“Aku benar-benar menghabiskan waktu liburku hanya begini saja,” keluh Claudia setelah selesai mengemas barang-barangnya. Seminggu berlalu sejak ia dan Malven datang untuk berbulan madu.Rasanya sangat disayangkan karena Claudia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar daripada berjalan-jalan. Tidak ada satu pun tempat di kamar ini yang tidak menjadi saksi atas pergumulan Claudia dan Malven. Semua sudut yang Claudia lihat hanya berisi kenangan saling memuaskan diri.“Sudah selesai? Ayo, kita harus segera berangkat, tidak lucu kalau sampai ketinggalan pesawat.” Malven menghampiri, memeluk Claudia yang sedang menatap kopernya dengan mata penuh permusuhan. “Kamu boleh ke sini lagi kapan pun, kan sudah kuberikan kuncinya. Jangan memasang wajah cemberut begitu.”Claudia berdecih. Memang sih, Malven sudah memberikan satu kunci ke kamar ini, tapi apa gunanya itu kalau perjanjian mereka berakhir saat Malven masih belum membuat keputusan atas kelanjutan hubungan mereka?Hari itu Claudia meni
Claudia tidak tahu kapan ia tertidur. Sejak melihat laporan tentang Deon, ia melanjutkan beberapa pekerjaan yang Aira kirimkan, untungnya selama itu tidak ada yang mengganggu. Tidur Claudia terganggu saat ponselnya berdering, sedikit mengernyit saat melihat nomor tidak dikenal, tapi langsung menggeser layar hijau saat menyadari kode negara yang tertera.“Raga!”“Kakak!”Claudia tertawa saat ia dan seseorang di seberang memanggil secara bersamaan. Selama satu minggu sejak kepergiannya, Raga memang belum menghubungi Claudia sama sekali, tapi Malven memintanya untuk bersabar.“Aku ganggu Kakak nggak? Udah malem di sana, kan?”“Masih sore kok, kamu tidak mengganggu sama sekali. Bagaimana kabarmu, Raga? Kenapa tidak menghubungi Kakak sama sekali selama seminggu ini?” Claudia merengut tanpa sadar, rasa rindunya pada Raga memang tidak bisa dibilang sedikit.“Oh itu, maaf Kak, aku sibuk banget. Opa bawa aku main terus, ini sebenernya baru balik. Kebetulan ada teman Opa yang datang juga, jadi
Claudia tertegun. Meski ia tahu dan menyadari bahwa hubungannya dan Malven memang hanya sebatas teman tidur, tapi mendengar hal itu dari orang lain membuat hatinya tidak bisa menerima. Kenapa mudah sekali Claudia jatuh cinta pada Malven dan terluka karenanya? Claudia tidak ingin mencintai siapa pun lagi, ia tidak mau mempercayakan hatinya pada siapa pun lagi, tapi kenapa?“Hanya saja … memangnya tidak ada harapan? Memangnya aku tidak boleh berharap perasaanku terbalas? Tanpa kamu mengatakan apa pun aku juga tahu kalau hubungan kami hanya sebatas seks, tapi ….” Claudia menunduk, mati-matian mencegah air matanya agar tidak jatuh. Dadanya berdenyut nyeri, rasanya terlalu menyakitkan, ini mungkin terasa lebih menakutkan dari melihat tunangannya berselingkuh.Aira menghela napas berat melihat tangan Claudia yang gemetar. Ia tidak bermaksud menyakiti perasaan sahabatnya, tapi sejak Claudia mengatakan kalau ia jatuh hati pada Malven, juga tentang perjanjian enam bulan di antara mereka, sikap
Tunangan? Apa maksudnya? “Pergilah ke kamarmu, Zhe.” Malven menengahi sebelum Claudia sempat mengatakan sesuatu. Pria itu melepaskan tangan yang menggandengnya dan memberi isyarat pada pelayan untuk segera membawa Zheva pergi.“Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia dan sudah menjadi pengasuh Tuan Muda Raga selama delapan bulan terakhir, senang bertemu dengan Anda.” Claudia membalas senyum, tubuhnya sedikit membungkuk saat menjawab sapaan Zheva. Entah Claudia harus bersyukur atau tidak dengan pengendalian dirinya, suara dan raut wajahnya bahkan tidak menunjukkan reaksi berarti, padahal rasanya Claudia ingin segera berlari dan menangis atau menanyakan pada Malven atas berita mendadak yang ia dengar. Rasanya menyesakkan dan sakit, seperti tiba-tiba dikurung dalam ruangan sempit dan gelap, Claudia kesulitan menarik napas dengan benar.“Senang bertemu denganmu juga, Claudia, kuharap kamu mau mengobrol denganku dan memberitahu apa saja hal-hal yang Raga sukai atau tidak agar lebih mu
Malven mengernyit. "Wanita itu? Maksudmu Zheva? Kenapa memanggilnya dengan kasar begitu? Zheva itu--!""Malven, kau di dalam?" Malven langsung terdiam saat mendengar pintu ruangannya diketuk dan suara Zheva terdengar. Claudia mendengus. Padahal belum lima belas menit sejak ia punya waktu berdua dengan Malven, tapi kenapa wanita itu mengganggu? Fakta bahwa Malven tidak suka Claudia memanggil Zheva dengan sebutan 'wanita itu' membuat perasaan Claudia semakin buruk. "Kamu akan menemuinya? Bagaimana kalau dia melihatku di sini, Malven?" Claudia memiringkan kepala dan tersenyum manis, tangannya bergerak untuk membuka tiga kancing teratas kemejanya, sedikit menikmati bagaimana Malven mendelik atas tingkahnya."Jangan menggodaku sekarang, Claudi, waktunya tidak tepat." Malven berdiri setelah kembali terdengar ketukan di pintu, sudah jelas Zheva yakin ia ada di dalam sini. "Keluarlah lima menit setelah aku dan gunakan tangga yang tadi, jangan sampai Zheva melihatmu berkeliaran di lantai ti
Claudia tidak suka menunggu tanpa kepastian. Sejak dulu ia dikenal sebagai seseorang yang menghargai waktu, bukan hal baru juga bagi Claudia untuk pergi begitu saja jika seseorang yang telah membuat janji dengannya tidak datang lebih dari sepuluh menit tanpa pemberitahuan apa pun. Tapi, Claudia melakukannya sekarang, menunggu Malven membalas pesannya, menunggu Malven memberi kabar dan menunggu Malven pulang.Sejak pergi bersama Zheva tiga hari lalu, Malven belum kembali sama sekali. Tidak ada kabar, tidak ada balasan dari pesan-pesan yang Claudia kirimkan, tidak ada telpon masuk, juga tidak ada kabar sedikit pun dari Vall mau pun Sean tentang Malven.Claudia tidak lagi menghubungi Vall dan bertanya sejak mendengar kabar jika Malven sedang di villa bersama Zheva, karena jika Malven masih di sana hingga hari ini hanya akan membuat kegelisahan Claudia semakin menjadi.“Aku senang kamu mengunjungiku, Cla, tapi tidak pernah kubayangkan kamu datang begitu saja tanpa memberi tahu lebih dulu.
Claudia tidak ingin tahu apa kelanjutan dari kata 'putra' yang Zheva sebutkan, entah maksudnya adalah 'putraku atau putra kami', Claudia sungguh tidak ingin tahu. "Saya juga belum lama menjadi pengasuh tuan muda, jadi mungkin ada banyak hal yang belum saya tahu." Claudia membuka pembicaraan, berharap bisa mencairkan suasana canggung yang melingkup sejak Zheva duduk di sampingnya. Ada banyak hal yang ingin Claudia tanyakan. Di mana Malven, apa saja yang pria itu sedang lakukan, apakah benar jika Zheva adalah tunangan yang dipilihkan untuk Malven, juga ... apa benar Malven membawa Zheva ke villa dan memperkenalkan wanita itu pada anggota Phantom. Seandainya jawabannya adalah benar, apa yang akan Claudia lakukan? Merusak pertunangan mereka dengan memanfaatkan kekuasaan kakeknya atau merebut Malven dengan cara lain? Entahlah, apa pun yang Claudia pikirkan rasanya tidak berguna. "Delapan bulan juga tidak bisa dibilang sebentar, jadi kamu pasti sudah tahu lebih banyak tentang Raga darip
Itu ... Claudia membuka bibirnya, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil keluar. Bagaimana dia mengatakan pada Malven kalau perasaan pria itu sama dengan perasaannya? Bukankah itu cinta? Pulang dan bersandar pada orang yang dicintai, bukankah hal itu yang membuat rasa lelah hilang? Claudia menelan ludah, tidak tahu harus merasa senang atau bingung dengan situasi ini. Malven tidak terlihat mencintainya, tapi pria itu mengatakan sesuatu yang mirip dengan cinta. Lalu, apa itu sebenarnya? "Aku tidak tahu," ucap Claudia pada akhirnya. "Mungkin karena aku tidak mendesakmu untuk menceritakan sesuatu atau bertanya tentang masalah yang kamu hadapi. Kamu tidak punya beban atau tanggung jawab yang harus diceritakan padaku, itu sebabnya kamu merasa nyaman. Sepertinya begitu."Claudia tersenyum tipis, mengusap kepala Malven yang tengah menatapnya dengan pandangan mengantuk."Benar juga, itu jawaban yang masuk akal. Kalau begitu, biarkan aku begini sebentar lagi sebelum kembali ke ruang kerja
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t