Bagaskoro yang mendengar sekretarisnya itu sudah berani berbalik memarahinya seketika langsung memasang tatapan tajam. Dia merasa sangat pusing karena kini tak ada satupun orang yang mau membantunya."Sialan … sekarang apa yang harus kulakukan? Orang-orang brengsek itu tak ada yang mau membantuku sama sekali," desisnya.Semenjak kejadian mengenai dirinya yang berkomplotan dengan putrinya sendiri mencuat ke publik, orang-orang yang dulunya selalu mengekorinya setiap saat kini mulai lenyap satu persatu dan menutup mata serta telinga seolah-olah tak ingin tahu apapun mengenai dirinya.Hanya dengan mengingat hal itu saja telah berhasil membuat jantungnya terasa berdetak semakin kencang dan hatinya pun terbakar oleh amarah."Bagaimana ini, Tuan?" Sang sekretaris kembali bertanya dengan memasang raut wajah khawatir karena meski dia sudah berada di ruangan ini sekalipun, suara riuh dari luar tetap saja terdengar. "Kita tidak mungkin diam saja dan menunggu mereka semua bertindak lebih jauh lag
"Ayah tak akan pernah bisa mendapatkan segalanya jika terus saja berpikir untuk melakukan hal buruk. Ayah hanya akan menemui kehancuran dan semua yang diperjuangkan selama ini dengan cara kotor pasti akan tetap hancur!"Tak ada rasa bersalah sedikitpun yang muncul di dalam hati Monica karena dia tahu dengan jelas bahwa ayahnya tak mungkin sadar dengan mudah.Bagaskoro yang mendengar itu seketika langsung merasakan amarah di dalam hatinya semakin besar. Dia menggebrak meja dan segera memperingatkan, "Jangan bersikap seolah-olah kamu adalah manusia yang suci, Monica! Kamu nggak lebih dari seorang pendosa dan bahkan–""Aku memang pendosa dan kesalahanku sangatlah besar," potong Monica sambil menghela nafas berat ketika mengingat semua perbuatannya selama ini yang memang sangatlah jahat karena dia rela melakukan apapun demi memenuhi ambisi gilanya. "Tapi Ayah pernah sadar atau enggak? Aku selama ini selalu mencoba untuk tidak berkata apapun karena masih menghargai Ayah. Aku rela melakukan
"Daniel, Kapan rencana kalian berdua akan menikah?" Martha tanpa basa-basi langsung menodongkan pertanyaan pada putranya itu. Daniel yang sedang menyesap kopinya seketika langsung tersedak. Untungnya Nadia buru-buru memberikan tisu pada Daniel."Mama ini, biarkan aja dulu. Daniel 'kan lagi minum. Jadi kaget, 'kan!" Hendrawan yang melihat itu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.Martha yang mendengarnya justru memutar bola mata dengan malas dan kembali menatap cucunya sambil menggerutu, "Lah Mama itu cuma nanya aja, Pa. Lagi pula pernikahan ini nggak mungkin kita tunda terus-menerus. Kita juga harus memikirkan soal Nadia, perutnya semakin lama membesar. Mama nggak mau dia jadi gunjingan orang."Martha tahu dengan jelas beratnya menjadi topik utama sebuah gosip dan tentu saja itu merupakan hal buruk karena Nadia saat ini sedang hamil. Perasaan seorang ibu hamil harus dijaga dan tentu saja tak boleh digoyahkan oleh sesuatu yang merepotkan.Orang-orang tentu saja akan merasa segan jik
"Pa, kenapa kita malah ke rumah sakit?" Sean mengedarkan pandangannya dan kini beralih menatap ayahnya itu sambil bertanya karena setelah pulang dari mall, dia berpikir akan langsung kembali ke rumah.Tapi Daniel justru membawanya pergi ke rumah sakit.Daniel yang baru saja turun dari mobil itu hanya tersenyum tipis dan mulai menjelaskan, "Sean 'kan belum pernah ketemu sama ibunya Kak Nadia. Beliau sebentar lagi akan jadi Nenek kamu juga, lho.""Oh, ya?!" Mata bocah lelaki itu seketika langsung berbinar senang. "Jadi Sean bakalan punya nenek dua dong, pa?!"Daniel yang mendengar itu hanya tertawa perlahan dan kini dia justru berbalik menatap Nadia. "Maaf aku nggak memberitahukannya padamu secara langsung tadi," ujarnya."Ah, nggak apa-apa, kok." Nadia buru-buru menggelengkan kepalanya karena dia justru merasa senang. Daniel tetap saja perhatian dan tak pernah melupakan Ratna. Itu saja sudah lebih dari cukup baginya. "Ibu juga pasti bakalan ngerasa seneng karena dijenguk," tambahnya.*
"Bu, Nadia pulang dulu, ya. Ibu harus tetap sehat dan jaga diri baik-baik di sini." Nadia tersenyum tipis sambil menatap intens Ratna dan mengecup punggung tangannya perlahan.Ratna mengangguk dan mengelus kepala Nadia sambil berkata, "Kamu tenang aja, Nadia. Ibu pasti akan segera pulih sepenuhnya," ujarnya.Ratna juga sangat ingin hadir di pernikahan putrinya itu. Dia tak mau sekedar menjadi seseorang yang melihat dari belakang saja."Nenek, Sean juga mau pulang. Kapan-kapan, Sean main kesini lagi buat jengukin Nenek." Bocah lelaki itu berjalan mendekat dan langsung bersalaman dengan Ratna.Ratna tersenyum tipis dan berbincang sejenak dengannya. Setelahnya, mereka bertiga berlalu keluar dari ruangan rawat inap Ratna.Daniel yang keluar terakhir itu segera menutup pintu dan kini beralih menatap sosok gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. "Kamu nggak perlu merasa terlalu khawatir, Nadia. Perawat yang aku pekerjakan juga pasti akan menjaga Ibu.""Iya, aku tahu itu." Nadia menga
"Kamu emang anak nggak tahu diri, Monica. Ternyata kamu nggak lebih dari seorang pengkhianat dan memang sepantasnya kehilangan segalanya. Kamu yang sudah memulai perang dan jangan menyesal ketika sesuatu yang sudah kamu perjuangkan pada akhirnya akan hilang."Degh!Jantung Monica terasa berdetak semakin kencang ketika mendengar perkataan Bagaskoro. Dia tahu kalau ini bukanlah sebuah kata-kata peringatan belaka melainkan sebuah ancaman."Ayah pasti sedang merencanakan sesuatu, bukan? Jangan berpikir untuk–""Percuma saja jika kamu mencoba untuk balik mengancam, Monica." Bagaskoro segera memotong ucapan putrinya itu dan kembali melayangkan tatapan tajam sambil tersenyum sinis karena dia bisa merasakan ketakutan mulai menghiasi wajah Monica. "Kamu yang dari awal mencoba untuk berkhianat padahal sudah diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan nyaman. Sekarang kamu juga harus merasakan akibatnya karena sudah berani bermain-main," tambahnya.Monica mencoba untuk menelan salivanya dan tetap
Daniel memutuskan sambungan telepon dan kini menatap ponselnya itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Dia tak pernah menyangka kalau akan mendengar kalimat yang begitu menyentuh hati dari mulut Monica. Padahal selama ini wanita itu selalu mengatakan hal-hal yang buruk dan bahkan terus mengalahkannya karena kehidupannya yang jadi berantakan.Tanpa basa-basi sedikitpun dia langsung mencari nomor kontak sang asisten pribadi dan meneleponnya. Tak perlu waktu lama panggilannya itu langsung dianggap oleh Dion dan suaranya mulai terdengar dari ujung telepon."Halo, Bos?" Dion yang ada di ujung telepon sana terlihat mengerutkan keningnya karena tumben sekali atasannya itu menelepon dan sudah bisa dipastikan kalau ada sesuatu yang terjadi."Dion, berikan peringatan pada Om Bagaskoro." Tanpa basa-basi sedikitpun Daniel langsung mengutarakan isi hatinya itu karena dia tak bisa menahan diri lebih lama lagi sebab mantan ayah mertuanya terus saja mencoba untuk mengusiknya dan ini bahkan sa
"Aku hanya sedikit mengetahui beberapa hal mengenai keluargamu. Kalau kamu memang masih belum siap untuk mengatakannya maka tunda saja karena aku pun tidak akan memaksa." Daniel menatap gadis itu dengan lekat karena dia tak mau membebani Nadia.Sebenarnya bisa saja dia mencoba untuk mencari tahunya sendiri menggunakan koneksinya. Tapi Daniel sengaja tak melakukan itu karena dia hanya ingin tahu mengenai ayah serta ibu Nadia, selebihnya dia menyerahkan privasi sepenuhnya pada calon istrinya itu.Nadia tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa, aku sudah memutuskan untuk mengatakannya padamu." Dia menghela nafas sejenak dan akhirnya menambahkan, "Ibu bilang sebenarnya dia berasal dari keluarga yang bisa dibilang cukup terpandang. Tapi setelah menikah dengan Ayah karena suatu kondisi yang sejujurnya hampir mirip denganku sekarang, Ibu jadi diusir oleh keluarganya dan sampai sekarang pun tak pernah bertemu lagi."Kening Daniel seketika langsung berkerut hingga kedua al
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h