hayo. ... siapa yang udah nggak sabar Nadia nikah sama Daniel?
"Pa, kenapa kita malah ke rumah sakit?" Sean mengedarkan pandangannya dan kini beralih menatap ayahnya itu sambil bertanya karena setelah pulang dari mall, dia berpikir akan langsung kembali ke rumah.Tapi Daniel justru membawanya pergi ke rumah sakit.Daniel yang baru saja turun dari mobil itu hanya tersenyum tipis dan mulai menjelaskan, "Sean 'kan belum pernah ketemu sama ibunya Kak Nadia. Beliau sebentar lagi akan jadi Nenek kamu juga, lho.""Oh, ya?!" Mata bocah lelaki itu seketika langsung berbinar senang. "Jadi Sean bakalan punya nenek dua dong, pa?!"Daniel yang mendengar itu hanya tertawa perlahan dan kini dia justru berbalik menatap Nadia. "Maaf aku nggak memberitahukannya padamu secara langsung tadi," ujarnya."Ah, nggak apa-apa, kok." Nadia buru-buru menggelengkan kepalanya karena dia justru merasa senang. Daniel tetap saja perhatian dan tak pernah melupakan Ratna. Itu saja sudah lebih dari cukup baginya. "Ibu juga pasti bakalan ngerasa seneng karena dijenguk," tambahnya.*
"Bu, Nadia pulang dulu, ya. Ibu harus tetap sehat dan jaga diri baik-baik di sini." Nadia tersenyum tipis sambil menatap intens Ratna dan mengecup punggung tangannya perlahan.Ratna mengangguk dan mengelus kepala Nadia sambil berkata, "Kamu tenang aja, Nadia. Ibu pasti akan segera pulih sepenuhnya," ujarnya.Ratna juga sangat ingin hadir di pernikahan putrinya itu. Dia tak mau sekedar menjadi seseorang yang melihat dari belakang saja."Nenek, Sean juga mau pulang. Kapan-kapan, Sean main kesini lagi buat jengukin Nenek." Bocah lelaki itu berjalan mendekat dan langsung bersalaman dengan Ratna.Ratna tersenyum tipis dan berbincang sejenak dengannya. Setelahnya, mereka bertiga berlalu keluar dari ruangan rawat inap Ratna.Daniel yang keluar terakhir itu segera menutup pintu dan kini beralih menatap sosok gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. "Kamu nggak perlu merasa terlalu khawatir, Nadia. Perawat yang aku pekerjakan juga pasti akan menjaga Ibu.""Iya, aku tahu itu." Nadia menga
"Kamu emang anak nggak tahu diri, Monica. Ternyata kamu nggak lebih dari seorang pengkhianat dan memang sepantasnya kehilangan segalanya. Kamu yang sudah memulai perang dan jangan menyesal ketika sesuatu yang sudah kamu perjuangkan pada akhirnya akan hilang."Degh!Jantung Monica terasa berdetak semakin kencang ketika mendengar perkataan Bagaskoro. Dia tahu kalau ini bukanlah sebuah kata-kata peringatan belaka melainkan sebuah ancaman."Ayah pasti sedang merencanakan sesuatu, bukan? Jangan berpikir untuk–""Percuma saja jika kamu mencoba untuk balik mengancam, Monica." Bagaskoro segera memotong ucapan putrinya itu dan kembali melayangkan tatapan tajam sambil tersenyum sinis karena dia bisa merasakan ketakutan mulai menghiasi wajah Monica. "Kamu yang dari awal mencoba untuk berkhianat padahal sudah diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan nyaman. Sekarang kamu juga harus merasakan akibatnya karena sudah berani bermain-main," tambahnya.Monica mencoba untuk menelan salivanya dan tetap
Daniel memutuskan sambungan telepon dan kini menatap ponselnya itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Dia tak pernah menyangka kalau akan mendengar kalimat yang begitu menyentuh hati dari mulut Monica. Padahal selama ini wanita itu selalu mengatakan hal-hal yang buruk dan bahkan terus mengalahkannya karena kehidupannya yang jadi berantakan.Tanpa basa-basi sedikitpun dia langsung mencari nomor kontak sang asisten pribadi dan meneleponnya. Tak perlu waktu lama panggilannya itu langsung dianggap oleh Dion dan suaranya mulai terdengar dari ujung telepon."Halo, Bos?" Dion yang ada di ujung telepon sana terlihat mengerutkan keningnya karena tumben sekali atasannya itu menelepon dan sudah bisa dipastikan kalau ada sesuatu yang terjadi."Dion, berikan peringatan pada Om Bagaskoro." Tanpa basa-basi sedikitpun Daniel langsung mengutarakan isi hatinya itu karena dia tak bisa menahan diri lebih lama lagi sebab mantan ayah mertuanya terus saja mencoba untuk mengusiknya dan ini bahkan sa
"Aku hanya sedikit mengetahui beberapa hal mengenai keluargamu. Kalau kamu memang masih belum siap untuk mengatakannya maka tunda saja karena aku pun tidak akan memaksa." Daniel menatap gadis itu dengan lekat karena dia tak mau membebani Nadia.Sebenarnya bisa saja dia mencoba untuk mencari tahunya sendiri menggunakan koneksinya. Tapi Daniel sengaja tak melakukan itu karena dia hanya ingin tahu mengenai ayah serta ibu Nadia, selebihnya dia menyerahkan privasi sepenuhnya pada calon istrinya itu.Nadia tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa, aku sudah memutuskan untuk mengatakannya padamu." Dia menghela nafas sejenak dan akhirnya menambahkan, "Ibu bilang sebenarnya dia berasal dari keluarga yang bisa dibilang cukup terpandang. Tapi setelah menikah dengan Ayah karena suatu kondisi yang sejujurnya hampir mirip denganku sekarang, Ibu jadi diusir oleh keluarganya dan sampai sekarang pun tak pernah bertemu lagi."Kening Daniel seketika langsung berkerut hingga kedua al
"Ini, maaf sudah membuatmu terkejut." Nadia mengeluarkan tisu pada Daniel karena dia tak menyangka ucapannya itu akan membuat lawan bicaranya justru tersedak.Daniel menerimanya dan mulai menyeka mulutnya itu yang sedikit kotor.Nadia hanya menatapnya lekat dan diam-diam tersenyum tipis. Setiap kali bersama dengan Daniel, bisa memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya tanpa perlu merasa canggung sedikit pun.Bahkan sekarang pria yang terkenal seperti gunung es itu perlahan mulai berubah menjadi lembut dan tentu saja penyayang."Kenapa kamu malah senyum?" Daniel menatap gadis itu dengan kening yang berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Apa ada yang lucu?" tanyanya lagi karena merasa penasaran.Namun Nadia justru menggelengkan kepalanya perlahan dan kembali tersenyum tipis. "Bukan apa-apa, hanya saja melihatmu dalam sisi yang berbeda seperti ini membuatku merasa sedikit kagum dan gak percaya sama sekali.""Maksud mu, aku aneh?""Bukan! Maksudku, kamu itu kan biasanya bersikap sep
Bagaskoro memicingkan matanya dengan tajam ketika melihat suasana perusahaannya yang saat ini seketika langsung berubah sangat drastis semenjak kasusnya itu diangkat dan publik mulai menyorotnya.Dia segera meminta sang sopir untuk berhenti dan berkata, "Putar balik mobilnya sekarang juga!"Bagaskoro tahu dengan jelas bahwa kedatangannya ke kantor itu justru akan membuat suasana menjadi jauh lebih ricuh karena sekarang ada banyak karyawan yang mulai memutuskan untuk resign dan mereka terus-terusan demo. Wartawan juga semakin gencar mendatanginya dan itu membuatmu jadi semakin kesulitan.Sang sopir dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk memutar balik. Tapi sayangnya parah wartawan dan juga karyawan yang sejak tadi sudah menunggu mulai sadar. "Itu dia!" Salah satu karyawan langsung mengarahkan jari telunjuknya tepat ke mobil Bagaskoro.Seketika semua orang langsung menoleh dan berbondong-bondong berlari menuju mobil. Bagaskoro yang melihat itu langsung panik dan
Dion menghela nafas perlahan ketika mendengar semua perkataan Bagaskoro dan rasanya sulit baginya untuk bicara secara baik-baik karena pria itu terus saja mencoba untuk menyerangnya."Sekarang semua keputusan berada di tangan Anda dan saya yakin kalau Anda pasti bisa memikirkan secara baik-baik."Setelah Dion mengatakan itu, dia langsung melirik ke salah satu bawahannya dan memintanya untuk mendekat. Sang bawahan itu dengan patuh langsung mendekat dan memberikan sebuah dokumen yang sedari tadi memang sudah disiapkan. Tanpa basa-basi, Dion kembali berbalik menatap Bagaskoro dan berkata, "Di dalam dokumen ini berisi semua kejahatan Anda dan kami bisa menyebarkan dengan sangat mudah."Bagaskoro memicingkan matanya dengan tajam. Dia benci ketika ditekan seperti ini dan terus-terusan diancam. Rasanya dia ingin sekali merebut dokumen yang saat ini berada tepat di tangan Dion dan melenyapkannya. Tapi tentu saja itu bukanlah perkara yang mudah karena sekarang ada banyak bodyguard yang dibawa o