Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.
“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.
Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”
Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”
Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”
Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” tanyanya dengan suara bergetar.
Arya menarik napas dalam, berusaha tetap tegar. “Kanker pankreas, stadium akhir. Papa baru tahu beberapa bulan lalu, dan dokter bilang peluangnya kecil sekali untuk bertahan lebih lama.”
Tubuh Aksa langsung melemas, seolah semua energinya terserap habis. “Pa... kenapa Papa nggak bilang dari awal? Kenapa Papa diam saja?”
“Papa nggak mau membebani kamu, Aksa,” Arya menjawab dengan suara lembut. “Papa tahu ini sulit untuk kamu terima. Tapi ada satu hal yang Papa ingin lihat sebelum Papa pergi. Papa ingin melihat kamu menikah, Nak. Papa ingin memastikan kamu nggak sendirian, bahwa kamu punya seseorang yang akan mendampingi kamu saat Papa udah nggak ada.”
Aksa menggelengkan kepalanya, mencoba menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. “Jadi, Papa memaksaku menikah hanya karena itu? Karena Papa nggak punya waktu lagi? Pa, ini hidup aku! Aku nggak bisa menikahi seseorang yang aku bahkan nggak kenal hanya untuk memenuhi keinginan Papa!”
Arya berdiri perlahan, berjalan mendekati Aksa. “Papa tahu ini nggak adil untuk kamu. Papa tahu kamu mungkin merasa tertekan. Tapi, Aksa, Papa percaya pada Nayla. Dia gadis yang baik. Dia pintar, mandiri, dan punya ambisi besar. Dia bisa menjadi pendamping yang luar biasa untukmu.”
“Pa, itu nggak cukup. Aku harus mencintainya, aku harus mengenalnya. Ini bukan keputusan yang bisa diambil begitu saja,” suara Aksa mulai meninggi, mencerminkan rasa frustrasinya.
Arya menatap putranya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Suaranya melembut, hampir seperti bisikan. “Aksa... apa kamu tidak ingin mengabulkan permintaan kecil dari Papa? Apa kamu tidak ingin Papa pergi dengan tenang... jika sudah tiba waktunya bagi Papa?”
Ucapan itu membuat dada Aksa terasa sesak. Ia menunduk, menggigit bibirnya sendiri, mencoba menahan emosi yang hampir meledak. “Pa... jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak mau Papa pergi. Aku bahkan nggak mau mikirin itu.”
Arya mengangguk pelan, seolah memahami perasaan putranya. “Papa tahu ini berat untuk kamu, Nak. Berat juga untuk Papa. Tapi waktu Papa nggak banyak lagi. Satu hal yang bisa membuat Papa merasa lega adalah melihat kamu tidak sendirian, Aksa. Melihat kamu memiliki seseorang yang bisa kamu andalkan, yang bisa menjagamu ketika Papa sudah nggak ada.”
“Pa, kenapa harus Nayla? Kenapa harus secepat ini? Aku nggak ngerti, Pa. Kenapa semuanya harus dipaksakan seperti ini?” suara Aksa mulai serak, emosi yang ia coba tahan akhirnya mencuat.
Arya mengulurkan tangannya, meraih bahu Aksa dengan lembut. “Bukan karena Papa ingin memaksamu, Nak. Tapi karena Papa percaya Nayla bisa menjadi seseorang yang berarti untukmu. Papa sudah melihat bagaimana dia. Dia gadis yang luar biasa. Kalau kamu mau memberinya kesempatan, Papa yakin kalian bisa saling mengenal dan menemukan sesuatu yang berharga di antara kalian.”
Aksa menggelengkan kepala, menghindari tatapan ayahnya. “Pa, aku nggak tahu apa aku bisa melakukan ini. Aku nggak tahu apa aku bisa bahagia dengan cara seperti ini.”
Arya menatap putranya dengan sorot mata lelah dan penuh kepasrahan. Setelah beberapa detik hening, ia berkata dengan nada pelan, hampir menyerah, “Baiklah, Nak, kalau kamu tidak mau. Papa tidak akan memaksa lagi. Mungkin Papa terlalu egois berharap kamu mau mengabulkan permintaan terakhir Papa.”
Kata-kata itu bagai palu yang menghantam dada Aksa. Ia terdiam, tak mampu membalas apa pun. Pandangan ayahnya yang penuh rasa kecewa dan sedih justru membuat pikirannya semakin kacau. Ia memalingkan wajah, tak sanggup menatap Arya lebih lama.
“Pa jangan bicara seperti itu. Papa nggak akan meninggal, kita akan pergi keluar negeri untuk berobat. Pasti Papa sembuh," ucapnya, masih keberatan dengan ide gila ini.
Arya menatap putranya dengan senyum tipis yang sarat kepedihan. Ia menggeleng pelan, seolah menolak harapan Aksa yang masih menggantung. “Tidak ada yang bisa dilakukan lagi, Nak. Semua dokter mengatakan begitu. Papa sudah mencoba semuanya. Papa hanya ingin sisa waktu Papa dipenuhi dengan kebahagiaan, bukan rasa khawatir.”
Aksa terdiam, rahangnya mengeras. Ia tidak ingin mempercayai ucapan ayahnya, namun suara Arya yang terdengar pasrah membuatnya sulit menyangkal kenyataan.
Arya melangkah mundur, perlahan menuju pintu. “Sudahlah, Nak, kalau kamu memang tidak mau, tidak masalah. Papa tidak akan memaksa. Yang Papa inginkan hanya melihat kamu bahagia, meskipun mungkin caranya bukan seperti yang Papa harapkan.”
Langkah Arya terdengar berat di lantai kayu, meninggalkan ruangan dengan udara penuh ketegangan. Namun sebelum Arya sempat menyentuh gagang pintu, suara Aksa menggema, menghentikan langkahnya.
“Baiklah, Pa. Aku akan menikah,” suara Aksa terdengar berat, seperti dipaksakan keluar dari tenggorokannya.
Arya berhenti, punggungnya masih menghadap Aksa. Tubuhnya tampak sedikit kaku, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Perlahan, ia berbalik, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu serius, Nak?” tanya Arya, suaranya bergetar.
Aksa mengangguk dengan enggan, rahangnya masih mengeras menahan emosi. “Iya, Pa. Aku akan menikah. Kalau itu bisa membuat Papa tenang, aku akan melakukannya.”
Arya menghampiri Aksa dengan langkah perlahan, matanya menunjukkan campuran kebahagiaan dan kesedihan. “Nak... terima kasih. Papa tahu ini sulit untukmu, tapi Papa sangat menghargainya.”
Aksa memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. “Jangan terlalu berharap banyak, Pa. Aku cuma melakukan ini untuk Papa, bukan karena aku yakin ini keputusan yang benar.”
Arya mengangguk, memahami perasaan putranya. Ia menepuk bahu Aksa dengan lembut, mencoba memberi kekuatan. “Papa tahu, Nak. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk Papa. Terima kasih... terima kasih banyak.”
"Sebaiknya Papa istirahat sekarang. Aku akan ke kantor. Ada meeting siang ini," ucap Aksa, kemudian keluar dari ruangan itu dengan perasaan kacau.
****
"Saaah!!"
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me