Alya berteriak saat dia tak sengaja menabrak sebuah mobil di depannya, untung saja kendaraan roda empat itu sedang berhenti.
Pemilik mobil itu pun tidak mengetahui apa yang terjadi, karena dia sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
Melihat Alya nyaris kecelakaan, sang manajer pun tak tinggal diam, segera berlari menyusul gadis itu. “Nona, Anda tidak apa-apa?” tanyanya. Pemuda itu terlihat sangat khawatir dengan keadaan Alya.
“Saya baik-baik saja,” sahut Alya sambil mengatur tarikan napasnya.
“Nona, saya bisa jelasin semuanya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Orang yang ada di dalam mobil itu adalah atasan saya, beliau adalah orang baik. Percaya sama saya,” ujar sang manajer dengan lembut.
Alya bergeming di tempatnya, ia tidak ingin percaya begitu saja. Karena sudah beberapa kali dia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya. Akan tetapi, mengingat waktu yang semakin larut dan dia tidak tahu harus pergi ke mana, maka dengan terpaksa Alya menuruti keinginan laki-laki yang menyebut dirinya sebagai manajer hotel.
“Baiklah, saya akan ikut. Terima kasih,” ucap Alya.
Sang manajer pun tersenyum dan menganggukkan kepala. “Mari!” serunya sembari menghalau tangannya ke depan, mempersilahkan Alya untuk berjalan lebih dulu.
Alya kembali masuk ke mobil dengan perasaan gugup, ia juga merasa heran atas sikap seseorang yang duduk di samping kursi kemudi. Orang tersebut hanya diam sejak pertama dia masuk ke mobil itu.
“Ya Tuhan, semoga kali ini orang yang aku temui benar-benar orang baik dan tulus.” Alya bergumam sambil menarik napas panjang.
Tanpa ia sadari, semua tingkahnya diperhatikan oleh seseorang melalui kaca spion dalam mobil. “Akhirnya, saya bisa membawa kamu. Saya sudah lama menantikan hari ini,” ucapnya sembari mengulas senyum.
“Pak, kita pulang sekarang?” tanya pria yang tadi mengaku dirinya sebagai manajer hotel.
“Hm,” jawab seseorang yang duduk di samping sang manajer.
Sementara Alya duduk di kursi tengah, gadis itu hanya diam dengan wajah yang tertunduk. Ia tidak tahu ke mana dua orang itu akan membawanya. Akan tetapi, saat ini perasaannya sedikit lebih baik. Kekhawatiran dan kecemasan yang tadi dirasakan, perlahan-lahan menghilang.
Mobil itu mulai bergerak dan melaju dengan kecepatan sedang. Para penghuni di dalamnya tampak saling diam satu sama lain, sehingga membuat suasana menjadi sunyi. Sampai akhirnya kendaraan roda empat itu berhenti di basement apartemen yang berada di kawasan premium Jakarta Pusat.
Sang sopir yang tadi menyebut dirinya sebagai manajer hotel sudah bersiap untuk keluar dari mobil, tetapi langkahnya dihentikan oleh seseorang yang tiba-tiba bersuara.
“Maaf,” ucap Alya.
“Iya, Nona. Ada apa?” tanya sang manajer, menoleh sekilas ke arah belakang.
“Saya mau dibawa ke mana ini?” tanya Alya.
“Tenang saja, kamu aman di sini.” Seseorang yang sedari tadi diam pun akhirnya ikut bersuara.
“Iya, Nona. Pak Bos ini orangnya sangat baik,” timpal sang manajer sambil tersenyum.
Alya tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala, berharap kali ini ia tidak masuk perangkap yang sama lagi.
Mereka bertiga pun keluar dari mobil, lalu berjalan menuju lift yang akan mengantar mereka menuju lantai tujuh gedung itu.
Alya terperangah saat pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam salah satu unit hunian vertikal yang diyakini harganya sangat mahal, hanya orang-orang berkelas dan memiliki banyak uang yang bisa mempunyai tempat tinggal seperti ini.
Karena tempat itu dikelilingi pusat pemerintahan, pusat bisnis, mall ternama, hingga hotel bintang lima berstandar internasional.
“Istirahatlah, ini sudah malam. Kamu pasti lelah,” ucap seseorang sembari menghempas tubuhnya di sofa panjang yang ada di ruang tamu.
Alya yang dari tadi melamun, seketika tersadar dan menoleh ke arah sumber suara. “I-iya,” jawabnya.
“Reno, antar dia ke kamar. Malam ini kamu tidur di sofa,” kata pria yang sedang duduk di sofa.
“Lah, kenapa saya yang tidur di sofa, Pak Bos?” protes sang manajer, lebih tepatnya manajer gadungan yang dibayar oleh seseorang untuk menyelamatkan Alya dari pria hidung belang.
“Oh, saya lupa kalau kamu lebih suka tidur di gudang daripada di sofa,” ujar orang itu sembari berdiri dari tempat duduknya.
“Eh, nggak, enggak, Pak Bos serius amat. Saya cuma bercanda,” sahut pemuda bernama Reno dengan cepat.
“Hm … maaf, apa saya boleh bertanya lagi?” tanya Alya sembaril meremas ujung jarinya menahan rasa gugup. Karena saat ini dia sedang bersama orang asing yang bahkan belum diketahui identitas mereka.
“Tentu saja boleh, Nona. Katakan saja,” sahut Reno sambil menoleh sekilas ke arah Alya.
“Sebenarnya, kalian ini siapa? Maksud saya, apa tujuan kalian menyelamatkan saya?” tanya Alya lagi. “Saya juga belum mengetahui nama Om,” ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah seseorang yang berdiri di depannya.
Reno mengulum bibirnya, menahan tawa saat mendengar Alya memanggil atasannya dengan sebutan ‘om’.
“Soal itu, besok saja kita bicarakan. Ini sudah malam, lebih baik kamu istirahat. Karena apartemen ini cuma memiliki 2 kamar, kamu tidur di kamar Reno. Dia bisa tidur di mana saja,” ujar pria misterius yang dipanggil pak bos oleh Reno.
“Iya, baiklah.” Meskipun tidak puas dengan jawaban yang didapatkan, tetapi Alya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, ia juga merasa sangat lelah dan sudah mengantuk.
Setelah Alya masuk ke kamar, Yudha langsung membuka penutup wajahnya, lalu mencengkram pundak Reno. “Ngapain kamu ketawa-ketawa seperti tadi? Sudah bosan bekerja sama saya?” tanyanya dengan nada penuh ancaman.
“Ih, Pak Bos suka mengada-ngada. Kapan saya ketawa? Mana berani saya menertawakan Pak Bos,” sahut Reno, nyengir kuda menatap sang majikan.
“Jangan kamu kira, saya tidak melihatnya,” ujar Yudha seraya mendelik menatap asisten pribadinya.
“Iya, Pak Bos, saya minta maaf. Saya merasa lucu saja saat mendengar gadis yang baru pertama kali kita temui, langsung memanggil Pak Bos dengan sebutan seperti itu. Tapi, cocok juga, sih. Om Yudha,” kata Reno sambil menutup kepalanya dengan bantal.
“Gaji kamu bulan ini saya potong 20 persen!” pungkas Yudha sembari berjalan menuju kamarnya.
“Jangan dong, Pak Bos. Besok pagi saya buatkan sarapan yang enak, deh. Spesial untuk Pak Bos yang baik hati,” kata Reno, berusaha merayu sang atasan.
“Ya, kita lihat saja besok.” Yudha masuk ke kamarnya.
Yudha Kusuma, pria misterius yang tak pernah memperlihatkan wajahnya di depan umum. Hanya orang-orang istimewa yang bisa melihat wajahnya secara langsung.
Di dunia bisnis, tentu saja nama pria itu sudah tidak asing lagi, karena dia merupakan seorang pimpinan perusahaan besar. Hanya saja, wajahnya belum familiar.
Yudha Kusuma hanya akan datang di pertemuan-pertemuan yang menurutnya sangat penting saja, sedangkan untuk hal-hal kecil, ia selalu mempercayai asisten pribadinya.
Karena sifatnya yang tertutup, itu pula yang membuat banyak orang berpikir negatif tentang dirinya. Ada yang menyebut Yudha seorang pecundang, memiliki wajah yang sangat jelek, sehingga ia tidak berani menampakkan dirinya di depan umum.
Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa pria berkuasa seperti Yudha Kusuma adalah orang yang kasar, arogan dan tidak punya hati. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa pria itu juga tidak ada rasa ketertarikan terhadap lawan jenis.
Sayangnya, itu semua hanya anggapan orang-orang yang belum mengenal sifat dan karakter seorang Yudha Kusuma.
***
Pukul lima subuh Alya sudah terbangun dan segera melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Usai sholat, ia segera keluar dari kamar dan bergegas pergi ke dapur. Gadis itu sampai lupa jika saat ini dirinya sedang tidak berada di rumahnya.
Saat melewati ruang tamu dan melihat seseorang yang tidur di sofa, barulah ia sadar di mana dirinya berada saat ini. Namun, Alya tetap melanjutkan tujuannya.
Dengan cekatan dan tampak sangat telaten, gadis cantik itu melakukan tugasnya di dapur. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit, ia sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Bau masakannya pun mampu membangunkan seseorang yang tadi sedang tertidur nyenyak di sofa. Reno yang sudah tidak tahan dengan aroma masakan yang menyeruak masuk ke indra penciumannya, segera pergi ke dapur sambil mengendus-endus aroma makanan yang menggugah selera.
“Hm, baunya enak sekali! Perut saya jadi lapar, padahal mata ini masih ngantuk banget rasanya,” ucap Reno saat sampai di dapur.
“Maafkan saya, Mas. Apa saya mengganggu tidurnya, Mas?” Alya merasa tidak enak hati karena sudah membuat penghuni apartemen itu terbangun. “Saya sudah terbiasa melakukan hal seperti ini di rumah. Makanya, pas tadi saya lihat ada bahan-bahan makanan di kulkas, saya langsung berinisiatif untuk membuatkan sarapan.”
“Oh, tidak … tidak sama sekali. Saya malah senang ada yang bangunin, apalagi dibanguninnya dengan bau makanan enak seperti ini. Pak Bos pasti senang banget sama apa yang kamu lakukan ini,” ujar Reno.
Alya tersenyum kecil menanggapi pujian yang dilontarkan padanya, baru kali ini ada yang menghargai hasil pekerjaannya. Karena biasanya, apapun yang dia lakukan selalu salah di mata paman dan bibinya.
“Terima kasih, Mas! Semoga makanannya cocok di lidahnya Mas Reno dan Om ….” Alya menjeda kalimatnya, karena ia belum mengetahui nama seseorang yang merupakan pemilik apartemen itu.
“Ehem.” Suara dehem seseorang yang baru saja datang ke dapur, mengalihkan perhatian Alya dan juga Reno. “Kalian berdua sedang membicarakan apa? Sepertinya sangat serius,” celetuknya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.
“Eh, Pak Bos. Selamat pagi, Pak Bos. Sarapannya sudah siap, Pak Bos, tapi bukan saya yang masak.” Reno dengan sigap menarik satu kursi untuk sang majikan.
“Itu artinya, gaji kamu bulan ini tetap saya potong 20 persen.” Yudha berkata sambil melirik sekilas ke arah seseorang berdiri di samping Reno.
Alya mengerutkan keningnya melihat penampilan Yudha, karena sejak bertemu dengannya semalam, pria itu terus saja menggunakan penutup wajah seperti yang terjadi saat ini.
Dari cara berpakaiannya sudah terlihat jelas bahwa dia bukan orang sembarangan, ditambah lagi apartemen yang saat ini ditempatinya merupakan hunian termewah yang ada di Jakarta. Namun, sayangnya pria itu selalu menyembunyikan wajahnya dari banyak orang.
“Maaf, Tuan. Apa Anda selalu menggunakan masker seperti ini? Memangnya kenapa dengan wajah Anda?” tanya Alya penasaran. “Bagaimana caranya Anda mau makan kalau maskernya tidak dibuka,” lanjutnya.
Yudha menghela napas panjang sembari ekor matanya melirik ke arah Alya. “Oke, baiklah. Saya akan membuka maskernya, tetapi kamu masuk dulu ke kamar. Wajah saya rusak, saya tidak mau membuat kamu membuat kamu takut.”
“A-apa? Rusak? Rusak kenapa? Tidak apa-apa, saya tidak akan takut.” Alya menolak pergi ke kamar karena ia penasaran dengan wajah yang ada di balik masker itu.
“Reno,” panggil Yudha pada asisten pribadinya.
“Baik, Pak Bos.” Reno langsung paham dengan maksud atasannya. “Nona, tolong hargai keinginan atasan saya. Sebaiknya, Nona ke kamar saja dulu sampai Pak Bos selesai sarapan,” pintanya.
Alya berdecak kesal sembari berkata, “Kenapa saya harus pergi? Saya tidak akan mengatakan pada siapa pun, kok. Setidaknya, kasih tahu dulu siapa nama Om.”
Lagi-lagi Reno mengulum bibirnya menahan tawa mendengar ucapan Alya. Namun, pemuda itu langsung terdiam saat mendapat tatapan tajam dari sang atasan.
“Duduklah!” pinta Yudha.
“Hah?” Alya merasa tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kamu mau duduk sini atau pergi ke kamar?” tanya Yudha.
“Iya, iya. Saya akan duduk,” jawab Alya dengan cepat.
Reno ikut duduk bersebelahan dengan Alya, sementara Yudha duduk berhadapan dengan dua orang itu.
“Kamu mau tahu nama saya, ‘kan?” tanya Yudha.
Alya mendongak dan langsung mengangguk dengan cepat. “Iya,” jawabnya.
“Nama saya adalah Yudha. Yudha Kusuma,” jawab Yudha.
“Hah? Yudha?” Alya tentu saja kaget mendengar nama itu, karena orang yang ditemuinya semalam juga mengaku bernama Yudha.
“Kenapa? Kamu kenal nama itu?” Yudha menatap Alya dengan lekat.
“Tidak, hanya nama saja yang kebetulan sama. Ternyata, nama Yudha sangat pasaran, ya.” Alya tersenyum sambil menyajikan makanan ke dalam piring.
Alya juga ingat, orang yang bertemu dengannya semalam, hanya menyebut namanya Yudha. Sedangkan yang sekarang bernama Yudha Kusuma, sudah jelas berbeda karena orang pun berbeda.
Yudha pun tersenyum melihat reaksi yang ditunjukkan Alya setelah dirinya memperkenalkan diri.
“Pak Bos, Nona Alya. Saya permisi ke kamar mandi dulu, ya. Soalnya saya belum cuci muka,” ujar Reno, ia juga sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil. “Loh, Mas Reno tahu nama saya dari mana? Perasaan, saya belum sempat memperkenalkan diri dari semalam.” Alya cukup kaget saat mendengar Reno menyebut namanya. “Oh, iya. Soal itu, saya memang sudah tahu. Sudah ya, saya sudah nggak tahan ini.” Reno berbicara sambil mengernyit karena menahan rasa ingin buang air kecil. Alya masih penasaran dengan siapa sebenarnya orang-orang yang sudah menolongnya, apalagi melihat pria di hadapannya yang terus saja menggunakan penutup wajahnya. “Oh, ya. Siapa nama kamu?” tanya Yudha. Alya tersenyum kecut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yudha. “Saya tidak yakin kalau Anda belum mengetahui nama saya,” jawabnya. “Mas Reno selaku bawahan Anda saja sudah tahu siapa nama saya, rasanya sangat tidak mungkin jika Anda belum mengetahuinya.” Yudha mencebik bibirnya di dalam masker, ia lupa bahwa a
“Kamu mau ke mana?” tanya Yudha. “Saya mau pergi, karena di sini bukan tempat saya. Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap di sini semalam,” ucap Alya, gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. “Kamu yakin mau pergi dari sini? Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu masih punya tempat untuk pulang? Oh, iya, Pak Pandu dan istrinya pasti sudah menunggu kedatanganmu. Silahkan kalau kamu mau kembali ke rumah itu lagi. Kita lihat saja nanti,” kata Yudha. Alya terdiam sejenak di tempatnya, tetapi ucapan Yudha tetap saja tidak merubah keputusannya untuk segera pergi dari tempat itu. Alya tidak mau menikah dengan pria asing yang baru saja dia kenal. Bahkan, ia tidak tahu seperti apa rupa pria itu karena wajahnya selalu ditutupi. “Anda tenang saja, saya sudah terbiasa menerima perlakuan buruk mereka.” Tanpa menunggu lama, Alya segera melanjutkan langkahnya menuju pintu, lalu keluar dari apartemen mewah itu. “Reno, sudah tahu ‘kan, apa yang harus kamu lakukan?” tanya Yudha
“Iya. Ayo, kita menikah!” Alya kembali mengulang ucapannya dengan posisi yang masih berlutut di hadapan pria asing yang baru dikenalnya. “Kamu bicara apa? Saya tidak salah dengar? Apa yang membuat kamu merubah keputusan begitu cepat? Beberapa waktu yang lalu kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak mau menikah dengan saya,” ujar Yudha seraya melipat kedua tangannya di dada. “Kamu juga bilang kalau saya lebih pantas menjadi ayahmu,” lanjutnya.Alya terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam. Seakan menjilat ludah sendiri, ia merasa sangat malu mendengar apa yang dikatakan oleh Yudha. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan gengsi dan harga diri. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia pikirkan.“Saya minta maaf soal ucapan saya yang tadi, tapi sekarang saya benar-benar serius. Saya butuh bantuan Anda,” ucap Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung di hadapannya. Salah satu sudut bibir Yudha terangkat ke atas, pria itu mengulas senyum tipis mendengar uca
“Halo! Saya Alya,” ucap Alya sambil membungkukkan badannya, ia langsung memperkenalkan diri pada seorang wanita yang datang menghampirinya. Yudha tersentuh melihat sikap sopan yang ditunjukkan oleh perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, ia juga semakin kagum pada sosok gadis berusia 19 tahun itu. Wanita yang baru datang itu pun mengerutkan keningnya sembari memperhatikan penampilan Alya dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu siapanya Yudha? Kok, kalian bisa bersama seperti ini? Dari mana kamu kenal dia?” tanyanya penuh selidik. “Itu ....” Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Yudha sudah lebih dulu bersuara. “Kak Jen, cukup! Ini bukan urusan Kakak,” ujar Yudha yang langsung menyela ucapan wanita yang menginterogasi Alya. “Yudha, ini nggak salah? Kamu jalan sama perempuan? Mana anak kecil lagi,” kata wanita itu seraya menatap Alya dengan sinis. Kedua bola mata Alya langsung membulat sempurna ketika mendengar seseorang menyebut dirinya anak kecil. Namun, ia sama se
Ibu dan anak itu pun menoleh ke arah sumber suara. Yudha langsung tersenyum melihat sosok yang sudah beberapa hari ini tidak ia kunjungi. “Papa.” Yudha segera menghampiri sang ayah sambil merentangkan kedua tangannya, berusaha untuk memeluk ayahnya. Namun, langsung ditepis oleh Tuan Mahendra Kusuma. “Hei, Anak Muda. Kamu jangan coba-coba mengalihkan perhatian Papa. Apa yang barusan Papa dengar memang benar adanya, atau itu hanya trik kamu untuk menolak perjodohan?” tanya seorang pria lansia yang masih terlihat sehat dan bugar di usianya. “Pa, kali ini Yudha serius. Orangnya juga sudah ada di sini,” jawab Yudha sembari menoleh ke arah ruang tamu. Di sana tampak Reno bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna peach, yang membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik dan anggun. “Tuan, Nyonya.” Reno membungkukkan badan di hadapan kedua orang tua atasannya. “Halo!” Alya ikut membungkukkan badan, menghormati pasangan suami istri yang terus memp
“Mama!” Yudha berteriak tatkala melihat ibunya terkulai lemas. Beruntung Tuan Mahendra dengan sigap menahan tubuh istrinya.Nyonya Indriana sampai jatuh pingsan setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Yudha. Menikah dalam waktu dua hari. Apa itu masuk akal? Pernikahan seperti apa yang ingin dijalani oleh seorang pewaris Kusuma Group dalam waktu yang sangat singkat seperti itu. “Astaga, Mama … baru dengar berita seperti itu saja Mama sudah pingsan,” ucap Tuan Mahendra sambil menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Nyonya Indriana hanya berpura-pura pingsan karena ia ingin melihat reaksi Yudha. Beliau berharap putranya itu mau merubah keputusan dan membatalkan rencana pernikahannya dengan gadis muda yang lebih pantas menjadi putrinya. Namun, sayangnya niat dan tekad Yudha sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Hingga pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya memberi restu meskipun hatinya belum bisa menerima kehadiran Alya dalam keluarga Kusuma. Tuan Mahendra juga tidak ak
“Kenapa nggak dijawab? Siapa yang telepon?” tanya Alya penasaran. “Bukan siapa-siapa. Ini hanya telepon dari orang yang nggak penting,” jawab Yudha sembari mematikan ponselnya, lalu memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku jasnya. Alya mencebik bibir seraya mengedikkan kedua bahunya. Ia bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Yudha. Jika memang tidak ada apa-apa kenapa ekspresi wajah pria itu terlihat sangat kaget begitu ia mendapat panggilan telepon dari seseorang. Namun, Alya tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati sebelum melangsungkan pernikahan, keduanya harus menghargai privasi masing-masing. Di dalam surat perjanjian itu tertulis: Setelah menikah mereka akan menjalani kehidupan layaknya sebagai pasangan suami istri pada umumnya. Namun, itu mereka lakukan hanya di depan keluarga Yudha. Mereka berdua memang tinggal satu atap dan
Semua orang yang ada di ruangan itu kaget mendengar Alya tiba-tiba berteriak. Terutama Yudha, dari wajahnya terlihat jelas ada kekhawatiran yang sedang dirasakan pria itu saat ini. “Nona, Nona tenanglah.” Dokter langsung mendekati Alya dan berusaha menenangkannya. “Dokter, apa yang terjadi sama saya? Lalu, siapa yang menggantikan pakaian saya?” tanya Alya sambil menatap dokter dengan lekat. Perempuan paruh baya yang mengenakan jas putih itu pun menoleh ke arah Yudha, meminta jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Ayla. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang telah menggantikan pakaian wanita muda itu. “Tolong tinggalkan kami!” pinta Yudha sembari menatap dokter dan juga asisten pribadinya. “Baiklah, saya permisi. Nona, Anda harus banyak istirahat dan jangan terlalu stres.” Dokter tersenyum sambil mengelus pipi Alya dengan lembut. “Terima kasih, Dok,” ucap Alya yang dibalas anggukan kepala oleh sang dokter. “Saya juga permisi, Pak Bos, Bu Bos.” Reno ikut keluar bers
Melihat kakak sepupunya kesakitan akibat ditampar oleh sang ibu, Desi bukannya merasa iba, gadis itu justru tersenyum puas.“Makanya kalau bicara sama orang tua itu yang sopan, Mbak,” kata Desi seraya menatap Alya dengan tatapan sinis. “Kalian akan membayar mahal atas apa yang kalian lakukan padaku,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Hahahaha ….” Ratih malah tertawa mendengar ucapan Alya. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak ingusan sepertimu, Alya Namira Atmadja? Apa, hah?” sentaknya sambil menjambak rambut Alya dengan kuat. “Akh, sakit. Lepasin, Tante!” pinta Alya sambil mencengkram pergelangan tangan Ratih, lalu mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga. “Mama …!” Desi berteriak melihat ibunya didorong oleh Alya. Saat ibu dan anak itu sedang lengah, Alya langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. “Des, telepon Papa! Cepat!” perintah Ratih pada putrinya. “Iya, Ma.” Dengan sigap Desi mengambil pon
“Tentu saja dari pemilik perusahaan itu sendiri,” jawab Yudha dengan santai. Alya yang penasaran langsung membaca apa yang tertulis pada selembar kertas yang ada di tangannya. Seketika itu pula matanya langsung membulat sempurna melihat tulisan tangan seseorang yang ada pada kertas itu. “I-ini,” ucap Alya dengan mata berkaca-kaca. Yudha mengangguk seraya tersenyum lembut. “Iya, kamu pasti sudah kenal dengan tulisan tangan itu.” Alya tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar terharu melihat tulisan tangan almarhum ayahnya. Rasa rindu terhadap sang ayah sedikit terobati setelah melihat hasil goresan tangannya. “Papa, apa yang sebenarnya Papa sembunyikan dari Al?” Alya bergumam sambil mendekap selembar kertas yang terdapat tulisan tangan almarhum ayahnya. Alya benar-benar tidak tahu seperti apa hubungan almarhum ayahnya dengan keluarga Kusuma. Ia bahkan baru mengetahui siapa Yudha sebenarnya setelah menikah dengan laki-laki itu. Sejak ayah dan ibunya masih hidup hingga mereka berdua
Merasa tidak tenang dengan kepergian Alya yang terburu-buru, Pak Didi pun bergegas keluar dari ruangannya untuk menyusul wanita itu. Semua karyawan Laluna Enterprise merasa penasaran apa yang terjadi antara direktur perusahaan dengan karyawan baru itu, tetapi mereka tidak punya keberanian hanya untuk sekedar mengajukan pertanyaan. Bahkan, termasuk Amanda selaku orang yang cukup berpengaruh di perusahaan itu. Ia sendiri hanya bisa diam saat melihat Alya keluar dari ruangan direktur dan bergegas pergi meninggalkan perusahaan tanpa berbicara apapun padanya. “Bu Amanda, apa yang terjadi? Kenapa anak baru itu pergi terburu-buru?” salah satu karyawan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya setelah memastikan direktur perusahaan sudah tidak bisa mendengarnya. “Saya juga tidak tahu,” jawab Amanda sembari berlalu meninggalkan salah satu rekan kerjanya. Karena ia memang tidak tahu menahu apa yang terjadi pada Alya dan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Sementara Alya sampai di parkir
“Sekarang Mama sudah tenang setelah mengetahui latar belakang istrimu, tapi Mama belum puas sebelum kamu mengumumkan ke publik tentang pernikahanmu. Kapan kamu akan mengadakan konferensi pers dan memperkenalkan istri kamu kepada semua orang?” tanya Nyonya Indriana. “Jangan, Ma. Yudha belum bisa melakukan itu, belum untuk sekarang.” Yudha langsung menolak permintaan ibunya. “Kenapa, Yudha? Bukankah sekarang semuanya sudah jelas? ” tanya Tuan Mahendra sambil membuka kacamatanya. “Iya, tapi masalahnya tidak sesimpel itu, Pa. Sebelum menikah, kami sudah membuat kesepakatan. Alya tidak ingin ada yang tahu kalau dia sudah menikah sebelum dia berhasil mengambil alih perusahaan keluarganya yang saat ini sudah dikuasai oleh Pak Pandu,” ujar Yudha. “Oh, iya. Pandu itu adik sepupunya Regina, ‘kan?” tanya Nyonya Indriana. “Iya, Ma. Dia juga yang merupakan dalang dibalik kecelakaan yang dialami Om Frans bersama Nyonya Regina,” ungkap Yudha. Sontak saja apa yang disampaikannya membuat Tuan Mah
Tentu saja Tuan Mahendra akan kaget ketika ia mendengar nama Frans Atmadja. Karena orang tersebut dulunya sangat berjasa bagi keluarga Kusuma, terutama bagi Yudha. “Iya, Pa. Alya adalah putri beliau. Papa tentu belum lupa apa peran Om Frans Atmadja dalam keluarga kita. Bukan hanya perusahaan keluarga Kusuma yang beliau selamatkan, tapi nyawa Yudha juga. Seandainya tidak ada Om Frans pada waktu itu, mungkin saat ini Yudha sudah tidak ada di sini bersama Papa,” tutur Yudha dengan sendu. “Jangan bicara seperti itu, Yudha. Papa tidak mau mengingat kejadian buruk itu lagi,” tandas Tuan Mahendra. Darahnya mendidih tatkala mengingat apa yang pernah dialami putranya beberapa tahun silam. “Om Frans mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yudha waktu itu, Pa. Tapi di saat dia meninggal, Yudha malah tidak bisa mengantar beliau ke peristirahatan terakhir.” Yudha meraup wajahnya dengan gusar, ia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri acara pemakaman almarhum Frans Atmadja. “Apa kam
“Akh!” Yudha menjerit tertahan saat sikut Alya tak sengaja menghantam benda pusakanya. Secepat kilat Alya bangkit dari pangkuan pria itu. “Om apa-apaan, sih?” gerutunya sambil menatap Yudha dengan raut wajah kesal. “Maaf,” ucap Yudha. Ia tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. “Sudahlah. Saya mau ke kamar,” ucap Alya, tapi langkahnya terhenti lagi saat Yudha kembali bersuara. “Tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” kata Yudha. Alya memutar bola matanya. “Apa lagi yang mau Om bicarakan?” tanyanya. Belum sempat Yudha menjawab pertanyaan Alya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Dilihatnya nama sang ayah yang sedang menghubunginya, maka dengan sigap pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja lalu menjawab panggilan dari ayahnya. “Iya, Pa.” Suara Yudha terdengar begitu lembut saat bicara dengan orang tuanya. “Yudha, Papa perlu bicara sama kamu. Papa tunggu di rumah malam ini,” kata Tuan Mahendra. “Harus malam ini, Pa? Apa nggak bisa lain waktu?” tanya Yudha sa
Tanpa menunggu si penelepon menyelesaikan kalimatnya, Pak Didi sudah lebih dulu mengakhiri percakapan mereka dan segera bergegas keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Yudha tampak gelisah setelah mendapat kabar dari Pak Didi, ia tidak tahu kejadian apa yang dimaksud oleh orang kepercayaan ayahnya itu. “Sebenarnya apa yang ingin Pak Didi bicarakan sama saya? Kenapa beliau tidak bisa menceritakannya lewat telepon?” gumam Yudha sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tak lama kemudian, tampak sebuah mobil yang sudah tidak asing di matanya memasuki halaman cafe. Yudha yang sudah tidak sabar segera menyusul orang tersebut ke parkiran. “Tuan Muda,” ucap Pak Didi saat melihat Yudha mendatanginya. “Kejadian apa yang Bapak maksud?” tanya Yudha langsung to the point. “Kita bicara di dalam mobil saja, Tuan Muda. Biar tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan,” kata Pak Didi mengusulkan. “Oke,” sahut Yudha seraya m
Dengan bekerja di perusahaan ini bukan hanya penghasilan yang akan Alya dapatkan, tetapi ia juga bisa belajar demi mewujudkan impian almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pebisnis, menggantikan posisi sang ayah di Atmadja Enterprise. Tekad Alya semakin kuat untuk mengambil alih perusahaan keluarganya dari tangan Pandu. Ia yakin dan percaya dengan bantuan Yudha Kusuma, semua keinginannya akan segera terwujud.“Iya. Kenapa? Apa kamu tidak senang? Saya menerima kamu karena saya pikir kamu mampu melakukan pekerjaan ini, walaupun kamu hanya lulusan SMA.” Wanita yang berprofesi sebagai Human Resources Development (HRD) menatap Alya dengan tatapan tak terbaca. “Saya senang banget, tapi saya tidak menyangka akan langsung diterima. Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan bekerja dengan baik,” ucap Alya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah wanita berusia 19 tahun itu. “Oke, hari ini kamu sudah bisa bekerja! Selamat bergabung di pe
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki