“Pak Bos, Nona Alya. Saya permisi ke kamar mandi dulu, ya. Soalnya saya belum cuci muka,” ujar Reno, ia juga sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil.
“Loh, Mas Reno tahu nama saya dari mana? Perasaan, saya belum sempat memperkenalkan diri dari semalam.” Alya cukup kaget saat mendengar Reno menyebut namanya.
“Oh, iya. Soal itu, saya memang sudah tahu. Sudah ya, saya sudah nggak tahan ini.” Reno berbicara sambil mengernyit karena menahan rasa ingin buang air kecil.
Alya masih penasaran dengan siapa sebenarnya orang-orang yang sudah menolongnya, apalagi melihat pria di hadapannya yang terus saja menggunakan penutup wajahnya.
“Oh, ya. Siapa nama kamu?” tanya Yudha.
Alya tersenyum kecut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yudha. “Saya tidak yakin kalau Anda belum mengetahui nama saya,” jawabnya. “Mas Reno selaku bawahan Anda saja sudah tahu siapa nama saya, rasanya sangat tidak mungkin jika Anda belum mengetahuinya.”
Yudha mencebik bibirnya di dalam masker, ia lupa bahwa asisten pribadinya baru saja memanggil nama gadis itu di hadapannya. Baru kali ini seorang Yudha Kusuma kurang teliti dalam penyamaran.
“Oke, baiklah. Saya memang sudah tahu siapa nama kamu,” ujar Yudha berterus terang. Karena sudah tidak ada yang perlu ia tutup-tutupi lagi dari gadis itu.
Alya menjatuhkan sendok yang ada di tangannya setelah mendengar pengakuan Yudha. “Anda sudah tahu nama saya? Tapi bagaimana mungkin? Sejak kapan?” tanyanya tak percaya.
“Ya, saya bahkan sudah lama mengetahui siapa kamu dan juga latar belakangmu. Kamu putrinya almarhum Tuan Frans Atmadja, ‘kan? Alya Namira Atmadja,” kata Yudha dengan tegas dan lantang ia menyebut nama lengkap Alya.
“Ka-kamu sudah tahu soal itu juga? Jangan-jangan, kamu adalah salah satu saingan bisnis almarhum Papa saya. Iya, ‘kan?” tuduh Alya, tetapi Yudha langsung menggeleng cepat.
“Bukan. Kamu salah kalau mengira saya seperti itu,” tangkas Yudha. Karena dia memang bukan saingan bisnis almarhum Tuan Frans Atmadja.
“Lalu, dari mana Anda bisa mengetahui kalau saya adalah putri kandung Pak Frans Atmadja? Saat Papa dan Mama saya masih hidup, mereka tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa saya adalah putri mereka,” ujar Alya.
“Almarhum sendiri yang memberitahu saya,” jawab Yudha. “Saya adalah rekan bisnis beliau, bukan musuhnya.”
“Papa sendiri yang cerita soal aku padanya? Sebenarnya, sedekat apa hubungan Papa sama orang ini? Kenapa Papa sampai memberitahu dia?” Alya bergumam pelan sambil menatap Yudha.
Ia semakin penasaran siapa sebenarnya sosok Yudha Kusuma. Karena sejak kedua orang tuanya meninggal, saat itu pula kehidupan Alya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Gadis malang itu harus menjadi pelayan di rumahnya sendiri.
Alya sudah tidak tahu menahu lagi soal dunia luar, ia hanya diperbolehkan datang ke sekolah dan pergi ke pasar untuk belanja bulanan, itu pun dengan pengawasan yang sangat ketat.
Paman dan bibinya tidak ingin Alya terlalu banyak berinteraksi dengan orang-orang luar, mereka takut identitas Alya yang merupakan putri seorang pengusaha ternama akan terungkap.
Saat Tuan Frans dan istrinya masih hidup, mereka memang tidak pernah memperkenalkan putri mereka pada rekan-rekan bisnisnya.
Demi melindungi sang putri dari para musuhnya, Tuan Frans dan istrinya terpaksa menyembunyikan buah hati mereka. Orang-orang memang mengetahui jika Tuan Frans mempunyai seorang putri, tapi tak ada satu orang pun yang tahu seperti apa wajah anak itu.
Sampai akhirnya pasangan suami istri itu meninggal, identitas putri mereka tetap tidak diketahui oleh siapa pun kecuali anggota keluarga Atmadja.
“Kamu bicara apa? Jangan berbisik-bisik, katakan saja. Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang keluarga Kusuma?” tanya Yudha.
“Saya sering dengar waktu saya masih SMP dulu, tetapi saya sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui tentang mereka lebih jauh. Terlebih lagi setelah kedua orang tua saya meninggal, kehidupan saya berbanding terbalik dengan sebelumnya,” tutur Alya dengan sendu, matanya pun sudah berkaca-kaca.
“Tidak perlu kamu ceritakan apa yang terjadi padamu, karena saya sudah mengetahui semuanya. Saya bisa membantu jika kamu tidak keberatan,” kata Yudha sambil menuangkan kuah sup ke dalam piringnya.
“Membantu saya? Soal apa?” tanya Alya balik.
“Apa saja. Termasuk mengambil kembali seluruh harta kekayaan keluarga Atmadja,” ujar Yudha.
Seperti mendapat angin surga, Alya terlihat sangat senang mendengar apa yang dikatakan Yudha.
“Anda serius mau membantu saya? Gimana caranya? Karena sekarang, semua harta peninggalan almarhum Papa dan Mama saya sudah berpindah tangan menjadi milik Om Pandu. Rumah, villa, mobil dan juga perusahaan, semuanya sudah mereka kuasai,” papar Alya sambil menundukkan wajahnya.
“Itu hanya perkara kecil bagi saya. Semua orang juga tahu bahwa Pak Pandu dan istrinya sama sekali tidak berhak atas semua kekayaan yang mereka saat ini,” ujar Yudha.
“Mereka mengambilnya dengan paksa, seandainya saya tidak menuruti keinginan mereka pada waktu itu, mungkin saat ini saya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Saya hanya ingin menyelamatkan perusahaan Papa, karena perusahaan itu dibangun oleh almarhum Kakek saya. Om Pandu seharusnya memang tidak punya hak sama sekali, karena dia bukan saudara Papa.”
Alya menyeka kasar air matanya. Ia tidak ingin menangis dan memperlihatkan kelemahannya di depan orang yang masih asing baginya. Namun, butiran kristal itu menetes dengan sendirinya tanpa bisa ia cegah.
“Saya bisa membantu kamu, tetapi dengan satu syarat.” Yudha tampak menghela napas panjang setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Syarat? Apa syaratnya?” tanya Alya penasaran.
“Menikahlah dengan saya,” jawab Yudha dengan cepat dan tegas.
“Apa …? Me-menikah?” Wajah Alya langsung berubah pucat setelah mendengar syarat yang diajukan oleh Yudha.
“Pak Bos bicara apa? Saya tidak salah dengar, ‘kan?” tanya Reno yang baru saja kembali ke dapur. Pria itu pun sudah berpakaian rapi dan siap untuk segera pergi ke kantor.
Tidak hanya Alya yang kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Yudha. Selaku asisten pribadi, Reno juga sangat kaget dan merasa tak percaya.
“Tolong jangan bercanda, ya, Tuan. Saya harus menikah dengan Anda? Yang benar saja? Anda bahkan lebih pantas menjadi ayah saya, saya juga belum kepikiran untuk menikah. Sekarang saya baru mengerti apa tujuan kalian menolong saya,” ujar Alya sambil berdiri dari tempat duduknya. “Saya ucapkan terima kasih atas niat baik Anda yang ingin membantu saya, tapi syaratnya tidak bisa saya penuhi. Saya permisi,” ucapnya seraya berlalu pergi meninggalkan meja makan.
“Nona Alya,” panggil Reno, berusaha mencegah Alya, tetapi Yudha mengerjapkan mata seraya menggelengkan kepalanya, sebagai isyarat agar membiarkan gadis itu pergi sesuai keinginannya.
Alya masuk ke kamar hanya untuk mengambil tasnya, kemudian gadis itu segera keluar dan bersiap untuk pergi dari tempat itu. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara seseorang.
“Kamu mau ke mana?” tanya Yudha. “Saya mau pergi, karena di sini bukan tempat saya. Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap di sini semalam,” ucap Alya, gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. “Kamu yakin mau pergi dari sini? Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu masih punya tempat untuk pulang? Oh, iya, Pak Pandu dan istrinya pasti sudah menunggu kedatanganmu. Silahkan kalau kamu mau kembali ke rumah itu lagi. Kita lihat saja nanti,” kata Yudha. Alya terdiam sejenak di tempatnya, tetapi ucapan Yudha tetap saja tidak merubah keputusannya untuk segera pergi dari tempat itu. Alya tidak mau menikah dengan pria asing yang baru saja dia kenal. Bahkan, ia tidak tahu seperti apa rupa pria itu karena wajahnya selalu ditutupi. “Anda tenang saja, saya sudah terbiasa menerima perlakuan buruk mereka.” Tanpa menunggu lama, Alya segera melanjutkan langkahnya menuju pintu, lalu keluar dari apartemen mewah itu. “Reno, sudah tahu ‘kan, apa yang harus kamu lakukan?” tanya Yudha
“Iya. Ayo, kita menikah!” Alya kembali mengulang ucapannya dengan posisi yang masih berlutut di hadapan pria asing yang baru dikenalnya. “Kamu bicara apa? Saya tidak salah dengar? Apa yang membuat kamu merubah keputusan begitu cepat? Beberapa waktu yang lalu kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak mau menikah dengan saya,” ujar Yudha seraya melipat kedua tangannya di dada. “Kamu juga bilang kalau saya lebih pantas menjadi ayahmu,” lanjutnya.Alya terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam. Seakan menjilat ludah sendiri, ia merasa sangat malu mendengar apa yang dikatakan oleh Yudha. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan gengsi dan harga diri. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia pikirkan.“Saya minta maaf soal ucapan saya yang tadi, tapi sekarang saya benar-benar serius. Saya butuh bantuan Anda,” ucap Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung di hadapannya. Salah satu sudut bibir Yudha terangkat ke atas, pria itu mengulas senyum tipis mendengar uca
“Halo! Saya Alya,” ucap Alya sambil membungkukkan badannya, ia langsung memperkenalkan diri pada seorang wanita yang datang menghampirinya. Yudha tersentuh melihat sikap sopan yang ditunjukkan oleh perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, ia juga semakin kagum pada sosok gadis berusia 19 tahun itu. Wanita yang baru datang itu pun mengerutkan keningnya sembari memperhatikan penampilan Alya dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu siapanya Yudha? Kok, kalian bisa bersama seperti ini? Dari mana kamu kenal dia?” tanyanya penuh selidik. “Itu ....” Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Yudha sudah lebih dulu bersuara. “Kak Jen, cukup! Ini bukan urusan Kakak,” ujar Yudha yang langsung menyela ucapan wanita yang menginterogasi Alya. “Yudha, ini nggak salah? Kamu jalan sama perempuan? Mana anak kecil lagi,” kata wanita itu seraya menatap Alya dengan sinis. Kedua bola mata Alya langsung membulat sempurna ketika mendengar seseorang menyebut dirinya anak kecil. Namun, ia sama se
Ibu dan anak itu pun menoleh ke arah sumber suara. Yudha langsung tersenyum melihat sosok yang sudah beberapa hari ini tidak ia kunjungi. “Papa.” Yudha segera menghampiri sang ayah sambil merentangkan kedua tangannya, berusaha untuk memeluk ayahnya. Namun, langsung ditepis oleh Tuan Mahendra Kusuma. “Hei, Anak Muda. Kamu jangan coba-coba mengalihkan perhatian Papa. Apa yang barusan Papa dengar memang benar adanya, atau itu hanya trik kamu untuk menolak perjodohan?” tanya seorang pria lansia yang masih terlihat sehat dan bugar di usianya. “Pa, kali ini Yudha serius. Orangnya juga sudah ada di sini,” jawab Yudha sembari menoleh ke arah ruang tamu. Di sana tampak Reno bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna peach, yang membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik dan anggun. “Tuan, Nyonya.” Reno membungkukkan badan di hadapan kedua orang tua atasannya. “Halo!” Alya ikut membungkukkan badan, menghormati pasangan suami istri yang terus memp
“Mama!” Yudha berteriak tatkala melihat ibunya terkulai lemas. Beruntung Tuan Mahendra dengan sigap menahan tubuh istrinya.Nyonya Indriana sampai jatuh pingsan setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Yudha. Menikah dalam waktu dua hari. Apa itu masuk akal? Pernikahan seperti apa yang ingin dijalani oleh seorang pewaris Kusuma Group dalam waktu yang sangat singkat seperti itu. “Astaga, Mama … baru dengar berita seperti itu saja Mama sudah pingsan,” ucap Tuan Mahendra sambil menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Nyonya Indriana hanya berpura-pura pingsan karena ia ingin melihat reaksi Yudha. Beliau berharap putranya itu mau merubah keputusan dan membatalkan rencana pernikahannya dengan gadis muda yang lebih pantas menjadi putrinya. Namun, sayangnya niat dan tekad Yudha sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Hingga pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya memberi restu meskipun hatinya belum bisa menerima kehadiran Alya dalam keluarga Kusuma. Tuan Mahendra juga tidak ak
“Kenapa nggak dijawab? Siapa yang telepon?” tanya Alya penasaran. “Bukan siapa-siapa. Ini hanya telepon dari orang yang nggak penting,” jawab Yudha sembari mematikan ponselnya, lalu memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku jasnya. Alya mencebik bibir seraya mengedikkan kedua bahunya. Ia bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Yudha. Jika memang tidak ada apa-apa kenapa ekspresi wajah pria itu terlihat sangat kaget begitu ia mendapat panggilan telepon dari seseorang. Namun, Alya tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati sebelum melangsungkan pernikahan, keduanya harus menghargai privasi masing-masing. Di dalam surat perjanjian itu tertulis: Setelah menikah mereka akan menjalani kehidupan layaknya sebagai pasangan suami istri pada umumnya. Namun, itu mereka lakukan hanya di depan keluarga Yudha. Mereka berdua memang tinggal satu atap dan
Semua orang yang ada di ruangan itu kaget mendengar Alya tiba-tiba berteriak. Terutama Yudha, dari wajahnya terlihat jelas ada kekhawatiran yang sedang dirasakan pria itu saat ini. “Nona, Nona tenanglah.” Dokter langsung mendekati Alya dan berusaha menenangkannya. “Dokter, apa yang terjadi sama saya? Lalu, siapa yang menggantikan pakaian saya?” tanya Alya sambil menatap dokter dengan lekat. Perempuan paruh baya yang mengenakan jas putih itu pun menoleh ke arah Yudha, meminta jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Ayla. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang telah menggantikan pakaian wanita muda itu. “Tolong tinggalkan kami!” pinta Yudha sembari menatap dokter dan juga asisten pribadinya. “Baiklah, saya permisi. Nona, Anda harus banyak istirahat dan jangan terlalu stres.” Dokter tersenyum sambil mengelus pipi Alya dengan lembut. “Terima kasih, Dok,” ucap Alya yang dibalas anggukan kepala oleh sang dokter. “Saya juga permisi, Pak Bos, Bu Bos.” Reno ikut keluar bers
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki
Melihat kakak sepupunya kesakitan akibat ditampar oleh sang ibu, Desi bukannya merasa iba, gadis itu justru tersenyum puas.“Makanya kalau bicara sama orang tua itu yang sopan, Mbak,” kata Desi seraya menatap Alya dengan tatapan sinis. “Kalian akan membayar mahal atas apa yang kalian lakukan padaku,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Hahahaha ….” Ratih malah tertawa mendengar ucapan Alya. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak ingusan sepertimu, Alya Namira Atmadja? Apa, hah?” sentaknya sambil menjambak rambut Alya dengan kuat. “Akh, sakit. Lepasin, Tante!” pinta Alya sambil mencengkram pergelangan tangan Ratih, lalu mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga. “Mama …!” Desi berteriak melihat ibunya didorong oleh Alya. Saat ibu dan anak itu sedang lengah, Alya langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. “Des, telepon Papa! Cepat!” perintah Ratih pada putrinya. “Iya, Ma.” Dengan sigap Desi mengambil pon
“Tentu saja dari pemilik perusahaan itu sendiri,” jawab Yudha dengan santai. Alya yang penasaran langsung membaca apa yang tertulis pada selembar kertas yang ada di tangannya. Seketika itu pula matanya langsung membulat sempurna melihat tulisan tangan seseorang yang ada pada kertas itu. “I-ini,” ucap Alya dengan mata berkaca-kaca. Yudha mengangguk seraya tersenyum lembut. “Iya, kamu pasti sudah kenal dengan tulisan tangan itu.” Alya tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar terharu melihat tulisan tangan almarhum ayahnya. Rasa rindu terhadap sang ayah sedikit terobati setelah melihat hasil goresan tangannya. “Papa, apa yang sebenarnya Papa sembunyikan dari Al?” Alya bergumam sambil mendekap selembar kertas yang terdapat tulisan tangan almarhum ayahnya. Alya benar-benar tidak tahu seperti apa hubungan almarhum ayahnya dengan keluarga Kusuma. Ia bahkan baru mengetahui siapa Yudha sebenarnya setelah menikah dengan laki-laki itu. Sejak ayah dan ibunya masih hidup hingga mereka berdua
Merasa tidak tenang dengan kepergian Alya yang terburu-buru, Pak Didi pun bergegas keluar dari ruangannya untuk menyusul wanita itu. Semua karyawan Laluna Enterprise merasa penasaran apa yang terjadi antara direktur perusahaan dengan karyawan baru itu, tetapi mereka tidak punya keberanian hanya untuk sekedar mengajukan pertanyaan. Bahkan, termasuk Amanda selaku orang yang cukup berpengaruh di perusahaan itu. Ia sendiri hanya bisa diam saat melihat Alya keluar dari ruangan direktur dan bergegas pergi meninggalkan perusahaan tanpa berbicara apapun padanya. “Bu Amanda, apa yang terjadi? Kenapa anak baru itu pergi terburu-buru?” salah satu karyawan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya setelah memastikan direktur perusahaan sudah tidak bisa mendengarnya. “Saya juga tidak tahu,” jawab Amanda sembari berlalu meninggalkan salah satu rekan kerjanya. Karena ia memang tidak tahu menahu apa yang terjadi pada Alya dan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Sementara Alya sampai di parkir
“Sekarang Mama sudah tenang setelah mengetahui latar belakang istrimu, tapi Mama belum puas sebelum kamu mengumumkan ke publik tentang pernikahanmu. Kapan kamu akan mengadakan konferensi pers dan memperkenalkan istri kamu kepada semua orang?” tanya Nyonya Indriana. “Jangan, Ma. Yudha belum bisa melakukan itu, belum untuk sekarang.” Yudha langsung menolak permintaan ibunya. “Kenapa, Yudha? Bukankah sekarang semuanya sudah jelas? ” tanya Tuan Mahendra sambil membuka kacamatanya. “Iya, tapi masalahnya tidak sesimpel itu, Pa. Sebelum menikah, kami sudah membuat kesepakatan. Alya tidak ingin ada yang tahu kalau dia sudah menikah sebelum dia berhasil mengambil alih perusahaan keluarganya yang saat ini sudah dikuasai oleh Pak Pandu,” ujar Yudha. “Oh, iya. Pandu itu adik sepupunya Regina, ‘kan?” tanya Nyonya Indriana. “Iya, Ma. Dia juga yang merupakan dalang dibalik kecelakaan yang dialami Om Frans bersama Nyonya Regina,” ungkap Yudha. Sontak saja apa yang disampaikannya membuat Tuan Mah
Tentu saja Tuan Mahendra akan kaget ketika ia mendengar nama Frans Atmadja. Karena orang tersebut dulunya sangat berjasa bagi keluarga Kusuma, terutama bagi Yudha. “Iya, Pa. Alya adalah putri beliau. Papa tentu belum lupa apa peran Om Frans Atmadja dalam keluarga kita. Bukan hanya perusahaan keluarga Kusuma yang beliau selamatkan, tapi nyawa Yudha juga. Seandainya tidak ada Om Frans pada waktu itu, mungkin saat ini Yudha sudah tidak ada di sini bersama Papa,” tutur Yudha dengan sendu. “Jangan bicara seperti itu, Yudha. Papa tidak mau mengingat kejadian buruk itu lagi,” tandas Tuan Mahendra. Darahnya mendidih tatkala mengingat apa yang pernah dialami putranya beberapa tahun silam. “Om Frans mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yudha waktu itu, Pa. Tapi di saat dia meninggal, Yudha malah tidak bisa mengantar beliau ke peristirahatan terakhir.” Yudha meraup wajahnya dengan gusar, ia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri acara pemakaman almarhum Frans Atmadja. “Apa kam
“Akh!” Yudha menjerit tertahan saat sikut Alya tak sengaja menghantam benda pusakanya. Secepat kilat Alya bangkit dari pangkuan pria itu. “Om apa-apaan, sih?” gerutunya sambil menatap Yudha dengan raut wajah kesal. “Maaf,” ucap Yudha. Ia tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. “Sudahlah. Saya mau ke kamar,” ucap Alya, tapi langkahnya terhenti lagi saat Yudha kembali bersuara. “Tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” kata Yudha. Alya memutar bola matanya. “Apa lagi yang mau Om bicarakan?” tanyanya. Belum sempat Yudha menjawab pertanyaan Alya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Dilihatnya nama sang ayah yang sedang menghubunginya, maka dengan sigap pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja lalu menjawab panggilan dari ayahnya. “Iya, Pa.” Suara Yudha terdengar begitu lembut saat bicara dengan orang tuanya. “Yudha, Papa perlu bicara sama kamu. Papa tunggu di rumah malam ini,” kata Tuan Mahendra. “Harus malam ini, Pa? Apa nggak bisa lain waktu?” tanya Yudha sa
Tanpa menunggu si penelepon menyelesaikan kalimatnya, Pak Didi sudah lebih dulu mengakhiri percakapan mereka dan segera bergegas keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Yudha tampak gelisah setelah mendapat kabar dari Pak Didi, ia tidak tahu kejadian apa yang dimaksud oleh orang kepercayaan ayahnya itu. “Sebenarnya apa yang ingin Pak Didi bicarakan sama saya? Kenapa beliau tidak bisa menceritakannya lewat telepon?” gumam Yudha sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tak lama kemudian, tampak sebuah mobil yang sudah tidak asing di matanya memasuki halaman cafe. Yudha yang sudah tidak sabar segera menyusul orang tersebut ke parkiran. “Tuan Muda,” ucap Pak Didi saat melihat Yudha mendatanginya. “Kejadian apa yang Bapak maksud?” tanya Yudha langsung to the point. “Kita bicara di dalam mobil saja, Tuan Muda. Biar tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan,” kata Pak Didi mengusulkan. “Oke,” sahut Yudha seraya m
Dengan bekerja di perusahaan ini bukan hanya penghasilan yang akan Alya dapatkan, tetapi ia juga bisa belajar demi mewujudkan impian almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pebisnis, menggantikan posisi sang ayah di Atmadja Enterprise. Tekad Alya semakin kuat untuk mengambil alih perusahaan keluarganya dari tangan Pandu. Ia yakin dan percaya dengan bantuan Yudha Kusuma, semua keinginannya akan segera terwujud.“Iya. Kenapa? Apa kamu tidak senang? Saya menerima kamu karena saya pikir kamu mampu melakukan pekerjaan ini, walaupun kamu hanya lulusan SMA.” Wanita yang berprofesi sebagai Human Resources Development (HRD) menatap Alya dengan tatapan tak terbaca. “Saya senang banget, tapi saya tidak menyangka akan langsung diterima. Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan bekerja dengan baik,” ucap Alya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah wanita berusia 19 tahun itu. “Oke, hari ini kamu sudah bisa bekerja! Selamat bergabung di pe
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki