sama sekali. Wanita itu melirik pada pakaian yang dikenakannya hari ini dan mengingat yang ia gunakan kemarin, tapi tidak ada yang salah dengan pakaiannya."Kamu benar-benar bertanya apa salahmu setelah membawa Raga bolos hari ini?" Pertanyaan yang dilayangkan dengan tatapan tajam itu membuat Claudia mengerutkan kening. Dari mana pria itu tahu kalau Raga membolos hari ini? Apakah pihak sekolah menelpon?"Aku ke sekolah Raga hari ini, ingin menjemputnya sebagai ganti tidak b
Pagi ke dua di kediaman Pranaja, kali ini Claudia tidak kesiangan dan menjalankan pekerjaannya untuk membangunkan Raga tepat waktu. Saat wanita itu memasuki kamar Raga, bocah itu masih bergelung dalam selimut. Padahal pukul enam kemarin Raga sudah menggedor kamar Cludia."Dia pasti kelelahan setelah menangis dan bermain kemarin, kan?" Claudia mendekati ranjang, perlahan menyibak anak rambut dari kening Raga. "Sayang, selamat pagi," ucapnya lembut sembari mendekat dan mencuri kecupan di pipi Raga."Padahal kalau mau cium tinggal bilang aja, nggak perlu curi-curi pas aku tidur gitu." Raga yang sebenarnya sudah bangun tapi malas bergerak dari ranjang, membuka kedua matanya dan menatap Claudia yang terkejut. "Selamat pagi juga, Kak!"Claudia terkekeh, "Wah, serius? Kakak akan sering cium dan cubit pipimu, lho!" "Tadi kayanya cuma cium aja?!" Raga ikut tertawa saat Claudia mencubit pelan pipinya. "Ayo siap-siap! Oh iya, karena ini hari Sabtu, itu berarti Papa-nya Raga libur, kan?" Perta
Tadinya Claudia berniat menghibur, bahkan sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan Eaga. Tapi, mendengar kata-kata yang diucap Raga sambil menangis membuat Claudia tidak bisa menahan air matanya. Wanita itu berakhir menangis juga, yang bisa ia lakukan adalah memeluk Raga tanpa bisa mengatakan apa pun.Bagaimana bisa seorang anak yang belum genap berusia lima tahun, mempertanyakan statusnya? Berapa banyak luka dan kekecewaan yang menumpuk hingga membuat Raga berpikir demikian? Ini bukan lagi seorang yang haus perhatian karena masih anak-anak, tapi karena memang ia tidak diperhatikan dengan benar oleh orang tuanya. "Kenapa Mama ninggalin aku sendirian ... aku mau ikut Mama!" Claudia menggigit bibir, menahan suaranya agar tidak ikut terisak bersama Raga. Ia hanya bisa mendekap anak itu, mengelus kepalanya penuh sayang, berharap bisa mengobati sedikit saja luka di hatinya."Nggak ada yang sayang sama Aga! Mama pergi, Papa nggak peduli, orang-orang juga cuma suka sama Papa
Claudia kembali ke ruang bermain Raga sambil membawa tisu basah dan kering, juga sebaskom air hangat dengan handuk kecil untuk mengompres mata Raga yang sedikit membengkak. "Sayang, mainannya ditaruh dulu, sini!" Claudia meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja. Raga yang mulai memainkan miniatur menaranya saat menunggu Claudia, bergegas bangkit dan duduk di sisi wanita itu. Melihat adanya handuk kecil dan baskom berisi air hangat, Raga yang tidak pernah menerima perlakuan seperti itu sebelumnya tidak bisa menahan senyumnya. Entah para pelayan, pengasuh-pengasuh sebelumnya yang Malven bayar, bahkan Dera, tidak ada satu pun yang pernah membawakan air hangat untuk mengompres mata Raga yang membengkak karena menangis."Buat Kakak airnya tidak terlalu panas, tapi mungkin buat kamu suhunya agak tinggi, tapi ditahan ya?" Claudia memasukkan handuk ke dalam baskom sebelum memerasnya dan menekan pelan di sekitar mata Raga yang telah dibersihkan dengan tisu basah.Claudia melakuka
Elodia Farras Ghaniya, nama yang tertera di hadapan Claudia saat ini merupakan ibu kandung Raga yang meninggal delapan bulan lalu. Mungkin kematian yang belum terlalu lama membuat Raga masih tidak bisa melupakan kenangan tentang ibunya, karena Claudia yang ditinggalkan saat berusia delapan tahun pun, hanya sedikit kenangan tentang ibunya yang tersisa.Hanya saja Claudia berharap akan ada seseorang yang terus menceritakan tentang Elodia pada Raga, kenangan-kenangan manis yang pernah anak itu bagikan bersama ibunya jangan sampai dilupakan begitu saja, karena sulit sekali rasanya saat tidak ada satu pun yang bisa meluangkan waktu untuk menceritakan hal-hal itu."Ma, hari ini Aga ke sini bareng Kak Cla! Kenalin, kakak cantik ini namanya Kak Claudia, baik banget orangnya, sayang sama Aga, trus Kak Cla lebih suka aku dibanding Papa! Keren, kan? Kak Cla jadi orang pertama yang lebih suka aku, lho!" Claudia langsung menoleh ke arah Raga yang tengah mengenalkannya pada sang ibu. Cara anak itu
"Kita sudah sampai!" ujar Claudia, sengaja mengalihkan pembicaraan, karena jujur saja ia belum menemukan jawaban yang pas untuk Raga.Raga mengikuti Claudia, berjongkok di depan sebuah makam. Terakhir kali Claudia mengunjungi ibunya adalah beberapa bulan lalu, saat ia dan Deon memutuskan untuk menikah. Kesibukan mempersiapkan pernikahan dan yayasan yang tidak bisa sering ditinggalkan membuat Claudia tidak punya waktu untuk berkunjung lagi, meski ia tahu ayahnya masih memiliki kebiasaan berkunjung di akhir pekan.Melihat seikat bunga lili ungu yang masih segar adalah bukti bahwa ayah Claudia sudah berkunjung ke sini tadi pagi. Ayahnya yang tidak pernah lupa membawakan bunga kesukaan ibunya, juga tidak pernah absen untuk mengunjunginya setiap satu minggu sekali membuat Claudia selalu mengagumi pria itu dan berharap bisa menikah dengan lelaki yang punya cinta sebesar itu juga padanya.Sayangnya, pria yang Claudia pilih malah dengan mudah membagikan cintanya pada wanita lain."Halo, Ma, i
Setelah memberitahu pelayan tentang tujuan mereka, Claudia dan Malven menelusuri jalan setapak dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Seperti yang Claudia katakan, hutan ini sangat rimbun dan terlihat seperti hutan sungguhan yang tidak terbatas luasnya.Meski begitu, Malven bisa melihat beberapa ranting dan daun bergoyang secara tidak wajar. “Apa di hutan ini ada ‘penunggu’ juga?” tanyanya sembari menatap lembut Claudia.Claudia yang tidak pernah melepas genggamannya dari Malven, mendongak dan tersenyum lebar. Sekarang ia mengerti apa maksud dari kata ‘penunggu hutan’ yang pernah Malven dan Arfa bicarakan. Orang-orang yang dilatih dan bekerja di bawah Adhamar, bertugas untuk menjaga keamanan tempat ini dengan memperhatikan siapa pun tamu yang datang.Tapi, meski Claudia bukan tamu asing, sejak kecil ia memang sudah dijaga diam-diam. Ada kalanya Claudia tersesat saat mengeksplor hutan dan salah satu penjaganya akan berpura-pura tidak sengaja lewat lalu membawa Claudia kembali ke
Claudia memilih menunggu di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang kerja kakeknya, sedikit gugup dengan pembicaraan yang akan dilakukan Adhamar dan Malven. Bagaimana kalau kakeknya bersikeras tidak akan merestui seperti saat bersama Deon dulu?“Ah, harusnya aku tidak menurut begitu saja dan meninggalkan mereka.” Claudia bergumam sembari menggoyangkan kaki, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Minum tehnya dulu, Nona. Apa perlu saya bawakan camilan lain? Atau Nona ingin makan?”Pertanyaan pelayan yang menghampiri sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kukis, membuat Claudia menghela napas pendek. Benar, tidak ada yang akan berubah hanya karena ia bergumam sendirian di sini, jadi lebih baik mengisi perutnya dengan sesuatu yang hangat.“Terima kasih, tapi bisakah ganti tehnya dengan kopi? Aku ingin kopi hitam tanpa gula,” ucap Claudia saat menyadari bahwa perutnya mual mencium harum yang menguar dari teh. “Lalu, aku sedang tidak ingin kukis. Bawakan saja sesuatu
Sindiran tajam dan dengusan Adhamar membuat suasana ruangan itu hening. Tidak ada yang bisa membantah, baik Claudia maupun Malven tahu pasti apa yang Adhamar maksud.“Memang benar kalau saya jatuh cinta padanya, tapi saya tidak pernah mengatakan itu, dan dia pun sama. Kami saling mencintai, tapi tidak sempat menyatakan perasaan masing-masing. Saya sibuk dengan beberapa urusan, lalu Zheva yang kebetulan punya pekerjaan di sini dan mengkhawatirkan kondisi saya, datang dan membuat hubungan kami berakhir dengan kesalahpahaman.”Malven menghela napas pelan. “Dia pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Saya membuatnya menangis patah hati, karena kekurangan saya dalam berkomunikasi membuatnya berpikir jika Zheva adalah wanita yang akan dijodohkan dengan saya. Satu bulan lalu, saya kehilangan arah karena wanita itu menghilang tiba-tiba.”Claudia menatap penuh perhatian pada Malven, berharap waktu yang akan mereka habiskan ke depannya akan menghapus sedikit demi sedikit rasa sakit karena k
Claudia menarik napas panjang saat pria berusia tujuh puluhan itu mengangkat pandangan dari buku di tangan. Adhamar tentu saja mengernyit melihat kedatangan cucunya yang tiba-tiba, apalagi setelah melihat tangan Claudia yang melingkari lengan Malven.Adhamar meletakkan bukunya di meja dan berdiri, menghampiri dua orang yang masih mematung tanpa mengatakan apa-apa.“Ayo bicara di dalam.” Claudia dan Malven segera menunduk sopan saat Adhamar berjalan lebih dulu sebelum mengekor di belakang. Tidak ada yang bicara selama perjalanan melewati beberapa koridor, ruang keluarga dan anak tangga menuju ruang kerja Adhamar. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk membicarakan hal penting hanya di ruang kerja Adhamar, tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan menguping. Setelah memasuki ruang kerja dan pintu tertutup, Claudia segera melepas lengan Malven dan berjalan menuju sofa yang telah diduduki kakeknya. Ini adalah hal yang harus Claudia lakukan sekarang, duduk di sisi kakeknya dan mem
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya Claudia dan Malven tiba di kediaman Adhamar. Gerbang besar terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dengan arsitektur klasik yang mencerminkan wibawa pemiliknya.Bangunan besar dengan arsitektur klasik itu selalu berdiri anggun, dikelilingi tamanluas yang tertata rapi. Meski Claudia tidak asing dengan tempat ini, tapi perasaanya saat ini lebih tegang dan mendebarkan.Claudia melirik ke samping dan tersenyum melihat Malven yang duduk diam dengan wajah sedikit kaku, tentu saja pria itu juga sedang sangat tegang sekarang. Claudia bisa melihat jari-jari Malven saling tertaut erat di pangkuan, napasnya pun terdengar lebih berat dari biasanya. Claudia masihtersenyum saat meraih tangan Malven dan menggenggamnya erat.“Jangan terlalu tegang, Malven,” bisik Claudia lembut, mencoba menenangkan. “Kakekku tidak akan menelanmu, kok.”Malven menoleh ke arah Claudia dan mengernyit mellihat senyum jahil wanita itu. Tentu saja Adhamar tidak
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be