Alya Namira Atmadja (19 tahun), seoang gadis cantik yang mempunyai sifat periang dan satu-satunya pewaris kekayaan keluarga Atmadja. Namun, kehidupannya berubah drastis setelah kematian kedua orang tuanya. Demi membalas rasa sakit hati atas pengkhianatan yang dilakukan oleh paman dan bibi serta sahabat baiknya, Alya terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Yudha Kusuma (39 tahun), pria yang baru dikenalnya. Tak pernah terpikirkan oleh Alya, bahwa ia akan menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya, bahkan pria itu lebih pantas menjadi ayahnya. Sebelum menikah, mereka berdua sudah membuat kesepakatan, di antara keduanya tidak boleh ada yang memiliki perasaan satu sama lain. Namun, siapa sangka, seiring berjalannya waktu, Alya tak menyadari jika ia sudah jatuh hati pada suaminya. Sikap lembut dan penyayang sang suami, membuatnya lupa akan perbedaan di antara mereka. Bukan hanya Alya, diam-diam Yudha juga sudah mulai mencintai istrinya. Pria itu juga berencana ingin membatalkan perjanjian antara dirinya dengan Alya. Apakah yang akan terjadi pada hubungan beda usia itu ke depannya? Akankah mereka akan bersatu dalam ikatan pernikahan yang sesungguhnya? Atau akan berakhir sesuai dengan perjanjian yang telah mereka berdua sepekati? Yuk, ikuti kisah mereka dan temukan jawabannya di Istri Kecil Tuan Presdir.
View More“Alya ….” Suara teriakan yang sangat keras dari luar kamarnya, seketika membuyarkan lamunan seorang gadis cantik yang sedang duduk di atas tempat tidurnya.
Gadis itu pun beringsut turun dari ranjang king size yang ia tempati, kemudian berjalan dengan santai menuju ke arah pintu kamar.
“Om Pandu, Tante Ratih.” Alya memutar bola matanya setelah melihat paman dan bibinya.
“Heh, anak manja! Ngapain aja kamu di kamar? Dari tadi ditungguin,” ucap seorang perempuan paruh baya dengan nada ketus, ia juga menatap Alya dengan sinis.
“Nungguin aku? Mau ngapain, Tan? Ada keperluan apa memangnya? Sehingga Tante dan Om harus datang ke kamar aku seperti ini,” ujar Alya sambil melipat kedua tangannya di dada.
Pandu berdecak kesal mendengar nada bicara Alya saat berbicara dengan istrinya. “Alya, kamu itu kalau bicara yang sopan, ya. Dia ini Tante kamu,” ujarnya. Laki-laki itu adalah adik kandung dari almarhumah ibunya Alya.
“Aku akan bicara sopan sama seseorang yang bisa menghargai aku, Om. Sementara Tante Ratih, dia dari dulu tidak pernah suka sama aku,” balas Alya sambil menatap sang paman.
Melihat sikap Alya yang terkesan tidak sopan saat berbicara dengan dirinya, Pandu menjadi emosi dan merasa sangat marah terhadap keponakannya itu.
“Alya!” pekik Pandu sambil mengangkat satu tangannya ke udara.
PLAK!
Satu tamparan keras berhasil mendarat dengan sempurna di wajah Alya. Sehingga membuat tubuh gadis itu terhuyung ke belakang, punggungnya pun sampai membentur pintu kamar.
“Mampus kau!” gumam Ratih sambil tersenyum, ia merasa sangat puas melihat apa yang dilakukan oleh suaminya terhadap sang keponakan. Karena itulah yang ia inginkan.
“Om Pandu,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan keras yang baru saja ia terima.
“Kamu sudah sangat keterlaluan, Alya. Kesabaran Om sudah habis menghadapi sikap kamu, sekarang juga kamu ikut Om!” Pandu menarik pergelangan tangan Alya dengan kasar, kemudian membawanya keluar dari kamar tersebut.
“Lepasin, Om, tangan Alya sakit. Alya bisa jalan sendiri,” rintih Alya sambil berusaha melepas tangannya yang ditarik oleh Pandu.
“Masuk!” perintah Pandu sambil mendorong tubuh keponakannya ke dalam salah satu ruangan yang ada di rumah besar itu.
Kali ini, Alya hanya bisa menuruti perintah sang paman tanpa memberikan perlawanan seperti yang biasa dia lakukan. Karena jika dia terus membantah, maka itu akan membuat hidupnya semakin menderita.
Alya masih ingat dengan jelas apa yang sudah dilakukan oleh pasangan suami istri itu terhadap dirinya beberapa waktu yang lalu.
Pandu dan Ratih bisa melakukan segala cara demi mencapai tujuan mereka, termasuk mengancam akan menghabisi keponakannya sendiri.
“Om, Tante, sebenarnya apa lagi yang kalian inginkan dari aku? Bukannya kalian berdua sudah mendapatkan semuanya? Rumah ini dan seluruh harta keluargaku sudah aku berikan sama Om dan Tante, apa itu belum cukup?” tanya Alya seraya menatap sepasang suami istri yang berdiri di hadapannya.
PLAK!
Stempel cap lima jari kembali didapatkan oleh Alya, bahkan bekas jari sang paman terlihat begitu kentara di wajahnya yang putih dan mulus.
“Lancang sekali kamu, Alya! Sekarang kamu sudah berani berbicara seperti itu sama Om!” bentak Pandu dengan emosi yang meluap-luap.
Alya langsung terdiam sambil memegang pipinya yang terasa perih dan panas, tamparan seperti itu bukanlah yang pertama kalinya didapatkan oleh gadis itu.
Rasa sakit yang bahkan jauh lebih parah dari itu pun sudah biasa ia terima. Namun, gadis berusia 19 tahun itu selalu berusaha untuk terlihat kuat dan tegar di hadapan paman dan bibinya.
“Sudah, Pa. Sekarang lebih baik kita kasih tahu aja apa yang ingin kita sampaikan sama dia,” ujar Ratih sambil mengelus lengan suaminya.
Pandu pun mengangguk setuju sembari menghela napas panjang. “Oh, ya, Alya. Besok malam kamu harus temui seseorang, Om sudah reservasi tempatnya. Kamu akan pergi ke sana diantar sama sopir,” kata Pandu.
“Menemui seseorang? Siapa, Om?” tanya Alya dengan kedua alis yang nyaris bertaut. Karena ia tidak mau kejadian seminggu yang lalu terulang kembali.
“Kamu akan mengetahuinya setelah kamu bertemu dengan dia,” jawab Pandu dengan nada ketus. “Ayo, Ma!” serunya sambil meraih pergelangan tangan istrinya, kemudian mereka berdua segera keluar dari ruangan yang dulunya menjadi ruang kerja almarhum Tuan Frans Atmadja.
Kepala Alya saat ini dipenuhi tanda tanya tentang siapa orang yang akan ia temui besok malam. Namun, satu hal yang pasti dan sangat ia yakini bahwa paman dan bibinya mempunyai rencana jahat. Karena itu sudah biasa mereka lakukan terhadap dirinya.
Tak ingin dibuat pusing akan permintaan sang paman dan siapa orang yang akan ditemuinya besok malam, Alya akhirnya memilih untuk pergi dari ruang kerja sang ayah, lalu bergegas kembali ke kamarnya.
***
Keesokan harinya. Waktu sudah menunjuk di angka tujuh malam, Alya baru saja sampai di sebuah cafe yang akan menjadi tempat ia bertemu dengan seseorang yang dikatakan oleh pamannya.
Meskipun saat ini ia merasa gelisah, khawatir dan takut akan sosok seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, tetapi gadis itu selalu berhasil menyembunyikan perasaannya dari semua orang.
“Selamat malam! Maaf, saya terlambat. Kamu yang bernama Alya, ‘kan?” tanya seseorang sambil menarik satu kursi di hadapan Alya.
Gadis cantik itu pun mendongak saat mendengar namanya disebut, tetapi ia juga bingung melihat orang yang ada di hadapannya saat ini.
“Iya, saya Alya. Bapak siapa, ya?” Alya bertanya balik sambil menatap orang tersebut.
“Saya Yudha, saya adalah calon suamimu. Pak Pandu pasti sudah memberitahu kamu soal itu,” jawab pria itu sambil tersenyum menatap Alya.
“Apa …?” Mata Alya membulat sempurna mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki yang bernama Yudha. “Calon suami? Jangan gila, ya, Pak!” sentaknya.
“Kenapa kamu kaget begitu? Seharusnya kamu bersyukur karena saya masih berbaik hati dan tidak menjebloskan ayah kamu ke penjara,” kata pria itu lagi.
“Ayah saya? Siapa yang Anda maksud? Papa saya sudah lama meninggal,” ujar Alya sambil menyeka kasar air matanya. Karena pertahanan gadis itu akan runtuh saat mengingat ayah atau ibunya yang telah tiada.
Pria bernama Yudha itu pun langsung terdiam setelah mendengar pernyataan Alya. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk menikahi gadis cantik yang sudah dikirimkan oleh Pandu.
“Saya sama sekali tidak tahu soal itu, ya. Pak Pandu sudah menjanjikan putrinya untuk saya nikahi. Malam ini saya diminta untuk bertemu dengan putrinya yang bernama Alya,” sahut Yudha, pria itu berbicara sambil mengotak-atik ponsel di tangannya.
“Kalau begitu, Bapak salah orang. Saya bukan putrinya Pak Pandu,” balas Alya sembari bersiap untuk pergi. Namun, pergelangan tangannya langsung ditarik oleh seseorang.
“Kamu tidak bisa pergi dari sini semudah itu, Nona!” ucap pria bernama Yudha, nada suaranya terdengar begitu dingin.
“Saya mohon, Pak. Biarkan saya pergi, saya bukan putrinya Om Pandu. Saya keponakannya,” jelas Alya dengan suara lirih.
“Tapi, nama kamu beneran Alya, ‘kan? Itu artinya saya tidak salah orang,” pungkas Yudha sambil melepas pergelangan tangan Alya.
“Iya, nama saya memang Alya, tapi saya bukan putrinya Pak Pandu yang Bapak maksud. Om Pandu adalah adik almarhumah Mama saya,” jelas Alya lagi.
Ia sangat berharap bisa segera pergi dari tempat itu dan terbebas pria tua yang ada di hadapannya saat ini, karena hampir semua pengunjung cafe menatap ke arahnya.
“Baiklah, kamu boleh pergi sekarang. Saya akan selesaikan urusan saya sama Pak Pandu,” kata Yudha, mempersilahkan Alya untuk pergi meninggalkan dirinya.
“Hah? Bapak serius? Syukurlah … terima kasih, Pak.” Alya bernapas lega karena akhirnya ia bisa terbebas dari pria tua yang bernama Yudha.
Gadis itu segera keluar dari cafe dengan langkah tergesa-gesa. Namun, Alya tidak tahu jika orang yang baru saja ia temui itu bukanlah Yudha Kusuma yang sebenarnya.
Setelah memastikan Alya benar-benar pergi dari cafe tersebut, pria paruh baya itu pun langsung menghubungi seseorang.
“Halo, Tuan Muda. Saya sudah menjalankan sesuai dengan yang Tuan Muda perintahkan,” ujar sang pria paruh baya yang menyamar sebagai Yudha Kusuma.
Seseorang yang ada di ujung telepon itu pun tersenyum mendengar kabar baik yang baru saja ia terima. “Bagus! Terima kasih, Pak. Anda boleh pergi,” ucapnya seiring dengan sambungan telepon yang terputus.
Di tempat lain. Alya terus menggerutu dan memaki pamannya dalam hati, karena ia lagi-lagi dibohongi oleh anggota keluarganya sendiri.
“Om Pandu, Om benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya Om mau menjual aku sama pria tua bangka seperti itu! Arghh …,” erang Alya sambil menjambak rambutnya. “Kalian jahat! Jahat banget,” ucapnya sembari meraih ponsel dari dalam tasnya, lalu menghubungi seseorang.
Tak lama kemudian, taksi yang membawa Alya telah berhenti di depan sebuah hotel mewah yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Kedatangannya ke tempat itu untuk menemui sahabatnya yang tadi ia hubungi.
Alya berjalan melewati beberapa kamar menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh sang sahabat. Entah kenapa, hatinya tiba-tiba saja merasa cemas. Namun, Alya berusaha untuk tenang dan tetap berpikir positif.
Sesampainya di depan kamar nomor 203, Alya langsung membuka pintu ruangan itu dengan menggunakan kartu akses yang diberikan oleh petugas hotel.
“Hai, Mo ….” Alya langsung menghentikan kalimat yang akan ia ucapkan setelah melihat seseorang yang duduk di atas tempat tidur. “Ka-kamu siapa?” tanyanya dengan gugup.
Melihat kakak sepupunya kesakitan akibat ditampar oleh sang ibu, Desi bukannya merasa iba, gadis itu justru tersenyum puas.“Makanya kalau bicara sama orang tua itu yang sopan, Mbak,” kata Desi seraya menatap Alya dengan tatapan sinis. “Kalian akan membayar mahal atas apa yang kalian lakukan padaku,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Hahahaha ….” Ratih malah tertawa mendengar ucapan Alya. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak ingusan sepertimu, Alya Namira Atmadja? Apa, hah?” sentaknya sambil menjambak rambut Alya dengan kuat. “Akh, sakit. Lepasin, Tante!” pinta Alya sambil mencengkram pergelangan tangan Ratih, lalu mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga. “Mama …!” Desi berteriak melihat ibunya didorong oleh Alya. Saat ibu dan anak itu sedang lengah, Alya langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. “Des, telepon Papa! Cepat!” perintah Ratih pada putrinya. “Iya, Ma.” Dengan sigap Desi mengambil pon
“Tentu saja dari pemilik perusahaan itu sendiri,” jawab Yudha dengan santai. Alya yang penasaran langsung membaca apa yang tertulis pada selembar kertas yang ada di tangannya. Seketika itu pula matanya langsung membulat sempurna melihat tulisan tangan seseorang yang ada pada kertas itu. “I-ini,” ucap Alya dengan mata berkaca-kaca. Yudha mengangguk seraya tersenyum lembut. “Iya, kamu pasti sudah kenal dengan tulisan tangan itu.” Alya tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar terharu melihat tulisan tangan almarhum ayahnya. Rasa rindu terhadap sang ayah sedikit terobati setelah melihat hasil goresan tangannya. “Papa, apa yang sebenarnya Papa sembunyikan dari Al?” Alya bergumam sambil mendekap selembar kertas yang terdapat tulisan tangan almarhum ayahnya. Alya benar-benar tidak tahu seperti apa hubungan almarhum ayahnya dengan keluarga Kusuma. Ia bahkan baru mengetahui siapa Yudha sebenarnya setelah menikah dengan laki-laki itu. Sejak ayah dan ibunya masih hidup hingga mereka berdua
Merasa tidak tenang dengan kepergian Alya yang terburu-buru, Pak Didi pun bergegas keluar dari ruangannya untuk menyusul wanita itu. Semua karyawan Laluna Enterprise merasa penasaran apa yang terjadi antara direktur perusahaan dengan karyawan baru itu, tetapi mereka tidak punya keberanian hanya untuk sekedar mengajukan pertanyaan. Bahkan, termasuk Amanda selaku orang yang cukup berpengaruh di perusahaan itu. Ia sendiri hanya bisa diam saat melihat Alya keluar dari ruangan direktur dan bergegas pergi meninggalkan perusahaan tanpa berbicara apapun padanya. “Bu Amanda, apa yang terjadi? Kenapa anak baru itu pergi terburu-buru?” salah satu karyawan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya setelah memastikan direktur perusahaan sudah tidak bisa mendengarnya. “Saya juga tidak tahu,” jawab Amanda sembari berlalu meninggalkan salah satu rekan kerjanya. Karena ia memang tidak tahu menahu apa yang terjadi pada Alya dan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Sementara Alya sampai di parkir
“Sekarang Mama sudah tenang setelah mengetahui latar belakang istrimu, tapi Mama belum puas sebelum kamu mengumumkan ke publik tentang pernikahanmu. Kapan kamu akan mengadakan konferensi pers dan memperkenalkan istri kamu kepada semua orang?” tanya Nyonya Indriana. “Jangan, Ma. Yudha belum bisa melakukan itu, belum untuk sekarang.” Yudha langsung menolak permintaan ibunya. “Kenapa, Yudha? Bukankah sekarang semuanya sudah jelas? ” tanya Tuan Mahendra sambil membuka kacamatanya. “Iya, tapi masalahnya tidak sesimpel itu, Pa. Sebelum menikah, kami sudah membuat kesepakatan. Alya tidak ingin ada yang tahu kalau dia sudah menikah sebelum dia berhasil mengambil alih perusahaan keluarganya yang saat ini sudah dikuasai oleh Pak Pandu,” ujar Yudha. “Oh, iya. Pandu itu adik sepupunya Regina, ‘kan?” tanya Nyonya Indriana. “Iya, Ma. Dia juga yang merupakan dalang dibalik kecelakaan yang dialami Om Frans bersama Nyonya Regina,” ungkap Yudha. Sontak saja apa yang disampaikannya membuat Tuan Mah
Tentu saja Tuan Mahendra akan kaget ketika ia mendengar nama Frans Atmadja. Karena orang tersebut dulunya sangat berjasa bagi keluarga Kusuma, terutama bagi Yudha. “Iya, Pa. Alya adalah putri beliau. Papa tentu belum lupa apa peran Om Frans Atmadja dalam keluarga kita. Bukan hanya perusahaan keluarga Kusuma yang beliau selamatkan, tapi nyawa Yudha juga. Seandainya tidak ada Om Frans pada waktu itu, mungkin saat ini Yudha sudah tidak ada di sini bersama Papa,” tutur Yudha dengan sendu. “Jangan bicara seperti itu, Yudha. Papa tidak mau mengingat kejadian buruk itu lagi,” tandas Tuan Mahendra. Darahnya mendidih tatkala mengingat apa yang pernah dialami putranya beberapa tahun silam. “Om Frans mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yudha waktu itu, Pa. Tapi di saat dia meninggal, Yudha malah tidak bisa mengantar beliau ke peristirahatan terakhir.” Yudha meraup wajahnya dengan gusar, ia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri acara pemakaman almarhum Frans Atmadja. “Apa kam
“Akh!” Yudha menjerit tertahan saat sikut Alya tak sengaja menghantam benda pusakanya. Secepat kilat Alya bangkit dari pangkuan pria itu. “Om apa-apaan, sih?” gerutunya sambil menatap Yudha dengan raut wajah kesal. “Maaf,” ucap Yudha. Ia tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. “Sudahlah. Saya mau ke kamar,” ucap Alya, tapi langkahnya terhenti lagi saat Yudha kembali bersuara. “Tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” kata Yudha. Alya memutar bola matanya. “Apa lagi yang mau Om bicarakan?” tanyanya. Belum sempat Yudha menjawab pertanyaan Alya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Dilihatnya nama sang ayah yang sedang menghubunginya, maka dengan sigap pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja lalu menjawab panggilan dari ayahnya. “Iya, Pa.” Suara Yudha terdengar begitu lembut saat bicara dengan orang tuanya. “Yudha, Papa perlu bicara sama kamu. Papa tunggu di rumah malam ini,” kata Tuan Mahendra. “Harus malam ini, Pa? Apa nggak bisa lain waktu?” tanya Yudha sa
Tanpa menunggu si penelepon menyelesaikan kalimatnya, Pak Didi sudah lebih dulu mengakhiri percakapan mereka dan segera bergegas keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Yudha tampak gelisah setelah mendapat kabar dari Pak Didi, ia tidak tahu kejadian apa yang dimaksud oleh orang kepercayaan ayahnya itu. “Sebenarnya apa yang ingin Pak Didi bicarakan sama saya? Kenapa beliau tidak bisa menceritakannya lewat telepon?” gumam Yudha sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tak lama kemudian, tampak sebuah mobil yang sudah tidak asing di matanya memasuki halaman cafe. Yudha yang sudah tidak sabar segera menyusul orang tersebut ke parkiran. “Tuan Muda,” ucap Pak Didi saat melihat Yudha mendatanginya. “Kejadian apa yang Bapak maksud?” tanya Yudha langsung to the point. “Kita bicara di dalam mobil saja, Tuan Muda. Biar tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan,” kata Pak Didi mengusulkan. “Oke,” sahut Yudha seraya m
Dengan bekerja di perusahaan ini bukan hanya penghasilan yang akan Alya dapatkan, tetapi ia juga bisa belajar demi mewujudkan impian almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pebisnis, menggantikan posisi sang ayah di Atmadja Enterprise. Tekad Alya semakin kuat untuk mengambil alih perusahaan keluarganya dari tangan Pandu. Ia yakin dan percaya dengan bantuan Yudha Kusuma, semua keinginannya akan segera terwujud.“Iya. Kenapa? Apa kamu tidak senang? Saya menerima kamu karena saya pikir kamu mampu melakukan pekerjaan ini, walaupun kamu hanya lulusan SMA.” Wanita yang berprofesi sebagai Human Resources Development (HRD) menatap Alya dengan tatapan tak terbaca. “Saya senang banget, tapi saya tidak menyangka akan langsung diterima. Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan bekerja dengan baik,” ucap Alya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah wanita berusia 19 tahun itu. “Oke, hari ini kamu sudah bisa bekerja! Selamat bergabung di pe
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments