Sudah update ya. selamat membaca dan happy weekend
"Mama itu benci sama Kakak."Degh!Jantungnya dia terasa berdetak semakin terusan ketika mendengarnya. Dia jadi bingung dan hanya bisa menggigit bibir bawahnya perlahan.Namun untungnya Daniel membantu dan dengan cepat langsung berusaha untuk menjelaskan segalanya pada putranya itu supaya tak lagi berasumsi mengenai hubungan buruk antara calon ibu sambung serta ibu kandungnya."Sean, Mama dan Kak Nadia sudah saling memaafkan. Memang benar dulu … Mama kamu itu nggak suka sama Kak Nadia. Tapi sekarang, mereka berdua sudah akur, kok."Ada ketidakpercayaan yang mewarnai raut wajah bocah lelaki itu. Tapi ketika mendengarnya secara langsung dari ayahnya, entah mengapa dia jadi mulai mempercayainya.Apalagi Monica sendiri lah yang sejak awal berniat untuk bertemu dengan Nadia. Rasa khawatirnya itu perlahan jadi hilang karena dia bisa mulai mempercayai ibunya.Nadia tersenyum tipis ketika melihat bocah lelaki itu tak lagi banyak bertanya. Dia mengelus kepalanya perlahan dan berkata, "Ayo kita
Bagaskoro yang mendengar sekretarisnya itu sudah berani berbalik memarahinya seketika langsung memasang tatapan tajam. Dia merasa sangat pusing karena kini tak ada satupun orang yang mau membantunya."Sialan … sekarang apa yang harus kulakukan? Orang-orang brengsek itu tak ada yang mau membantuku sama sekali," desisnya.Semenjak kejadian mengenai dirinya yang berkomplotan dengan putrinya sendiri mencuat ke publik, orang-orang yang dulunya selalu mengekorinya setiap saat kini mulai lenyap satu persatu dan menutup mata serta telinga seolah-olah tak ingin tahu apapun mengenai dirinya.Hanya dengan mengingat hal itu saja telah berhasil membuat jantungnya terasa berdetak semakin kencang dan hatinya pun terbakar oleh amarah."Bagaimana ini, Tuan?" Sang sekretaris kembali bertanya dengan memasang raut wajah khawatir karena meski dia sudah berada di ruangan ini sekalipun, suara riuh dari luar tetap saja terdengar. "Kita tidak mungkin diam saja dan menunggu mereka semua bertindak lebih jauh lag
"Ayah tak akan pernah bisa mendapatkan segalanya jika terus saja berpikir untuk melakukan hal buruk. Ayah hanya akan menemui kehancuran dan semua yang diperjuangkan selama ini dengan cara kotor pasti akan tetap hancur!"Tak ada rasa bersalah sedikitpun yang muncul di dalam hati Monica karena dia tahu dengan jelas bahwa ayahnya tak mungkin sadar dengan mudah.Bagaskoro yang mendengar itu seketika langsung merasakan amarah di dalam hatinya semakin besar. Dia menggebrak meja dan segera memperingatkan, "Jangan bersikap seolah-olah kamu adalah manusia yang suci, Monica! Kamu nggak lebih dari seorang pendosa dan bahkan–""Aku memang pendosa dan kesalahanku sangatlah besar," potong Monica sambil menghela nafas berat ketika mengingat semua perbuatannya selama ini yang memang sangatlah jahat karena dia rela melakukan apapun demi memenuhi ambisi gilanya. "Tapi Ayah pernah sadar atau enggak? Aku selama ini selalu mencoba untuk tidak berkata apapun karena masih menghargai Ayah. Aku rela melakukan
"Daniel, Kapan rencana kalian berdua akan menikah?" Martha tanpa basa-basi langsung menodongkan pertanyaan pada putranya itu. Daniel yang sedang menyesap kopinya seketika langsung tersedak. Untungnya Nadia buru-buru memberikan tisu pada Daniel."Mama ini, biarkan aja dulu. Daniel 'kan lagi minum. Jadi kaget, 'kan!" Hendrawan yang melihat itu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.Martha yang mendengarnya justru memutar bola mata dengan malas dan kembali menatap cucunya sambil menggerutu, "Lah Mama itu cuma nanya aja, Pa. Lagi pula pernikahan ini nggak mungkin kita tunda terus-menerus. Kita juga harus memikirkan soal Nadia, perutnya semakin lama membesar. Mama nggak mau dia jadi gunjingan orang."Martha tahu dengan jelas beratnya menjadi topik utama sebuah gosip dan tentu saja itu merupakan hal buruk karena Nadia saat ini sedang hamil. Perasaan seorang ibu hamil harus dijaga dan tentu saja tak boleh digoyahkan oleh sesuatu yang merepotkan.Orang-orang tentu saja akan merasa segan jik
"Pa, kenapa kita malah ke rumah sakit?" Sean mengedarkan pandangannya dan kini beralih menatap ayahnya itu sambil bertanya karena setelah pulang dari mall, dia berpikir akan langsung kembali ke rumah.Tapi Daniel justru membawanya pergi ke rumah sakit.Daniel yang baru saja turun dari mobil itu hanya tersenyum tipis dan mulai menjelaskan, "Sean 'kan belum pernah ketemu sama ibunya Kak Nadia. Beliau sebentar lagi akan jadi Nenek kamu juga, lho.""Oh, ya?!" Mata bocah lelaki itu seketika langsung berbinar senang. "Jadi Sean bakalan punya nenek dua dong, pa?!"Daniel yang mendengar itu hanya tertawa perlahan dan kini dia justru berbalik menatap Nadia. "Maaf aku nggak memberitahukannya padamu secara langsung tadi," ujarnya."Ah, nggak apa-apa, kok." Nadia buru-buru menggelengkan kepalanya karena dia justru merasa senang. Daniel tetap saja perhatian dan tak pernah melupakan Ratna. Itu saja sudah lebih dari cukup baginya. "Ibu juga pasti bakalan ngerasa seneng karena dijenguk," tambahnya.*
"Bu, Nadia pulang dulu, ya. Ibu harus tetap sehat dan jaga diri baik-baik di sini." Nadia tersenyum tipis sambil menatap intens Ratna dan mengecup punggung tangannya perlahan.Ratna mengangguk dan mengelus kepala Nadia sambil berkata, "Kamu tenang aja, Nadia. Ibu pasti akan segera pulih sepenuhnya," ujarnya.Ratna juga sangat ingin hadir di pernikahan putrinya itu. Dia tak mau sekedar menjadi seseorang yang melihat dari belakang saja."Nenek, Sean juga mau pulang. Kapan-kapan, Sean main kesini lagi buat jengukin Nenek." Bocah lelaki itu berjalan mendekat dan langsung bersalaman dengan Ratna.Ratna tersenyum tipis dan berbincang sejenak dengannya. Setelahnya, mereka bertiga berlalu keluar dari ruangan rawat inap Ratna.Daniel yang keluar terakhir itu segera menutup pintu dan kini beralih menatap sosok gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. "Kamu nggak perlu merasa terlalu khawatir, Nadia. Perawat yang aku pekerjakan juga pasti akan menjaga Ibu.""Iya, aku tahu itu." Nadia menga
"Kamu emang anak nggak tahu diri, Monica. Ternyata kamu nggak lebih dari seorang pengkhianat dan memang sepantasnya kehilangan segalanya. Kamu yang sudah memulai perang dan jangan menyesal ketika sesuatu yang sudah kamu perjuangkan pada akhirnya akan hilang."Degh!Jantung Monica terasa berdetak semakin kencang ketika mendengar perkataan Bagaskoro. Dia tahu kalau ini bukanlah sebuah kata-kata peringatan belaka melainkan sebuah ancaman."Ayah pasti sedang merencanakan sesuatu, bukan? Jangan berpikir untuk–""Percuma saja jika kamu mencoba untuk balik mengancam, Monica." Bagaskoro segera memotong ucapan putrinya itu dan kembali melayangkan tatapan tajam sambil tersenyum sinis karena dia bisa merasakan ketakutan mulai menghiasi wajah Monica. "Kamu yang dari awal mencoba untuk berkhianat padahal sudah diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan nyaman. Sekarang kamu juga harus merasakan akibatnya karena sudah berani bermain-main," tambahnya.Monica mencoba untuk menelan salivanya dan tetap
Daniel memutuskan sambungan telepon dan kini menatap ponselnya itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Dia tak pernah menyangka kalau akan mendengar kalimat yang begitu menyentuh hati dari mulut Monica. Padahal selama ini wanita itu selalu mengatakan hal-hal yang buruk dan bahkan terus mengalahkannya karena kehidupannya yang jadi berantakan.Tanpa basa-basi sedikitpun dia langsung mencari nomor kontak sang asisten pribadi dan meneleponnya. Tak perlu waktu lama panggilannya itu langsung dianggap oleh Dion dan suaranya mulai terdengar dari ujung telepon."Halo, Bos?" Dion yang ada di ujung telepon sana terlihat mengerutkan keningnya karena tumben sekali atasannya itu menelepon dan sudah bisa dipastikan kalau ada sesuatu yang terjadi."Dion, berikan peringatan pada Om Bagaskoro." Tanpa basa-basi sedikitpun Daniel langsung mengutarakan isi hatinya itu karena dia tak bisa menahan diri lebih lama lagi sebab mantan ayah mertuanya terus saja mencoba untuk mengusiknya dan ini bahkan sa