Orangnya Papa. Claudia tahu jika hubungan Malven dan kakeknya tidak begitu baik, tapi melihat keduanya saling mencurigai atas kasih sayang terhadap Raga membuat Claudia sulit memahami. Malven mungkin biasa diperlakukan dengan tegas dan disiplin sejak kecil, jadi wajar jika pria itu khawatir Raga akan diperlakukan sama. Tapi dari sisi sang kakek, mungkin Raga memiliki tempat tersendiri dan kasih sayang yang tidak sempat diperlihatkan pada Malven, pria tua itu berikan pada Raga sebagai ganti. Bukankah keduanya hanya perlu duduk berdua dan berkomunikasi?“Kakak?” Raga memanggil sembari meraih rambut panjang Claudia untuk menyadarkan kakak asuhnya yang melamun. “Kakak kepikiran karena bakal kutinggal? Jangan takut, nanti Dera ikut sama aku, jadi yang paling galak di sini nggak bakal ada. Trus kan Papa juga akal sering pulang. Tapi, kalau Kakak beneran nggak enak tinggal di sini tanpa aku, Kakak cuti aja dulu, pulang, trus ke sini lagi kalau aku udah balik. Gimana?”Claudia mengelus sayang
Bisikan itu membuat seluruh tubuh Claudia meremang, bahkan ia seolah masih bisa merasakan napas Malven di tengkuknya meski pria itu sudah berlalu. Sejak ulang tahun Raga dua bulan lalu, Malven jarang pulang, bahkan pernah selama lima hari tidak kembali sama sekali. Meski pria itu rajin menelpon untuk mengobrol bersama Raga di sela-sela kesibukannya, tapi kebutuhannya sebagai pria dewasa tentu saja jadi dilampiaskan sekaligus saat Malven pulang.Hari ini pun Malven baru kembali sore ini setelah tiga hari pergi, itu pun karena ia harus mengantar Raga ke bandara besok. Lalu, sejak beberapa minggu lalu, ketika Claudia tanpa sengaja ‘bermain peran’, Malven jadi sering menggodanya dengan menggunakan kalimat-kalimat formal. ‘Ah, kuharap ingatan itu menghilang.’ Claudia membatin, menyesali kecerobohannya.Waktu itu Claudia tidak bisa tidur dan berpikir Malven tidak akan pulang, jadi ia iseng memakai seragam pelayan dan membersihkan kamar Malven, tapi pria itu malah datang dan hampir mengusir
Claudia tidak bisa menahan tawa mendengar kalimat pertama yang Raga katakan setelah melihat kartu namanya. “Biasa saja, kok, cuma kebetulan gaji yang Kakak terima lebih banyak daripada karyawan lain.”“Trus ini … nama asli Kakak?” Raga kembali bertanya sembari mengusap nama yang tertera. Claudia mengangguk membenarkan. Selama ini Claudia memang belum pernah memberitahukan nama lengkapnya pada Raga. “Cantik, kan? Kata Mama-nya Kakak, nama itu dipilih langsung oleh mendiang nenek.”Raga mendongak, sedikit menelengkan kepala saat kembali bertanya. “Jadi, Kakak tuh manggilnya Mama atau Bunda sih? Aku bingung,” ucapnya polos.Claudia mengerjap, “Raga sendiri sebenarnya memanggil Kakek atau Opa, sih? Kakak juga jadi bingung,” balasnya sembari menatap Raga.Keduanya kemudian tertawa saat menyadari kesamaan cara memanggil mereka terhadap seseorang.“Sebenarnya sih panggilannya Mama, cuma karena dari kecil Kakak sering main--!” Claudia menghentikan kata-katanya, dadanya kembali dipenuhi oleh
Seandainya Claudia bisa mengatakan hal itu, kira-kira tanggapan seperti apa yang akan Malven berikan? Sayangnya, pertanyaan tentang kelanjutan hubungan mereka itu hanya bisa tersangkut di tenggorokan Claudia, tanpa pernah wanita itu melontarkannya.“Kamu tidak menjawab, Claudi.”Claudia mengecup rahang Malven, “Memangnya selama ini apa yang kulakukan di kamarmu? Meski kulayani setiap hari, kamu tidak pernah sekali pun membawakan berlian tuh, bahkan meski yang sangat kecil sekali pun,” jawabnya asal. Memang Malven tidak pernah membawakan berlian, perhiasan, atau bunga, tapi pria itu memberikan unlimited card pada Claudia dan membebaskan wanita itu membeli apa pun, tapi bukankah kesannya akan berbeda kalau barang itu dibelikan langsung oleh Malven?“Akan kubelikan nanti, tapi sekarang ada hal lain yang akan kuberikan sebagai gantinya.” Malven tersenyum misterius sebelum membuka laci di samping ranjang, mengeluarkan sesuatu yang membuat Claudia terkesiap.“Ini kan ….” Claudia menatap dua
Tadinya Claudia ingin ikut mengantar Raga ke bandara, tapi karena ia juga harus bersiap, maka Claudia harus puas hanya dengan memeluk anak itu sebelum berangkat. Hari ini Claudia menjadikan alasan cuti yang sudah lama tidak diambil agar bisa keluar tanpa dicurigai, lalu Malven juga memberikan izin satu minggu untuk Claudia berlibur. Meski katanya sejauh ini hanya Dera yang dikirim untuk memperhatikan dan melaporkan setiap pergerakan Malven, tapi baik Malven mau pun Claudia harus tetap berhati-hati. Setelah mengemas beberapa barang ke dalam koper kecil dan memasukkan laptop serta alat make up-nya ke ransel, Claudia segera berpamitan pada wakil kepala pelayan yang menggantikan Dera selama wanita itu pergi bersama Raga.“Anda yakin tidak ingin diantar, Nona? Tapi, Tuan bilang saya harus mengantar sampai ke tempat tujuan.”Pertanyaan dari pria berusia tiga puluhan yang merupakan sopir baru pengganti Ali sejak beberapa bulan lalu itu membuat Claudia menghentikan langkahnya. “Antar saja ak
Diam-diam, Shouki kembali melirik pada Claudia dan tersenyum tipis saat melihat tatapan percaya diri wanita itu. Sebenarnya ia tidak punya hak untuk bicara tentang perasaan Claudia mau pun tentang kehidupan pribadinya, sejak kecil Shouki sudah tahu tugasnya hanya melindungi dan menjadi boneka bagi sang nona, tapi berkat kebaikan hati Claudia yang diturunkan dari orang tuanya, Shouki jadi bisa bicara, meski yang ia katakan hanyalah hal-hal sederhana yang semuanya adalah bentuk dukungan untuk Claudia.Shouki tidak boleh menentang apa pun keputusan mau pun rencana yang sedang Claudia lakukan, jadi meski wanita itu berbuat salah pun, Shouki akan tetap bersamanya hingga akhir. Hal itu akan terus berlaku sampai Claudia mati.“Jadi, apa kegiatan kita hari ini?”Claudia menghela napas mendengar pertanyaan Shouki, karena mau tak mau ia kembali ke kenyataan. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan menatap layar, sudah hampir satu jam sejak Raga meninggalkan kediaman Pranaja. “Sebentar lagi,” ucap
Claudia menggeret kopernya menjauh dari mobil Shouki, setelah memastikan tidak ada anggota Phantom atau anak buah Malven lain di sekitar. Wanita itu memperhatikan papan petunjuk dan mengikuti hingga tempat di mana ia dan Vall harusnya bertemu. Mereka memang memilih tempat agak jauh untuk bertemu agar sopir yang mengantar Claudia ke stasiun tidak melihat apa-apa dan Claudia bersyukur untuk itu karena ia bisa pergi bersama Shouki. “Nona!” Panggilan itu membuat Claudia menoleh, sedikit khawatir pada betapa cepat Vall datang menjemput. “Kamu mengikutiku dari saat turun tadi?” tanya Claudia sembari membiarkan Vall mengambil alih kopernya. “Tidak, saya menunggu di sini. Tidak ada masalah selama perjalanan ke sini, kan?” Claudia menggeleng, diam-diam menghela napas lega, tapi daripada kecurigaan datang saat Malven menerima laporan dari Fauzi nanti, lebih baik Claudia mengatakannya sekarang. “Aku tidak ke sini bersama Pak Ozi, rasanya agak mengkhawatirkan pergi bersama orang yang belum la
Claudia mengerjap, menghentikan ceritanya tentang pengalaman mengumpulkan jamur di hutan dan tersesat, mengernyit saat menatap Malven yang tampaknya memang sedang serius bertanya."Aku sedang menceritakan sesuatu, tapi kamu menanyakan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan ceritaku. Kamu mendengarkan tidak, sih?" Claudia terang-terangan merengut, menatap tidak suka pada pria yang malah terkekeh mendengar protesnya.Malven meraih tangan Claudia dan menciumnya. "Bukan begitu, tapi membayangkan kamu memakai seragam pramuka dan berkeliaran mencari jamur membuatku merasa sedikit iri pada teman-teman satu kelompokmu. Kamu pasti menjadi cinta pertama banyak orang dan menerima banyak pengakuan, kan? Aku hanya penasaran siapa di antara ratusan siswa di sekolahmu yang berhasil menarik perhatianmu dan mendapatkan ciuman pertama darimu."Claudia berdecih, tapi tidak mengatakan apa pun untuk membenarkan perkataan Malven karena memang tidak ada yang salah."Aku menerima surat, hadiah dan pengak
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be
Claudia tidak bisa bertanya lebih jauh saat Malven mengatakan dengan yakin jika noda yang ada di ujung lengan kemejanya adalah saus. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi setelah meraih paper bag berisi pakaian ganti yang sebelumnya dibawakan Arfa.Di dalam kamar mandi, wajah lembut Malven perlahan memudar, berganti menjadi raut datar tanpa emosi. Pria itu menghela napas pelan saat membuka kancing kemejanya satu per satu dan melihat ada beberapa bercak merah di ujung kemeja putihnya. Padahal ia menggunakan alat pelindung dan berhati-hati agar tidak ada noda yang merusak penampilannya, tapi tidak menyangka jika beberapa cipratan merusak pakaiannya.“Untung saja yang terkena noda cukup banyak bisa disembunyikan,” gumam Malven sembari berjalan mnuju shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Air yang mengalir juga turut membasuh warna merah yang ada di tangan pria itu.Selesai membersihkan dirinya dan memastikan tidak ada noda atau bau darah yang menempel, Malven keluar kamar mandi
Claudia meletakkan telunjuknya di bibir, matanya melirik ke arah ranjang--menunjukkan keberadaan Raga yang tertidur lelap.Aira segera membelap mulutnya, "Maaf," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya pada Shouki tentang kejadian kemarin?" tanyanya sembari menatap ke arah Shouki.Shouki menggeleng, "Nona bilang akan menunggu sampai Nona Aira datang," ucap pria itu, mengalihkan tatapnya ke arah Claudia dan bertanya dalam diam.Claudia mengangguk. Sejujurnya ia khawatir akan meledak dan dipenuhi emosi saat menceritakannya jika pada Shouki, itu sebabnya Claudia tidak menelpon atau mengatakan apa pun pada pengawalnya itu saat ia melihat Deon berselingkuh. Dulu Claudia masih memikirkan Selena, karena jika ia mengadu pada Shouki, entah apa yang akan pria itu lakukan pada Deon dan Selena, tapi sekarang Claudia tidak bisa menahannya sendirian.Wanita itu menceritakan segalanya, dimulai dari perjalanannya ke kediaman sang kakek untuk menolak p
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun