"Jadi, mau apa kita hari ini?" Claudia bertanya antusias, karena yang merencanakan bulan madu ini adalah Malven, jadi ia tidak tahu apa-apa.Malven mengernyit saat merasakan sinar matahari yang cukup terik, padahal belum terlalu siang. Pria itu memakai kaca mata hitamnya untuk mengurangi silau dari matahari, tapi gerakannya yang sederhana itu tanpa disadari membuat orang-orang di sekitar terpesona.Claudia merengut tanpa sadar saat melihat para wanita dan pria memandangi Malven-nya dengan air liur hampir menetes."Kita akan main golf, pemandangannya sangat bagus, jadi kita bisa bersantai di sana sambil berolahraga ringan. Lalu, aku berencana membawamu ke Seawalker, kita akan menyelam dan menjelajahi dunia bawah laut." Jawaban Malven membuat rasa kesal Claudia berkurang, tampaknya pria itu sudah merencanakan segalanya dengan matang."Hanya ke dua tempat itu?" Claudia menaikkan satu alis, berjalan di sisi Malven yang lagi-lagi menggenggam tangannya. "Setelah menyelam, kita akan jalan-
Saat menyiapkan pernikahannya dan Deon dulu, Claudia selalu membayangkan akan seperti apa pengalaman pertamanya sebagai seorang wanita. Sebuah kecupan lembut di kening dan pipi, ciuman manis dan perlahan, saling mengisi kekosongan dengan kehangatan, lalu tersenyum sambil bergenggaman tangan, itu adalah hal-hal yang Claudia bayangkan saat memikirkan kata ‘bulan madu’.Claudia percaya bahwa bulan madu adalah momen sakral di mana kehangatan, kenangan dan kebahagiaan diciptakan. Menyambut pagi dengan saling tersenyum lembut satu sama lain dan memasang wajah malu saat mengingat kejadian manis semalam, Claudia jelas memikirkan bulan madu sebagai sesuatu seperti itu. Hanya saja ….“Hhh, Malven, ugh, tolong, kumohon perlahan—ah!”Hanya saja Malven menghancurkan bayangan manis Claudia tentang konsep bulan madu. Bukannya menyambut pagi dengan senyum malu-malu, Claudia malah terbangun karena Malven menggerayanginya, seolah semalam tidak cukup padahal mereka nyaris tidak berhenti. “Claudi, bagai
“Aku benar-benar menghabiskan waktu liburku hanya begini saja,” keluh Claudia setelah selesai mengemas barang-barangnya. Seminggu berlalu sejak ia dan Malven datang untuk berbulan madu.Rasanya sangat disayangkan karena Claudia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar daripada berjalan-jalan. Tidak ada satu pun tempat di kamar ini yang tidak menjadi saksi atas pergumulan Claudia dan Malven. Semua sudut yang Claudia lihat hanya berisi kenangan saling memuaskan diri.“Sudah selesai? Ayo, kita harus segera berangkat, tidak lucu kalau sampai ketinggalan pesawat.” Malven menghampiri, memeluk Claudia yang sedang menatap kopernya dengan mata penuh permusuhan. “Kamu boleh ke sini lagi kapan pun, kan sudah kuberikan kuncinya. Jangan memasang wajah cemberut begitu.”Claudia berdecih. Memang sih, Malven sudah memberikan satu kunci ke kamar ini, tapi apa gunanya itu kalau perjanjian mereka berakhir saat Malven masih belum membuat keputusan atas kelanjutan hubungan mereka?Hari itu Claudia meni
Claudia tidak tahu kapan ia tertidur. Sejak melihat laporan tentang Deon, ia melanjutkan beberapa pekerjaan yang Aira kirimkan, untungnya selama itu tidak ada yang mengganggu. Tidur Claudia terganggu saat ponselnya berdering, sedikit mengernyit saat melihat nomor tidak dikenal, tapi langsung menggeser layar hijau saat menyadari kode negara yang tertera.“Raga!”“Kakak!”Claudia tertawa saat ia dan seseorang di seberang memanggil secara bersamaan. Selama satu minggu sejak kepergiannya, Raga memang belum menghubungi Claudia sama sekali, tapi Malven memintanya untuk bersabar.“Aku ganggu Kakak nggak? Udah malem di sana, kan?”“Masih sore kok, kamu tidak mengganggu sama sekali. Bagaimana kabarmu, Raga? Kenapa tidak menghubungi Kakak sama sekali selama seminggu ini?” Claudia merengut tanpa sadar, rasa rindunya pada Raga memang tidak bisa dibilang sedikit.“Oh itu, maaf Kak, aku sibuk banget. Opa bawa aku main terus, ini sebenernya baru balik. Kebetulan ada teman Opa yang datang juga, jadi
Claudia tertegun. Meski ia tahu dan menyadari bahwa hubungannya dan Malven memang hanya sebatas teman tidur, tapi mendengar hal itu dari orang lain membuat hatinya tidak bisa menerima. Kenapa mudah sekali Claudia jatuh cinta pada Malven dan terluka karenanya? Claudia tidak ingin mencintai siapa pun lagi, ia tidak mau mempercayakan hatinya pada siapa pun lagi, tapi kenapa?“Hanya saja … memangnya tidak ada harapan? Memangnya aku tidak boleh berharap perasaanku terbalas? Tanpa kamu mengatakan apa pun aku juga tahu kalau hubungan kami hanya sebatas seks, tapi ….” Claudia menunduk, mati-matian mencegah air matanya agar tidak jatuh. Dadanya berdenyut nyeri, rasanya terlalu menyakitkan, ini mungkin terasa lebih menakutkan dari melihat tunangannya berselingkuh.Aira menghela napas berat melihat tangan Claudia yang gemetar. Ia tidak bermaksud menyakiti perasaan sahabatnya, tapi sejak Claudia mengatakan kalau ia jatuh hati pada Malven, juga tentang perjanjian enam bulan di antara mereka, sikap
Tunangan? Apa maksudnya? “Pergilah ke kamarmu, Zhe.” Malven menengahi sebelum Claudia sempat mengatakan sesuatu. Pria itu melepaskan tangan yang menggandengnya dan memberi isyarat pada pelayan untuk segera membawa Zheva pergi.“Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia dan sudah menjadi pengasuh Tuan Muda Raga selama delapan bulan terakhir, senang bertemu dengan Anda.” Claudia membalas senyum, tubuhnya sedikit membungkuk saat menjawab sapaan Zheva. Entah Claudia harus bersyukur atau tidak dengan pengendalian dirinya, suara dan raut wajahnya bahkan tidak menunjukkan reaksi berarti, padahal rasanya Claudia ingin segera berlari dan menangis atau menanyakan pada Malven atas berita mendadak yang ia dengar. Rasanya menyesakkan dan sakit, seperti tiba-tiba dikurung dalam ruangan sempit dan gelap, Claudia kesulitan menarik napas dengan benar.“Senang bertemu denganmu juga, Claudia, kuharap kamu mau mengobrol denganku dan memberitahu apa saja hal-hal yang Raga sukai atau tidak agar lebih mu
Malven mengernyit. "Wanita itu? Maksudmu Zheva? Kenapa memanggilnya dengan kasar begitu? Zheva itu--!""Malven, kau di dalam?" Malven langsung terdiam saat mendengar pintu ruangannya diketuk dan suara Zheva terdengar. Claudia mendengus. Padahal belum lima belas menit sejak ia punya waktu berdua dengan Malven, tapi kenapa wanita itu mengganggu? Fakta bahwa Malven tidak suka Claudia memanggil Zheva dengan sebutan 'wanita itu' membuat perasaan Claudia semakin buruk. "Kamu akan menemuinya? Bagaimana kalau dia melihatku di sini, Malven?" Claudia memiringkan kepala dan tersenyum manis, tangannya bergerak untuk membuka tiga kancing teratas kemejanya, sedikit menikmati bagaimana Malven mendelik atas tingkahnya."Jangan menggodaku sekarang, Claudi, waktunya tidak tepat." Malven berdiri setelah kembali terdengar ketukan di pintu, sudah jelas Zheva yakin ia ada di dalam sini. "Keluarlah lima menit setelah aku dan gunakan tangga yang tadi, jangan sampai Zheva melihatmu berkeliaran di lantai ti
Claudia tidak suka menunggu tanpa kepastian. Sejak dulu ia dikenal sebagai seseorang yang menghargai waktu, bukan hal baru juga bagi Claudia untuk pergi begitu saja jika seseorang yang telah membuat janji dengannya tidak datang lebih dari sepuluh menit tanpa pemberitahuan apa pun. Tapi, Claudia melakukannya sekarang, menunggu Malven membalas pesannya, menunggu Malven memberi kabar dan menunggu Malven pulang.Sejak pergi bersama Zheva tiga hari lalu, Malven belum kembali sama sekali. Tidak ada kabar, tidak ada balasan dari pesan-pesan yang Claudia kirimkan, tidak ada telpon masuk, juga tidak ada kabar sedikit pun dari Vall mau pun Sean tentang Malven.Claudia tidak lagi menghubungi Vall dan bertanya sejak mendengar kabar jika Malven sedang di villa bersama Zheva, karena jika Malven masih di sana hingga hari ini hanya akan membuat kegelisahan Claudia semakin menjadi.“Aku senang kamu mengunjungiku, Cla, tapi tidak pernah kubayangkan kamu datang begitu saja tanpa memberi tahu lebih dulu.
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun