Home / Romansa / Pengantin Tanpa Hati / Pengantin Tanpa Hati

Share

Pengantin Tanpa Hati

Author: Author Ap
last update Last Updated: 2025-01-29 20:09:34

Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.

Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. 

Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. 

Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.

Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. 

Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa, berharap menemukan sesuatu di wajah pria itu, namun yang ia lihat hanyalah rahang yang mengeras dan mata yang kosong, menatap lurus ke depan tanpa emosi.

Aksa sendiri mengenakan jas hitam yang dipotong sempurna, dengan dasi berwarna perak yang mencolok. Ia duduk dengan tubuh tegap, tetapi ekspresinya begitu dingin hingga membuat siapa pun yang menatapnya merasakan jarak. Tangannya terkepal di atas lutut, menunjukkan ketegangan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Nayla kembali mencuri pandang ke arah Aksa, yang bahkan tidak mencoba menatapnya sekali pun. Hatinya mencelos, namun ia menguatkan diri. 

'Aku melakukan ini bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk keluargaku. Aku harus kuat,' batinnya.

Saat giliran tamu-tamu memberikan ucapan selamat, Aksa hanya memberikan senyum singkat dan anggukan dingin. Nayla mencoba lebih ramah, menjabat tangan para tamu dengan sopan, meskipun senyumnya tidak benar-benar sampai ke matanya.

Ketika sore menjelang, acara pernikahan itu akhirnya selesai. Acara itu sengaja dibuat hingga sore, mengingat kondisi Arya-papa Aksa tidak memungkinkan untuk berdiri lama.

Hendra dan Ratih, mendekati putrinya yang kini resmi menjadi istri Aksa. Wajah Hendra tampak penuh beban, sementara Ratih mencoba tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. Mereka berhenti tepat di depan Nayla, menatap putrinya dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan.

Hendra menarik napas dalam sebelum berbicara, suaranya terdengar serak. “Nak, jadilah istri yang baik untuk suamimu,” ucapnya dengan nada berat. Ia mencoba tersenyum, tetapi tatapannya mengungkapkan rasa bersalah yang mendalam. “Papa tahu ini bukan yang kamu inginkan. Tapi, percayalah... semuanya untuk kebaikan kita bersama.”

Nayla menahan emosi yang memuncak di dadanya. Ia ingin protes, ingin berteriak bahwa ini semua tidak adil, tapi ia tahu itu hanya akan menyakitkan semua pihak. “Papa…” suaranya hampir tak terdengar, bergetar menahan tangis.

Ratih, yang berdiri di samping suaminya, menggenggam tangan Nayla dengan lembut. “Mama tahu kamu kuat, Nayla. Maafkan Mama dan Papa kalau keputusan ini terasa berat untukmu. Tapi kami hanya ingin kamu bahagia.” Air mata mulai menetes di pipinya, namun ia segera menyekanya dengan cepat, berusaha terlihat tegar di depan putrinya.

“Bahagia?” gumam Nayla pelan, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca. “Apa Papa dan Mama benar-benar yakin aku bisa bahagia dengan cara seperti ini?”

Hendra terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap putrinya dengan rasa bersalah yang semakin mendalam. Ratih menggenggam tangan Nayla lebih erat, mencoba memberikan kekuatan. “Kebahagiaan itu mungkin tidak datang sekarang, Nak. Tapi... beri waktu. Siapa tahu semuanya bisa berubah menjadi lebih baik.”

Nayla mengangguk pelan. Ia menatap kedua orang tuanya untuk terakhir kalinya sebelum mereka melangkah pergi, meninggalkan aula dengan langkah berat.

Sementara itu, Aksa hanya berdiri kaku di samping Nayla, mendengar percakapan itu tanpa memberikan komentar. Ia juga merasakan tekanan yang sama. Pernikahan ini adalah beban, bukan kebahagiaan.

Setelah Hendra dan Ratih pergi, Nayla mencuri pandang ke arah Aksa yang tetap berdiri tegap, tatapannya masih dingin. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa pria di sampingnya ini adalah orang yang kini harus ia sebut 'suami'. Namun, tidak ada rasa hangat atau nyaman yang ia rasakan, hanya jarak yang begitu nyata di antara mereka.

Apakah waktu benar-benar akan mengubah segalanya? pikir Nayla, sambil memandangi pintu keluar di mana kedua orang tuanya menghilang. 

**

Setelah para tamu pergi dan aula mulai sepi, Nayla dan Aksa masih berdiri di tempat yang sama. Keduanya seperti patung, kaku dalam kebisuan.

Ia menghela napas, mencoba memberanikan diri. Jika mereka akan menjalani ini bersama, setidaknya harus ada komunikasi, meski hanya sedikit. Nayla menoleh ke arahnya dan membuka mulut.

"Mas..." panggilnya pelan, suaranya bergetar.

Namun, Aksa tetap memandang lurus ke depan, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tangannya yang terkepal di samping tubuh hanya semakin mengeras, seolah sedang menahan sesuatu. Nayla menahan rasa frustrasi yang mulai muncul.

"Mas, kita nggak bisa terus begini," ucap Nayla lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Ia melangkah setengah mendekat, mencoba mencari tatapan pria itu. "Aku tahu ini sulit buat kita berdua. Tapi... kita nggak punya pilihan lain sekarang."

Aksa akhirnya menghela napas panjang, tapi bukan untuk menjawab. Ia malah melangkah menjauh, meninggalkan Nayla yang berdiri termangu. 

Dengan nada datar dan tanpa menoleh, ia akhirnya berbicara. "Aku nggak punya energi untuk pura-pura bicara manis. Jangan paksa aku untuk sesuatu yang bahkan aku nggak inginkan."

Kata-katanya menusuk hati Nayla seperti pisau tajam. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna kalimat itu. Napasnya tercekat, tapi ia menegakkan tubuh, berusaha tetap tegar.

"Aku juga nggak menginginkan ini, Mas," balas Nayla pelan, meskipun suaranya terdengar getir. "Tapi kita sudah di sini sekarang. Mau sampai kapan kita seperti ini?"

Aksa berhenti melangkah, punggungnya masih menghadap Nayla. Ia tertawa kecil, tapi tawanya pahit. "Mungkin selamanya," katanya sambil memutar tubuhnya untuk menatap Nayla. "Kamu tahu, aku nggak pernah setuju dengan semua ini. Dan aku nggak akan pura-pura setuju hanya karena kita sudah menikah."

Tatapan dingin Aksa membuat hati Nayla semakin hancur. Ia tahu pria ini tidak pernah mencintainya, dan mungkin tidak akan pernah. Tapi mendengar kata-kata itu langsung dari mulutnya tetap saja terasa menyakitkan.

"Kalau begitu, apa rencanamu, Mas?" tanya Nayla dengan suara pelan tapi tegas. Ia mencoba tetap tenang meskipun dadanya terasa sesak. "Kita sudah menikah. Kamu mau apa sekarang? Lari dari semuanya? Mengabaikanku?"

Aksa tidak langsung menjawab. Matanya menatap Nayla dengan sorot yang sulit ditebak, campuran kemarahan, frustrasi, dan mungkin sedikit rasa bersalah. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. "Aku nggak tahu. Yang aku tahu, aku nggak mau ada di sini sekarang."

Setelah mengatakan itu, Aksa berjalan pergi tanpa menunggu balasan dari Nayla. Suara langkahnya menggema di aula yang kosong, meninggalkan Nayla berdiri sendirian di tengah ruangan. Ia merasa kecil, terabaikan, dan patah hati. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya berdiri diam, menatap punggung Aksa yang perlahan menghilang di balik pintu.

"Di mana Aksa?"

Related chapters

  • Pengantin Tanpa Hati   Pernikahan Macam Apa Ini?

    Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga

    Last Updated : 2025-01-29
  • Pengantin Tanpa Hati   Sikap Dingin Aksa

    Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan

    Last Updated : 2025-01-29
  • Pengantin Tanpa Hati   Permintaan Yang Berat

    Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me

    Last Updated : 2025-01-29
  • Pengantin Tanpa Hati   Terpaksa Menerima

    Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta

    Last Updated : 2025-01-29

Latest chapter

  • Pengantin Tanpa Hati   Sikap Dingin Aksa

    Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan

  • Pengantin Tanpa Hati   Pernikahan Macam Apa Ini?

    Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga

  • Pengantin Tanpa Hati   Pengantin Tanpa Hati

    Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa

  • Pengantin Tanpa Hati   Terpaksa Menerima

    Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta

  • Pengantin Tanpa Hati   Permintaan Yang Berat

    Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status