"C--Claudia?!"
Keterkejutan di wajah tampan yang berkeringat itu membuat Claudia gemetar. Ia masih bisa melihat sisa-sisa gairah di mata lelakinya. Lelaki yang harusnya mengucap janji suci untuknya beberapa hari lagi.Wanita itu mengunjungi kekasihnya untuk merayakan tujuh tahun hari jadi mereka, tapi bukannya bahagia, nyatanya yang dilihat Claudia di apartement lelaki itu adalah rasa sakit dari pengkhianatan. Tidak pernah sekali pun Claudia berpikir kekasihnya akan berselingkuh, apalagi dengan sepupunya sendiri."Cla, aku--!" Pria itu dengan tergesa mengenakan bokser hitam yang terletak di lantai dan menghampiri Claudia.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan lelaki yang mengisi hati Claudia selama tujuh tahun terakhir. Tangan wanita itu terasa sakit dan panas, bersamaan dengan gemetar di seluruh tubuhnya."Kita putus," ucapnya final, berbalik dan langsung bergegas keluar dari kamar yang membuatnya muak."Claudia! Dengarkan aku dulu, Sayang!""Jangan memanggilku 'Sayang' dengan mulut kotormu!!!" ujar Claudia setengah berteriak, menghempaskan tangan yang menahan pergerakannya. Air mata wanita itu luruh dengan deras, luka dan kekecewaan yang tidak bisa ditutupi terlihat sangat jelas di matanya.Lelaki itu--Deon--tertegun, jantungnya mencelos melihat rasa sakit yang terpancar di wajah wanita tersayangnya. Wanitanya."Aku minta maaf, Cla! Aku khilaf," ucap Deon lirih, sambil mencoba untuk meraih tangan pujaan hatinya.Claudia terkekeh pahit, menatap kecewa pria yang selama tujuh tahun menjadi salah satu alasannya bahagia."Khilaf?" Suara wanita itu bergetar seraya kembali menghempaskan tangan yang mencoba meraihnya. "Khilaf itu kalau kamu hanya bertukar pesan atau kencan di kafe, tapi ini--!" Claudia menatap tajam pria di hadapannya, "Kamu melakukannya sampai akhir, dan itu tidak hanya sekali," lanjutnya sembari menggertakkan gigi, menahan sesak yang menghimpit, apalagi setelah melihat beberapa kondom bekas yang ada di lantai kamar Deon."Aku dijebak--!""DEMI TUHAN, DEON!!!" Claudia berteriak, menghentikan segala penjelasan tidak masuk akal yang akan dikatakan lelaki di hadapannya. "Aku tidak gila hingga tidak bisa membedakan keadaanmu tadi, saat kamu mengejar pelepasanmu dan sekarang ... ketika kamu dalam keadaan sangat sadar. Kamu tidak sedang mabuk atau dalam pengaruh obat apa pun, bagian mana yang jebakan?!"Wanita itu menarik napas panjang, menghapus air mata yang tidak berhenti menetes entah berapa kali pun ia menghapusnya."Aku tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan, Deon. Kamu pasti mengenalku dengan sangat baik selama tujuh tahun ini. Kita selesai ... dan alasan berakhirnya hubungan ini adalah karena kamu!"Memilih untuk segera berbalik dan keluar dari apartement yang sering dikunjunginya, Claudia berlari menuju lift, menghela napas panjang untuk menghentikan tangisnya. Wanita itu menggigit bibir, menahan diri agar tidak berteriak dan menangis dengan keras.Keluar dari gedung apartement yang mungkin tidak akan pernah dikunjunginya lagi, Claudia yang datang tanpa membawa mobil nyaris mengumpat. Terlalu percaya jika calon suaminya akan mengantarnya pulang, Claudia meninggalkan mobilnya di kantor dan memilih naik taksi."Sialan!" umpat wanita itu ketika merasakan tetes demi tetes dari langit mulai membasahi kepalanya. "Bahkan langit pun tidak mendukungku?" Kekehannya terdengar, bersamaan dengan hujan yang semakin deras, menutupi air matanya yang kembali menggenang.Claudia berjalan pelan menyusuri trotoar, terlalu lelah hanya untuk mencari taksi. Wanita itu mendongak, melihat langit yang gelap. Matahari sudah terbenam sejak beberapa saat lalu dan Claudia tidak bisa melihat awan jingga seperti kemarin, seolah seperti mengikuti bagaimana hatinya, bahkan langit pun tampak kelam.Wanita itu berhenti di pemberhentian bus, memilih duduk di bangku besi panjang dan kembali terisak. Dunianya hancur berserakan. Claudia tidak tahu bagaimana harus menyusunnya kembali.Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu banyak kenangan dan mimpi-mimpi serta janji yang ia ukir bersama Deon. Claudia tidak pernah membayangkan jika hubungan yang dilandasi kepercayaan selama bertahun-tahun harus hancur karena sebuah pengkhianatan.Lucunya ... pria itu masih berani berkata jika itu adalah kesalahan tidak disengaja!"Dasar brengsek!"Menyedihkan! Bagaimana bisa Claudia yang selalu bangga pada setiap hal yang ada pada dirinya dan mengangkat wajah dengan penuh kepercayaan diri, berakhir menangis patah hati karena dikhianati?"Kenapa harus Selena? Dari miliaran wanita di muka bumi, kenapa harus Selena?!" Claudia menutup wajah, dadanya sesak oleh rasa sakit dari pengkhianatan. Tidak hanya dikhianati tunangannya, Claudia juga harus menelan pahit ketika sepupu yang paling dia percaya juga turut menorehkan luka.Claudia tidak menatap Selena dan melampiaskan amarahnya hanya pada Deon, semata untuk menutupi rasa sakit yang lebih besar. Bagaimana dia harus menghadapi Selena nantinya?Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, tapi Claudia bahkan tidak berani untuk menebak sejak kapan sepupu tersayangnya memiliki minat lain pada Deon.Hujan turun lebih deras, tempiasnya memercik pada Claudia yang memang sudah basah. Tidak ada siapa pun di sekitarnya, seolah sepi yang mencekik ini juga dipersiapkan takdir untuknya.Tring!Notifikasi dari ponsel di tas tangannya membuat Claudia tersentak.Tangan wanita itu gemetar ketika mengeluarkan ponsel, harapan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Lalu, saat sebuah pesan terpampang di layar ponselnya, hati Claudia mencelos. Padahal Claudia mungkin akan berbalik dan menemui Deon lagi jika pria itu berniat mengejar atau setidaknya mengirim pesan berisi permintaan maaf.Tapi, tidak ada apa pun, seolah pria itu memang menanti saat yang tepat untuk mengakhiri hubungan mereka."Luka yang kalian goreskan terlalu sempurna sampai aku tidak tahu bagaimana harus menyikapinya." Claudia bergumam serak, mengembalikan ponselnya tanpa berniat membalas pesan dari pemilik wedding organizer yang disewanya."Tidak akan ada pernikahan ... bukan aku yang akan menikah." Mata Claudia kembali basah, tanpa bisa mencegah lagi air matanya yang tumbah mendanau.Bukankah obat dari luka adalah air mata? Claudia akan menangis sebentar sekarang, sebelum mulai menata hidupnya lagi."ADUH!!!"Claudia terkesiap ketika sesuatu jatuh di depannya, seseorang lebih tepatnya."Hey, kamu baik-baik saja?" Claudia segera membantu sosok kecil yang baru saja terjerembab dan mendudukkannya di bangku halte. Sama seperti dirinya, anak itu juga tampak berantakan dengan pakaian basah dan air mata menggenang."Di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian di sini?" Claudia berlutut dan bertanya dengan lembut, seolah kesedihannya beberapa waktu lalu hilang begitu saja. "Ya Tuhan ... kamu berdarah!"Claudia menatap ngeri lutut anak kecil yang duduk di hadapannya. Melihat bagaimana anak itu tidak menangis dengan keras meski matanya sudah berkaca-kaca membuat perasaan Claudia tidak senang."Pasti sakit, ya? Katakan saja kalau sakit ... jangan menahannya. Tidak baik menahan luka sendirian, jadi kamu bisa membaginya denganku.""Sakit ... lutut Aga perih, tapi Aga nggak boleh nangis. Mama bilang akan jemput kalau Aga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan."Kata-kata bocah berusia sekitar empat tahun itu membuat Claudia tertegun, air mata yang sempat berhenti, kembali berurai tak terbendung. Claudia menumpukan kepalanya di paha anak lelaki itu, menangis dengan keras."Mama juga ... Mamaku juga bilang begitu. Katanya kalau aku tidak cengeng, dia akan datang dan membawaku. Tapi ..., Mama tidak pernah kembali ...."Claudia menangis semakin deras saat anak lelaki di hadapannya juga turut terisak, keduanya menangis bersama di tengah hujan, berbagi rasa sakit dengan orang asing yang baru pertama kali ditemui.Luka yang Claudia terima hari ini terlalu menyakitkan untuknya tetap berdiri dengan tegar. Tidak peduli sekuat apa seorang Claudia, dikhianati kekasih yang paling dipercayai membuatnya benar-benar hancur.Tanpa wanita itu sadari, ponsel di tasnya berdenting, tanda sebuah pesan masuk.[Aku akan beri kamu waktu untuk menenangkan diri, Cla. Ayo bicara dan dengarkan penjelasanku besok.]“Sebenarnya kenapa … kenapa dia melakukan itu? Apa dia tidak bisa menunggu sebentar lagi? Kami akan menikah, tinggal beberapa hari lagi, tapi kenapa dia … kenapa … apa salahku ….”Sakit. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkan rasa sakitnya. Kehadiran Deon selama hampir sepuluh tahun di hidupnya membuat Claudia nyaris bergantung pada pria itu.“Aku harus bagaimana sekarang … aku harus apa ….”“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.“Kakak cuma--”“Raga!”Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.“Raga, ayo p
Claudia berteriak, air matanya tumpah deras, dadanya sesak oleh rasa sakit yang entah bagaimana cara menyembuhkannya. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi mulai sekarang. Kita benar-benar selesai! Terima kasih karena telah menunjukkan dirimu yang asli sebelum kita menikah, selamat tinggal!”“Claudia!”Claudia langsung berlari menuju tangga, ke kamarnya di lantai dua lebih tepatnya, mengabaikan ayahnya yang menunggu dengan cemas di ruang keluarga. Untungnya Deon tidak nekat mengejar, karena meski sudah tujuh tahun berpacaran pun, Deon tidak pernah mendapat izin untuk melangkah ke lantai dua di mana kamar Claudia berada.Mengunci pintu kamar, Claudia akhirnya jatuh terduduk di lantai, kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Ia berusaha sangat keras untuk tidak memukul Deon, berteriak dan bertanya apa salahnya hingga diperlakukan seperti orang bodoh. Claudia mencintai Deon, pria itu adalah cinta pertamanya, sosok yang selalu membuat Claudia berbunga. Tapi, kenapa? Apa tidak cukup
Pranaja merupakan salah satu keluarga terpandang yang namanya dikenal hampir seluruh orang di Indonesia, lebih tepatnya keberadaan perusahaan milik keluarga itu yang sering menduduki puncak dunia bisnis di Asia, merambah hingga Amerika dan Eropa, juga beberapa kali mendapat penghargaan internasional, membuat Pranaja menjadi salah satu keluarga yang selalu menjadi topik hangat.Presiden Direktur Pranaja Grup sudah membuat permintaan pengiriman pengasuh profesional beberapa kali, tapi semuanya dikembalikan dengan alasan yang tidak diketahui. Claudia sering mendengar para karyawan dan guru di perusahaannya mengumpamakan jika penggantian pengasuh di keluarga Pranaja seperti seseorang yang setiap dua jam berganti baju karena telalu sering."Kurasa itu bukan ide buruk, aku juga harus mencari tahu alasan sebenarnya para pengasuh itu dikembalikan. Tolong kirim pemberitahuan ke Pranaja jika pengasuh baru akan datang besok. Lalu, selama aku menjadi babysitter, kirimkan pekerjaanku ke email saja
Claudia segera menurunkan tangannya yang dengan lancang menunjuk pada pria berjas hitam di depannya, baru saja keluar dari kediaman Pranaja. Pria itu adalah seseorang yang memberikan tatapan tajam dan sinis pada Claudia malam itu, seseorang yang mengaku sebagai ayah Raga.“Jangan kurang ajar, Cla, dia calon majikanmu. Memangnya kamu tidak pernah lihat fotonya di majalah bisnis?” Aira berbisik sembari menyenggol pelan lengan Claudia. “Apa ada masalah?”Pertanyaan pria di depannya membuat Claudia langsung membungkukkan tubuh, meminta maaf atas ketidaksopanannya.“Sa-saya pikir Tuan mirip dengan aktor korea kesayangan saya, ja-jadi ....” Suara Claudia bergetar, menunjukkan bahwa ia takut dan permintaan maafnya tulus.Kalau ini situasi normal, Aira pasti akan mengejek dan menertawakan kebodohan Claudia, karena dilihat dari sisi mana pun, pria tampan di hadapan mereka tidak ada wajah-wajah korea-nya sama sekali.“Saya harus segera ke kantor, jadi kenalannya nanti saja. Saya sudah menerima
Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Raga. Untungnya saat anak itu menangis dan menjelek-jelekkan ayahnya, tidak ada satu pun yang datang ke kamar, dan Claudia bersyukur tidak ada kamera pengawas di sana, karena selama menemani Raga menangis, Claudia menyetujui dan mengiyakan apa pun hal-hal buruk yang anak itu katakan tentang Malven.Siapa sangka pria seksi yang menjadi buah bibir setiap wanita itu ternyata memiliki nilai yang sangat mines di mata putranya sendiri."Kakak," Raga memanggil pelan setelah tangisnya agak reda."Ya?" Claudia membersihkan jejak ingus dan air mata di pipi Raga. "Kamu lapar? Mau makan sekarang?" Raga menggeleng perlahan. "Itu ... yang aku bilang tentang Papa, bisa nggak jadi rahasia kita berdua aja? Na-nanti kalau sampai ada berita buruk tentang Papa--""Oke, Sayang!" Claudia langsung menunjukkan jari kelingkingnya, "Pembicaraan kita akan selalu jadi rahasia, entah sekarang atau pun nanti. Raga juga mau janji untuk tidak cerita pada siapa pun tentang Ka
Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan."Selamat malam, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan. "Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan p
Pesan itu dikirim oleh nomor asing, tidak hanya satu, Claudia bahkan tidak mau menghitungnya, belum lagi panggilan tidak terjawab. Meski Claudia sudah memblokir nomor Deon, nyatanya pria itu masih berusaha menghubunginya dengan nomor lain.Sebagai seorang direktur sebuah yayasan yang nomornya sudah diketahui banyak kolega membuat Claudia tidak bisa mengganti nomor ponselnya. Ia hanya sempat berharap Deon menyerah dan tidak lagi mengganggu setelah Claudia memblokirnya, tapi nyatanya pria itu masih saja egois dan tidak tahu malu.Sama seperti Deon yang melakukan usaha sia-sia dengan terus menghubungi, Claudia juga akan terus memblokir pria itu dari hidupnya entah berapa kali pun Deon berusaha mendekat."Ayo tidur, aku harus bangun pagi dan memastikan Raga sarapan bersama ayahnya!" Mengembalikan ponselnya ke tas tanpa berniat mengisi dayanya, Claudia segera berbaring dan menarik selimut. Wanita itu berulang kali menarik napas, menenangkan diri dari hatinya yang kembali teringat luka. T
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t