Saat mendengar cerita Raga pagi tadi, Claudia jadi menyadari ketakutan-ketakutan yang anak itu hadapi, tidak jauh berbeda dengan Claudia dulu. Hal yang sangat wajar jika seorang anak merasa takut juga khawatir jika ayahnya membawa wanita lain dan membuat posisi ibunya bergeser.Seperti Claudia yang dulu takut memiliki ibu tiri dan ayahnya akan melupakan bundanya begitu saja, Raga juga memiliki kekhawatiran yang sama, jadi Claudia sangat memahaminya. Bagi Claudia saat ini, yang paling penting adalah kebahagiaan Raga. Cludia tidak mau perjanjian mau pun perasaannya pada Malven membuat anak yang sangat disayanginya dipenuhi pikiran takut dan khawatir."Jadi, sekarang saatnya membuka kado yang Raga terima, kan?" Claudia berkedip antusias, menatap pada kado-kado yang baru saja pelayan letakkan di atas meja. Setelah meniup lilin dan membagikan kue untuk semua orang, dilanjut dengan makan malam bersama, akhirnya acara santai karena khusus hari ini Malven mengizinkan Raga untuk tidur pukul s
Claudia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Memang sih ia tahu jika Arfa, Sean dan Vall adalah anggota Phantom yang sejujurnya tidak Claudia ketahui apa saja pekerjaannya selain menjadi pengawal pribadi Malven dan Raga, tapi Claudia tidak pernah membayangkan akan melihat mereka membelikan senjata berbahaya untuk Raga yang masih berusia lima tahun!"Kalian kan bisa membelikan sesuatu yang lebih normal seperti sepatu, jam tangan, baju atau buku!" Claudia berdecak, tidak terima anak kesayangannya menerima sesuatu yang berbahaya saat harusnya yang dilihat Raga hanyalah hal-hal indah saja. Pasti akan datang masanya Raga harus belajar melindungi dirinya sendiri, tapi kan tidak sekarang!"Saya belum pernah memberi hadiah pada seseorang, jadi saya pikir sesuatu yang bisa berguna untuk melindungi diri itu adalah hadiah terbaik." Sean berkata pelan, sedikit membela diri karena ia adalah orang pertama yang menerima tatapan tajam Claudia. "Sa-saya juga berpikir hal yang sama.""Saya juga--""
Pertanyaan Raga membuat Claudia tidak bisa langsung bereaksi. Raga memang pernah mengatakan sesuatu yang mirip beberapa malam lalu, tapi saat itu ia mengatakannya sebelum terlelap, jadi Claudia hanya menganggap itu sebagai kata-kata yang diucap asal menjelang tidur. Tapi, bagaimana dengan sekarang? Claudia berdeham pelan, mengecup tangan kecil Raga di genggamannya sebelum menatap lembut anak yang juga sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya."Kalau kamu jadi anak Kakak, kamu tidak bisa lagi jadi putranya Elodia dan Malven, yakin? Kakak sudah pernah sedikit menjelaskan tentang adopsi, kan? Kalau pun misal Kakak mendapat izin untuk mengadopsi Raga sebagai anak, Kakak tidak akan pernah mengizinkan Raga untuk kembali ke kediaman Pranaja lagi, dan jika Kakak menikah nanti, maka kamu akan punya ayah baru. Sungguh mau?" Claudia bertanya dengan raut serius.Sejujurnya Claudia hampir berdebar dan berharap mendengar pertanyaan Raga, tapi menjadi ibu seseorang tidak harus menikah dulu de
Malven menahan lengan Claudia yang hampir pergi. Sejak datang bersama Raga tadi, Claudia memang bertingkah aneh. Tidak hanya menolak saat Malven ingin memegang tangannya tadi, Claudia juga menghindari tatapan Malven. Mereka bahkan belum sempat bicara berdua sejak pagi ini, jadi Malven tidak mengerti dengan sikap Claudia sekarang. "Apa aku melakukan kesalahan? Daripada menghindar tanpa mengatakan apa-apa, bukankah jauh lebih baik kalau kamu bicara? Claudi, aku tidak akan mengerti kalau kamu tidak mengatakan letak salahku." Malven berucap lembut, menarik Claudia lebih dekat dan mengernyit saat merasakan penolakan jelas wanita itu."Maaf, Pak, kita di depan umum. Ada banyak mata di sini, dan yang lebih penting ... Raga sedang melihat." Claudia berbisik sembari melepaskan tangan Malven dari lengannya. "Kalau begitu saya permisi," ucap Claudia lagi, kali ini bergerak lebih cepat dan meninggalkan Malven bersama Raga.Malven yang ditinggalkan tanpa mendengar jawaban apa pun hanya bisa meng
Panggilan itu membuat tubuh Claudia menegang. Ia memang sudah menyiapkan diri jika suatu saat bertemu lagi dengan masa lalunya seperti ketika bertemu Selena waktu itu, tapi Claudia tidak pernah membayangkan akan menemuinya sekarang."Ternyata benar kamu, Cla? Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu di sini, di tempat di mana seharusnya kita bulan madu?" Seseorang yang tiba-tiba memanggil itu adalah Deon, pria yang telah menghancurkan kepercayaan Claudia hingga tak berbentuk. Claudia merasakan dadanya berdenyut nyeri pada kenyataan yang kembali Deon ingatkan, karena hotel tempatnya menginap sekarang memang tempat yang ia dan Deon pilih untuk bulan madu mereka, salah satu hotel terbaik di pusat Tokyo.Kenapa Deon bisa ada di sini dari semua tempat di dunia?"Nona Claudia, apa Anda mengenal orang ini?" Sean dengan cepat menghadang di depan Claudia, melindungi wanita yang tampak tertegun dengan wajah pucat. Sean tidak tahu apa hubungan Claudia dengan pria itu, tapi melihat gelagat tida
Suara yang datang menyela membuat Claudia hampir berlari dan memeluk sosok yang baru saja datang dari arah lift, beruntung kendali atas tubuhnya masih berfungsi dengan baik. Deon menoleh ke arah Malven, terkejut melihat keberadaan pemimpin keluarga Pranaja itu ada di sini. Tentu saja Deon tahu tentang Malven, karena wajah pria itu rajin menjadi cover majalah bisnis dan prestasinya selalu menjadi tolak ukur bagi mereka yang ingin menjadi seorang pebisnis. Meski terkesan melanjutkan tahta, nyatanya banyak hal yang Pranaja capai hanya ketika Malven memegang jabatan sebagai pemimpin."Jadi, ada keributan apa di sini? Aku mendapat telepon dari pengawal putraku," ucap Malven lagi, sengaja menatap Claudia dengan pandangan menusuk."Maaf Tuan Malven, saya tidak bermaksud membuat keributan." Claudia langsung membungkuk sopan, sambil berharap Malven tidak mengatakan apa pun tentang posisi Claudia sebagai pengasuh Raga.Deon yang melihat Claudia langsung menurunkan nada suara dan bersikap sopan
Claudia tidak tahu harus terharu atau tertawa atas kata-kata Malven, jadi yang bisa dilakukannya adalah memeluk pria itu dan menangis. Padahal baru sekali bertemu Deon setelah berbulan-bulan sejak menjadi pengasuh Raga, tapi rasanya seluruh kekuatan meninggalkan tubuh Claudia hanya dengan satu pertemuan. Padahal Deon yang selama ini Claudia kenal adalah orang yang cerdas. Meski bukan berasal dari keluarga berada, tapi Deon menggunakan otaknya dengan baik mendapat beasiswa penuh, menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang tinggi dan mendapat posisi sebagai manajer di perusahaan hanya dalam dua tahun sejak ia mulai bekerja. Sosok Deon yang cerdas, pekerja keras dan pantang menyerah pada akhirnya diakui 'pantas' bersanding bersama Claudia, tapi kenapa jadi begini?Claudia bisa memaklumi kalau Deon bosan padanya dan jatuh hati pada Selena, lalu seharusnya pria itu sudah tahu konsekuensi dari mengkhianati kepercayaan Claudia, tapi bagaimana Deon menjadi tidak tahu malu seperti itu? Claudi
Ugh! Claudia merasa mual, suara Malven terdengar dingin saat mengatakan kalimat menakutkan seperti itu. "Aku tidak akan mengkhianatimu dan melarikan diri, Pak Malven!" ujar Claudia menanggapi, membayangkan kakinya dipatahkan secara paksa hanya untuk membuatnya tidak bisa kabur saja sudah sangat menakutkan, apalagi kalau benar terjadi. "Hmm, baguslah." Gumaman Malven membuat Claudia cemberut, tapi entah kenapa hatinya jadi menghangat, karena obrolan tentang mematahkan kaki itu membuat perasaan sedih dan marahnya pada Deon sudah berkurang banyak. "Aku sudah tidak apa-apa, kamu sebaiknya kembali ke kamar, Raga akan kebingungan kalau kamu tidak ada saat bangun nanti." Claudia menjauhkan tubuhnya, berusaha melepas dekapan Malven padanya. Tapi, usahanya sia-sia karena Malven terlihat tidak berniat melepaskan. "Aku mau mandi dan tidur, Malven, tolong lepaskan aku dan pergi dari sini!" ujar Claudia sembari terus berusaha melepaskan diri. Malven menghela napas, membiarkan Claudia
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t