Claudia tidak tahu harus terharu atau tertawa atas kata-kata Malven, jadi yang bisa dilakukannya adalah memeluk pria itu dan menangis. Padahal baru sekali bertemu Deon setelah berbulan-bulan sejak menjadi pengasuh Raga, tapi rasanya seluruh kekuatan meninggalkan tubuh Claudia hanya dengan satu pertemuan. Padahal Deon yang selama ini Claudia kenal adalah orang yang cerdas. Meski bukan berasal dari keluarga berada, tapi Deon menggunakan otaknya dengan baik mendapat beasiswa penuh, menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang tinggi dan mendapat posisi sebagai manajer di perusahaan hanya dalam dua tahun sejak ia mulai bekerja. Sosok Deon yang cerdas, pekerja keras dan pantang menyerah pada akhirnya diakui 'pantas' bersanding bersama Claudia, tapi kenapa jadi begini?Claudia bisa memaklumi kalau Deon bosan padanya dan jatuh hati pada Selena, lalu seharusnya pria itu sudah tahu konsekuensi dari mengkhianati kepercayaan Claudia, tapi bagaimana Deon menjadi tidak tahu malu seperti itu? Claudi
Ugh! Claudia merasa mual, suara Malven terdengar dingin saat mengatakan kalimat menakutkan seperti itu. "Aku tidak akan mengkhianatimu dan melarikan diri, Pak Malven!" ujar Claudia menanggapi, membayangkan kakinya dipatahkan secara paksa hanya untuk membuatnya tidak bisa kabur saja sudah sangat menakutkan, apalagi kalau benar terjadi. "Hmm, baguslah." Gumaman Malven membuat Claudia cemberut, tapi entah kenapa hatinya jadi menghangat, karena obrolan tentang mematahkan kaki itu membuat perasaan sedih dan marahnya pada Deon sudah berkurang banyak. "Aku sudah tidak apa-apa, kamu sebaiknya kembali ke kamar, Raga akan kebingungan kalau kamu tidak ada saat bangun nanti." Claudia menjauhkan tubuhnya, berusaha melepas dekapan Malven padanya. Tapi, usahanya sia-sia karena Malven terlihat tidak berniat melepaskan. "Aku mau mandi dan tidur, Malven, tolong lepaskan aku dan pergi dari sini!" ujar Claudia sembari terus berusaha melepaskan diri. Malven menghela napas, membiarkan Claudia
Claudia berdecak saat menatap pantulan dirinya di cermin. Semalam Malven benar-benar melaksanakan keinginannya, melukis di banyak tempat dan tidak meninggalkan ruang kosong di tubuh Claudia. Entah Claudia harus merasa lega atau tidak pada kenyataan bahwa satu-satunya yang bersih dari tanda yang Malven tinggalkan hanyalah lehernya.Wanita itu menghela napas sebelum merapatkan kimononya. Saat Claudia terbangun, matahari sudah tinggi dan ia tidak menemukan Malven di sisinya. Seperti biasa, pria itu hanya meninggalkan catatan kecil di atas bantal."Aku lapar ...." Claudia bergumam sembari mengelus perutnya, sungguh suatu keajaiban dia bisa bangun dari tempat tidur, mandi dan berganti pakaian dalam keadaan kelaparan, apalagi setelah menghabiskan semua energinya sepanjang malam. Sebenarnya Claudia ingin keluar dan mengajak Raga makan di restaurant hotel, tapi ia khawatir Deon akan menunggu di depan kamarnya. Memesan makanan pun Claudia tidak berani, takut saat membuka pintu untuk menerima
Claudia memutar bola mata. Di mana lagi coba ada atasan yang dikatakan ‘bodoh’ oleh karyawannya sendiri selain Claudia?“Kututup telponnya, pekerjaanku banyak berkat seseorang. Jangan terlalu dipikirkan tentang Deon, tapi tetaplah berhati-hati.”Sambungan telpon benar-benar diputus setelahnya sebelum Claudia sempat mengatakan apa-apa. Wanita itu menggeleng tidak habis pikir, tangannya menggulir layar untuk mencari nomor Malven, berniat menghubungi pria itu untuk mengajaknya makan bersama. Tapi belum sempat Claudia melakukan apa-apa, nama pria itu sudah tertera lebih dulu di ponselnya, bersamaan dengan suara bel kamar yang ditekan.“Aku di depan kamarmu bersama Raga,” ucap Malven begitu Claudia mengangkat telponnya.Claudia cepat-cepat membuka pintu dan tersenyum lebar saat Raga langsung menghambur ke pelukannya.“Sayang!” panggil Claudia sembari memeluk Raga, tapi tatapannya terarah pada Malven.Malven mengernyit, satu ingatan tentang janji Claudia jika wanita itu akan memanggil ‘saya
“DERAAA … AKU PULANG!” Raga berteriak saat keluar dari mobil, langsung berlari ke arah Dera dan mengulurkan tangan. “Hadiah dari Opa mana?” tanyanya tidak sabar.Mereka akhirnya kembali ke kediaman Pranaja, meski hanya Raga dan Claudia karena Malven masih belum kembali sejak pria itu pamit untuk pekerjaan dua hari lalu. Claudia cukup terkejut saat dalam perjalanan dari bandara tadi, mereka harus berpisah dari Vall dan Sean karena ada sopir lain yang akan menjemput. Claudia tidak mengerti kenapa dua orang yang telah menemani Claudia dan Raga selama di Jepang itu tidak ikut sampai rumah.Tidak hanya itu, Claudia diminta untuk menandatangani perjanjian ‘lupa’ di mana ia tidak akan mengatakan apa pun tentang Sean mau pun Vall, juga keberadaan Phantom. Tidak mau memikirkan sesuatu yang rumit, Caudia dengan mudah menandatanginya, karena ia juga bukan orang yang mudah menceritakan sesuatu, jadi hal seperti itu tidak sulit dikabulkan.“Tuan Muda, Anda tidak boleh berlari seperti itu. Bagaiman
Orangnya Papa. Claudia tahu jika hubungan Malven dan kakeknya tidak begitu baik, tapi melihat keduanya saling mencurigai atas kasih sayang terhadap Raga membuat Claudia sulit memahami. Malven mungkin biasa diperlakukan dengan tegas dan disiplin sejak kecil, jadi wajar jika pria itu khawatir Raga akan diperlakukan sama. Tapi dari sisi sang kakek, mungkin Raga memiliki tempat tersendiri dan kasih sayang yang tidak sempat diperlihatkan pada Malven, pria tua itu berikan pada Raga sebagai ganti. Bukankah keduanya hanya perlu duduk berdua dan berkomunikasi?“Kakak?” Raga memanggil sembari meraih rambut panjang Claudia untuk menyadarkan kakak asuhnya yang melamun. “Kakak kepikiran karena bakal kutinggal? Jangan takut, nanti Dera ikut sama aku, jadi yang paling galak di sini nggak bakal ada. Trus kan Papa juga akal sering pulang. Tapi, kalau Kakak beneran nggak enak tinggal di sini tanpa aku, Kakak cuti aja dulu, pulang, trus ke sini lagi kalau aku udah balik. Gimana?”Claudia mengelus sayang
Bisikan itu membuat seluruh tubuh Claudia meremang, bahkan ia seolah masih bisa merasakan napas Malven di tengkuknya meski pria itu sudah berlalu. Sejak ulang tahun Raga dua bulan lalu, Malven jarang pulang, bahkan pernah selama lima hari tidak kembali sama sekali. Meski pria itu rajin menelpon untuk mengobrol bersama Raga di sela-sela kesibukannya, tapi kebutuhannya sebagai pria dewasa tentu saja jadi dilampiaskan sekaligus saat Malven pulang.Hari ini pun Malven baru kembali sore ini setelah tiga hari pergi, itu pun karena ia harus mengantar Raga ke bandara besok. Lalu, sejak beberapa minggu lalu, ketika Claudia tanpa sengaja ‘bermain peran’, Malven jadi sering menggodanya dengan menggunakan kalimat-kalimat formal. ‘Ah, kuharap ingatan itu menghilang.’ Claudia membatin, menyesali kecerobohannya.Waktu itu Claudia tidak bisa tidur dan berpikir Malven tidak akan pulang, jadi ia iseng memakai seragam pelayan dan membersihkan kamar Malven, tapi pria itu malah datang dan hampir mengusir
Claudia tidak bisa menahan tawa mendengar kalimat pertama yang Raga katakan setelah melihat kartu namanya. “Biasa saja, kok, cuma kebetulan gaji yang Kakak terima lebih banyak daripada karyawan lain.”“Trus ini … nama asli Kakak?” Raga kembali bertanya sembari mengusap nama yang tertera. Claudia mengangguk membenarkan. Selama ini Claudia memang belum pernah memberitahukan nama lengkapnya pada Raga. “Cantik, kan? Kata Mama-nya Kakak, nama itu dipilih langsung oleh mendiang nenek.”Raga mendongak, sedikit menelengkan kepala saat kembali bertanya. “Jadi, Kakak tuh manggilnya Mama atau Bunda sih? Aku bingung,” ucapnya polos.Claudia mengerjap, “Raga sendiri sebenarnya memanggil Kakek atau Opa, sih? Kakak juga jadi bingung,” balasnya sembari menatap Raga.Keduanya kemudian tertawa saat menyadari kesamaan cara memanggil mereka terhadap seseorang.“Sebenarnya sih panggilannya Mama, cuma karena dari kecil Kakak sering main--!” Claudia menghentikan kata-katanya, dadanya kembali dipenuhi oleh
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t