Claudia mengerjap, menghentikan ceritanya tentang pengalaman mengumpulkan jamur di hutan dan tersesat, mengernyit saat menatap Malven yang tampaknya memang sedang serius bertanya."Aku sedang menceritakan sesuatu, tapi kamu menanyakan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan ceritaku. Kamu mendengarkan tidak, sih?" Claudia terang-terangan merengut, menatap tidak suka pada pria yang malah terkekeh mendengar protesnya.Malven meraih tangan Claudia dan menciumnya. "Bukan begitu, tapi membayangkan kamu memakai seragam pramuka dan berkeliaran mencari jamur membuatku merasa sedikit iri pada teman-teman satu kelompokmu. Kamu pasti menjadi cinta pertama banyak orang dan menerima banyak pengakuan, kan? Aku hanya penasaran siapa di antara ratusan siswa di sekolahmu yang berhasil menarik perhatianmu dan mendapatkan ciuman pertama darimu."Claudia berdecih, tapi tidak mengatakan apa pun untuk membenarkan perkataan Malven karena memang tidak ada yang salah."Aku menerima surat, hadiah dan pengak
Meski Malven sudah mengatakan jika ia membeli salah satu suite room di hotel bintang lima, itu pun terletak di pulau yang terkenal dengan keindahannya di Vietnam, Claudia masih tidak menyangka matanya akan benar-benar dimanjakan. Claudia tidak ingat pernah pergi ke pulau ini, jadi sudah pasti ini pertama kali baginya.Claudia memang pernah beberapa kali ke Vietnam, entah untuk mengikuti ayahnya mengisi seminar, menghadiri seminar sebagai perwakilan yayasan atau hanya sekedar jalan-jalan, tapi mengunjungi pulau ini sepertinya tidak pernah. Jika mengingat foto-foto liburannya bersama sang ibu saat masih kecil dulu, maka jelas, Claudia memang belum pernah mengunjungi pulau ini."Tapi, kenapa rasanya deja vu? Aku jelas belum pernah ke sini, tapi seperti sudah pernah? Ehm ....""Apa sih yang kamu gumamkan sejak tadi?"Saat Claudia sedang berpikir dan mencoba mengingat-ingat banyak hal, Malven mendekat, memeluk Claudia dari belakang dan mengecup bahunya yang terbuka.Mereka sampai di sini s
Claudia menaikkan satu alis, "Melahapku? Tidak, kali ini biarkan aku yang memakanmu," ucapnya sembari tersenyum penuh arti. Saat Claudia menurunkan tubuhnya perlahan, ia tidak bisa menahan tawa setelah melihat sesuatu yang berdiri tegak di hadapannya. "Padahal aku tidak merasakan apa pun saat kamu memelukku tadi, lalu kenapa 'dia' terlihat seperti ini?" Claudia mendongak, mengerling ke arah Malven yang sedang menunduk dan menatapnya seolah benar-benar akan menelan Claudia hidup-hidup.Malven mengelus pipi wanita yang berjongkok di hadapannya, "Kenapa lagi, tentu saja karena kamu mengatakan sesuatu yang membuatnya semakin lapar," ucapnya sembari memasukkan satu jari ke mulut Claudia."Haa, sial!" Malven mengumpat saat Claudia mengisap jarinya dengan lihai tanpa memutus kontak mata. Cara wanita itu menatap sambil terus mengisap jarinya membuat Malven menghela napas berat, lalu ketika tangan Claudia berhasil menyusup ke dalam bathrobe yang Malven kenakan, pria itu mengernyit.Claudia
Sebenarnya cukup disayangkan hari pertama di sini Claudia malah menghabiskan waktunya dengan tidur seharian, jadi sebagai ganti, ia memaksa Malven untuk keluar dari hotel dan berjalan-jalan meski hanya di tepi pantai. Menapakkan kaki telanjangnya di atas pasir dan mendengar deburan halus di sekitar membuat perasaan Claudia sangat tenang.“Aku menyukai laut sejak dulu, mendengarkan suara debur ombak selalu menenangkan.” Claudia tersenyum semringah seraya mengayunkan genggaman tangannya dan Malven. Kehangatan yang wanita itu terima dari pria di sisinya mengalahkan angin malam yang berembus.“Aku lebih suka hutan dan pegunungan, bau pohon, lumut dan tanah basah selalu menyenangkan. Itulah kenapa markas utama Phantom ada di sana, di dekat villa yang waktu itu kita datangi. Hutan memberikanku keyakinan tentang perlindungan dan keamanan, kalau berada di sana, aku sangat percaya diri tidak ada yang akan menemukan dan berhasil menangkapku.”Claudia tidak mengerti kenapa Malven memberitahu ten
"Jadi, mau apa kita hari ini?" Claudia bertanya antusias, karena yang merencanakan bulan madu ini adalah Malven, jadi ia tidak tahu apa-apa.Malven mengernyit saat merasakan sinar matahari yang cukup terik, padahal belum terlalu siang. Pria itu memakai kaca mata hitamnya untuk mengurangi silau dari matahari, tapi gerakannya yang sederhana itu tanpa disadari membuat orang-orang di sekitar terpesona.Claudia merengut tanpa sadar saat melihat para wanita dan pria memandangi Malven-nya dengan air liur hampir menetes."Kita akan main golf, pemandangannya sangat bagus, jadi kita bisa bersantai di sana sambil berolahraga ringan. Lalu, aku berencana membawamu ke Seawalker, kita akan menyelam dan menjelajahi dunia bawah laut." Jawaban Malven membuat rasa kesal Claudia berkurang, tampaknya pria itu sudah merencanakan segalanya dengan matang."Hanya ke dua tempat itu?" Claudia menaikkan satu alis, berjalan di sisi Malven yang lagi-lagi menggenggam tangannya. "Setelah menyelam, kita akan jalan-
"C--Claudia?!"Keterkejutan di wajah tampan yang berkeringat itu membuat Claudia gemetar. Ia masih bisa melihat sisa-sisa gairah di mata lelakinya. Lelaki yang harusnya mengucap janji suci untuknya beberapa hari lagi. Wanita itu mengunjungi kekasihnya untuk merayakan tujuh tahun hari jadi mereka, tapi bukannya bahagia, nyatanya yang dilihat Claudia di apartement lelaki itu adalah rasa sakit dari pengkhianatan. Tidak pernah sekali pun Claudia berpikir kekasihnya akan berselingkuh, apalagi dengan sepupunya sendiri."Cla, aku--!" Pria itu dengan tergesa mengenakan bokser hitam yang terletak di lantai dan menghampiri Claudia.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan lelaki yang mengisi hati Claudia selama tujuh tahun terakhir. Tangan wanita itu terasa sakit dan panas, bersamaan dengan gemetar di seluruh tubuhnya."Kita putus," ucapnya final, berbalik dan langsung bergegas keluar dari kamar yang membuatnya muak."Claudia! Dengarkan aku dulu, Sayang!" "Jangan memanggilku 'Sayang' deng
“Sebenarnya kenapa … kenapa dia melakukan itu? Apa dia tidak bisa menunggu sebentar lagi? Kami akan menikah, tinggal beberapa hari lagi, tapi kenapa dia … kenapa … apa salahku ….”Sakit. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkan rasa sakitnya. Kehadiran Deon selama hampir sepuluh tahun di hidupnya membuat Claudia nyaris bergantung pada pria itu.“Aku harus bagaimana sekarang … aku harus apa ….”“Kak, kan Aga yang jatuh, kenapa Kakak nangis juga?”Pertanyaan yang diajukan membuat Claudia mendongak, air mata yang membasahi pipinya membuat wajah wanita itu terlihat berantakan. Entah sejak kapan anak yang memanggil dirinya dengan Aga itu sudah tidak lagi menangis, matanya tampak dipenuhi pertanyaan.“Kakak cuma--”“Raga!”Teriakan itu membuat Claudia terkejut dan tidak bisa melanjutkan perkataannya, apalagi setelah anak bernama Aga langsung memeluk lehernya dengan erat. Pelukan itu juga membuat Claudia tidak bisa menoleh ke belakang, pada derap langkah cepat yang mendekat.“Raga, ayo p
Claudia berteriak, air matanya tumpah deras, dadanya sesak oleh rasa sakit yang entah bagaimana cara menyembuhkannya. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi mulai sekarang. Kita benar-benar selesai! Terima kasih karena telah menunjukkan dirimu yang asli sebelum kita menikah, selamat tinggal!”“Claudia!”Claudia langsung berlari menuju tangga, ke kamarnya di lantai dua lebih tepatnya, mengabaikan ayahnya yang menunggu dengan cemas di ruang keluarga. Untungnya Deon tidak nekat mengejar, karena meski sudah tujuh tahun berpacaran pun, Deon tidak pernah mendapat izin untuk melangkah ke lantai dua di mana kamar Claudia berada.Mengunci pintu kamar, Claudia akhirnya jatuh terduduk di lantai, kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Ia berusaha sangat keras untuk tidak memukul Deon, berteriak dan bertanya apa salahnya hingga diperlakukan seperti orang bodoh. Claudia mencintai Deon, pria itu adalah cinta pertamanya, sosok yang selalu membuat Claudia berbunga. Tapi, kenapa? Apa tidak cukup