“Sebenarnya kenapa … kenapa dia melakukan itu? Apa dia tidak bisa menunggu sebentar lagi? Kami akan menikah, tinggal beberapa hari lagi, tapi kenapa dia … kenapa … apa salahku ….”
Sakit. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkan rasa sakitnya. Kehadiran Deon selama hampir sepuluh tahun di hidupnya membuat Claudia nyaris bergantung pada pria itu.“Aku harus bagaimana sekarang … aku harus apa ….”“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.“Kakak cuma--”“Raga!”Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.“Raga, ayo pulang bersama Papa.”Claudia mendongak saat sosok yang memanggil Raga sudah berdiri di sisinya. Rambut hitam kelam, rahang tegas, hidung mancung dan tatapan segelap malam itu membuat Claudia terhenyak. Melihat tetesan air dari rambut hitamnya, juga kemeja putih yang basah hingga mencetak otot-otot keras di baliknya membuat Claudia tidak bisa mengalihkan pandangan.“Ehm, permisi … apa Anda mengenal anak ini?”Pertanyaan Claudia membuat pria itu mengernyit, tatapannya lebih dingin dari udara yang sedang berhembus, membuat Claudia menggigil.“Maaf karena Papa sudah berteriak padamu, Raga. Ayo pulang, kita akan temui Mama besok,” ucap pria itu lagi, suaranya terdengar sangat lembut dan penuh kasih, sangat jauh berbeda dengan tatapan yang ia berikan pada Claudia sebelumnya.“Uhm … kalau gitu … Kakak mau ikut ke rumahku nggak?”Ha? Pertanyaan polos yang dilontarkan Raga membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. Apa semua anak-anak memang imut seperti ini? Meski Claudia sendiri merupakan direktur sebuah agensi penyalur pembantu rumah tangga dan pengasuh anak, ia nyaris tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak.“Na-nanti saja, ya? Nanti Kakak akan main, tapi tidak sekarang. Bagaimana?” Claudia tersenyum, seolah ia tidak pernah terluka hari ini.“Hmm, oke kalau gitu!”Anggukan Raga mengakhiri pertemuan singkat itu, pria yang sepertinya adalah ayah kandung anak itu dengan cepat menggendong dan membawanya pergi, tidak lupa meninggalkan kernyitan dan tatapan dingin pada Claudia.“Apa sih!”Kembali sendirian, Claudia menghela napas panjang, duduk di kursi besi yang juga terasa dingin. Ia tidak ingin pulang dan menunjukkan wajah terlukanya pada sang ayah, tapi Claudia tidak bisa terus-terusan berada di luar dalam cuaca yang tidak bersahabat. Jadi, malam itu Claudia memutuskan untuk menginap di hotel terdekat, mematikan ponsel dan semua akses komunikasinya, mengurung diri dalam kamar mewah selama dua hari penuh.***Sebenarnya kalau bisa memilih, Claudia ingin terus bersembunyi dari dunia yang melukainya, tapi mengingat ada banyak hal yang harus ia selesaikan membuat Claudia mau tidak mau keluar dari hotel dan kembali ke rumah. Lalu seperti dugaannya, saat Claudia memasuki ruang tamu rumahnya, pria itu ada di sana. Pria yang telah menggoreskan luka teramat dalam padanya.“Oh, kamu sudah pulang, Cla? Bagaimana pekerjaanmu?”Claudia memaksakan senyum saat ayahnya yang tengah mengobrol dengan Deon langsung berdiri menyambut. Ia memang mengatakan pada ayahnya malam itu kalau ada beberapa pekerja di luar kota yang bermasalah dan harus diperiksa.“Ehm, sudah tidak apa-apa, Yah. Aku … ingin bicara dengan Deon dulu, Ayah bisa tunggu di dalam? Ada yang ingin aku sampaikan pada Ayah nanti,” ucap Claudia pelan, sedikit kesulitan saat harus menjaga suaranya agar tetap normal.“Ah iya, Deon juga mencarimu sejak kemarin.” Pria paruh baya itu menghela napas pelan. “Cla, kalau ada masalah, bicarakan dan selesaikan dengan kepala dingin. Ujian sebelum pernikahan itu memang ada, tapi coba untuk berpikir jernih dan jangan mengambil keputusan yang akan kamu sesali.”Bisikan berisi nasihat dari sang ayah membuat Claudia menarik napas panjang, kepalanya mengangguk mengiyakan. Dua hari sudah cukup untuk menenangkan diri dan menjernihkan pikiran, dan Claudia sudah bulat pada keputusannya untuk mengakhiri segalanya.“Kamu sudah lebih tenang? Mau bicara di sini atau di tempat lain? Ayo ke restaurant favoritmu dan bicara sambil makan di sana, bagaimana?”“Sekarang … itu bukan lagi restaurant favoritku, karena satu-satunya alasanku menyukai tempat itu sudah tidak ada.” Claudia membuka suara, sambil menjaga ekspresinya agar tetap tenang. Restaurant yang baru saja Deon sebutkan adalah tempat pria itu mengungkapkan perasaannya pada Claudia tujuh tahun lalu. Tentu saja, tempat itu tidak akan pernah menjadi kesukaannya lagi.“Kumohon, Cla … jangan begini. Semua yang kamu lihat kemarin hanya salah paham! Selena menggodaku dan aku tidak bisa--!”“Hentikan, Deon! Tolong. Semakin kamu memberikan pembelaan, aku akan semakin membencimu. Aku bukan orang bodoh … dan kupikir kamu juga bukan. Kamu menyelesaikan program magistermu dengan cemerlang, punya pekerjaan dan posisi tinggi di perusahaan besar, apakah masuk akal untuk tidak bisa melakukan apa-apa saat digoda seseorang? Sejak awal … kamu memang tidak puas hanya denganku saja.”Suara Claudia bergetar, kenangan manis yang selama tujuh tahun membuatnya percaya pada cinta Deon, kini hanya terasa seperti kebohongan. Apa selama tujuh tahun hubungan mereka … benar-benar tidak pernah ada orang ke tiga? Claudia memikirkannya selama dua hari terakhir dan tidak yakin Selena adalah selingkuhan pertama Deon.Sejak awal Claudia menginginkan hubungan yang sehat, jadi ia memberi kebebasan pada Deon untuk berinteraksi dan berteman dengan banyak orang tanpa terhalang jenis kelamin. Tapi, apa kepercayaan yang Claudia berikan itu justru yang menjadi akar dari pengkhianatan Deon? Claudia tidak mau dan tidak sanggup memikirkannya.“Aku sudah menghubungi wedding organizer dan membatalkan semuanya, juga sudah memberi pemberitahuan resmi kepada mereka yang terlanjur menerima undangan. Aku tidak peduli bagaimana cara kamu mengatakan itu pada keluargamu, tapi jangan pernah menjelekkan namaku.”“Claudia!” Deon beranjak dari duduknya, mendekat pada Claudia dan berlutut di hadapan wanita itu. “Kumohon jangan membatalkan pernikahan kita, Cla. Kamu tidak lupa pada mimpi-mimpi kita, kan? Kita akan bulan madu ke Jepang, melihat bunga sakura bersemi, memakai yukata dan menonton festival kembang api. Kamu bilang akan memberi nama anak-anak kita dengan karakter anime favoritmu, lalu--”“Dan siapa orang yang telah menghancurkan mimpi itu, Deon?!” Claudia menepis tangan pria yang mencoba meraihnya. “Kuharap kamu tidak akan pernah lupa penyebab hancurnya mimpi-mimpi itu!”“Aku mencintaimu, Claudia! Aku hanya mencintaimu … aku benar-benar khilaf, tolong, jangan tinggalkan aku. Bagaimana aku harus hidup kalau tanpa kamu?”“DEON!”Claudia berteriak, air matanya tumpah deras, dadanya sesak oleh rasa sakit yang entah bagaimana cara menyembuhkannya. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi mulai sekarang. Kita benar-benar selesai! Terima kasih karena telah menunjukkan dirimu yang asli sebelum kita menikah, selamat tinggal!”“Claudia!”Claudia langsung berlari menuju tangga, ke kamarnya di lantai dua lebih tepatnya, mengabaikan ayahnya yang menunggu dengan cemas di ruang keluarga. Untungnya Deon tidak nekat mengejar, karena meski sudah tujuh tahun berpacaran pun, Deon tidak pernah mendapat izin untuk melangkah ke lantai dua di mana kamar Claudia berada.Mengunci pintu kamar, Claudia akhirnya jatuh terduduk di lantai, kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Ia berusaha sangat keras untuk tidak memukul Deon, berteriak dan bertanya apa salahnya hingga diperlakukan seperti orang bodoh. Claudia mencintai Deon, pria itu adalah cinta pertamanya, sosok yang selalu membuat Claudia berbunga. Tapi, kenapa? Apa tidak cukup
Pranaja merupakan salah satu keluarga terpandang yang namanya dikenal hampir seluruh orang di Indonesia, lebih tepatnya keberadaan perusahaan milik keluarga itu yang sering menduduki puncak dunia bisnis di Asia, merambah hingga Amerika dan Eropa, juga beberapa kali mendapat penghargaan internasional, membuat Pranaja menjadi salah satu keluarga yang selalu menjadi topik hangat.Presiden Direktur Pranaja Grup sudah membuat permintaan pengiriman pengasuh profesional beberapa kali, tapi semuanya dikembalikan dengan alasan yang tidak diketahui. Claudia sering mendengar para karyawan dan guru di perusahaannya mengumpamakan jika penggantian pengasuh di keluarga Pranaja seperti seseorang yang setiap dua jam berganti baju karena telalu sering."Kurasa itu bukan ide buruk, aku juga harus mencari tahu alasan sebenarnya para pengasuh itu dikembalikan. Tolong kirim pemberitahuan ke Pranaja jika pengasuh baru akan datang besok. Lalu, selama aku menjadi babysitter, kirimkan pekerjaanku ke email saja
Claudia segera menurunkan tangannya yang dengan lancang menunjuk pada pria berjas hitam di depannya, baru saja keluar dari kediaman Pranaja. Pria itu adalah seseorang yang memberikan tatapan tajam dan sinis pada Claudia malam itu, seseorang yang mengaku sebagai ayah Raga.“Jangan kurang ajar, Cla, dia calon majikanmu. Memangnya kamu tidak pernah lihat fotonya di majalah bisnis?” Aira berbisik sembari menyenggol pelan lengan Claudia. “Apa ada masalah?”Pertanyaan pria di depannya membuat Claudia langsung membungkukkan tubuh, meminta maaf atas ketidaksopanannya.“Sa-saya pikir Tuan mirip dengan aktor korea kesayangan saya, ja-jadi ....” Suara Claudia bergetar, menunjukkan bahwa ia takut dan permintaan maafnya tulus.Kalau ini situasi normal, Aira pasti akan mengejek dan menertawakan kebodohan Claudia, karena dilihat dari sisi mana pun, pria tampan di hadapan mereka tidak ada wajah-wajah korea-nya sama sekali.“Saya harus segera ke kantor, jadi kenalannya nanti saja. Saya sudah menerima
Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Raga. Untungnya saat anak itu menangis dan menjelek-jelekkan ayahnya, tidak ada satu pun yang datang ke kamar, dan Claudia bersyukur tidak ada kamera pengawas di sana, karena selama menemani Raga menangis, Claudia menyetujui dan mengiyakan apa pun hal-hal buruk yang anak itu katakan tentang Malven.Siapa sangka pria seksi yang menjadi buah bibir setiap wanita itu ternyata memiliki nilai yang sangat mines di mata putranya sendiri."Kakak," Raga memanggil pelan setelah tangisnya agak reda."Ya?" Claudia membersihkan jejak ingus dan air mata di pipi Raga. "Kamu lapar? Mau makan sekarang?" Raga menggeleng perlahan. "Itu ... yang aku bilang tentang Papa, bisa nggak jadi rahasia kita berdua aja? Na-nanti kalau sampai ada berita buruk tentang Papa--""Oke, Sayang!" Claudia langsung menunjukkan jari kelingkingnya, "Pembicaraan kita akan selalu jadi rahasia, entah sekarang atau pun nanti. Raga juga mau janji untuk tidak cerita pada siapa pun tentang Ka
Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan."Selamat malam, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan. "Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan p
Pesan itu dikirim oleh nomor asing, tidak hanya satu, Claudia bahkan tidak mau menghitungnya, belum lagi panggilan tidak terjawab. Meski Claudia sudah memblokir nomor Deon, nyatanya pria itu masih berusaha menghubunginya dengan nomor lain.Sebagai seorang direktur sebuah yayasan yang nomornya sudah diketahui banyak kolega membuat Claudia tidak bisa mengganti nomor ponselnya. Ia hanya sempat berharap Deon menyerah dan tidak lagi mengganggu setelah Claudia memblokirnya, tapi nyatanya pria itu masih saja egois dan tidak tahu malu.Sama seperti Deon yang melakukan usaha sia-sia dengan terus menghubungi, Claudia juga akan terus memblokir pria itu dari hidupnya entah berapa kali pun Deon berusaha mendekat."Ayo tidur, aku harus bangun pagi dan memastikan Raga sarapan bersama ayahnya!" Mengembalikan ponselnya ke tas tanpa berniat mengisi dayanya, Claudia segera berbaring dan menarik selimut. Wanita itu berulang kali menarik napas, menenangkan diri dari hatinya yang kembali teringat luka. T
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia tidak menyesali keputusannya untuk membawa Raga main. Melihat bagaimana anak itu akhirnya tersenyum riang sambil mengelus para kucing membuat perasaan Claudia juga ikut senang."Mbak Claudia sepertinya benar-benar suka tuan muda, ya? Kelihatan beda dari pengasuh-pengasuh sebelumnya." Claudia menoleh pada kata-kata Ali. "Beda apanya? Memangnya pengasuh sebelumnya bagaimana?" tanyanya sambil sesekali memperhatikan Raga yang berada tidak jauh darinya. Claudia berusaha agar raut wajah dan nada suaranya tenang, seolah pertanyaannya hanyalah basa-basi."Bagaimana, ya? Sebenarnya mereka memperlakukan tuan muda dengan baik, pekerjaannya juga bagus. Mereka hanya melakukan satu kesalahan." "Kesalahan?"Ali mengangguk, tatapannya tampak sendu saat menatap Raga. "Mereka menggoda tuan Malven," ucapnya pelan, helaan napasnya agak berat didengar.Menggoda. Satu kata itu membuat Claudia tanpa sadar mencengkeram gelas minumannya lebih erat. Mengingat betapa rupawan wajah Malven, tubuh tinggi
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be
Claudia tidak bisa bertanya lebih jauh saat Malven mengatakan dengan yakin jika noda yang ada di ujung lengan kemejanya adalah saus. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi setelah meraih paper bag berisi pakaian ganti yang sebelumnya dibawakan Arfa.Di dalam kamar mandi, wajah lembut Malven perlahan memudar, berganti menjadi raut datar tanpa emosi. Pria itu menghela napas pelan saat membuka kancing kemejanya satu per satu dan melihat ada beberapa bercak merah di ujung kemeja putihnya. Padahal ia menggunakan alat pelindung dan berhati-hati agar tidak ada noda yang merusak penampilannya, tapi tidak menyangka jika beberapa cipratan merusak pakaiannya.“Untung saja yang terkena noda cukup banyak bisa disembunyikan,” gumam Malven sembari berjalan mnuju shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Air yang mengalir juga turut membasuh warna merah yang ada di tangan pria itu.Selesai membersihkan dirinya dan memastikan tidak ada noda atau bau darah yang menempel, Malven keluar kamar mandi
Claudia meletakkan telunjuknya di bibir, matanya melirik ke arah ranjang--menunjukkan keberadaan Raga yang tertidur lelap.Aira segera membelap mulutnya, "Maaf," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya pada Shouki tentang kejadian kemarin?" tanyanya sembari menatap ke arah Shouki.Shouki menggeleng, "Nona bilang akan menunggu sampai Nona Aira datang," ucap pria itu, mengalihkan tatapnya ke arah Claudia dan bertanya dalam diam.Claudia mengangguk. Sejujurnya ia khawatir akan meledak dan dipenuhi emosi saat menceritakannya jika pada Shouki, itu sebabnya Claudia tidak menelpon atau mengatakan apa pun pada pengawalnya itu saat ia melihat Deon berselingkuh. Dulu Claudia masih memikirkan Selena, karena jika ia mengadu pada Shouki, entah apa yang akan pria itu lakukan pada Deon dan Selena, tapi sekarang Claudia tidak bisa menahannya sendirian.Wanita itu menceritakan segalanya, dimulai dari perjalanannya ke kediaman sang kakek untuk menolak p
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T