Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana.
"M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.
Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."
Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.
Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."
Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan keras yang membekas. "Aku nggak pernah mau ganggu hidup kamu," jawabnya lirih, hampir seperti bisikan.
Aksa menatap Nayla sejenak, lalu menghela napas panjang. "Bagus kalau kamu paham." Ia melangkah menuju sofa besar di sudut kamar, melemparkan dirinya ke sana dengan santai. "Aku akan tidur di sini. Jadi, jangan khawatir aku bakal mendekati kamu," ucapnya tanpa menatap Nayla.
Nayla mencoba menahan air mata yang sudah menggantung di pelupuk mata. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Aksa, meskipun hatinya terasa remuk. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju tempat tidur dan menyelimuti dirinya, membelakangi sofa tempat Aksa berada.
Dalam keheningan malam itu, Nayla menatap kosong ke arah dinding, air matanya akhirnya jatuh. Di sisi lain, Aksa tetap duduk di sofa, memejamkan mata, seolah tidak peduli.
Tak lama, Aksa bangkit dari sofa dengan wajah masam. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju kamar mandi di sudut ruangan. Pintu ditutupnya dengan suara cukup keras, membuat Nayla sedikit terkejut di tempat tidur. Namun, ia tetap diam, tidak ingin memancing masalah.
Di dalam kamar mandi, Aksa berdiri di depan wastafel, menatap bayangannya sendiri di cermin. Sorot matanya penuh dengan amarah yang ia pendam sejak pernikahan ini dipaksakan kepadanya. Rahangnya mengeras, dan ia mengepalkan tangan dengan kuat.
"Apa-apaan ini...," gumamnya dengan suara rendah, hampir seperti desisan. Ia memalingkan wajah, merasa jijik dengan dirinya sendiri karena tidak mampu melawan keputusan keluarganya.
Tanpa berpikir panjang, Aksa mengayunkan tinjunya ke dinding marmer. Suara pukulan itu menggema di ruangan, disusul rasa perih yang menjalar di tangannya. Namun, ia tidak peduli. Luka kecil yang mulai mengeluarkan darah di buku jarinya terasa tidak sebanding dengan luka batinnya.
"Aku nggak mau hidup seperti ini!" teriaknya, kali ini lebih keras, meskipun suaranya masih teredam oleh dinding kamar mandi. Amarah dan frustrasi yang selama ini ia tahan akhirnya meledak, meski hanya di ruangan kecil ini.
Aksa merosot, duduk di lantai kamar mandi dengan punggung bersandar pada dinding dingin. Tangannya yang terluka dibiarkannya begitu saja, sementara pikirannya dipenuhi oleh rasa benci kepada situasi yang menjeratnya.
Di sisi lain, Nayla mendengar suara benturan keras dari arah kamar mandi. Ia merasa cemas namun tidak berani bertindak. Pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mendekat? Tapi mengingat sikap Aksa yang dingin tadi, Nayla merasa lebih baik tidak ikut campur.
Di dalam kamar mandi, Aksa menutup matanya rapat-rapat. Ia mencoba mengatur napas, meskipun dadanya masih terasa sesak. "Sampai kapanpun aku nggak akan pernah menerima ini," gumamnya lagi, suaranya lebih pelan kali ini.
Setelah beberapa menit, Aksa berdiri, membasuh tangan yang terluka di bawah air dingin. Ia meringis, namun tetap menyelesaikan apa yang ia lakukan sebelum keluar dari kamar mandi.
Ketika pintu terbuka, Nayla sudah memejamkan mata, berpura-pura tidur. Aksa melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali ke sofa. Ia merebahkan diri, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang kacau.
****
Nayla terbangun pagi itu dengan perasaan campur aduk. Ia melirik sekilas ke arah sofa, di mana Aksa masih terlelap dengan posisi yang tampak tidak nyaman.
Wajah pria itu terlihat sedikit lebih damai dalam tidurnya, namun tetap menyisakan kesan dingin yang sulit diabaikan. Nayla menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai, ia mengenakan pakaian sederhana berupa kemeja dan celana panjang. Rambutnya ia ikat rapi sebelum melangkah keluar kamar, membiarkan Aksa tetap tertidur tanpa ingin mengganggunya.
Saat tiba di bawah, Nayla mendapati kepala pelayan, Bu Sari, sudah sibuk di dapur. Beberapa asisten juga tampak berlalu-lalang, menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah.
"Selamat pagi, Bu," sapa Nayla dengan suara pelan. Ia ragu sejenak, tidak tahu harus melakukan apa. "Boleh saya bantu?" tanyanya akhirnya.
Bu Sari menoleh, sedikit terkejut. "Oh, selamat pagi, Nona Muda. Tidak perlu, Nona. Ini sudah tugas kami," jawabnya dengan sopan, meskipun ada nada ragu dalam suaranya.
Namun, Nayla tersenyum kecil, mencoba meyakinkan. "Saya tidak keberatan. Lagipula, saya tidak tahu harus melakukan apa kalau hanya duduk diam."
Melihat kesungguhan di mata Nayla, Bu Sari akhirnya menyerah. "Baiklah, kalau begitu. Nona bisa membantu memotong sayuran ini," ujarnya sambil memberikan pisau dan beberapa sayuran yang sudah disiapkan.
Nayla menerima tugas itu dengan senang hati, lalu mulai memotong sayuran dengan hati-hati. Meski sederhana, aktivitas itu memberinya rasa tenang, setidaknya untuk sementara waktu. Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya lepas dari kejadian semalam—tatapan dingin Aksa, ucapan tajamnya, dan suara benturan keras dari kamar mandi.
"Maaf, Bu," Nayla mencoba memecah keheningan, "biasanya keluarga sarapan bersama atau masing-masing?"
Bu Sari tersenyum tipis sambil terus memotong buah-buahan. "Tuan Besar biasanya sarapan di ruang makan, Nona. Tapi Tuan Muda Aksa... dia lebih sering sarapan di kamarnya, atau malah langsung pergi tanpa makan." Nayla mengangguk kecil.
Setelah beberapa saat, semua makanan sudah disiapkan dan disusun rapi di meja makan. Nayla duduk di salah satu kursi, sembari menunggu yang lain, ketika suara langkah berat terdengar dari arah tangga.
Ia menoleh dan mendapati Aksa melangkah masuk ke ruang makan. Rambutnya masih sedikit berantakan, namun sorot matanya sudah kembali memancarkan sikap dingin yang sama seperti sebelumnya.
Aksa hanya melirik Nayla sekilas sebelum duduk di ujung meja tanpa berkata apa-apa. Suasana canggung menyelimuti ruang makan.
"Mas mau sarapan?" tanya Nayla akhirnya, mencoba menghilangkan ketegangan.
Aksa menatapnya sekilas dengan ekspresi datar. "Jangan sok perhatian," jawabnya singkat.
Bu Sari segera datang dengan secangkir kopi, meletakkannya di depan Aksa. Pria itu mengangguk kecil tanpa mengucapkan terima kasih, lalu meminum kopinya dalam diam. Setelah beberapa tegukan, ia berdiri, membawa cangkirnya, dan melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi.
Nayla hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang di balik dinding pembantas, mencoba menenangkan perasaannya.
Bu Sari yang melihat wajah Nayla hanya bisa berkata pelan, "Sabar ya, Nona. Tuan Muda memang begitu. Tapi mungkin... perlahan dia akan melunak."
Nayla tersenyum kecil meski hatinya masih terasa berat. "Semoga saja, Bu," gumamnya, meski ia sendiri tidak sepenuhnya yakin.
"Aksa, ikut Papa sekarang!"
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me