“Halo! Saya Alya,” ucap Alya sambil membungkukkan badannya, ia langsung memperkenalkan diri pada seorang wanita yang datang menghampirinya.
Yudha tersentuh melihat sikap sopan yang ditunjukkan oleh perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, ia juga semakin kagum pada sosok gadis berusia 19 tahun itu.
Wanita yang baru datang itu pun mengerutkan keningnya sembari memperhatikan penampilan Alya dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu siapanya Yudha? Kok, kalian bisa bersama seperti ini? Dari mana kamu kenal dia?” tanyanya penuh selidik.
“Itu ....” Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Yudha sudah lebih dulu bersuara.
“Kak Jen, cukup! Ini bukan urusan Kakak,” ujar Yudha yang langsung menyela ucapan wanita yang menginterogasi Alya.
“Yudha, ini nggak salah? Kamu jalan sama perempuan? Mana anak kecil lagi,” kata wanita itu seraya menatap Alya dengan sinis.
Kedua bola mata Alya langsung membulat sempurna ketika mendengar seseorang menyebut dirinya anak kecil. Namun, ia sama sekali tidak berniat membalas ucapan wanita itu.
Sudah terlalu banyak masalah yang Alya hadapi selama ini, makanya dia tidak mau membuat masalah baru yang hanya akan membuat jalan hidupnya semakin rumit.
“Kita pergi dari sini!” kata Yudha sambil menarik pergelangan tangan Alya, lalu membawanya keluar dari tempat itu. Karena ia tidak ingin kakak sepupunya mengajukan pertanyaan lebih banyak lagi terhadap Alya.
“Yudha, tunggu! Kakak belum selesai,” ujar sang wanita yang tidak lain adalah kakak sepupu Yudha. Ia pun kaget melihat cara Yudah memperlakukan Alya, karena biasanya pria itu sama sekali tidak suka bersentuhan dengan sembarangan perempuan.
Alya tidak peduli siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Yudha. Akan tetapi, ia yakin jika wanita itu adalah salah satu kerabat dari laki-laki yang saat ini sedang menarik pergelangan tangannya.
“Om, wanita itu siapa? Kakaknya Om, ya?” tanya Alya sambil berusaha melepas pergelangan tangannya yang terus ditarik oleh Yudha.
“Kamu bisa nggak, jangan panggil saya dengan sebutan itu! Ada banyak panggilan lain selain itu, ‘kan?” protes Yudha sembari menoleh sekilas ke arah samping kirinya.
“Ya, terus saya harus panggil apa? Saya rasa, panggilan itu cocok. Usia Om sekarang berapa?” tanya Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung yang memiliki tinggi badan 195 cm.
“Tiga puluh sembilan,” jawab Yudha dengan cepat dan tegas.
“What’s? Ti-tiga puluh sembilan? Om pasti bercanda,” ujar Alya, tak percaya dengan jawaban yang diberikan Yudha.
“Saya tidak bercanda, memang segitu usia saya sekarang. Kenapa? Kamu berubah pikiran setelah tahu berapa usia saya sebenarnya?” tanya Yudha. Saat ini mereka sudah berada di basement apartemen.
“Tiga puluh sembilan tahun, sedangkan umurku sekarang baru menginjak 19 tahun. Itu artinya kita berdua terpaut usia 20 tahun? Ya Tuhan ...,” ucap Alya sambil menelan ludah dengan susah payah.
Tak pernah terpikirkan oleh Alya, bahwa ia akan menikah dengan laki-laki yang berjarak dua puluh tahun lebih tua darinya. Meskipun ia memang mengimpikan seorang suami yang lebih dewasa, tetapi tidak sampai 20 tahun jarak usianya.
Yudha menghela napas berat setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Alya. Ia jadi khawatir akan membawa gadis itu untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
Entah apa tanggapan keluarganya saat nanti dia memperkenalkan gadis berusia 19 tahun itu sebagai calon istrinya. Namun, Yudha tidak akan merubah keputusan dan membatalkan semua rencana yang sudah disiapkan secara matang.
Tak ingin membuang-buang waktu, Yudha akhirnya memutuskan untuk segera membawa Alya menemui kedua orang tuanya. Ia tidak ingin ada orang lain yang lebih dulu memberitahu mereka dan menyebarkan berita yang tidak-tidak tentang dirinya.
“Sekarang kamu siap-siap! Kita akan bertemu dengan orang tua saya,” kata Yudha sembari masuk ke dalam mobil.
“Hah? Yang benar saja? Anda jangan bercanda, ya. Saya baru bangun tidur dan belum sempat mencuci muka,” ujar Alya berterus terang, karena memang ia belum sempat mencuci muka setelah bangun dari tidur siang.
“Astaga ...,” ucap Yudha sambil menepuk jidatnya. “Apa kamu memang mempunyai kebiasaan buruk seperti ini?” tanyanya.
Alya memberengut kesal mendengar pertanyaan Yudha. “Jangan suka menuduh orang sembarangan! Tadi saya buru-buru, makanya nggak sempat cuci muka dulu. Saya juga kaget pas lihat jam udah setengah tiga,” tuturnya.
“Oh,” sahut Yudha menanggapi. “Tidak apa-apa, nanti kamu cuci muka di butik. Kalau perlu, kamu bisa mandi sekalian. Reno juga sebentar lagi sampai di sana,” jelasnya.
Alya mendesah berat, hatinya tiba-tiba gelisah setelah Yudha mengatakan akan memperkenalkan dia dengan kedua orang tuanya. Ia hanya berharap bisa diterima dengan baik di keluarga calon suaminya nanti.
***
Waktu sudah menunjuk di angka lima sore saat mobil yang dikendarai Yudha sampai di depan sebuah bangunan dua lantai yang memiliki halaman sangat luas. Di bagian depan bangunan itu terdapat tulisan Anjani Boutique.
“Tempat ini. Ini ‘kan, butik Tante Anjani?” Alya tercengang saat melihat salah satu tempat bersejarah baginya, ia jadi teringat dengan almarhumah ibunya.
Tanpa sadar air matanya pun meluncur begitu saja ketika mengingat kenangan bersama sang ibu di tempat tersebut.
“Kamu sudah kenal sama pemilik butik ini?” tanya Yudha sambil membuka sabuk pengaman.
Alya mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. “Iya. Beliau adalah sahabat almarhumah Mama saya,” jawabnya dengan sendu.
Yudha terdiam sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari mobil. “Baguslah kalau kamu sudah kenal, sekarang kita masuk dan temui pemilik butik ini.”
Mereka berdua pun masuk ke dalam butik dan langsung disambut oleh seseorang yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu.
“Pak Bos,” sapa Reno seraya membungkukkan badan. “Bu Anjani sudah menunggu Pak Bos dan juga Nona Alya,” ujarnya melanjutkan.
“Kamu urus semuanya! Saya mau keluar sebentar,” kata Yudha, dibalas anggukan oleh sang asisten.
“Pak Reno, apa orangnya sudah da ....” Sang pemilik butik menghentikan kalimatnya saat melihat seseorang yang sudah tidak asing di matanya. “Ka-kamu,” ucapnya dengan terbata-bata, matanya pun berkaca-kaca melihat siapa orang yang berdiri di hadapannya saat ini.
“Tante Anjani, apa kabar? Tante masih ingat sama aku?” tanya Alya sambil menyeka kasar air matanya.
“Alya ... kamu beneran Alya? Ya Tuhan ...,” ucap Anjani seraya berjalan ke arah Alya. “Sekarang kamu sudah besar, tambah cantik lagi!” Anjani langsung memeluk Alya dengan erat.
Ia tidak menyangka akan dipertemukan dengan putri dari sahabatnya dengan cara seperti ini. Anjani merasa sangat bahagia bisa bertemu dengan Alya setelah sekian tahun lamanya. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu setelah kedua orang tua Alya meninggal.
Reno kaget melihat kedekatan Alya dengan sang pemilik butik, ia lupa jika gadis itu dulunya adalah seorang tuan putri. Reno memang belum tahu banyak soal latar belakang Alya, karena ia baru beberapa tahun ini bekerja sebagai asisten pribadi Yudha.
“Jadi, kalian berdua sudah saling kenal? Ah, saya banyak ketinggalan informasi kalau begitu. Pak Bos juga tidak memberitahu saya soal ini,” kata Reno.
“Iya, saya sangat mengenal gadis ini. Dia sudah seperti putri bagi saya,” sahut Anjani seraya melerai pelukannya. “Yaudah, sekarang kamu coba dulu dres yang sudah Tante siapkan. Kamu pasti semakin cantik dengan pakaian itu,” ujarnya sambil mengelus lembut pipi Alya.
“Terima kasih, Tante,” ucap Alya sambil tersenyum lembut.
Tak ingin berlama-lama, Anjani langsung membawa Alya menuju ruang pribadinya. Karena ia tahu jika seorang Yudha Kusuma tidak suka membuang-buang waktu.
Setelah memastikan penampilan Alya terlihat sempurna, bahkan nyaris tanpa cela sedikitpun. Gadis itu pun segera dibawa keluar dari ruangannya dan siap untuk diperlihatkan pada dua orang pria yang sudah menunggunya di depan ruangan itu.
“Sudah siap!” ucap Anjani.
Yudha langsung mendongak dan menoleh ke arah sumber suara. Matanya tak berkedip melihat penampilan Alya. Pun demikian dengan Reno, pemuda itu menelan saliva dengan susah payah. Ia seakan melihat sosok bidadari yang sedang berdiri di hadapannya.
“Cantik!” Kalimat itu pun spontan terucap dari bibir Yudha.
“Iya, Pak Bos. Cantik pake banget,” sahut Reno. “Ya Tuhan … tolong sisakan satu yang seperti ini untuk saya,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Alya.
Anjani tersenyum mendengar ucapan Reno, kemudian tatapannya beralih ke arah seseorang yang sedari tadi memperhatikan Alya tanpa berkedip.
“Yudha,” panggil Anjani, seketika membuyarkan lamunan seseorang yang dipanggilnya.
“Iya, Mbak.” Yudha jadi salah tingkah karena ketahuan terlalu lama memperhatikan Alya.
“Dia cantik, ‘kan? Cantik seperti ibunya. Tolong jaga dia, ya, Yud. Kalau sampai kamu sia-siakan, maka Mbak adalah orang pertama yang akan membuat perhitungan sama kamu!” ujar Anjani dengan nada penuh ancaman.
“Tentu, Mbak. Terima kasih atas bantuannya. Kami permisi dulu,” ucap Yudha seraya berdiri dari tempat duduknya.
Anjani mengangguk pelan sambil tersenyum lembut, ia bahagia melihat Alya sudah berada di tangan laki-laki yang tepat. Sebagai sahabat dari almarhumah ibunya Alya dan juga sahabat dari kakak perempuan Yudha, tentu saja ia ikut bahagia.
“Tante, Alya pergi dulu, ya. Lain kali Alya datang lagi ke sini,” kata Alya.
“Iya, Sayang, hati-hati. Tante tunggu,” balas Anjani.
Sebuah mobil sport berwarna hitam pekat sudah bergerak meninggalkan pekarangan butik, melaju dengan santai menuju rumah utama keluarga Kusuma.
Reno fokus menyetir sambil sesekali melihat ke arah kaca spion dalam mobil, memperhatikan gerak-gerik Alya yang tampak gelisah sejak keluar dari butik.
“Pak Bos,” panggil Reno sembari ekor matanya melirik ke arah kursi bagian tengah.
Yudha ikut menoleh ke belakang dan mendapati Alya sedang meremas ujung jarinya. Ia yakin kalau gadis itu saat ini merasa gugup dan takut karena akan dipertemukan dengan kedua orang tuanya.
“Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Yudha, membuat Alya terkesiap dan langsung mengangguk cepat.
“Iya. Saya baik-baik saja,” jawab Alya. Bibirnya mungkin bisa berbohong, tapi tidak dengan raut wajahnya.
“Tenang saja, jangan terlalu dipikirkan. Ini hanya perkenalan,” ujar Yudha, berusaha menenangkan hati Alya yang saat ini sedang gelisah.
Alya tersenyum paksa sambil mengangguk pelan. Meski sudah berusaha untuk terlihat tenang, tetapi hati dan perasaannya tidak bisa dibohongi.
Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Reno sudah memasuki halaman rumah mewah seperti istana kerajaan di dunia dongeng. Namun, ini adalah versi nyata.
“Pak Bos, silahkan!” ucap Reno setelah membukakan pintu mobil untuk sang majikan.
“Ayo!” seru Yudha sambil menoleh ke kursi belakangnya.
Alya lagi-lagi hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Perasaannya semakin berkecamuk setelah melihat rumah mewah yang ada di hadapannya saat ini.
Ia tidak menyangka jika laki-laki yang akan menjadi suaminya adalah orang yang sangat kaya, rumahnya sangat mewah dengan penjagaan yang ketat. Ada begitu banyak penjaga yang berkeliaran di setiap sudut rumah itu.
“Ini aku yang kurang update informasi atau bagaimana? Siapa pria ini sebenarnya? Kenapa dia harus memilih aku sebagai calon istrinya?” Alya bergumam sangat pelan sambil keluar dari mobil, lalu mengikuti dua orang yang ada di hadapannya.
Para pelayan tampak berjejeran menyambut kedatangan sang tuan muda, mulai dari teras hingga ke dalam rumah, semuanya pun membungkukkan badan pada saat Yudha melewati mereka semua.
“Mama,” panggil Yudha saat melihat seorang perempuan sedang duduk di sofa.
“Yudha, ada angin apa yang membawa kamu sampai ke sini? Mama kira kamu sudah lupa jalan pulang ke rumah ini,” ujar wanita itu sambil melepas kacamatanya.
“Ma, aku sudah punya calon istri seperti yang Mama minta. Jadi mulai sekarang, Mama tidak perlu lagi mencarikan jodoh untukku. Aku sengaja datang ke sini karena ingin memperkenalkan dia sama Mama,” kata Yudha sambil mengulas senyum.
“Apa …? Kamu ke sini membawa calon istri?” Suara bariton seseorang yang berasal dari arah tangga, mengalihkan perhatian Yudha dan juga sang ibu.
Ibu dan anak itu pun menoleh ke arah sumber suara. Yudha langsung tersenyum melihat sosok yang sudah beberapa hari ini tidak ia kunjungi. “Papa.” Yudha segera menghampiri sang ayah sambil merentangkan kedua tangannya, berusaha untuk memeluk ayahnya. Namun, langsung ditepis oleh Tuan Mahendra Kusuma. “Hei, Anak Muda. Kamu jangan coba-coba mengalihkan perhatian Papa. Apa yang barusan Papa dengar memang benar adanya, atau itu hanya trik kamu untuk menolak perjodohan?” tanya seorang pria lansia yang masih terlihat sehat dan bugar di usianya. “Pa, kali ini Yudha serius. Orangnya juga sudah ada di sini,” jawab Yudha sembari menoleh ke arah ruang tamu. Di sana tampak Reno bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna peach, yang membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik dan anggun. “Tuan, Nyonya.” Reno membungkukkan badan di hadapan kedua orang tua atasannya. “Halo!” Alya ikut membungkukkan badan, menghormati pasangan suami istri yang terus memp
“Mama!” Yudha berteriak tatkala melihat ibunya terkulai lemas. Beruntung Tuan Mahendra dengan sigap menahan tubuh istrinya.Nyonya Indriana sampai jatuh pingsan setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Yudha. Menikah dalam waktu dua hari. Apa itu masuk akal? Pernikahan seperti apa yang ingin dijalani oleh seorang pewaris Kusuma Group dalam waktu yang sangat singkat seperti itu. “Astaga, Mama … baru dengar berita seperti itu saja Mama sudah pingsan,” ucap Tuan Mahendra sambil menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Nyonya Indriana hanya berpura-pura pingsan karena ia ingin melihat reaksi Yudha. Beliau berharap putranya itu mau merubah keputusan dan membatalkan rencana pernikahannya dengan gadis muda yang lebih pantas menjadi putrinya. Namun, sayangnya niat dan tekad Yudha sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Hingga pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya memberi restu meskipun hatinya belum bisa menerima kehadiran Alya dalam keluarga Kusuma. Tuan Mahendra juga tidak ak
“Kenapa nggak dijawab? Siapa yang telepon?” tanya Alya penasaran. “Bukan siapa-siapa. Ini hanya telepon dari orang yang nggak penting,” jawab Yudha sembari mematikan ponselnya, lalu memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku jasnya. Alya mencebik bibir seraya mengedikkan kedua bahunya. Ia bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Yudha. Jika memang tidak ada apa-apa kenapa ekspresi wajah pria itu terlihat sangat kaget begitu ia mendapat panggilan telepon dari seseorang. Namun, Alya tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati sebelum melangsungkan pernikahan, keduanya harus menghargai privasi masing-masing. Di dalam surat perjanjian itu tertulis: Setelah menikah mereka akan menjalani kehidupan layaknya sebagai pasangan suami istri pada umumnya. Namun, itu mereka lakukan hanya di depan keluarga Yudha. Mereka berdua memang tinggal satu atap dan
Semua orang yang ada di ruangan itu kaget mendengar Alya tiba-tiba berteriak. Terutama Yudha, dari wajahnya terlihat jelas ada kekhawatiran yang sedang dirasakan pria itu saat ini. “Nona, Nona tenanglah.” Dokter langsung mendekati Alya dan berusaha menenangkannya. “Dokter, apa yang terjadi sama saya? Lalu, siapa yang menggantikan pakaian saya?” tanya Alya sambil menatap dokter dengan lekat. Perempuan paruh baya yang mengenakan jas putih itu pun menoleh ke arah Yudha, meminta jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Ayla. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang telah menggantikan pakaian wanita muda itu. “Tolong tinggalkan kami!” pinta Yudha sembari menatap dokter dan juga asisten pribadinya. “Baiklah, saya permisi. Nona, Anda harus banyak istirahat dan jangan terlalu stres.” Dokter tersenyum sambil mengelus pipi Alya dengan lembut. “Terima kasih, Dok,” ucap Alya yang dibalas anggukan kepala oleh sang dokter. “Saya juga permisi, Pak Bos, Bu Bos.” Reno ikut keluar bers
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki
Dengan bekerja di perusahaan ini bukan hanya penghasilan yang akan Alya dapatkan, tetapi ia juga bisa belajar demi mewujudkan impian almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pebisnis, menggantikan posisi sang ayah di Atmadja Enterprise. Tekad Alya semakin kuat untuk mengambil alih perusahaan keluarganya dari tangan Pandu. Ia yakin dan percaya dengan bantuan Yudha Kusuma, semua keinginannya akan segera terwujud.“Iya. Kenapa? Apa kamu tidak senang? Saya menerima kamu karena saya pikir kamu mampu melakukan pekerjaan ini, walaupun kamu hanya lulusan SMA.” Wanita yang berprofesi sebagai Human Resources Development (HRD) menatap Alya dengan tatapan tak terbaca. “Saya senang banget, tapi saya tidak menyangka akan langsung diterima. Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan bekerja dengan baik,” ucap Alya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah wanita berusia 19 tahun itu. “Oke, hari ini kamu sudah bisa bekerja! Selamat bergabung di pe
Tanpa menunggu si penelepon menyelesaikan kalimatnya, Pak Didi sudah lebih dulu mengakhiri percakapan mereka dan segera bergegas keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Yudha tampak gelisah setelah mendapat kabar dari Pak Didi, ia tidak tahu kejadian apa yang dimaksud oleh orang kepercayaan ayahnya itu. “Sebenarnya apa yang ingin Pak Didi bicarakan sama saya? Kenapa beliau tidak bisa menceritakannya lewat telepon?” gumam Yudha sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tak lama kemudian, tampak sebuah mobil yang sudah tidak asing di matanya memasuki halaman cafe. Yudha yang sudah tidak sabar segera menyusul orang tersebut ke parkiran. “Tuan Muda,” ucap Pak Didi saat melihat Yudha mendatanginya. “Kejadian apa yang Bapak maksud?” tanya Yudha langsung to the point. “Kita bicara di dalam mobil saja, Tuan Muda. Biar tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan,” kata Pak Didi mengusulkan. “Oke,” sahut Yudha seraya m
“Akh!” Yudha menjerit tertahan saat sikut Alya tak sengaja menghantam benda pusakanya. Secepat kilat Alya bangkit dari pangkuan pria itu. “Om apa-apaan, sih?” gerutunya sambil menatap Yudha dengan raut wajah kesal. “Maaf,” ucap Yudha. Ia tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. “Sudahlah. Saya mau ke kamar,” ucap Alya, tapi langkahnya terhenti lagi saat Yudha kembali bersuara. “Tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” kata Yudha. Alya memutar bola matanya. “Apa lagi yang mau Om bicarakan?” tanyanya. Belum sempat Yudha menjawab pertanyaan Alya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Dilihatnya nama sang ayah yang sedang menghubunginya, maka dengan sigap pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja lalu menjawab panggilan dari ayahnya. “Iya, Pa.” Suara Yudha terdengar begitu lembut saat bicara dengan orang tuanya. “Yudha, Papa perlu bicara sama kamu. Papa tunggu di rumah malam ini,” kata Tuan Mahendra. “Harus malam ini, Pa? Apa nggak bisa lain waktu?” tanya Yudha sa
Melihat kakak sepupunya kesakitan akibat ditampar oleh sang ibu, Desi bukannya merasa iba, gadis itu justru tersenyum puas.“Makanya kalau bicara sama orang tua itu yang sopan, Mbak,” kata Desi seraya menatap Alya dengan tatapan sinis. “Kalian akan membayar mahal atas apa yang kalian lakukan padaku,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Hahahaha ….” Ratih malah tertawa mendengar ucapan Alya. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak ingusan sepertimu, Alya Namira Atmadja? Apa, hah?” sentaknya sambil menjambak rambut Alya dengan kuat. “Akh, sakit. Lepasin, Tante!” pinta Alya sambil mencengkram pergelangan tangan Ratih, lalu mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga. “Mama …!” Desi berteriak melihat ibunya didorong oleh Alya. Saat ibu dan anak itu sedang lengah, Alya langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. “Des, telepon Papa! Cepat!” perintah Ratih pada putrinya. “Iya, Ma.” Dengan sigap Desi mengambil pon
“Tentu saja dari pemilik perusahaan itu sendiri,” jawab Yudha dengan santai. Alya yang penasaran langsung membaca apa yang tertulis pada selembar kertas yang ada di tangannya. Seketika itu pula matanya langsung membulat sempurna melihat tulisan tangan seseorang yang ada pada kertas itu. “I-ini,” ucap Alya dengan mata berkaca-kaca. Yudha mengangguk seraya tersenyum lembut. “Iya, kamu pasti sudah kenal dengan tulisan tangan itu.” Alya tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar terharu melihat tulisan tangan almarhum ayahnya. Rasa rindu terhadap sang ayah sedikit terobati setelah melihat hasil goresan tangannya. “Papa, apa yang sebenarnya Papa sembunyikan dari Al?” Alya bergumam sambil mendekap selembar kertas yang terdapat tulisan tangan almarhum ayahnya. Alya benar-benar tidak tahu seperti apa hubungan almarhum ayahnya dengan keluarga Kusuma. Ia bahkan baru mengetahui siapa Yudha sebenarnya setelah menikah dengan laki-laki itu. Sejak ayah dan ibunya masih hidup hingga mereka berdua
Merasa tidak tenang dengan kepergian Alya yang terburu-buru, Pak Didi pun bergegas keluar dari ruangannya untuk menyusul wanita itu. Semua karyawan Laluna Enterprise merasa penasaran apa yang terjadi antara direktur perusahaan dengan karyawan baru itu, tetapi mereka tidak punya keberanian hanya untuk sekedar mengajukan pertanyaan. Bahkan, termasuk Amanda selaku orang yang cukup berpengaruh di perusahaan itu. Ia sendiri hanya bisa diam saat melihat Alya keluar dari ruangan direktur dan bergegas pergi meninggalkan perusahaan tanpa berbicara apapun padanya. “Bu Amanda, apa yang terjadi? Kenapa anak baru itu pergi terburu-buru?” salah satu karyawan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya setelah memastikan direktur perusahaan sudah tidak bisa mendengarnya. “Saya juga tidak tahu,” jawab Amanda sembari berlalu meninggalkan salah satu rekan kerjanya. Karena ia memang tidak tahu menahu apa yang terjadi pada Alya dan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Sementara Alya sampai di parkir
“Sekarang Mama sudah tenang setelah mengetahui latar belakang istrimu, tapi Mama belum puas sebelum kamu mengumumkan ke publik tentang pernikahanmu. Kapan kamu akan mengadakan konferensi pers dan memperkenalkan istri kamu kepada semua orang?” tanya Nyonya Indriana. “Jangan, Ma. Yudha belum bisa melakukan itu, belum untuk sekarang.” Yudha langsung menolak permintaan ibunya. “Kenapa, Yudha? Bukankah sekarang semuanya sudah jelas? ” tanya Tuan Mahendra sambil membuka kacamatanya. “Iya, tapi masalahnya tidak sesimpel itu, Pa. Sebelum menikah, kami sudah membuat kesepakatan. Alya tidak ingin ada yang tahu kalau dia sudah menikah sebelum dia berhasil mengambil alih perusahaan keluarganya yang saat ini sudah dikuasai oleh Pak Pandu,” ujar Yudha. “Oh, iya. Pandu itu adik sepupunya Regina, ‘kan?” tanya Nyonya Indriana. “Iya, Ma. Dia juga yang merupakan dalang dibalik kecelakaan yang dialami Om Frans bersama Nyonya Regina,” ungkap Yudha. Sontak saja apa yang disampaikannya membuat Tuan Mah
Tentu saja Tuan Mahendra akan kaget ketika ia mendengar nama Frans Atmadja. Karena orang tersebut dulunya sangat berjasa bagi keluarga Kusuma, terutama bagi Yudha. “Iya, Pa. Alya adalah putri beliau. Papa tentu belum lupa apa peran Om Frans Atmadja dalam keluarga kita. Bukan hanya perusahaan keluarga Kusuma yang beliau selamatkan, tapi nyawa Yudha juga. Seandainya tidak ada Om Frans pada waktu itu, mungkin saat ini Yudha sudah tidak ada di sini bersama Papa,” tutur Yudha dengan sendu. “Jangan bicara seperti itu, Yudha. Papa tidak mau mengingat kejadian buruk itu lagi,” tandas Tuan Mahendra. Darahnya mendidih tatkala mengingat apa yang pernah dialami putranya beberapa tahun silam. “Om Frans mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yudha waktu itu, Pa. Tapi di saat dia meninggal, Yudha malah tidak bisa mengantar beliau ke peristirahatan terakhir.” Yudha meraup wajahnya dengan gusar, ia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri acara pemakaman almarhum Frans Atmadja. “Apa kam
“Akh!” Yudha menjerit tertahan saat sikut Alya tak sengaja menghantam benda pusakanya. Secepat kilat Alya bangkit dari pangkuan pria itu. “Om apa-apaan, sih?” gerutunya sambil menatap Yudha dengan raut wajah kesal. “Maaf,” ucap Yudha. Ia tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. “Sudahlah. Saya mau ke kamar,” ucap Alya, tapi langkahnya terhenti lagi saat Yudha kembali bersuara. “Tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” kata Yudha. Alya memutar bola matanya. “Apa lagi yang mau Om bicarakan?” tanyanya. Belum sempat Yudha menjawab pertanyaan Alya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Dilihatnya nama sang ayah yang sedang menghubunginya, maka dengan sigap pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja lalu menjawab panggilan dari ayahnya. “Iya, Pa.” Suara Yudha terdengar begitu lembut saat bicara dengan orang tuanya. “Yudha, Papa perlu bicara sama kamu. Papa tunggu di rumah malam ini,” kata Tuan Mahendra. “Harus malam ini, Pa? Apa nggak bisa lain waktu?” tanya Yudha sa
Tanpa menunggu si penelepon menyelesaikan kalimatnya, Pak Didi sudah lebih dulu mengakhiri percakapan mereka dan segera bergegas keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Yudha tampak gelisah setelah mendapat kabar dari Pak Didi, ia tidak tahu kejadian apa yang dimaksud oleh orang kepercayaan ayahnya itu. “Sebenarnya apa yang ingin Pak Didi bicarakan sama saya? Kenapa beliau tidak bisa menceritakannya lewat telepon?” gumam Yudha sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tak lama kemudian, tampak sebuah mobil yang sudah tidak asing di matanya memasuki halaman cafe. Yudha yang sudah tidak sabar segera menyusul orang tersebut ke parkiran. “Tuan Muda,” ucap Pak Didi saat melihat Yudha mendatanginya. “Kejadian apa yang Bapak maksud?” tanya Yudha langsung to the point. “Kita bicara di dalam mobil saja, Tuan Muda. Biar tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan,” kata Pak Didi mengusulkan. “Oke,” sahut Yudha seraya m
Dengan bekerja di perusahaan ini bukan hanya penghasilan yang akan Alya dapatkan, tetapi ia juga bisa belajar demi mewujudkan impian almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pebisnis, menggantikan posisi sang ayah di Atmadja Enterprise. Tekad Alya semakin kuat untuk mengambil alih perusahaan keluarganya dari tangan Pandu. Ia yakin dan percaya dengan bantuan Yudha Kusuma, semua keinginannya akan segera terwujud.“Iya. Kenapa? Apa kamu tidak senang? Saya menerima kamu karena saya pikir kamu mampu melakukan pekerjaan ini, walaupun kamu hanya lulusan SMA.” Wanita yang berprofesi sebagai Human Resources Development (HRD) menatap Alya dengan tatapan tak terbaca. “Saya senang banget, tapi saya tidak menyangka akan langsung diterima. Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan bekerja dengan baik,” ucap Alya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah wanita berusia 19 tahun itu. “Oke, hari ini kamu sudah bisa bekerja! Selamat bergabung di pe
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki