Wah, kira-kira ad rahasia apa lagi nih?
"Ini, maaf sudah membuatmu terkejut." Nadia mengeluarkan tisu pada Daniel karena dia tak menyangka ucapannya itu akan membuat lawan bicaranya justru tersedak.Daniel menerimanya dan mulai menyeka mulutnya itu yang sedikit kotor.Nadia hanya menatapnya lekat dan diam-diam tersenyum tipis. Setiap kali bersama dengan Daniel, bisa memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya tanpa perlu merasa canggung sedikit pun.Bahkan sekarang pria yang terkenal seperti gunung es itu perlahan mulai berubah menjadi lembut dan tentu saja penyayang."Kenapa kamu malah senyum?" Daniel menatap gadis itu dengan kening yang berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Apa ada yang lucu?" tanyanya lagi karena merasa penasaran.Namun Nadia justru menggelengkan kepalanya perlahan dan kembali tersenyum tipis. "Bukan apa-apa, hanya saja melihatmu dalam sisi yang berbeda seperti ini membuatku merasa sedikit kagum dan gak percaya sama sekali.""Maksud mu, aku aneh?""Bukan! Maksudku, kamu itu kan biasanya bersikap sep
Bagaskoro memicingkan matanya dengan tajam ketika melihat suasana perusahaannya yang saat ini seketika langsung berubah sangat drastis semenjak kasusnya itu diangkat dan publik mulai menyorotnya.Dia segera meminta sang sopir untuk berhenti dan berkata, "Putar balik mobilnya sekarang juga!"Bagaskoro tahu dengan jelas bahwa kedatangannya ke kantor itu justru akan membuat suasana menjadi jauh lebih ricuh karena sekarang ada banyak karyawan yang mulai memutuskan untuk resign dan mereka terus-terusan demo. Wartawan juga semakin gencar mendatanginya dan itu membuatmu jadi semakin kesulitan.Sang sopir dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk memutar balik. Tapi sayangnya parah wartawan dan juga karyawan yang sejak tadi sudah menunggu mulai sadar. "Itu dia!" Salah satu karyawan langsung mengarahkan jari telunjuknya tepat ke mobil Bagaskoro.Seketika semua orang langsung menoleh dan berbondong-bondong berlari menuju mobil. Bagaskoro yang melihat itu langsung panik dan
Dion menghela nafas perlahan ketika mendengar semua perkataan Bagaskoro dan rasanya sulit baginya untuk bicara secara baik-baik karena pria itu terus saja mencoba untuk menyerangnya."Sekarang semua keputusan berada di tangan Anda dan saya yakin kalau Anda pasti bisa memikirkan secara baik-baik."Setelah Dion mengatakan itu, dia langsung melirik ke salah satu bawahannya dan memintanya untuk mendekat. Sang bawahan itu dengan patuh langsung mendekat dan memberikan sebuah dokumen yang sedari tadi memang sudah disiapkan. Tanpa basa-basi, Dion kembali berbalik menatap Bagaskoro dan berkata, "Di dalam dokumen ini berisi semua kejahatan Anda dan kami bisa menyebarkan dengan sangat mudah."Bagaskoro memicingkan matanya dengan tajam. Dia benci ketika ditekan seperti ini dan terus-terusan diancam. Rasanya dia ingin sekali merebut dokumen yang saat ini berada tepat di tangan Dion dan melenyapkannya. Tapi tentu saja itu bukanlah perkara yang mudah karena sekarang ada banyak bodyguard yang dibawa o
Monica menghitung hari dengan perasaan yang gelisah dan dipenuhi dengan rasa sakit karena ternyata tak mudah baginya untuk mengikhlaskan segalanya."5 hari lagi, sidang kedua akan dilaksanakan." Dia menghela nafas perlahan dan kembali duduk memojok sambil memeluk kedua kakinya. "Waktu terasa sangat lama," gumamnya lagi.Dia sudah memutuskan untuk tak lagi berjuang agar bisa keluar dari penjara karena bagaimanapun juga rasanya sangat sulit. Terlebih lagi dia sudah mengakui semua kejahatannya dan satu-satunya cara untuk menebus kesalahannya hanyalah dengan menerima semua hukuman."Kalau saja dulu aku tidak melakukan hal bodoh, mungkinkah hidupku tidak akan menyedihkan seperti ini?"Ketika Monica memikirkannya lagi, ternyata dia memang telah melakukan kesalahan yang begitu besar dan sulit untuk dimaafkan. Pantas saja sekarang ada banyak orang yang membencinya dan terus berbondong-bondong memintanya untuk segera dihukum."Sean, dia yang paling menderita karena kebodohanku." Monica tersenyu
"Tapi kenapa kamu begitu mudah mendapatkan simpati dari mereka?"Monica tahu dengan jelas seberapa sulitnya dulu mencari cara supaya bisa mendapatkan restu dari keluarga Daniel dan tentu saja itu sangat sulit karena pada akhirnya dia tetap saja tak diterima.Hanya saja juga sedikit beruntung karena mengandung anak Daniel, walaupun pada akhirnya tetap harus berpisah karena memang sedari awal dia tak menginginkan adanya seorang anak.Nadia terdiam ketika mendapatkan pertanyaan itu karena sejujurnya dia memang tidak tahu alasan mengapa diterima di dalam keluarga Daniel.Mungkin memang salah satu alasan yang paling kuat karena dia telah mengandung darah daging Daniel."Aku juga tidak tahu," jawabnya sambil menatap Monica dan membiarkan wanita itu memandangnya dengan tajam. "Semua ini terjadi begitu saja," tambahnya.Monica ikut terdiam setelah mendengar perkataan Nadia dan merasa kalau gadis itu memang tak berbohong padanya sama sekali. Ketika memikirkan itu, dia tiba-tiba saja merasa iri
"Nadia, kamu cantik sekali, Nak." Martha memegang kedua pundak gadis yang sebentar lagi akan menjadi menantunya itu sambil tersenyum tipis dan memujinya dengan tulus.Wajah Nadia pun seketika langsung dihiasi dengan gurat kemerahan karena salah tingkah dan dia juga turut menatap ke depan, tepat ke kaca yang memantulkan setengah badannya itu.Saat ini dia baru saja selesai dirias dan tentu saja penampilannya jadi sangat berubah karena Nadia yang hampir tak pernah memakai pakaian feminim itu, tampak sangat berbeda ketika menggunakan gaun pengantin dengan sedikit polesan make up yang anggun."Daniel pasti akan merasa sangat terkejut ketika melihat penampilanmu ini," tambah Martha.Dia memuji calon menantunya itu dengan tulus, tak ada sedikitpun kebohongan dari setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.Sean yang sejak tadi juga mengikuti sang nenek, kini terlihat melongo lebar ketika melihat penampilan Nadia. "Kakak cantik banget," pujinya.Nadia yang mendengar itu hanya bisa tertawa perla
"Maafkan, Ibu. Kamu harus ikut menderita seperti ini dan menjalani kehidupan yang tidak normal karena kesalahan Ibu."Ratna menatap lekat putrinya itu dengan pandangan penuh bersalah. Namun Nadia dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya karena dia tahu ini bukanlah kesalahan ibunya.Nadia kembali meremas lembut tangan ibunya dan berkata, "Bu, kenapa malah berpikiran seperti itu? Nadia sama sekali nggak menyalahkan Ibu atas semua kejadian ini dan Nadia juga tahu kalau ini bukan keinginan Ibu."Dia benci ketika melihat ibunya sedih seperti ini.Jika saja bisa, Nadia selalu ingin membuat ibunya itu tersenyum dan juga bahagia tanpa perlu memikirkan apapun lagi, sambil melanjutkan kehidupannya.Tapi memang masa lalu tak bisa dihapuskan begitu saja karena sampai saat ini pun, Ratna masih ingat dengan seluruh keluarga besarnya, walau dia memang telah dibuang seperti seonggong sampah yang tak berguna.Ratna menghembuskan nafasnya perlahan, begitu sesak dadanya dan sekarang dia hanya bisa
Perkataan Monica barusan telah berhasil membuat para wanita yang sempat menghinanya itu seketika langsung melototkan matanya. Mereka tak menyangka kalau hal ini akan terjadi karena Monica seharusnya sudah tak memiliki keberanian. Tapi apa ini?Kemarahan Monica justru terlihat sangat anggun karena setiap hal yang dikatakannya memang benar adanya."A-apa? Heh! Dasar wanita nggak tahu malu!"Mendengar hal itu, Monica justru tersenyum sinis karena merasa lucu dengan semua perkataan para wanita yang kini tengah mencoba untuk menjatuhkannya. Padahal sejak tadi dia mencoba untuk tidak memulai perdebatan, tapi ternyata mereka semua terus membuatnya merasa marah dan tentu saja dia tak akan diam.Apalagi sang putra mendengar hinaan mereka semua.Monica berbalik menatap anaknya yang sedikit ketakutan, dia memegang kedua bahunya dan berkata, "Sean, kamu pergi ke sana dulu, ya? Mama masih ada urusan sebentar."Sean terlihat sedikit ragu untuk mengikuti perintah ibunya itu. Namun ketika dia melihat
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h