Itu ... Claudia membuka bibirnya, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil keluar. Bagaimana dia mengatakan pada Malven kalau perasaan pria itu sama dengan perasaannya? Bukankah itu cinta? Pulang dan bersandar pada orang yang dicintai, bukankah hal itu yang membuat rasa lelah hilang? Claudia menelan ludah, tidak tahu harus merasa senang atau bingung dengan situasi ini. Malven tidak terlihat mencintainya, tapi pria itu mengatakan sesuatu yang mirip dengan cinta. Lalu, apa itu sebenarnya? "Aku tidak tahu," ucap Claudia pada akhirnya. "Mungkin karena aku tidak mendesakmu untuk menceritakan sesuatu atau bertanya tentang masalah yang kamu hadapi. Kamu tidak punya beban atau tanggung jawab yang harus diceritakan padaku, itu sebabnya kamu merasa nyaman. Sepertinya begitu."Claudia tersenyum tipis, mengusap kepala Malven yang tengah menatapnya dengan pandangan mengantuk."Benar juga, itu jawaban yang masuk akal. Kalau begitu, biarkan aku begini sebentar lagi sebelum kembali ke ruang kerja
Claudia kembali lebih awal sebelum Malven atau Zheva datang lebih dulu. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya karena biasanya menjelang sore adalah kegiatan yang cukup sibuk bagi sebagian pelayan dapur dan merupakan waktu beristirahat untuk pelayan lainnya, maka tidak ada siapa pun yang Claudia temui saat ia bergegas ke lantai dua dan memasuki kamar Malven.Wanita itu meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas ranjang, tersenyum lebar setelah mengeluarkan gaun yang baru ia beli tadi. Claudia akan menyambut Malven pulang dan membuat pria itu tidak bisa menolak kehadirannya. Sudah cukup lama Malven tidak menyentuh Claudia, jadi mana mungkin pria itu tidak tergerak melihat Claudia siap dimangsa saat pria itu memasuki kamar nanti.Claudia bersenandung, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap. Gaun malam berwarna putih polos itu membentuk tubuh Claudia dengan sempurna. Saat wanita itu berdiri di depan cermin dan melihat tubuhnya yang nyaris telanjang, Claudi
Tubuh Malven menegang. Melihat bagaimana Claudia gemetar dan menangis, memohon dengan suara lirih agar dimaafkan, membuat Malven menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan. Ia tidak pernah mau menyakiti Claudia, tapi apa yang Claudia katakan sebelumnya membuat sisi lain yang selama ini Malven sembunyikan dari khalayak tidak bisa terkontrol.Malven marah, kemarahan yang tidak bisa terbendung hanya dengan membayangkan ada lelaki lain yang menjamah tubuh Claudia. “Claudi …” Suara Malven sedikit goyah saat mencoba memanggil, tangannya tampak gemetar ketika menyentuh lembut pipi Claudia dan menghapus air mata yang mengalir di sana. “Maaf, Claudi, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku … minta maaf. Tolong jangan menangis ….”Pria itu mengecup lembut kedua mata Claudia, pipi basahnya dan hidungnya yang memerah sambil terus mengucap maaf, berusaha menenangkan wanita yang telah ia lukai hatinya. Hubungan di antara mereka memang hanya sebatas perjanjian di atas ranjang, tapi tidak pernah se
“Mau ke mana?”Claudia yang baru saja akan memakai pading jaketnya dan bersiap pergi, mengernyit ketika Malven kembali dengan beberapa paper bag di tangan. “Aku sudah minta Zheva mengatakan pada pelayan untuk mengantarkan makanan ke sini karena aku ingin istirahat hari ini, tapi kamu mau ke mana?” Malven kembali bertanya setelah meletakkan paper bag ke sofa. Ia mendekati Claudia dan tanpa basa-basi langsung meraih jaket di tangan wanita itu dan melemparnya asal. “Temani aku di sini, kamu tidak punya rencana, kan?”“Kalian tidak akan ke mana-mana hari ini?” Claudia kembali ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Malven. Ia senang tentu saja, apalagi jika Malven mau menghabiskan waktu bersamanya, tapi pria itu pasti tidak bisa benar-benar bersama Claudia karena harus menemani Zheva juga.Malven menaikkan satu alis. “Kenapa ‘kalian’? Aku yang ingin libur dan beristirahat hari ini, tapi Arfa tetap harus pergi ke suatu tempat menggantikan aku. Kenapa kamu memperhatikan Arfa juga?”
Tepat seperti yang Malven tulis dalam catatan yang ditinggalkannya, pria itu benar-benar tidak ada kabar, tidak pulang dan tidak bisa dihubungi. Hari ini adalah hari terakhir Claudia berada di kediaman Pranaja, tapi Malven belum juga kembali. Namun, Claudia yakin Malven sudah membaca surat yang Claudia masukkan ke buku hitam milik pria itu, karena Malven terbiasa membawa buku itu ke mana pun dan menulis sesuatu di sana. “Kamu benar-benar tidak memperpanjang kontrak? Kenapa?” Pertanyaan itu dilayangkan oleh Helda saat Claudia berpamitan. Helda merupakan salah satu pelayan yang cukup dekat dengan Claudia, mungkin karena Helda masih sangat muda dan Claudia biasa menyapa juga memperhatikan, gadis itu jadi lebih akrab dengan Claudia. Hari ini Claudia sudah mengepak semua barangnya ke dalam koper dan bersiap pergi, tapi ia memutuskan untuk berpamitan dulu pada semua orang di kediaman ini. Sejak pagi Claudia sibuk menemui banyak orang untuk berpamitan dan semuanya menanyakan hal yang sam
Claudia tersenyum puas saat menatap penampilannya di cermin. Gaun biru muda membungkus tubuh rampingnya dan desain anggun namun seksi itu membuat Claudia semakin percaya diri. Rambut panjangnya digelung rapi tanpa aksesori apa pun, hanya anting-anting mutiara yang terpasang di telinga Claudia menjadi satu-satunya perhiasan yang wanita itu kenakan.Tampilan sederhana namun tampak mewah itu adalah khas dari seorang Claudia, karena ia meyakini bahwa kecantikan seseorang tidak dipancarkan dari banyaknya perhiasan yang digunakan. Ia juga hanya menggunaka heels putih sederhana yang membungkus kakinya. Panjang gaun yang hanya selutut membuat kaki jenjang Claudia terekspos, begitu pun dengan bahu kirinya.“Saya akan menunggu di--!”“Bicaralah sebagai temanku, Sho!” ujar Claudia sembari menatap penuh harap pada pria di balik kemudi. Mereka sedang menuju restaurant yang sudah wanita itu reservasi minggu lalu, meski tidak bisa melakukan sesuatu seperti menyewa seluruh restaurant, setidaknya Clau
Sejak awal sebenarnya Claudia tahu usahanya tidak akan membuahkan hasil, tapi ia tidak sanggup melawan hatinya yang selalu menginginkan Malven, seseorang yang sayangnya tidak mungkin menjadi miliknya. Tapi, Claudia ingin mengatakannya setidaknya sekali saja betapa ia mencintai Malven. Kalau sudah mengungkapkan perasaannya dan pria itu tidak memiliki perasaan yang sama, setidaknya Claudia bisa menyerah dengan hati yang lebih damai.Claudia ingin memperjuangkan perasaannya agar tidak ada penyesalan, tapi kalau begini caranya, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menghilang dari kehidupan pria itu dan kembali pada kehidupannya sendiri. Claudia menghapus air matanya dan menarik napas panjang berkali-kali, menenangkan hatinya yang bergejolak.Setelah agak tenang, wanita itu langsung bangun dan pergi meninggalkan restaurant, mengabaikan panggilan pelayan, meninggalkan sebuket bunga yang sebelumnya Claudia beli dan meninggalkan seluruh kenangannya bersama Malven di sebuah meja berlapis kain
Takdir seolah kembali ke titik awal. Claudia menangis dalam diam ketika hujan mulai turun perlahan dan membasahi tubuhnya. Kenapa selalu hujan setiap kali Claudia patah hati? Ini bahkan bukan novel dan Claudia bukan pemeran utama di mana pun, tapi kenapa dunia seolah selalu menambah suasana murung dalam hidupnya? Rasanya seperti Claudia ditertawakan oleh alam semesta.Mungkin satu-satunya perbedaan dari kejadian kali ini adalah tidak ada pertemuan dengan Raga dan Malven. Claudia tidak berhenti di mana pun untuk berteduh. Ia lelah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan air matanya tidak berhenti mengalir meski hujan menutupinya, tapi Clauda tidak bisa berhenti berjalan, berharap semua yang ia tinggalkan di belakang akan terbawa arus hujan dan tidak lagi mengganggunya.Entah Deon, Selena, maupun Malven, Claudia berharap tidak lagi merasa sakit karena mereka. Tapi, kemana ia harus menyembuhkan luka-lukanya?"Aku ... sebenarnya apa yang telah kulakukan?" Suara Claudia bergetar, "Kenapa aku ti
Selama menunggu Malven dan Regan bicara, Claudia menunggu di ruang keluarga. Sudah dua jam sejak Malven memasuki ruang kerja Regan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda akan keluar. Claudia menghela napas panjang, sedikit khawatir.Kalau saja ayahnya tidak melarang, Claudia pasti sudah menemani Malven saat ini. Tapi, Regan mengatakan jika itu adalah pembicaraan antar laki-laki, jadi Claudia dilarang ikut campur.“Berapa lama lagi ayah akan mengintrogasinya?” Claudia menarik napas pelan, matanya melirik pada jam yang tertera di ponsel. Awalnya Claudia tidak sendirian karena Raga menemaninya bermain, tapi anak itu akhirnya tertidur setelah hampir satu jam, jadi Claudia memindahkannya ke kamar dan kembali ke ruang keluarga untuk menunggu Malven.“Tapi, kenapa lama sekali?” Claudia kembali mengeluh sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lampu gantung yang malam ini terlihat lebih jauh.Claudia sebenarnya merasa lelah dan perutnya sedikit kram. Mengingat perjalanan panjang yang
“Raga, Kakak pulang!” Claudia berseru setelah memasuki ruang keluarga, membuat Raga dan Regan yang sedang menyusun puzzle besar, langsung menoleh bersamaan. “Iya, selama datang kembali, Kak.” Raga membalas sapaan Claudia sebelum kembali fokus pada mainannya.Claudia cemberut pada rendahnya antusias Raga. Apa anak itu tidak merindukannya?“Raga … Kakak bawa sesuatu lho,” ucap Claudia sembari mendekat dan menggoyangkan kresek putih di tangannya. Claudia sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa es krim dan camilan kesukaan Raga. Biasanya Raga akan sangat senang karena ia jarang diizinkan makan makanan instan seperti itu. Tapi … kenapa tidak ada reaksi berarti?Raga hanya menoleh sebentar dan mengatakan ‘oh ya’ sebelum kembali berusaha menyusun puzzle, sama sekali tidak menyadari wajah keruh Claudia. Wanita itu meletakkan barang bawaannya sebelum mendekati Raga dan langsung menusuk pipi anak itu menggunakan jari telunjuknya.“Apa ini … Raga mengabaikan Kakak?” Claudia mengelua
“Biar aku yang menghubungi Devan, kalian tinggal yakinkan anak nakal itu saja.” Adhamar berkata saat mengantarkan Claudia dan Malven ke halaman, keduanya akan meninggalkan kediaman Adhamar hari ini.“Tapi, kalau ayah masih tidak mau memberi restu bagaimana?” Claudia bertanya pelan, agak cemas.“Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas? Tentu saja kalian tidak akan bisa menikah. Meski aku masih tidak menyukai anak nakal itu, bukan berarti aku tidak mendengarkan pendapatnya. Berusahalah lebih giat, tapi aku yakin dia akan segera merestui. Dia bukan orang yang keras kepala.”Claudia menghela napas panjang. Anak nakal yang disebut kakeknya adalah Regan, meski Claudia tidak mengerti kenapa Adhamar selalu menyebut menantunya seperti itu.“Kalau begitu kami permisi dulu, Tuan Adhamar.” Malven mengangguk hormat, membukakan pintu mobil dan membiarkan Claudia masuk lebih dulu.Setelah memeluk kakeknya, Claudia langsung memasuki mobil dan segera disusul oleh Malven. Hari ini mereka akan kembali ha
Setelah memberitahu pelayan tentang tujuan mereka, Claudia dan Malven menelusuri jalan setapak dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Seperti yang Claudia katakan, hutan ini sangat rimbun dan terlihat seperti hutan sungguhan yang tidak terbatas luasnya.Meski begitu, Malven bisa melihat beberapa ranting dan daun bergoyang secara tidak wajar. “Apa di hutan ini ada ‘penunggu’ juga?” tanyanya sembari menatap lembut Claudia.Claudia yang tidak pernah melepas genggamannya dari Malven, mendongak dan tersenyum lebar. Sekarang ia mengerti apa maksud dari kata ‘penunggu hutan’ yang pernah Malven dan Arfa bicarakan. Orang-orang yang dilatih dan bekerja di bawah Adhamar, bertugas untuk menjaga keamanan tempat ini dengan memperhatikan siapa pun tamu yang datang.Tapi, meski Claudia bukan tamu asing, sejak kecil ia memang sudah dijaga diam-diam. Ada kalanya Claudia tersesat saat mengeksplor hutan dan salah satu penjaganya akan berpura-pura tidak sengaja lewat lalu membawa Claudia kembali ke
Claudia memilih menunggu di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang kerja kakeknya, sedikit gugup dengan pembicaraan yang akan dilakukan Adhamar dan Malven. Bagaimana kalau kakeknya bersikeras tidak akan merestui seperti saat bersama Deon dulu?“Ah, harusnya aku tidak menurut begitu saja dan meninggalkan mereka.” Claudia bergumam sembari menggoyangkan kaki, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Minum tehnya dulu, Nona. Apa perlu saya bawakan camilan lain? Atau Nona ingin makan?”Pertanyaan pelayan yang menghampiri sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kukis, membuat Claudia menghela napas pendek. Benar, tidak ada yang akan berubah hanya karena ia bergumam sendirian di sini, jadi lebih baik mengisi perutnya dengan sesuatu yang hangat.“Terima kasih, tapi bisakah ganti tehnya dengan kopi? Aku ingin kopi hitam tanpa gula,” ucap Claudia saat menyadari bahwa perutnya mual mencium harum yang menguar dari teh. “Lalu, aku sedang tidak ingin kukis. Bawakan saja sesuatu
Sindiran tajam dan dengusan Adhamar membuat suasana ruangan itu hening. Tidak ada yang bisa membantah, baik Claudia maupun Malven tahu pasti apa yang Adhamar maksud.“Memang benar kalau saya jatuh cinta padanya, tapi saya tidak pernah mengatakan itu, dan dia pun sama. Kami saling mencintai, tapi tidak sempat menyatakan perasaan masing-masing. Saya sibuk dengan beberapa urusan, lalu Zheva yang kebetulan punya pekerjaan di sini dan mengkhawatirkan kondisi saya, datang dan membuat hubungan kami berakhir dengan kesalahpahaman.”Malven menghela napas pelan. “Dia pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Saya membuatnya menangis patah hati, karena kekurangan saya dalam berkomunikasi membuatnya berpikir jika Zheva adalah wanita yang akan dijodohkan dengan saya. Satu bulan lalu, saya kehilangan arah karena wanita itu menghilang tiba-tiba.”Claudia menatap penuh perhatian pada Malven, berharap waktu yang akan mereka habiskan ke depannya akan menghapus sedikit demi sedikit rasa sakit karena k
Claudia menarik napas panjang saat pria berusia tujuh puluhan itu mengangkat pandangan dari buku di tangan. Adhamar tentu saja mengernyit melihat kedatangan cucunya yang tiba-tiba, apalagi setelah melihat tangan Claudia yang melingkari lengan Malven.Adhamar meletakkan bukunya di meja dan berdiri, menghampiri dua orang yang masih mematung tanpa mengatakan apa-apa.“Ayo bicara di dalam.” Claudia dan Malven segera menunduk sopan saat Adhamar berjalan lebih dulu sebelum mengekor di belakang. Tidak ada yang bicara selama perjalanan melewati beberapa koridor, ruang keluarga dan anak tangga menuju ruang kerja Adhamar. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk membicarakan hal penting hanya di ruang kerja Adhamar, tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan menguping. Setelah memasuki ruang kerja dan pintu tertutup, Claudia segera melepas lengan Malven dan berjalan menuju sofa yang telah diduduki kakeknya. Ini adalah hal yang harus Claudia lakukan sekarang, duduk di sisi kakeknya dan mem
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya Claudia dan Malven tiba di kediaman Adhamar. Gerbang besar terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dengan arsitektur klasik yang mencerminkan wibawa pemiliknya.Bangunan besar dengan arsitektur klasik itu selalu berdiri anggun, dikelilingi tamanluas yang tertata rapi. Meski Claudia tidak asing dengan tempat ini, tapi perasaanya saat ini lebih tegang dan mendebarkan.Claudia melirik ke samping dan tersenyum melihat Malven yang duduk diam dengan wajah sedikit kaku, tentu saja pria itu juga sedang sangat tegang sekarang. Claudia bisa melihat jari-jari Malven saling tertaut erat di pangkuan, napasnya pun terdengar lebih berat dari biasanya. Claudia masihtersenyum saat meraih tangan Malven dan menggenggamnya erat.“Jangan terlalu tegang, Malven,” bisik Claudia lembut, mencoba menenangkan. “Kakekku tidak akan menelanmu, kok.”Malven menoleh ke arah Claudia dan mengernyit mellihat senyum jahil wanita itu. Tentu saja Adhamar tidak
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari