Claudia tidak bisa menahan tawa mendengar kalimat pertama yang Raga katakan setelah melihat kartu namanya. “Biasa saja, kok, cuma kebetulan gaji yang Kakak terima lebih banyak daripada karyawan lain.”“Trus ini … nama asli Kakak?” Raga kembali bertanya sembari mengusap nama yang tertera. Claudia mengangguk membenarkan. Selama ini Claudia memang belum pernah memberitahukan nama lengkapnya pada Raga. “Cantik, kan? Kata Mama-nya Kakak, nama itu dipilih langsung oleh mendiang nenek.”Raga mendongak, sedikit menelengkan kepala saat kembali bertanya. “Jadi, Kakak tuh manggilnya Mama atau Bunda sih? Aku bingung,” ucapnya polos.Claudia mengerjap, “Raga sendiri sebenarnya memanggil Kakek atau Opa, sih? Kakak juga jadi bingung,” balasnya sembari menatap Raga.Keduanya kemudian tertawa saat menyadari kesamaan cara memanggil mereka terhadap seseorang.“Sebenarnya sih panggilannya Mama, cuma karena dari kecil Kakak sering main--!” Claudia menghentikan kata-katanya, dadanya kembali dipenuhi oleh
Seandainya Claudia bisa mengatakan hal itu, kira-kira tanggapan seperti apa yang akan Malven berikan? Sayangnya, pertanyaan tentang kelanjutan hubungan mereka itu hanya bisa tersangkut di tenggorokan Claudia, tanpa pernah wanita itu melontarkannya.“Kamu tidak menjawab, Claudi.”Claudia mengecup rahang Malven, “Memangnya selama ini apa yang kulakukan di kamarmu? Meski kulayani setiap hari, kamu tidak pernah sekali pun membawakan berlian tuh, bahkan meski yang sangat kecil sekali pun,” jawabnya asal. Memang Malven tidak pernah membawakan berlian, perhiasan, atau bunga, tapi pria itu memberikan unlimited card pada Claudia dan membebaskan wanita itu membeli apa pun, tapi bukankah kesannya akan berbeda kalau barang itu dibelikan langsung oleh Malven?“Akan kubelikan nanti, tapi sekarang ada hal lain yang akan kuberikan sebagai gantinya.” Malven tersenyum misterius sebelum membuka laci di samping ranjang, mengeluarkan sesuatu yang membuat Claudia terkesiap.“Ini kan ….” Claudia menatap dua
Tadinya Claudia ingin ikut mengantar Raga ke bandara, tapi karena ia juga harus bersiap, maka Claudia harus puas hanya dengan memeluk anak itu sebelum berangkat. Hari ini Claudia menjadikan alasan cuti yang sudah lama tidak diambil agar bisa keluar tanpa dicurigai, lalu Malven juga memberikan izin satu minggu untuk Claudia berlibur. Meski katanya sejauh ini hanya Dera yang dikirim untuk memperhatikan dan melaporkan setiap pergerakan Malven, tapi baik Malven mau pun Claudia harus tetap berhati-hati. Setelah mengemas beberapa barang ke dalam koper kecil dan memasukkan laptop serta alat make up-nya ke ransel, Claudia segera berpamitan pada wakil kepala pelayan yang menggantikan Dera selama wanita itu pergi bersama Raga.“Anda yakin tidak ingin diantar, Nona? Tapi, Tuan bilang saya harus mengantar sampai ke tempat tujuan.”Pertanyaan dari pria berusia tiga puluhan yang merupakan sopir baru pengganti Ali sejak beberapa bulan lalu itu membuat Claudia menghentikan langkahnya. “Antar saja ak
Diam-diam, Shouki kembali melirik pada Claudia dan tersenyum tipis saat melihat tatapan percaya diri wanita itu. Sebenarnya ia tidak punya hak untuk bicara tentang perasaan Claudia mau pun tentang kehidupan pribadinya, sejak kecil Shouki sudah tahu tugasnya hanya melindungi dan menjadi boneka bagi sang nona, tapi berkat kebaikan hati Claudia yang diturunkan dari orang tuanya, Shouki jadi bisa bicara, meski yang ia katakan hanyalah hal-hal sederhana yang semuanya adalah bentuk dukungan untuk Claudia.Shouki tidak boleh menentang apa pun keputusan mau pun rencana yang sedang Claudia lakukan, jadi meski wanita itu berbuat salah pun, Shouki akan tetap bersamanya hingga akhir. Hal itu akan terus berlaku sampai Claudia mati.“Jadi, apa kegiatan kita hari ini?”Claudia menghela napas mendengar pertanyaan Shouki, karena mau tak mau ia kembali ke kenyataan. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan menatap layar, sudah hampir satu jam sejak Raga meninggalkan kediaman Pranaja. “Sebentar lagi,” ucap
Claudia menggeret kopernya menjauh dari mobil Shouki, setelah memastikan tidak ada anggota Phantom atau anak buah Malven lain di sekitar. Wanita itu memperhatikan papan petunjuk dan mengikuti hingga tempat di mana ia dan Vall harusnya bertemu. Mereka memang memilih tempat agak jauh untuk bertemu agar sopir yang mengantar Claudia ke stasiun tidak melihat apa-apa dan Claudia bersyukur untuk itu karena ia bisa pergi bersama Shouki. “Nona!” Panggilan itu membuat Claudia menoleh, sedikit khawatir pada betapa cepat Vall datang menjemput. “Kamu mengikutiku dari saat turun tadi?” tanya Claudia sembari membiarkan Vall mengambil alih kopernya. “Tidak, saya menunggu di sini. Tidak ada masalah selama perjalanan ke sini, kan?” Claudia menggeleng, diam-diam menghela napas lega, tapi daripada kecurigaan datang saat Malven menerima laporan dari Fauzi nanti, lebih baik Claudia mengatakannya sekarang. “Aku tidak ke sini bersama Pak Ozi, rasanya agak mengkhawatirkan pergi bersama orang yang belum la
Claudia mengerjap, menghentikan ceritanya tentang pengalaman mengumpulkan jamur di hutan dan tersesat, mengernyit saat menatap Malven yang tampaknya memang sedang serius bertanya."Aku sedang menceritakan sesuatu, tapi kamu menanyakan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan ceritaku. Kamu mendengarkan tidak, sih?" Claudia terang-terangan merengut, menatap tidak suka pada pria yang malah terkekeh mendengar protesnya.Malven meraih tangan Claudia dan menciumnya. "Bukan begitu, tapi membayangkan kamu memakai seragam pramuka dan berkeliaran mencari jamur membuatku merasa sedikit iri pada teman-teman satu kelompokmu. Kamu pasti menjadi cinta pertama banyak orang dan menerima banyak pengakuan, kan? Aku hanya penasaran siapa di antara ratusan siswa di sekolahmu yang berhasil menarik perhatianmu dan mendapatkan ciuman pertama darimu."Claudia berdecih, tapi tidak mengatakan apa pun untuk membenarkan perkataan Malven karena memang tidak ada yang salah."Aku menerima surat, hadiah dan pengak
Meski Malven sudah mengatakan jika ia membeli salah satu suite room di hotel bintang lima, itu pun terletak di pulau yang terkenal dengan keindahannya di Vietnam, Claudia masih tidak menyangka matanya akan benar-benar dimanjakan. Claudia tidak ingat pernah pergi ke pulau ini, jadi sudah pasti ini pertama kali baginya.Claudia memang pernah beberapa kali ke Vietnam, entah untuk mengikuti ayahnya mengisi seminar, menghadiri seminar sebagai perwakilan yayasan atau hanya sekedar jalan-jalan, tapi mengunjungi pulau ini sepertinya tidak pernah. Jika mengingat foto-foto liburannya bersama sang ibu saat masih kecil dulu, maka jelas, Claudia memang belum pernah mengunjungi pulau ini."Tapi, kenapa rasanya deja vu? Aku jelas belum pernah ke sini, tapi seperti sudah pernah? Ehm ....""Apa sih yang kamu gumamkan sejak tadi?"Saat Claudia sedang berpikir dan mencoba mengingat-ingat banyak hal, Malven mendekat, memeluk Claudia dari belakang dan mengecup bahunya yang terbuka.Mereka sampai di sini s
Claudia menaikkan satu alis, "Melahapku? Tidak, kali ini biarkan aku yang memakanmu," ucapnya sembari tersenyum penuh arti. Saat Claudia menurunkan tubuhnya perlahan, ia tidak bisa menahan tawa setelah melihat sesuatu yang berdiri tegak di hadapannya. "Padahal aku tidak merasakan apa pun saat kamu memelukku tadi, lalu kenapa 'dia' terlihat seperti ini?" Claudia mendongak, mengerling ke arah Malven yang sedang menunduk dan menatapnya seolah benar-benar akan menelan Claudia hidup-hidup.Malven mengelus pipi wanita yang berjongkok di hadapannya, "Kenapa lagi, tentu saja karena kamu mengatakan sesuatu yang membuatnya semakin lapar," ucapnya sembari memasukkan satu jari ke mulut Claudia."Haa, sial!" Malven mengumpat saat Claudia mengisap jarinya dengan lihai tanpa memutus kontak mata. Cara wanita itu menatap sambil terus mengisap jarinya membuat Malven menghela napas berat, lalu ketika tangan Claudia berhasil menyusup ke dalam bathrobe yang Malven kenakan, pria itu mengernyit.Claudia