Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya.
"M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.
Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.
Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."
Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.
Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."
Nayla hanya mengangguk pelan, menunduk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Nggak apa-apa, Pa," jawabnya lirih.
Arya menatap Nayla dengan penuh simpati. "Kamu gadis yang baik, Nayla. Papa yakin kamu bisa melunakkan hati Aksa, meski butuh waktu. Tapi kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk bilang ke Papa, ya. Papa nggak mau kamu merasa sendirian."
Nayla tersenyum tipis, meskipun senyuman itu terasa berat. "Terima kasih, Pa. Aku akan berusaha."
Arya mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Hatinya bergejolak, antara kekhawatiran terhadap kondisi Nayla dan rasa frustrasi terhadap sikap putranya.
"Papa akan bicara dengan Aksa nanti," kata Arya akhirnya, mencoba menenangkan diri. "Dia harus paham kalau pernikahan ini bukan untuk main-main."
Arya kemudian tersenyum kecil, mencoba memberikan rasa nyaman kepada Nayla yang terlihat semakin canggung. “Ayo, sekarang lebih baik kita pulang. Nanti Aksa pasti nyusul,” ucapnya, mencoba menenangkan.
Nayla hanya mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa, kemudian mengikuti langkah kaki Arya keluar dari aula mewah itu.
Di luar aula, mobil keluarga Arya sudah terparkir rapi. Sopir keluarga segera membuka pintu untuk mereka. Nayla masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Arya duduk di sampingnya, menatap ke depan tanpa banyak bicara. Keheningan di dalam mobil hanya ditemani oleh suara mesin yang berderu halus.
"Papa tahu ini berat untuk kamu," ucap Arya tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar tulus, namun ada nada menyesal di dalamnya. "Tapi Papa harap, kamu bisa bertahan, Nay. Aksa butuh seseorang seperti kamu untuk membuatnya berubah."
Nayla menoleh, menatap pria yang kini menjadi ayah mertuanya itu. Ia ingin bertanya, Kenapa harus aku? tapi ia memilih untuk diam. Bukannya ia tidak menghormati Arya, tapi pertanyaan itu hanya akan memperburuk suasana.
Setelah perjalanan yang terasa panjang, mereka tiba di rumah keluarga Aksa. Rumah itu besar, megah, dengan desain modern yang elegan. Namun, bagi Nayla, kemegahan itu tidak memberikan rasa hangat atau nyaman. Ia melangkah keluar dari mobil dengan hati yang semakin berat.
Arya mendekatinya, menepuk bahunya lembut. "Selamat datang di rumah, Nay. Mulai hari ini, ini juga rumahmu."
Nayla memaksakan senyum kecil. "Terima kasih, Pa," ucapnya, meskipun suaranya hampir tak terdengar.
Arya memimpin jalan masuk ke dalam rumah. Begitu mereka melangkah masuk, seorang wanita paruh baya yang tampak seperti kepala pelayan menyambut mereka dengan sopan. "Selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nona Muda."
Nayla sedikit terkejut mendengar dirinya dipanggil 'Nona Muda', tetapi ia hanya mengangguk sopan. Pelayan itu kemudian membimbing mereka menuju ruang keluarga yang luas dan mewah. Sofanya empuk, dengan hiasan dinding berupa lukisan-lukisan mahal yang menghiasi setiap sudut ruangan.
"Nay, kamu pasti capek. Mau Papa antar ke kamar kalian?" tanya Arya dengan nada lembut.
"K-kamar kami?" tanya Nayla pelan, hampir tidak percaya. Tentu saja, mereka sudah menikah, dan wajar jika mereka harus berbagi kamar. Tapi mengingat sikap Aksa tadi, Nayla merasa seperti dilempar ke dalam situasi yang tidak nyaman.
Arya mengangguk. "Ya, kamar kalian ada di lantai atas. Tapi jangan khawatir, kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja. Papa akan memastikan semuanya baik-baik saja."
Nayla hanya mengangguk lagi, mengikuti Arya menaiki tangga. Ia merasa seperti berjalan menuju sesuatu yang tidak pasti. Ketika mereka tiba di depan sebuah pintu besar di ujung koridor, Arya berhenti.
"Ini kamar kalian," ucap Arya sambil membuka pintu. Kamar itu luas, dengan tempat tidur king-size yang mewah di tengahnya. Dekorasinya didominasi warna-warna netral, memberikan kesan tenang. Tapi bagi Nayla, ruangan itu terasa asing, seperti dunia lain yang tidak ia miliki.
"Papa nggak mau ganggu kamu istirahat. Kalau Aksa pulang, dia pasti langsung ke sini," ujar Arya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Nayla sendirian di kamar itu.
Nayla berdiri di tengah ruangan, memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Ia melihat koper miliknya sudah ada di sudut ruangan, diatur dengan rapi oleh pelayan. Ia melangkah pelan ke arah tempat tidur, lalu duduk di tepinya.
Dengan tatapan kosong, ia menatap ke luar jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman belakang rumah yang indah. Namun, keindahan itu tidak mampu mengusir kekosongan yang ia rasakan. Pernikahan macam apa ini? pikir Nayla lagi, air mata mulai menggenang di matanya.
Di saat seperti ini, ia hanya bisa berharap, entah bagaimana, semua ini akan menjadi lebih baik. Tapi ia tahu, itu hanyalah harapan kosong. Sebab, sejak awal, tidak ada yang benar-benar menginginkan pernikahan ini, termasuk dirinya sendiri.
****
Nayla menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan dirinya. Ia tahu tidak ada gunanya tenggelam dalam perasaan sedih terlalu lama.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ruangannya luas dan mewah, dengan bathtub putih berkilau dan dinding marmer yang membuat semuanya terasa asing baginya.
Ia membuka keran air hangat, membiarkan uap lembut memenuhi ruangan. Mandi adalah caranya untuk meredakan segala beban yang menyesakkan dada.
Selama berada di bawah Shower, ia membiarkan pikirannya melayang, memikirkan semua yang terjadi hari ini. Pernikahan tanpa cinta, suami yang bahkan meninggalkannya begitu saja setelah pesta pernikahan, dan dirinya yang merasa seperti boneka dalam permainan orang lain.
"Nayla, kamu pasti bisa. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi juga keluargamu," gumam Nayla, berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Cukup lama Nayla mengguyur tubuhnya di bawah shower. Setelah merasa sedikit baikan, Nayla membungkus tubuhnya dengan handuk lembut yang tergantung di dekat bathtub.
Ia mengenakan baju tidur sederhana yang sudah ia siapkan sebelumnya di kopernya. Saat ia melangkah keluar dari kamar mandi, suara bariton yang dingin membuatnya terkejut.
"Jangan menganggap pernikahan ini serius."
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Nayla terkesiap, mendapati sosok Aksa berdiri di dekat pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan dasi yang sudah terlepas sembarangan. Sorot matanya dingin, tidak ada sedikit pun kehangatan di sana."M-ma..." Nayla tercekat, bahkan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.Aksa mendengus pelan, melangkah masuk ke kamar tanpa meminta izin. "Kamu dengar, kan? Aku nggak mau ada drama. Kamu tahu sama baiknya denganku kalau pernikahan ini cuma permainan mereka."Nayla mengerjap, bingung harus berkata apa. "Tapi... kita sudah menikah," ucapnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.Aksa tertawa kecil, sinis. "Pernikahan di atas kertas, itu saja. Jangan harap lebih. Aku nggak mau terjebak dalam permainan mereka. Jadi, lebih baik kita jalani ini tanpa ganggu kehidupan masing-masing."Nayla terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia tahu Aksa tidak menyukainya, tapi mendengar ucapan itu langsung dari mulut pria itu seperti tamparan
Arya melangkah mendekati Nayla dengan wajah lelah namun penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada gadis yang kini resmi menjadi bagian dari keluarganya."M-mas Aksa pergi, Om," jawab Nayla pelan, mencoba tetap sopan meski suaranya terdengar ragu.Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan cara Nayla memanggilnya. "Kenapa panggil Om? Panggil Papa dong. Kamu sekarang sudah menjadi istri Aksa," ucapnya dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.Nayla merasa canggung. "Maaf, Pa..." Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi Mas Aksa nggak bilang apa-apa soal mau pergi ke mana."Arya menghela napas panjang, sorot matanya berubah menjadi campuran kecewa dan marah. "Anak itu benar-benar keterlaluan," gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Namun Nayla cukup dekat untuk mendengar.Arya melirik Nayla, lalu mencoba menenangkan emosinya. "Maafkan Aksa, Nay. Dia memang keras kepala, tapi Papa harap kamu sabar. Papa tahu ini tidak mudah untukmu."Nayla hanya menga
Ya, setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya hari yang paling tak diinginkan oleh dua insan manusia, Nayla dan Aksa akhirnya datang juga.Kata 'sah' menggema di dalam aula mewah itu, menandai bersatunya Nayla dan Aksa dalam ikatan pernikahan. Namun, alih-alih kebahagiaan, suasana terasa dingin. Aula megah itu dipenuhi dekorasi yang memanjakan mata. Lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit tinggi, menyinari ruangan dengan kilauan yang menakjubkan. Namun, keindahan ruangan itu tidak mampu mengusir hawa dingin yang merasuki dua insan itu. Tamu-tamu yang hadir mencoba tersenyum, tetapi tatapan mereka sering kali terpaku pada raut wajah kedua mempelai yang tampak dingin dan tegang.Nayla duduk di samping Aksa, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hiasan mutiara di bagian dada dengan rambut dibiarkan tergerai, di puncak kepalanya terdapat mahkota kecil. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya kaku, seperti sedang memaksakan senyum. Ia melirik sekilas ke arah Aksa
Di tempat lain, Aksa Mahendra Pratama menatap tajam ke arah ayahnya, Arya Mahendra Pratama, yang duduk di kursi besar di ruang kerja rumah mereka. Ekspresi wajah Aksa menunjukkan ketidakpercayaan, matanya menyipit seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.“Apa? Nggak, aku nggak mau, Pa!” Aksa memecah keheningan dengan nada tegas.Arya menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang sarat emosi. “Aksa, dengar dulu penjelasan Papa. Ini bukan hanya soal keluarga Nayla atau bisnis mereka. Ini juga soal Papa... dan waktu yang Papa punya.”Aksa mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud Papa apa? Apa hubungannya waktu Papa dengan rencana gila ini?”Arya mengusap wajahnya, lalu menunduk sejenak sebelum kembali menatap putranya. “Papa nggak tahu harus bilang dari mana... tapi Papa nggak punya banyak waktu lagi, Nak. Papa sakit. Dan ini bukan sesuatu yang bisa sembuh dengan mudah.”Ucapan itu membuat Aksa terpaku di tempatnya. “Apa maksud Papa? Sakit apa? Seberapa parah?” ta
Nayla Amira Dewanti, gadis cantik berusia 22 tahun tengah duduk di sudut perpustakaan kampus, mencoba fokus menyelesaikan tugas yang menumpukPonselnya yang bergetar di meja berhasil memecah konsentrasinya. Ia melirik layar, melihat nama mamanya tertera di sana.“Ya, Ma?” jawab Nayla usai menekan tombol angkat.“Nayla, Nak, pulang sekarang, ya,” suara mamanya terdengar mendesak, namun lembut.Nayla langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ada nada yang berbeda dari biasanya. “Kenapa, Ma? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas.“Semua baik-baik saja. Hanya ada sesuatu yang ingin Mama dan Papa bicarakan denganmu. Pulanglah, Nak,” ucap mamanya, berusaha menenangkan. Namun, Nayla menangkap ada sesuatu yang disembunyikan.“Mama serius? Apa ini soal kesehatan Papa?” desak Nayla.“Tidak, Papa sehat. Tapi ini penting. Jangan pikirkan yang buruk, Nak. Cepat pulang, ya. Mama tunggu di rumah,” jawab mamanya sebelum menutup telepon.Dengan perasaan tidak menentu, Nayla segera me