"C–Claudia?!"
Keterkejutan di wajah tampan yang berkeringat itu membuat Claudia gemetar. Ia masih bisa melihat sisa-sisa gairah di mata lelaki itu. Lelaki yang harusnya mengucap janji suci pernikahan untuknya beberapa hari lagi.
Beberapa saat lalu, Claudia datang dengan penuh semangat untuk merayakan tujuh tahun kebersamaan mereka. Namun, yang ia temukan di apartemen lelaki itu bukan kebahagiaan, melainkan pengkhianatan yang mengoyak hatinya.
Tak pernah sekalipun ia membayangkan kekasihnya akan berselingkuh! Apalagi dengan sepupunya sendiri, Selena!
"Cla, aku—!"
Deon terbata-bata, buru-buru menarik bokser hitam dari lantai dan mencoba mendekat, tapi–
Plak!
Tamparan Claudia mendarat keras di pipi pria yang selama tujuh tahun terakhir mengisi hatinya. Tangannya bergetar, terasa panas seperti amarah yang membakar seluruh tubuhnya.
"Kita putus." Suaranya tegas, final. Tanpa ragu, ia berbalik, melangkah keluar dari kamar yang membuatnya muak.
"Claudia! Dengarkan aku dulu, Sayang!"
"Jangan panggil aku 'Sayang' dengan mulut kotormu!" bentaknya, menghempaskan tangan Deon yang mencoba menahannya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah, memancarkan luka dan kekecewaan yang begitu dalam.
Deon tertegun, jantungnya mencelos melihat rasa sakit yang terpancar di wajah Claudia, wanitanya.
"Aku minta maaf, Cla! Aku khilaf!" ucapnya lirih, mencoba meraih tangan Claudia.
Claudia terkekeh pahit, menatap kecewa pria yang selama tujuh tahun menjadi salah satu alasannya bahagia.
Claudia tertawa pahit. "Khilaf?" ia mengulangi kata itu dengan getir. "Khilaf itu kalau kamu hanya bertukar pesan atau sekadar kencan di kafe. Tapi ini—" Napasnya bergetar, matanya berkilat marah. "Kamu melakukannya sampai akhir. Dan itu tidak hanya sekali." Tatapannya menusuk, terlebih setelah melihat beberapa kondom bekas yang berserakan di lantai.
"Aku dijebak–!"
"DEMI TUHAN, DEON!!!" Claudia berteriak, menghentikan segala alasan yang bahkan tak masuk akal untuknya. "Aku tidak gila hingga tidak bisa membedakan keadaanmu tadi, saat kamu mengejar pelepasanmu! Kamu tidak mabuk, kamu tidak berada di bawah pengaruh obat apa pun! Bagian mana yang jebakan?!"
Wanita itu menarik napas panjang, menghapus air mata yang tidak berhenti menetes.
"Aku tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan, Deon. Kamu pasti mengenalku dengan sangat baik selama tujuh tahun ini. Kita selesai ... dan alasan berakhirnya hubungan ini adalah karena kamu!"
Memilih untuk segera berbalik dan keluar dari apartemen yang sering dikunjunginya, Claudia berlari menuju lift, menghela napas panjang untuk menghentikan tangisnya. Wanita itu menggigit bibir, menahan diri agar tidak berteriak dan menangis dengan keras.
Keluar dari gedung apartemen yang mungkin tidak akan pernah dikunjunginya lagi, Claudia yang datang tanpa membawa mobil nyaris mengumpat. Terlalu percaya jika calon suaminya akan mengantarnya pulang, Claudia meninggalkan mobilnya di kantor dan memilih naik taksi.
Wanita itu mendongak ketika merasakan tetes demi tetes dari langit mulai membasahi kepalanya.
"Bahkan langit pun tidak mendukungku?" Tawa pahitnya terdengar, bersamaan dengan hujan yang semakin deras, menutupi air matanya yang kembali mengalir.
Claudia berjalan pelan menyusuri trotoar, terlalu lelah hanya untuk mencari taksi.
Ia kemudian berhenti di pemberhentian bus, memilih duduk di bangku besi panjang dan kembali terisak. Dunianya hancur berserakan. Claudia tidak tahu bagaimana harus menyusunnya kembali.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu banyak kenangan dan mimpi-mimpi serta janji yang ia ukir bersama Deon. Claudia tidak pernah membayangkan jika hubungan yang dilandasi kepercayaan selama bertahun-tahun harus hancur karena sebuah pengkhianatan.
Lucunya ... pria itu masih berani berkata jika itu adalah kesalahan tidak disengaja!
"Dasar brengsek!"
Menyedihkan! Bagaimana bisa Claudia yang selalu bangga pada setiap hal yang ada pada dirinya dan mengangkat wajah dengan penuh kepercayaan diri, berakhir menangis patah hati karena dikhianati?
Apalagi ketika tunangannya justru selingkuh dengan Selena, sepupu yang paling ia percaya?
Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, tapi Claudia bahkan tidak berani untuk menebak sejak kapan sepupu tersayangnya memiliki minat lain pada Deon.
Hujan turun lebih deras, tempiasnya memercik pada Claudia yang memang sudah basah. Tidak ada siapa pun di sekitarnya, seolah sepi yang mencekik ini juga dipersiapkan takdir untuknya.
Tring!
Notifikasi dari ponsel di tas tangannya membuat Claudia tersentak.
Dengan gemetar, wanita itu mengeluarkan ponselnya.
Sebuah pesan terpampang di layar ponselnya. Sebuah pemberitahuan dari wedding organizer yang ia sewa, sekaligus pengingat tentang hari pernikahan yang sudah makin dekat.
"Tidak akan ada pernikahan ... bukan aku yang akan menikah." Mata Claudia kembali basah, tanpa bisa mencegah lagi air matanya yang tumpah sekali lagi.
Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
"ADUH!!!"
Claudia terkesiap ketika sesuatu jatuh di depannya–
Seseorang lebih tepatnya.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Claudia segera membantu sosok kecil yang baru saja terjerembab dan mendudukkannya di bangku halte.
Sama seperti dirinya, anak itu juga tampak berantakan dengan pakaian basah dan air mata menggenang.
"Di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian di sini?" Claudia berlutut di hadapan anak itu dan bertanya dengan lembut, seolah kesedihannya beberapa waktu lalu hilang begitu saja. "Ya Tuhan ... kamu berdarah!"
Claudia menatap ngeri lutut anak kecil yang duduk di hadapannya. Melihat bagaimana anak itu tidak menangis dengan keras meski matanya sudah berkaca-kaca membuat perasaan Claudia tidak senang.
"Pasti sakit, ya? Katakan saja kalau sakit ... jangan ditahan. Tidak baik menahan diri." Claudia berucap lembut.
Langsung saja, anak itu terisak. "Sakit ... lutut Aga perih, tapi Aga nggak boleh nangis. Mama bilang akan jemput kalau Aga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan."
Kata-kata bocah berusia sekitar 4 tahun itu membuat Claudia tertegun, air mata yang sempat berhenti, kembali berurai tak terbendung. Claudia menumpukan kepalanya di paha anak lelaki itu, menangis.
"Bunda juga ... Bundaku juga bilang begitu. Katanya kalau aku tidak cengeng, dia akan datang dan membawaku. Tapi ..., Bunda tidak pernah kembali ...."
Claudia kehilangan ibunya sejak masih kecil. Meski usianya sudah cukup untuk mengerti apa itu ‘meninggal’, ia tetap menangis setiap hari dan berharap ibunya kembali.
Orang lain yang paling mendekati sosok yang Claudia rindukan adalah tantenya, adik dari sang ayah.
Namun, sosok itu juga ibu dari Selena, sepupunya yang tadi melakukan adegan tak pantas dengan tunangan Claudia.
Mana mungkin Claudia menyampaikan informasi tersebut pada tantenya? Ekspresi apa yang harus ia tampilkan? Bagaimana ia harus mengatakannya?
Claudia menangis semakin deras saat anak lelaki di hadapannya juga turut terisak, keduanya menangis bersama di tengah hujan, berbagi rasa sakit dengan orang asing yang baru pertama kali ditemui.
“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.“Kakak cuma–”“Raga!”Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.“Raga, ayo pulang sama Papa.”Claudia mendongak saat sosok yang memanggil Raga sudah berdiri di sisinya. Rambut hitam kelam, rahang tegas, hidung mancung dan tatapan segelap malam itu membuat Claudia terhenyak. Melihat tetesan air dari rambut hitamnya, juga kemeja putih yang basah hingga mencetak otot-otot keras di baliknya membuat Claudia tidak bisa mengalihkan pandangan.“Ehm, permisi … apa Anda mengenal ana
"Kamu pucat sekali, Cla."Claudia menghela napas. Ia melangkah kembali ke ranjang dan mengabaikan kata-kata Aira. Sudah pasti wajahnya terlihat tidak baik-baik saja dan Claudia tahu sudah saatnya mengatakan sesuatu pada Aira.Sahabatnya itu pasti sudah tahu perihal pernikahannya yang batal. Namun, untuk alasannya, Claudia belum mengatakannya. Beberapa hari ini, Claudia mengurung diri di dalam kamarnya. Setelah mematikan ponsel dan memutus semua akses komunikasinya agar ia bisa berpikir jernih sebelum mengambil keputusan.Meski begitu, rupanya Deon tidak menyerah mengusiknya. Pria itu menggunakan berbagai cara agar Claudia mau bicara padanya. Bahkan hingga mendatangi Claudia di rumah dan mengobrol dengan sang ayah.Namun, Claudia dengan tegas mengatakan pada orang rumah untuk mengusir pria peselingkuh itu.Sampai pada akhirnya, Claudia mantap mengirimkan pemberitahuan pembatalan pernikahan pada semua orang. Mungkin karena itulah Aira datang ke rumahnya hari ini."Aku bawa bubur dan su
Pranaja merupakan salah satu keluarga terpandang yang namanya dikenal hampir seluruh orang di Indonesia, lebih tepatnya keberadaan perusahaan milik keluarga itu yang sering menduduki puncak dunia bisnis di Asia, merambah hingga Amerika dan Eropa, juga beberapa kali mendapat penghargaan internasional, membuat Pranaja menjadi salah satu keluarga yang selalu menjadi topik hangat.Presiden Direktur Pranaja Grup sudah membuat permintaan pengiriman pengasuh profesional beberapa kali, tapi semuanya dikembalikan dengan alasan yang tidak diketahui. Claudia sering mendengar para karyawan dan guru di perusahaannya mengumpamakan jika penggantian pengasuh di keluarga Pranaja seperti seseorang yang setiap dua jam berganti baju karena telalu sering.Dan sekarang, asisten sekaligus sahabatnya ini memberikan ide untuk menjadi pengasuh baru di kediaman itu?"Kurasa itu bukan ide buruk, aku juga harus mencari tahu alasan sebenarnya para pengasuh itu dikembalikan.” Claudia berucap setelah memikirkan ide
"Kalau begitu aku akan mengatakan peraturan lainnya selain yang tertulis di kontrak. Kuharap kamu mendengarkan dan memahami apa yang kukatakan sekarang, karena tidak akan ada maaf kalau kamu melanggarnya."Claudia tidak tahu peraturan seperti apa yang ingin disampaikan Malven, tapi melihat betapa serius raut wajah pria itu, sepertinya itu peraturan yang cukup sulit ditaati.'Apa dia menyuruhku untuk bangun jam tiga pagi setiap hari?'"Iya, Pak, saya mendengarkan."Malven berdecak pelan, jelas berusaha keras untuk menutupi ketidaksukaannya pada Claudia."Pertama, jangan pernah memasuki kamarku atau ruang kerjaku, juga perpustakaan pribadiku."Claudia mengerjap pelan, bukankah hal yang wajar untuk tidak masuk ke daerah privasi majikan? Apalagi status Claudia di sini sebagai pengasuh Raga, bukannya pembantu rumah tangga, jadi bukankah sudah pasti Claudia tidak akan masuk ke ruangan-ruangan yang baru saja Malven sebutkan?"Baik, Pak, saya mengerti." Claudia mengangguk meski merasa aneh de
Kembali ke hari pertama saat Claudia memulai pekerjaannya sebagai pengasuh."Kamu menangis lagi? Kenapa setiap kali kita bertemu, kamu selalu menangis?" "Kakak!" Terkejut dengan reaksi Raga yang tiba-tiba melompat dan memeluknya, Claudia yang hampir hilang keseimbangan akhirnya terkekeh pelan, membalas pelukan erat dari anak lelaki yang akan menjadi tuan kecilnya. Dan seperti kejadian malam itu, Raga kembali menangis. Di sela-sela tangisnya, Raga mengatakan isi hatinya, meski tersendat, anak itu berhasil mengeluarkan kemarahan dan kekecewaan yang tertahan.Ayahnya sudah berjanji pada Claudia akan membawa Raga ke makam ibunya malam itu, Malven bahkan menautkan jari kelingkingnya bersama Claudia, tapi ketika sampai di rumah, pria itu malah mendapat telpon kalau terjadi sesuatu dengan anak perusahaan di luar negeri sehingga ia harus pergi malam itu juga."Papa baru pulang subuh tadi, tapi ... tapi malah kerja lagi. Kenapa Papa selalu ingkar janji? Papa nggak sayang aku, Papa cuma sayan
Claudia menghentikan langkahnya saat Malven bertanya. "Tuan Muda baik-baik saja, Tuan. Beliau makan lahap, menikmati camilan yang disediakan, bermain dan berlari."Claudia sengaja tidak menatap wajah Malven saat menjawab, tatapannya tertuju pada sepatu hitam pria itu. Bukankah seperti ini yang namanya sopan santun terhadap majikan? Meski ini pertama kali Claudia menundukkan kepala di hadapan orang lain. Selain itu, Claudia khawatir Malven akan mengingat wajahnya.Meski pada saat itu wajah Claudia berantakan dengan bekas air mata dan basah kuyup, melihat bagaimana Raga langsung mengenalinya maka kemungkinan besar Malven juga akan mengenali."Baiklah kalau begitu. Beristirahatlah. Terima kasih untuk hari ini."Claudia menghela napas lega, "Kalau begitu saya permisi, Pak," ucapnya sebelum bergegas meninggalkan Malven tanpa menunggu balasan dari pria itu. Jujur saja Claudia kelelahan dan membutuhkan tidur setelah menemani Raga seharian, jadi ia tidak bisa membuang waktu lagi."Ah, aku ing
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia tidak menyesali keputusannya untuk membawa Raga main. Melihat bagaimana anak itu akhirnya tersenyum riang sambil mengelus para kucing membuat perasaan Claudia juga ikut senang."Mbak Claudia sepertinya benar-benar suka tuan muda, ya? Kelihatan beda dari pengasuh-pengasuh sebelumnya." Claudia menoleh pada kata-kata Ali. "Beda apanya? Memangnya pengasuh sebelumnya bagaimana?" tanyanya sambil sesekali memperhatikan Raga yang berada tidak jauh darinya. Claudia berusaha agar raut wajah dan nada suaranya tenang, seolah pertanyaannya hanyalah basa-basi."Bagaimana, ya? Sebenarnya mereka memperlakukan tuan muda dengan baik, pekerjaannya juga bagus. Mereka hanya melakukan satu kesalahan." "Kesalahan?"Ali mengangguk, tatapannya tampak sendu saat menatap Raga. "Mereka menggoda tuan Malven," ucapnya pelan, helaan napasnya agak berat didengar.Menggoda. Satu kata itu membuat Claudia tanpa sadar mencengkeram gelas minumannya lebih erat. Mengingat betapa rupawan wajah Malven, tubuh tinggi
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun
Selama menunggu Malven dan Regan bicara, Claudia menunggu di ruang keluarga. Sudah dua jam sejak Malven memasuki ruang kerja Regan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda akan keluar. Claudia menghela napas panjang, sedikit khawatir.Kalau saja ayahnya tidak melarang, Claudia pasti sudah menemani Malven saat ini. Tapi, Regan mengatakan jika itu adalah pembicaraan antar laki-laki, jadi Claudia dilarang ikut campur.“Berapa lama lagi ayah akan mengintrogasinya?” Claudia menarik napas pelan, matanya melirik pada jam yang tertera di ponsel. Awalnya Claudia tidak sendirian karena Raga menemaninya bermain, tapi anak itu akhirnya tertidur setelah hampir satu jam, jadi Claudia memindahkannya ke kamar dan kembali ke ruang keluarga untuk menunggu Malven.“Tapi, kenapa lama sekali?” Claudia kembali mengeluh sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lampu gantung yang malam ini terlihat lebih jauh.Claudia sebenarnya merasa lelah dan perutnya sedikit kram. Mengingat perjalanan panjang yang