Aksa menghela napas kasar, jelas tidak menyukai situasi ini. Namun, melihat tatapan tajam sang ayah, ia tahu tidak ada gunanya membantah.
Tanpa sepatah kata pun, Aksa mengikuti langkah sang ayah dari belakang. Gerakannya tampak santai, tetapi dalam hatinya, ia sudah merasa muak. Nayla yang masih duduk di meja makan. Hanya bisa menghela napas berat, sembari menatap menu sarapan yang tertata di atas meja. Ia akan menunggu papa mertuanya terlebih dahulu. Sementara itu, Aksa berjalan menyusul ayahnya menuju ruang kerja. Begitu mereka masuk, sang ayah menutup pintu dengan sedikit kasar, lalu berbalik menatap Aksa dengan sorot mata penuh tekanan. "Kamu sampai kapan mau bersikap begini?" suara pria itu terdengar berat, nyaris seperti geraman. Aksa menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Maksud Papa apa?" tanyanya dengan nada malas. Sang ayah mendengus kesal. "Jangan pura-pura bodoh, Aksa. Ini baru satu hari pernikahanmu dengan Nayla, dan kamu bersikap seperti anak kecil. Kamu pikir sikap dinginmu itu bisa mengubah keadaan?" Aksa mengatupkan rahangnya, tetapi ia tetap memasang ekspresi tak peduli. "Aku nggak pernah setuju dengan pernikahan ini, Pa. Jadi kenapa aku harus pura-pura senang?" Sang ayah mendekat, menatap Aksa dengan tajam. "Kamu bukan anak kecil lagi. Ini bukan tentang suka atau tidak suka, ini tentang tanggung jawab. Mau sampai kapan kamu bersikap kekanakan seperti ini?" Aksa tertawa kecil, sinis. "Kekanakan?" Ia melangkah maju, menatap langsung mata ayahnya. "Papa yang memaksakan pernikahan ini, lalu sekarang Papa minta aku bertanggung jawab atas sesuatu yang bahkan aku sendiri nggak pernah inginkan?" "Kamu pikir hidup ini selalu tentang keinginanmu?" suara ayahnya semakin dingin. "Kamu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini, Aksa. Cepat atau lambat, kamu harus mengambil alih tanggung jawab keluarga. Dan pernikahan ini adalah bagian dari itu." Aksa mengepalkan tangannya. Ia tahu ini semua soal bisnis, soal nama baik keluarga, dan soal warisan yang ingin dijaga ayahnya. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan perasaannya. "Aku nggak peduli dengan semua itu," gumamnya, mencoba mengendalikan emosinya. Sang ayah menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Baik. Kalau kamu tetap keras kepala, jangan harap bisa bebas dari ini. Selama kamu masih membawa nama keluarga ini, kamu akan mengikuti aturan." Aksa terdiam, rahangnya mengeras. Ia tahu ayahnya tidak akan pernah mundur. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba melawan, tetap saja ia akan selalu dikendalikan. "Terserah Papa," akhirnya Aksa berkata, lalu berbalik menuju pintu. Sebelum ia bisa keluar, suara ayahnya kembali terdengar. "Dan satu lagi," pria itu menatapnya dengan tajam. "Jangan memperlakukan Nayla seperti musuh. Dia istrimu sekarang, dan Papa tidak ingin mendengar kabar buruk tentang pernikahan kalian." Aksa tidak menjawab. Ia hanya menggertakkan giginya sebelum akhirnya keluar, membanting pintu dengan cukup keras. Di luar, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang terasa sesak. Ia melangkah menuju kamarnya untuk bersiap berangkat kerja. Tidak akan ada libur, hanya karena pernikahan tak berguna menurutnya. Namun, saat ia sampai di kamar, ia justru melihat sosok Nayla sedang berdiri di dekat jendela, berbalik menatapnya. Mata mereka bertemu sesaat, tetapi Aksa segera memalingkan wajah, memilih berjalan begitu saja menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti ketika Nayla tiba-tiba berkata pelan, "Sampai kapan kamu akan terus menghindar, Mas?" Aksa mengepalkan tangannya, tetapi ia tidak berbalik. "Bukan urusanmu," jawabnya dingin sebelum melanjutkan langkahnya. Nayla menatap punggung Aksa yang menghilang di balik pintu kamar mandi, lalu menghela napas panjang. Ia tahu pernikahan ini sulit, tetapi ia tidak menyangka akan sesulit ini. Nayla memilih untuk menyiapkan keperluan Aksa untuk berangkat ke kantor. Ia tahu mungkin ini tidak akan disukai oleh pria yang sudah berstatus suaminya itu. Tapi, Nayla juga tahu ini adalah tanggung jawabnya sekarang. Nayla menoleh cepat saat pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Aksa yang masih berantakan. Karena Ia melupakan handuk saat memasuki kamar mandi. "Apa yang kamu lakukan?" suara Aksa terdengar dingin, membuat Nayla sedikit terkejut. Ia menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Apa lagi, kalau bukan menyiapkan keperluan kamu ke kantor?" jawabnya pelan, matanya melirik dasi dan jas yang sudah ia letakkan rapi di atas ranjang. Aksa mendengus, melangkah mendekati gantungan handuk dengan tatapan tajam. "Jangan pernah sentuh barang-barangku, paham?" ucapnya dengan nada penuh peringatan. "Dan jangan sok peduli!" Nayla mengatupkan bibirnya rapat-rapat, merasakan hatinya kembali diremas oleh ucapan pria itu. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya ingin membantu. Bukan karena aku peduli, tapi karena aku tidak mau dipermalukan kalau suamiku datang ke kantor dengan pakaian berantakan." Aksa menyipitkan matanya, jelas tidak menyukai ucapan Nayla. Namun, ia memilih untuk tidak membalas. Ia kembali melangkah memasuki kamar mandi. Nayla mengamati gerakannya yang terlihat sedikit kaku. Aksa memang terbiasa mengurus dirinya sendiri, tetapi entah kenapa, kali ini Nayla merasa ada sedikit emosi dalam setiap gerakan pria itu—seolah ia sedang menahan sesuatu. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu membuat Nayla tersentak dari lamunannya. Ia mengedipkan mata beberapa kali sebelum akhirnya melangkah ke arah pintu. "Nona, sudah ditunggu Tuan Besar di meja makan," suara Bu Sari terdengar lembut namun tegas dari balik pintu. Nayla menghela napas sejenak sebelum membuka pintu. Ia menatap Bu Sari yang berdiri dengan senyum ramah, seolah bisa merasakan kebingungan dan tekanan yang sedang ia alami. "Baik, Bu. Saya segera turun," jawab Nayla dengan suara yang ia usahakan tetap tenang. Bu Sari mengangguk kecil sebelum berbalik pergi, meninggalkan Nayla yang masih berdiri di ambang pintu. Ia melirik ke arah ranjang, tempat semua keperluan Aksa yang tadi ia siapkan. Berharap suaminya itu mengenakannya. Dengan langkah pelan, Nayla berjalan keluar dari kamar, bersiap menghadapi sarapan bersama Tuan Besar—mertua yang bahkan belum terlalu ia kenal. Arya tersenyum tipis saat melihat Nayla melangkah masuk ke ruang makan. Dengan gestur tangan, ia menunjuk kursi di seberangnya. "Ayo duduk, kita sarapan bersama," ucapnya dengan suara tegas namun tetap ramah. Nayla mengangguk pelan sebelum menarik kursinya dan duduk. Suasana ruang makan terasa sedikit kaku. Makanan sudah tersaji dengan rapi, aroma khas masakan dan kopi memenuhi udara. Namun, Nayla merasa ada hal lain yang lebih penting untuk ia sampaikan. "Pa," ucap Nayla dengan hati-hati, menatap Arya dengan sopan. "Apakah boleh setelah ini aku izin untuk pergi kuliah?" Arya meletakkan sendoknya sejenak, menatap Nayla dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Kuliah?" Arya mengulang kata itu, seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Kenapa tiba-tiba membicarakan ini, Nay?" Nayla terdiam sesaat, lalu menjelaskan, "Aku ingin menyelesaikan studiku. Aku hanya butuh izin supaya bisa tetap kuliah seperti biasa." Arya terdiam selama beberapa detik, Arya kembali menatap Nayla. "Baiklah," katanya akhirnya. "Papa tidak keberatan selama kamu bisa membagi waktu dengan baik." Mata Nayla berbinar. "Terima kasih, Pa," ucapnya tulus. "Eh, Aksa. Bagaimana tang--" "Aku nggak peduli!"Jawaban Aksa memotong ucapan Arya. Ia melirik Nayla sekilas, sorot matanya dingin dan penuh ketidakpedulian, sebelum melangkah pergi dari sana.Arya menghela napas panjang, menatap punggung putranya yang menghilang di balik pintu. "Anak itu memang keras kepala," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Nayla menundukkan kepala, merasa dadanya sedikit sesak. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini tidak akan mudah, tetapi tidak menyangka Aksa akan begitu terang-terangan menolaknya bahkan di depan keluarga.Nayla menatap punggung Arya, pakaian itu... bukan pakaian yang ia siapkan tadi. Makin membuat hatinya makin teriris.Arya yang sejak tadi mengamati, hanya bisa tersenyum tipis, seolah memahami perasaan Nayla. "Nak, makanlah dulu. Sarapan tidak baik kalau dibiarkan dingin," ujarnya lembut.Nayla tersenyum kecil, mencoba mengabaikan perasaan sesaknya. Ia mengambil sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, meski tanpa selera.Sementara itu, di luar rumah, Aksa berjalan dengan lang
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpuk. Ponselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana. “Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat. “Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut. Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas. “Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan. “Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla. “Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon. Dengan perasaan tidak menentu, Nayla s
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Jawaban Aksa memotong ucapan Arya. Ia melirik Nayla sekilas, sorot matanya dingin dan penuh ketidakpedulian, sebelum melangkah pergi dari sana.Arya menghela napas panjang, menatap punggung putranya yang menghilang di balik pintu. "Anak itu memang keras kepala," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Nayla menundukkan kepala, merasa dadanya sedikit sesak. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini tidak akan mudah, tetapi tidak menyangka Aksa akan begitu terang-terangan menolaknya bahkan di depan keluarga.Nayla menatap punggung Arya, pakaian itu... bukan pakaian yang ia siapkan tadi. Makin membuat hatinya makin teriris.Arya yang sejak tadi mengamati, hanya bisa tersenyum tipis, seolah memahami perasaan Nayla. "Nak, makanlah dulu. Sarapan tidak baik kalau dibiarkan dingin," ujarnya lembut.Nayla tersenyum kecil, mencoba mengabaikan perasaan sesaknya. Ia mengambil sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, meski tanpa selera.Sementara itu, di luar rumah, Aksa berjalan dengan lang
Aksa menghela napas kasar, jelas tidak menyukai situasi ini. Namun, melihat tatapan tajam sang ayah, ia tahu tidak ada gunanya membantah.Tanpa sepatah kata pun, Aksa mengikuti langkah sang ayah dari belakang. Gerakannya tampak santai, tetapi dalam hatinya, ia sudah merasa muak.Nayla yang masih duduk di meja makan. Hanya bisa menghela napas berat, sembari menatap menu sarapan yang tertata di atas meja. Ia akan menunggu papa mertuanya terlebih dahulu. Sementara itu, Aksa berjalan menyusul ayahnya menuju ruang kerja. Begitu mereka masuk, sang ayah menutup pintu dengan sedikit kasar, lalu berbalik menatap Aksa dengan sorot mata penuh tekanan."Kamu sampai kapan mau bersikap begini?" suara pria itu terdengar berat, nyaris seperti geraman.Aksa menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Maksud Papa apa?" tanyanya dengan nada malas.Sang ayah mendengus kesal. "Jangan pura-pura bodoh, Aksa. Ini baru satu hari pernikahanmu dengan Nayla,
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpuk. Ponselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana. “Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat. “Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut. Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas. “Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan. “Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla. “Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon. Dengan perasaan tidak menentu, Nayla s