Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpuk
Ponselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.
“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.
“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.
Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.
“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.
“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.
“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.
Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera membereskan barang-barangnya, memasukkan buku-buku ke dalam tas, lalu bergegas meninggalkan perpustakaan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, rasa khawatir terus menghantuinya. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan berbagai kemungkinan buruk tak henti-hentinya melintas di benaknya.
“Semoga ini bukan sesuatu yang buruk,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Setibanya di rumah, ia melihat papa dan mamanya duduk di ruang tamu dengan wajah serius. Nayla bingung, namun tepat melangkah masuk dengan pikiran masih campur aduk.
Nayla duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan papa dan mamanya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia berusaha tetap tenang. Kedua orang tuanya tampak ragu untuk memulai pembicaraan, terutama papanya, Hendra, yang menatap meja dengan ekspresi berat.
“Ada apa, Pa, Ma? Kenapa Nayla diminta pulang buru-buru? Apa ini tentang sesuatu yang serius?” tanya Nayla dengan hati-hati, suaranya terdengar cemas.
Hendra menarik napas panjang, lalu menatap Nayla dengan mata yang menyiratkan rasa bersalah. “Papa tidak tahu harus mulai dari mana, Nak. Tapi, perusahaan kita sedang dalam masalah besar.”
Nayla tertegun. “Masalah? Masalah apa maksud Papa?”
“Keuangan, Nak,” ujar Hendra pelan. “Perusahaan Papa hampir bangkrut. Kita membutuhkan suntikan dana yang sangat besar untuk menyelamatkannya. Kalau tidak, semuanya akan hancur. Tidak hanya perusahaan, tapi juga masa depan keluarga kita.”
Nayla menelan ludah, berusaha mencerna informasi itu. Namun, kebingungannya segera berubah menjadi kecurigaan. “Tapi kenapa Nayla yang harus pulang untuk mendengar ini? Apa hubungannya dengan Nayla?” tanyanya, nada suaranya sedikit meninggi.
Mamanya, Ratih, mencoba menenangkan. “Nayla, ini bukan hal yang mudah bagi kami untuk mengatakannya. Tapi, ini satu-satunya cara agar kita bisa menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita.”
Nayla memandang mamanya dengan tatapan tidak percaya. “Cara apa, Ma?”
Hendra akhirnya angkat bicara. “Papa sudah bicara dengan seorang teman bisnis. Dia bersedia membantu perusahaan kita. Dia akan memberi suntikan dana yang besar untuk menutupi kerugian. Tapi, dia punya satu syarat...”
Nayla mengerutkan kening. “Syarat? Syarat apa?”
Hendra menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, “Dia ingin kamu menikah dengan putranya.”
Nayla terperanjat. “Apa?! Menikah?! Papa serius?”
“Papa tidak punya pilihan lain, Nak. Ini satu-satunya cara agar kita bisa menyelamatkan perusahaan. Kalau tidak, semua akan hilang. Termasuk rumah ini, pendidikanmu dan juga Rina, segalanya.”
Nayla terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Pikirannya penuh dengan rasa bingung dan marah. “Jadi, Nayla harus mengorbankan hidup Nayla untuk menikah dengan orang yang Nayla bahkan tidak kenal? Hanya demi perusahaan?”
“Nayla, ini bukan hanya tentang perusahaan,” ucap Ratih dengan nada memohon. “Ini tentang keluarga kita. Tentang semua orang yang bekerja di perusahaan. Mereka bergantung pada kita.”
“Siapa orang ini? Siapa yang ingin Nayla nikahi?” desak Nayla.
Hendra menatapnya dalam-dalam. “Aksa, putra dari tuan Arya Mahendra. Teman bisnis Papa sejak dulu.”
Nama itu terdengar asing di telinga Nayla, tetapi kemarahan dan kebingungannya terus memuncak. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi jika semua ini dia setujui.
Nayla memalingkan wajah, mencoba menahan emosi yang meluap-luap. Ia merasa seperti terjebak di sudut tanpa jalan keluar.
“Tapi, Pa... Nayla punya mimpi. Nayla ingin jadi desainer terkenal. Nayla sedang mengejar itu. Bagaimana bisa Nayla mengorbankan semuanya untuk ini?” suara Nayla mulai bergetar, mencerminkan perasaan frustrasinya.
Hendra menatap Nayla dengan tatapan berat, tetapi nadanya tetap tenang. “Nayla, Papa mengerti mimpimu, tapi bagaimana kamu akan menggapai itu jika kita bangkrut? Kamu pikir Papa masih bisa membiayai kuliahmu, kehidupanmu? Tidak, Nak. Kalau perusahaan ini hancur, segalanya akan ikut hancur. Bahkan, untuk kebutuhan sehari-hari pun, Papa tidak yakin kita mampu.”
“Tapi ini tidak adil, Pa! Kenapa Nayla yang harus menanggung semuanya? Ini bukan tanggung jawab Nayla,” Nayla memprotes, suaranya meninggi.
Ratih menggenggam tangan Nayla, mencoba meredakan ketegangan. “Nak, Mama tahu ini berat. Mama tahu kamu merasa ini bukan tanggung jawabmu. Tapi, tolong pahami, ini untuk keluarga kita. Kalau perusahaan ini jatuh, kita tidak hanya kehilangan harta, tapi juga kehormatan. Tolong, Nak, pikirkan lagi. Pikirkan semua orang yang bergantung pada kita.”
Air mata mulai menggenang di mata Nayla. Ia tidak tahu harus berkata apa. Hatinya dipenuhi konflik antara mengejar mimpi-mimpinya dan memenuhi tanggung jawab besar yang tiba-tiba dibebankan padanya.
“Kamu tidak perlu jawab sekarang, Nayla,” lanjut Hendra dengan nada lebih lembut. “Papa tahu ini bukan keputusan mudah. Tapi Papa ingin kamu memikirkannya baik-baik. Kamu tidak hanya menyelamatkan keluarga kita, tapi juga semua orang yang bekerja di perusahaan. Hidup mereka bergantung pada keputusan ini.”
Ratih menambahkan, “Mama yakin, kalau kamu ikhlas, kamu akan menemukan kebahagiaan. Tuan Arya adalah sahabat lama papa, dan Aksa pasti pria yang baik."
“Aku tidak tahu, Ma, Pa. Aku benar-benar tidak tahu,” gumam Nayla, suaranya hampir tak terdengar.
Mamanya memeluknya erat, seolah ingin memberikan ketenangan. “Mama tahu ini sulit, Nak. Tapi percayalah, Tuhan pasti punya rencana yang indah di balik ini semua.”
Nayla berdiri dari sofa dengan langkah pelan, kepalanya terasa berat oleh semua beban yang baru saja diletakkan di pundaknya. Ia menatap papa dan mamanya dengan mata yang mulai memerah, namun ia berusaha menahan air matanya.
“Ma, Pa... untuk sekarang, Nayla belum bisa memberikan jawaban apa pun,” katanya pelan. “Nayla butuh waktu untuk berpikir.”
Ratih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Hendra mengangkat tangan, menghentikannya. “Baik, Nak,” ucap Hendra dengan nada lembut. “Kami mengerti. Kamu ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Tapi ingat, waktu kita tidak banyak.”
Nayla hanya mengangguk kecil sebelum berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Nayla menutup pintu kamarnya perlahan. Ia menyandarkan tubuhnya di belakang pintu, menarik napas panjang, lalu membuangnya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, seperti semua energinya tersedot habis.
Ia menatap kamarnya yang penuh dengan coretan desain di dinding, buku-buku mode, dan kain-kain yang berserakan di meja. Semua itu adalah mimpinya, bagian dari hidup yang ia perjuangkan selama ini.
“Haruskah aku menyerahkan semuanya?” gumam Nayla, suaranya nyaris tak terdengar.
Ia melangkah ke ranjang dan duduk di tepinya, memandangi lantai dengan pandangan kosong. Perasaan bingung, marah, dan sedih bercampur aduk, membuatnya sulit bernapas.
****
"Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!"
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me