Panggilan itu membuat tubuh Claudia menegang. Ia memang sudah menyiapkan diri jika suatu saat bertemu lagi dengan masa lalunya seperti ketika bertemu Selena waktu itu, tapi Claudia tidak pernah membayangkan akan menemuinya sekarang."Ternyata benar kamu, Cla? Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu di sini, di tempat di mana seharusnya kita bulan madu?" Seseorang yang tiba-tiba memanggil itu adalah Deon, pria yang telah menghancurkan kepercayaan Claudia hingga tak berbentuk. Claudia merasakan dadanya berdenyut nyeri pada kenyataan yang kembali Deon ingatkan, karena hotel tempatnya menginap sekarang memang tempat yang ia dan Deon pilih untuk bulan madu mereka, salah satu hotel terbaik di pusat Tokyo.Kenapa Deon bisa ada di sini dari semua tempat di dunia?"Nona Claudia, apa Anda mengenal orang ini?" Sean dengan cepat menghadang di depan Claudia, melindungi wanita yang tampak tertegun dengan wajah pucat. Sean tidak tahu apa hubungan Claudia dengan pria itu, tapi melihat gelagat tida
Suara yang datang menyela membuat Claudia hampir berlari dan memeluk sosok yang baru saja datang dari arah lift, beruntung kendali atas tubuhnya masih berfungsi dengan baik. Deon menoleh ke arah Malven, terkejut melihat keberadaan pemimpin keluarga Pranaja itu ada di sini. Tentu saja Deon tahu tentang Malven, karena wajah pria itu rajin menjadi cover majalah bisnis dan prestasinya selalu menjadi tolak ukur bagi mereka yang ingin menjadi seorang pebisnis. Meski terkesan melanjutkan tahta, nyatanya banyak hal yang Pranaja capai hanya ketika Malven memegang jabatan sebagai pemimpin."Jadi, ada keributan apa di sini? Aku mendapat telepon dari pengawal putraku," ucap Malven lagi, sengaja menatap Claudia dengan pandangan menusuk."Maaf Tuan Malven, saya tidak bermaksud membuat keributan." Claudia langsung membungkuk sopan, sambil berharap Malven tidak mengatakan apa pun tentang posisi Claudia sebagai pengasuh Raga.Deon yang melihat Claudia langsung menurunkan nada suara dan bersikap sopan
Claudia tidak tahu harus terharu atau tertawa atas kata-kata Malven, jadi yang bisa dilakukannya adalah memeluk pria itu dan menangis. Padahal baru sekali bertemu Deon setelah berbulan-bulan sejak menjadi pengasuh Raga, tapi rasanya seluruh kekuatan meninggalkan tubuh Claudia hanya dengan satu pertemuan. Padahal Deon yang selama ini Claudia kenal adalah orang yang cerdas. Meski bukan berasal dari keluarga berada, tapi Deon menggunakan otaknya dengan baik mendapat beasiswa penuh, menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang tinggi dan mendapat posisi sebagai manajer di perusahaan hanya dalam dua tahun sejak ia mulai bekerja. Sosok Deon yang cerdas, pekerja keras dan pantang menyerah pada akhirnya diakui 'pantas' bersanding bersama Claudia, tapi kenapa jadi begini?Claudia bisa memaklumi kalau Deon bosan padanya dan jatuh hati pada Selena, lalu seharusnya pria itu sudah tahu konsekuensi dari mengkhianati kepercayaan Claudia, tapi bagaimana Deon menjadi tidak tahu malu seperti itu? Claudi
Ugh! Claudia merasa mual, suara Malven terdengar dingin saat mengatakan kalimat menakutkan seperti itu. "Aku tidak akan mengkhianatimu dan melarikan diri, Pak Malven!" ujar Claudia menanggapi, membayangkan kakinya dipatahkan secara paksa hanya untuk membuatnya tidak bisa kabur saja sudah sangat menakutkan, apalagi kalau benar terjadi. "Hmm, baguslah." Gumaman Malven membuat Claudia cemberut, tapi entah kenapa hatinya jadi menghangat, karena obrolan tentang mematahkan kaki itu membuat perasaan sedih dan marahnya pada Deon sudah berkurang banyak. "Aku sudah tidak apa-apa, kamu sebaiknya kembali ke kamar, Raga akan kebingungan kalau kamu tidak ada saat bangun nanti." Claudia menjauhkan tubuhnya, berusaha melepas dekapan Malven padanya. Tapi, usahanya sia-sia karena Malven terlihat tidak berniat melepaskan. "Aku mau mandi dan tidur, Malven, tolong lepaskan aku dan pergi dari sini!" ujar Claudia sembari terus berusaha melepaskan diri. Malven menghela napas, membiarkan Claudia
Claudia berdecak saat menatap pantulan dirinya di cermin. Semalam Malven benar-benar melaksanakan keinginannya, melukis di banyak tempat dan tidak meninggalkan ruang kosong di tubuh Claudia. Entah Claudia harus merasa lega atau tidak pada kenyataan bahwa satu-satunya yang bersih dari tanda yang Malven tinggalkan hanyalah lehernya.Wanita itu menghela napas sebelum merapatkan kimononya. Saat Claudia terbangun, matahari sudah tinggi dan ia tidak menemukan Malven di sisinya. Seperti biasa, pria itu hanya meninggalkan catatan kecil di atas bantal."Aku lapar ...." Claudia bergumam sembari mengelus perutnya, sungguh suatu keajaiban dia bisa bangun dari tempat tidur, mandi dan berganti pakaian dalam keadaan kelaparan, apalagi setelah menghabiskan semua energinya sepanjang malam. Sebenarnya Claudia ingin keluar dan mengajak Raga makan di restaurant hotel, tapi ia khawatir Deon akan menunggu di depan kamarnya. Memesan makanan pun Claudia tidak berani, takut saat membuka pintu untuk menerima
Claudia memutar bola mata. Di mana lagi coba ada atasan yang dikatakan ‘bodoh’ oleh karyawannya sendiri selain Claudia?“Kututup telponnya, pekerjaanku banyak berkat seseorang. Jangan terlalu dipikirkan tentang Deon, tapi tetaplah berhati-hati.”Sambungan telpon benar-benar diputus setelahnya sebelum Claudia sempat mengatakan apa-apa. Wanita itu menggeleng tidak habis pikir, tangannya menggulir layar untuk mencari nomor Malven, berniat menghubungi pria itu untuk mengajaknya makan bersama. Tapi belum sempat Claudia melakukan apa-apa, nama pria itu sudah tertera lebih dulu di ponselnya, bersamaan dengan suara bel kamar yang ditekan.“Aku di depan kamarmu bersama Raga,” ucap Malven begitu Claudia mengangkat telponnya.Claudia cepat-cepat membuka pintu dan tersenyum lebar saat Raga langsung menghambur ke pelukannya.“Sayang!” panggil Claudia sembari memeluk Raga, tapi tatapannya terarah pada Malven.Malven mengernyit, satu ingatan tentang janji Claudia jika wanita itu akan memanggil ‘saya
“DERAAA … AKU PULANG!” Raga berteriak saat keluar dari mobil, langsung berlari ke arah Dera dan mengulurkan tangan. “Hadiah dari Opa mana?” tanyanya tidak sabar.Mereka akhirnya kembali ke kediaman Pranaja, meski hanya Raga dan Claudia karena Malven masih belum kembali sejak pria itu pamit untuk pekerjaan dua hari lalu. Claudia cukup terkejut saat dalam perjalanan dari bandara tadi, mereka harus berpisah dari Vall dan Sean karena ada sopir lain yang akan menjemput. Claudia tidak mengerti kenapa dua orang yang telah menemani Claudia dan Raga selama di Jepang itu tidak ikut sampai rumah.Tidak hanya itu, Claudia diminta untuk menandatangani perjanjian ‘lupa’ di mana ia tidak akan mengatakan apa pun tentang Sean mau pun Vall, juga keberadaan Phantom. Tidak mau memikirkan sesuatu yang rumit, Caudia dengan mudah menandatanginya, karena ia juga bukan orang yang mudah menceritakan sesuatu, jadi hal seperti itu tidak sulit dikabulkan.“Tuan Muda, Anda tidak boleh berlari seperti itu. Bagaiman
Orangnya Papa. Claudia tahu jika hubungan Malven dan kakeknya tidak begitu baik, tapi melihat keduanya saling mencurigai atas kasih sayang terhadap Raga membuat Claudia sulit memahami. Malven mungkin biasa diperlakukan dengan tegas dan disiplin sejak kecil, jadi wajar jika pria itu khawatir Raga akan diperlakukan sama. Tapi dari sisi sang kakek, mungkin Raga memiliki tempat tersendiri dan kasih sayang yang tidak sempat diperlihatkan pada Malven, pria tua itu berikan pada Raga sebagai ganti. Bukankah keduanya hanya perlu duduk berdua dan berkomunikasi?“Kakak?” Raga memanggil sembari meraih rambut panjang Claudia untuk menyadarkan kakak asuhnya yang melamun. “Kakak kepikiran karena bakal kutinggal? Jangan takut, nanti Dera ikut sama aku, jadi yang paling galak di sini nggak bakal ada. Trus kan Papa juga akal sering pulang. Tapi, kalau Kakak beneran nggak enak tinggal di sini tanpa aku, Kakak cuti aja dulu, pulang, trus ke sini lagi kalau aku udah balik. Gimana?”Claudia mengelus sayang