Raga kembali tidak bisa menahan air matanya. Bagaimana mungkin ada suara ibunya? Apa ada rekaman suara yang ditinggalkan? 'Tapi, katanya tadi surat?' Raga menelan ludah, melihat sebuah video dimana ibu dan ayahnya sedang berjalan-jalan di taman bunga belakang villa. "Hari ini Raga berusia lima tahun, ya? Tolong jangan dengarkan perkataan papamu tentang usia menuju dewasa, karena kamu belum dewasa sama sekali. Mama harap Raga masih menikmati waktu saat menjadi anak-anak. Buatlah banyak kenangan, tersenyum dan tertawa, berbahagia selalu kapan pun." Suara Elodia kembali terdengar, bersamaan dengan foto ketika Raga baru saja lahir ditampilkan di layar. Melihat sang ibu menggendongnya yang masih sangat kecil, bersama Malven yang memeluk Elodia, air mata Raga mengalir semakin deras. Kebahagiaan yang tercetak jelas di wajah dan senyum orang tuanya mengingatkan Raga tentang ibunya yang selalu mengatakan jika kehadiran Raga adalah anugerah paling berharga yang pernah Elodia dan Malven mi
Kalau hanya Ali, Raga masih bisa membayangkannya, tapi Vall, Sean bahkan Arfa juga sama-sama memakai topi ulang tahun dan membawa kado, itu benar-benar pemandangan yang mengesankan. "Selamat ulang tahun, Tuan Muda Raga, semoga apa yang Anda harap dan cita-citakan terkabul. Semua doa baik untuk Tuan Muda hari ini." Sean maju lebih dulu, memberikan kadonya pada Raga dan tersenyum lembut, untuk pertama kali menunjukkan perasaan sejak bergabung dengan Phantom."Saya tidak punya apa-apa untuk diberikan, tapi semoga hal kecil ini bisa menjadi kado yang akan Tuan Muda ingat sebagai sesuatu yang indah. Selamat ulang tahun, Tuan Muda Raga, saya akan selalu mendoakan kebahagiaan Anda. Terima kasih karena sudah mengizinkan saya melayani Tuan Muda." Ali mengusap lembut kepala Raga, memberikan kado yang ia siapkan sejak beberapa bulan lalu.Raga sedikit sedih saat menerima kado dari Ali, karena tahu jika sekarang adalah saat terakhir Ali sebagai sopir sekaligus pengawal pribadinya sebelum Ali res
Saat mendengar cerita Raga pagi tadi, Claudia jadi menyadari ketakutan-ketakutan yang anak itu hadapi, tidak jauh berbeda dengan Claudia dulu. Hal yang sangat wajar jika seorang anak merasa takut juga khawatir jika ayahnya membawa wanita lain dan membuat posisi ibunya bergeser.Seperti Claudia yang dulu takut memiliki ibu tiri dan ayahnya akan melupakan bundanya begitu saja, Raga juga memiliki kekhawatiran yang sama, jadi Claudia sangat memahaminya. Bagi Claudia saat ini, yang paling penting adalah kebahagiaan Raga. Cludia tidak mau perjanjian mau pun perasaannya pada Malven membuat anak yang sangat disayanginya dipenuhi pikiran takut dan khawatir."Jadi, sekarang saatnya membuka kado yang Raga terima, kan?" Claudia berkedip antusias, menatap pada kado-kado yang baru saja pelayan letakkan di atas meja. Setelah meniup lilin dan membagikan kue untuk semua orang, dilanjut dengan makan malam bersama, akhirnya acara santai karena khusus hari ini Malven mengizinkan Raga untuk tidur pukul s
Claudia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Memang sih ia tahu jika Arfa, Sean dan Vall adalah anggota Phantom yang sejujurnya tidak Claudia ketahui apa saja pekerjaannya selain menjadi pengawal pribadi Malven dan Raga, tapi Claudia tidak pernah membayangkan akan melihat mereka membelikan senjata berbahaya untuk Raga yang masih berusia lima tahun!"Kalian kan bisa membelikan sesuatu yang lebih normal seperti sepatu, jam tangan, baju atau buku!" Claudia berdecak, tidak terima anak kesayangannya menerima sesuatu yang berbahaya saat harusnya yang dilihat Raga hanyalah hal-hal indah saja. Pasti akan datang masanya Raga harus belajar melindungi dirinya sendiri, tapi kan tidak sekarang!"Saya belum pernah memberi hadiah pada seseorang, jadi saya pikir sesuatu yang bisa berguna untuk melindungi diri itu adalah hadiah terbaik." Sean berkata pelan, sedikit membela diri karena ia adalah orang pertama yang menerima tatapan tajam Claudia. "Sa-saya juga berpikir hal yang sama.""Saya juga--""
Pertanyaan Raga membuat Claudia tidak bisa langsung bereaksi. Raga memang pernah mengatakan sesuatu yang mirip beberapa malam lalu, tapi saat itu ia mengatakannya sebelum terlelap, jadi Claudia hanya menganggap itu sebagai kata-kata yang diucap asal menjelang tidur. Tapi, bagaimana dengan sekarang? Claudia berdeham pelan, mengecup tangan kecil Raga di genggamannya sebelum menatap lembut anak yang juga sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya."Kalau kamu jadi anak Kakak, kamu tidak bisa lagi jadi putranya Elodia dan Malven, yakin? Kakak sudah pernah sedikit menjelaskan tentang adopsi, kan? Kalau pun misal Kakak mendapat izin untuk mengadopsi Raga sebagai anak, Kakak tidak akan pernah mengizinkan Raga untuk kembali ke kediaman Pranaja lagi, dan jika Kakak menikah nanti, maka kamu akan punya ayah baru. Sungguh mau?" Claudia bertanya dengan raut serius.Sejujurnya Claudia hampir berdebar dan berharap mendengar pertanyaan Raga, tapi menjadi ibu seseorang tidak harus menikah dulu de
Malven menahan lengan Claudia yang hampir pergi. Sejak datang bersama Raga tadi, Claudia memang bertingkah aneh. Tidak hanya menolak saat Malven ingin memegang tangannya tadi, Claudia juga menghindari tatapan Malven. Mereka bahkan belum sempat bicara berdua sejak pagi ini, jadi Malven tidak mengerti dengan sikap Claudia sekarang. "Apa aku melakukan kesalahan? Daripada menghindar tanpa mengatakan apa-apa, bukankah jauh lebih baik kalau kamu bicara? Claudi, aku tidak akan mengerti kalau kamu tidak mengatakan letak salahku." Malven berucap lembut, menarik Claudia lebih dekat dan mengernyit saat merasakan penolakan jelas wanita itu."Maaf, Pak, kita di depan umum. Ada banyak mata di sini, dan yang lebih penting ... Raga sedang melihat." Claudia berbisik sembari melepaskan tangan Malven dari lengannya. "Kalau begitu saya permisi," ucap Claudia lagi, kali ini bergerak lebih cepat dan meninggalkan Malven bersama Raga.Malven yang ditinggalkan tanpa mendengar jawaban apa pun hanya bisa meng
Panggilan itu membuat tubuh Claudia menegang. Ia memang sudah menyiapkan diri jika suatu saat bertemu lagi dengan masa lalunya seperti ketika bertemu Selena waktu itu, tapi Claudia tidak pernah membayangkan akan menemuinya sekarang."Ternyata benar kamu, Cla? Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu di sini, di tempat di mana seharusnya kita bulan madu?" Seseorang yang tiba-tiba memanggil itu adalah Deon, pria yang telah menghancurkan kepercayaan Claudia hingga tak berbentuk. Claudia merasakan dadanya berdenyut nyeri pada kenyataan yang kembali Deon ingatkan, karena hotel tempatnya menginap sekarang memang tempat yang ia dan Deon pilih untuk bulan madu mereka, salah satu hotel terbaik di pusat Tokyo.Kenapa Deon bisa ada di sini dari semua tempat di dunia?"Nona Claudia, apa Anda mengenal orang ini?" Sean dengan cepat menghadang di depan Claudia, melindungi wanita yang tampak tertegun dengan wajah pucat. Sean tidak tahu apa hubungan Claudia dengan pria itu, tapi melihat gelagat tida
Suara yang datang menyela membuat Claudia hampir berlari dan memeluk sosok yang baru saja datang dari arah lift, beruntung kendali atas tubuhnya masih berfungsi dengan baik. Deon menoleh ke arah Malven, terkejut melihat keberadaan pemimpin keluarga Pranaja itu ada di sini. Tentu saja Deon tahu tentang Malven, karena wajah pria itu rajin menjadi cover majalah bisnis dan prestasinya selalu menjadi tolak ukur bagi mereka yang ingin menjadi seorang pebisnis. Meski terkesan melanjutkan tahta, nyatanya banyak hal yang Pranaja capai hanya ketika Malven memegang jabatan sebagai pemimpin."Jadi, ada keributan apa di sini? Aku mendapat telepon dari pengawal putraku," ucap Malven lagi, sengaja menatap Claudia dengan pandangan menusuk."Maaf Tuan Malven, saya tidak bermaksud membuat keributan." Claudia langsung membungkuk sopan, sambil berharap Malven tidak mengatakan apa pun tentang posisi Claudia sebagai pengasuh Raga.Deon yang melihat Claudia langsung menurunkan nada suara dan bersikap sopan
Selama menunggu Malven dan Regan bicara, Claudia menunggu di ruang keluarga. Sudah dua jam sejak Malven memasuki ruang kerja Regan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda akan keluar. Claudia menghela napas panjang, sedikit khawatir.Kalau saja ayahnya tidak melarang, Claudia pasti sudah menemani Malven saat ini. Tapi, Regan mengatakan jika itu adalah pembicaraan antar laki-laki, jadi Claudia dilarang ikut campur.“Berapa lama lagi ayah akan mengintrogasinya?” Claudia menarik napas pelan, matanya melirik pada jam yang tertera di ponsel. Awalnya Claudia tidak sendirian karena Raga menemaninya bermain, tapi anak itu akhirnya tertidur setelah hampir satu jam, jadi Claudia memindahkannya ke kamar dan kembali ke ruang keluarga untuk menunggu Malven.“Tapi, kenapa lama sekali?” Claudia kembali mengeluh sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lampu gantung yang malam ini terlihat lebih jauh.Claudia sebenarnya merasa lelah dan perutnya sedikit kram. Mengingat perjalanan panjang yang
“Raga, Kakak pulang!” Claudia berseru setelah memasuki ruang keluarga, membuat Raga dan Regan yang sedang menyusun puzzle besar, langsung menoleh bersamaan. “Iya, selama datang kembali, Kak.” Raga membalas sapaan Claudia sebelum kembali fokus pada mainannya.Claudia cemberut pada rendahnya antusias Raga. Apa anak itu tidak merindukannya?“Raga … Kakak bawa sesuatu lho,” ucap Claudia sembari mendekat dan menggoyangkan kresek putih di tangannya. Claudia sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa es krim dan camilan kesukaan Raga. Biasanya Raga akan sangat senang karena ia jarang diizinkan makan makanan instan seperti itu. Tapi … kenapa tidak ada reaksi berarti?Raga hanya menoleh sebentar dan mengatakan ‘oh ya’ sebelum kembali berusaha menyusun puzzle, sama sekali tidak menyadari wajah keruh Claudia. Wanita itu meletakkan barang bawaannya sebelum mendekati Raga dan langsung menusuk pipi anak itu menggunakan jari telunjuknya.“Apa ini … Raga mengabaikan Kakak?” Claudia mengelua
“Biar aku yang menghubungi Devan, kalian tinggal yakinkan anak nakal itu saja.” Adhamar berkata saat mengantarkan Claudia dan Malven ke halaman, keduanya akan meninggalkan kediaman Adhamar hari ini.“Tapi, kalau ayah masih tidak mau memberi restu bagaimana?” Claudia bertanya pelan, agak cemas.“Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas? Tentu saja kalian tidak akan bisa menikah. Meski aku masih tidak menyukai anak nakal itu, bukan berarti aku tidak mendengarkan pendapatnya. Berusahalah lebih giat, tapi aku yakin dia akan segera merestui. Dia bukan orang yang keras kepala.”Claudia menghela napas panjang. Anak nakal yang disebut kakeknya adalah Regan, meski Claudia tidak mengerti kenapa Adhamar selalu menyebut menantunya seperti itu.“Kalau begitu kami permisi dulu, Tuan Adhamar.” Malven mengangguk hormat, membukakan pintu mobil dan membiarkan Claudia masuk lebih dulu.Setelah memeluk kakeknya, Claudia langsung memasuki mobil dan segera disusul oleh Malven. Hari ini mereka akan kembali ha
Setelah memberitahu pelayan tentang tujuan mereka, Claudia dan Malven menelusuri jalan setapak dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Seperti yang Claudia katakan, hutan ini sangat rimbun dan terlihat seperti hutan sungguhan yang tidak terbatas luasnya.Meski begitu, Malven bisa melihat beberapa ranting dan daun bergoyang secara tidak wajar. “Apa di hutan ini ada ‘penunggu’ juga?” tanyanya sembari menatap lembut Claudia.Claudia yang tidak pernah melepas genggamannya dari Malven, mendongak dan tersenyum lebar. Sekarang ia mengerti apa maksud dari kata ‘penunggu hutan’ yang pernah Malven dan Arfa bicarakan. Orang-orang yang dilatih dan bekerja di bawah Adhamar, bertugas untuk menjaga keamanan tempat ini dengan memperhatikan siapa pun tamu yang datang.Tapi, meski Claudia bukan tamu asing, sejak kecil ia memang sudah dijaga diam-diam. Ada kalanya Claudia tersesat saat mengeksplor hutan dan salah satu penjaganya akan berpura-pura tidak sengaja lewat lalu membawa Claudia kembali ke
Claudia memilih menunggu di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang kerja kakeknya, sedikit gugup dengan pembicaraan yang akan dilakukan Adhamar dan Malven. Bagaimana kalau kakeknya bersikeras tidak akan merestui seperti saat bersama Deon dulu?“Ah, harusnya aku tidak menurut begitu saja dan meninggalkan mereka.” Claudia bergumam sembari menggoyangkan kaki, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Minum tehnya dulu, Nona. Apa perlu saya bawakan camilan lain? Atau Nona ingin makan?”Pertanyaan pelayan yang menghampiri sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kukis, membuat Claudia menghela napas pendek. Benar, tidak ada yang akan berubah hanya karena ia bergumam sendirian di sini, jadi lebih baik mengisi perutnya dengan sesuatu yang hangat.“Terima kasih, tapi bisakah ganti tehnya dengan kopi? Aku ingin kopi hitam tanpa gula,” ucap Claudia saat menyadari bahwa perutnya mual mencium harum yang menguar dari teh. “Lalu, aku sedang tidak ingin kukis. Bawakan saja sesuatu
Sindiran tajam dan dengusan Adhamar membuat suasana ruangan itu hening. Tidak ada yang bisa membantah, baik Claudia maupun Malven tahu pasti apa yang Adhamar maksud.“Memang benar kalau saya jatuh cinta padanya, tapi saya tidak pernah mengatakan itu, dan dia pun sama. Kami saling mencintai, tapi tidak sempat menyatakan perasaan masing-masing. Saya sibuk dengan beberapa urusan, lalu Zheva yang kebetulan punya pekerjaan di sini dan mengkhawatirkan kondisi saya, datang dan membuat hubungan kami berakhir dengan kesalahpahaman.”Malven menghela napas pelan. “Dia pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Saya membuatnya menangis patah hati, karena kekurangan saya dalam berkomunikasi membuatnya berpikir jika Zheva adalah wanita yang akan dijodohkan dengan saya. Satu bulan lalu, saya kehilangan arah karena wanita itu menghilang tiba-tiba.”Claudia menatap penuh perhatian pada Malven, berharap waktu yang akan mereka habiskan ke depannya akan menghapus sedikit demi sedikit rasa sakit karena k
Claudia menarik napas panjang saat pria berusia tujuh puluhan itu mengangkat pandangan dari buku di tangan. Adhamar tentu saja mengernyit melihat kedatangan cucunya yang tiba-tiba, apalagi setelah melihat tangan Claudia yang melingkari lengan Malven.Adhamar meletakkan bukunya di meja dan berdiri, menghampiri dua orang yang masih mematung tanpa mengatakan apa-apa.“Ayo bicara di dalam.” Claudia dan Malven segera menunduk sopan saat Adhamar berjalan lebih dulu sebelum mengekor di belakang. Tidak ada yang bicara selama perjalanan melewati beberapa koridor, ruang keluarga dan anak tangga menuju ruang kerja Adhamar. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk membicarakan hal penting hanya di ruang kerja Adhamar, tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan menguping. Setelah memasuki ruang kerja dan pintu tertutup, Claudia segera melepas lengan Malven dan berjalan menuju sofa yang telah diduduki kakeknya. Ini adalah hal yang harus Claudia lakukan sekarang, duduk di sisi kakeknya dan mem
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya Claudia dan Malven tiba di kediaman Adhamar. Gerbang besar terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dengan arsitektur klasik yang mencerminkan wibawa pemiliknya.Bangunan besar dengan arsitektur klasik itu selalu berdiri anggun, dikelilingi tamanluas yang tertata rapi. Meski Claudia tidak asing dengan tempat ini, tapi perasaanya saat ini lebih tegang dan mendebarkan.Claudia melirik ke samping dan tersenyum melihat Malven yang duduk diam dengan wajah sedikit kaku, tentu saja pria itu juga sedang sangat tegang sekarang. Claudia bisa melihat jari-jari Malven saling tertaut erat di pangkuan, napasnya pun terdengar lebih berat dari biasanya. Claudia masihtersenyum saat meraih tangan Malven dan menggenggamnya erat.“Jangan terlalu tegang, Malven,” bisik Claudia lembut, mencoba menenangkan. “Kakekku tidak akan menelanmu, kok.”Malven menoleh ke arah Claudia dan mengernyit mellihat senyum jahil wanita itu. Tentu saja Adhamar tidak
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari