"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.
Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ...."
"Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ...."
"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.
Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membeli buku soal tes masuk perguruan tinggi di Mall bersama Tasya, tiba-tiba ditelepon oleh eyang putri, mengabarkan kalau eyang kakung sedang di rumah sakit karena jantungnya kumat lagi. Dan kali ini eyang kakung ingin bicara dengan Citra.
Citra pikir ada apa eyang kakung memanggilnya. Ternyata mereka memintanya menikah dengan calon cucu menantu pilihan mereka yang bernama Atala.
"Citra, jadi dokter itu biayanya ndak murah. Hidup kita selama ini pas-pasan. Mending kamu menikah sama Nak Atala. Menikah dengannya lebih dari menjamin kebutuhan hidupmu dan kami yakin dia bisa menjaga kamu, dia bisa jadi suami yang baik buat kamu. Kita juga sudah kenal bibit, bebet dan bobotnya. Ini juga amanah terakhir dari Eyang Kakung. Apa kamu tega sama Eyang, Citra?" Eyang putri masih berusaha memberinya pengertian.
Mata Citra yang sudah berlinang air mata melirik lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu. Lelaki itu kini hanya tertunduk polos, berdiri di samping ayahnya. Citra muak melihatnya. Lelaki itu paling pintar bersandiwara di depan keluarganya. Bersikap seolah laki-laki yang paling baik budi pekertinya, padahal ....
Pantas saja dia juga ada di sini sekarang. Kenapa mereka selalu dipertemukan? Bahkan pada kondisi yang tidak memungkinkan.
"Dia nggak mungkin bisa jadi suami yang baik!" ketus Citra lagi. "Aku benci dia! Aku nggak mungkin bisa nikah sama dia!" Dengan derai air mata, gadis itu keluar dari ruangan, tak peduli dengan eyang putri yang terus memanggilnya.
Johan, Papa Atala yang berdiri di sebelah Atala, menyuruh anaknya untuk mengejar Citra dan memberikan pengertian. Atala terpaksa menuruti keinginan papanya.
***
Usia Citra masih sembilan belas tahun. Citra sama dengan remaja kebanyakan yang ingin sukses di usia muda. Banyak mimpi yang belum dan ingin dia capai. Tak sedikit pun terbetik dihatinya untuk menikah di usia muda.
Namun, kabar yang dia dengar hari ini menyatakan sebaliknya, seolah takdir tidak merestui rencananya. Bahkan keluarganya sendiri tak mendukung cita-citanya. Dan itu membuat Citra sangat kecewa.
Gadis itu duduk di kursi panjang sambil menangis, di temani Tasya yang sejak tadi berusaha menghiburnya. Bahkan temannya itu juga ikut mendengar percakapan Citra dengan keluarganya dalam ruangan tadi.
Citra ingat eyang putri memang tak pernah mendukung keinginannya untuk kuliah seperti Dimas, pacarnya.
Percakapannya dengan eyang putri waktu lalu pun terngiang.
"Kamu yakin mau lanjut kuliah?" tanya eyang waktu itu dengan bahasa jawa yang kental ketika Citra mengemasi dagangan usus gorengnya dalam kemasan plastik.
"Yakinlah, Eyang. Nih, liat yang order usus goreng aku banyak. Aku jadi makin semangat menabung kalau kayak gini tiap hari. Eyang Putri dan Eyang Kakung do'akan aku ya biar aku bisa kuliah dan menyelesaikannya tepat waktu." Sesungguhnya Citra tahu, jauh dalam lubuk hati eyang kakung dan eyang putri tak pernah mengizinkan dia kuliah, lebih tepatnya pesimis akan biaya kuliah yang tidak murah itu.
"Mending uangnya kumpulkan buat biaya nikah. Nikah itu harus, Cit, sedangkan pendidikan tinggi endak. Nikah itu wajib dalam islam. Sedangkan pendidikan endak."
Citra tertawa saja. "Ah, Eyang nikah muluk yang dibahas. Kalau udah waktunya nanti aku pasti nikah, kok."
Bukan pertama kali eyang putri berkata demikian. Secara tidak langsung mereka sering mengatakan sebaiknya Citra tak perlu kuliah. Cari pekerjaan saja, atau jualan saja. Sampai menunggu usianya genap untuk menikah kelak. Tapi Citra menepis hal itu dan berusaha menunjukkan pada keluarganya kalau dia bisa kuliah dengan beasiswa dan dibantu dengan hasil jualannya.
Pola pikir eyang kakung dan eyang putri Citra sebagai orang terdahulu memang masih tertinggal. Mereka tidak begitu mementingkan pendidikan. Bagi mereka lebih baik menikah muda daripada pacaran lama-lama.
Dan Citra tak sepaham dengan mereka. Dia sering berandai-andai, seandainya orang tuanya masih hidup, dia yakin orang tuanya akan mendukung mimpinya dan membantu membiayai pendidikannya.
Ya, Citra tahu sejak dulu mereka menginginkannya menikah muda, tapi Citra pikir mereka tidak serius. Dan sekarang ketika eyang kakung sudah sekarat, orang tua itu malah serius memintanya menikah bahkan menyiapkan jodoh untuknya.
Menikah dengan Atala.
Itu adalah musibah terburuk yang menimpa hidupnya. Musibah yang tak pernah dia bayangkan dalam hidupnya.
Citra tak ingin menikah muda, apalagi dengan manusia songong yang amat dia benci bernama Atala. Tapi dia juga tidak tega menolak permintaan eyang kakung yang mungkin akan menjadi permintaan terakhir. Dia jadi serba salah. Dia harus bagaimana?
"Kenapa sih nasib gue begini banget. Cita-cita gue belum tercapai. Dan sekarang gue malah disuruh nikah sama laki-laki yang sama sekali nggak gue cintai." Citra bicara seorang diri. "Eyang bilang dia orang baik itu karena Eyang nggak tahu sifat cowok berengsek itu yang sebenarnya. Gue benci dia! Gue benci!" Citra teriak-teriak sambil menangis.
"Sabar, Citra ...," hibur Tasya. "Jangan marah-marah gitu. Menurut gue coba lo pikirin permintaan mereka dengan kepala dingin, nggak ada salahnya, kok. Lagian gue heran kenapa lo nggak mau nikah sama Atala? Kan dia tajir, dia anak semata wayang tauk. Dia nanti yang akan menjadi pewaris tahta di keluarganya. Lo beruntung bisa jadi istri dia. Gue yakin hidup lo bakal bahagia sama dia. Eyang lo bener. Lagian gue lihat kalian itu cocok, kok. Kalian--"
"Kalau lo mau nikah sama dia, lo aja sana!" Citra membentak Tasya.
Tasya menatap Citra agak terkejut dan kecewa. "Ih, Citra kok gitu sih. Kok jadi gue yang disuruh nikah. Yang mau nikah sama Atala kan elo. Elo juga yang cocok buat dia--"
"Lo sama mereka tuh sama aja. Nggak ada yang bisa ngertiin gue. Kenapa sih lo suka jodoh-jodohin gue sama dia? Lo kan tahu dari orok gue emang benci sama tuh cowok!"
"Dari orok kalian belum kenalan kali, Cit."
"Gue serius, Sya. Gue--"
"Citra."
Panggilan itu menginterupsi bicara Citra dan Tasya. Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara.
Citra langsung mengusap air matanya. Menatap tajam sosok yang barusan memanggilnya itu. "Ngapain lo ke sini?!"
***
"Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memberi Papa
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang kakung yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung.Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung di waktu subuh. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan c
Pagi harinya, pukul tujuh. Prosesi eyang kakung di lakukan di TPU Umum Jakarta. Sanak keluarga berdatangan melayat dengan pakaian serba hitam. Mereka adalah keluarga dekat yang sedarah, tetangga, dan teman baik eyang kakung semasa hidup. Proses pemakaman eyang kakung berjalan lancar, tidak terkendala apa pun sampai jasadnya di masukkan ke liang kubur.Dan tangis Citra pecah seketika seiring dengan jasad eyang kakung yang ditimbus tanah sedikit demi sedikit. "Eyang, kenapa pergi secepat ini, Eyang. Maafin Citra belum bisa jadi cucu yang berguna buat Eyang Kakung, belum bisa bahagiakan Eyang Kakung. Maafin Citra, Eyang ...." Citra menatap liang kubur eyang kakung penuh penyesalan. Ada banyak hal yang dia sesalkan. Seandainya dia bisa memutar waktu."Sudah, Citra, jangan menangis berlebihan. Ikhlaskan Eyang Kakung," hibur eyang putri yang sejak tadi berdiri di sisi cucunya itu sambil mengusap-usap bahu gadis itu. "Dengan kamu mau menikahi Atala itu sudah cukup membuat Eyang Kakung bahag
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Sekaligus untuk menghibur Citra yang sedih. Mereka berangkat menggunakan mobil Pajero milik JohanSelama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Perasaannya campur aduk. Sedih atas kepergian eyang kakung, juga sedih melihat eyang kakung meninggal dalam keadaan belum melihatnya sukses. Kesal, dendam, sakit hati juga dengan kakaknya dan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia memutar ulang waktu. Dia pasti akan bergerak cepat dan melakukan apa saja agar eyang kakung tak perlu bekerja keras lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Citra tak bisa mendefinisikan apa yang dia rasakan kini.Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Atala mencolek lengan Citra membuat gadis itu menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjia
"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?""Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini.""Maaf, Pa." Tiba-tiba Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pri
Sore harinya, orang kepercayaan Johan datang bersama mobil khusus yang membawakan barang-barang Citra. Semua barang-barang Citra yang ada di rumah eyang putri dibawa ke mari. Begitu juga barang Atala yang dari rumah papanya.Pak Jono, orang kepercayaan Johan juga membawa beberapa bodyguard untuk mengangkut barang-barang itu ke dalam rumah. Tak hanya itu, Pak Jono juga sudah menyeleksi para ART yang akan bekerja di sini. Totalnya ada lima orang.Singkat cerita semuanya sudah beres. Rumah mereka yang sudah lengkap dengan perabotan dan bahan makanan itu pun sudah siap huni. Semuanya diurus sama Papa Johan. Citra dan Atala tinggal menikmati."Terima kasih, ya, Pak," ucap Atala di teras saat Pak Jono hendak pamit pulang. "Maaf udah repot-repot." Lelaki belasan tahun itu cengar-cengir."Nggak pa-pa, Mas Atala. Nggak perlu merasa sungkan begitu. Ini juga sudah bagian dari tugas saya. Kalau Mas Atala dan istri ada perlu apa-apa jangan sungkan bilang saya. Ini pesan dari Pak Johan," jelas pria
"Apa-apaan, nih?" Citra melotot menatap lembaran kertas itu. Lalu menatap Atala tak percaya."Kenapa?" tanya Atala bingung."Kenapa isi surat perjanjiannya kayak nguntungin lo doang, ya.""Iya, memangnya kenapa? Lo keberatan?" Atala bersidekap dada. Menatap Citra angkuh karena merasa dirinyalah yang paling berhak menentukan bagaimana isi perjanjian itu."Iyalah, gue nggak setuju.""Nggak bisa gitu. Setuju nggak setuju, lo tetap harus setuju.""Enak aja nggak bisa gitu dong. Ini ngerugiin gue banget." Citra kembali menatap kertas itu."Kayak poin nomor dua, gue harus ngelayanin lo selayaknya istri melayani suami sebagaimana mestinya, tapi nggak boleh tidur bareng, cuman ngelayanin yang lain seperti memberi perhatian, mengingatkan makan, menyucikan pakaian, bersih-bersih rumah ...." Citra membaca seluruh tugasnya secara singkat. Lalu menatap Atala sengit. "Eh, lo pikir gue babu lo. Itu babu lo udah banyak, ya, terus mereka ngapain kalau ngurusin semuanya harus gue.""Bukannya emang itu y
"Sayang, temenin aku keluar, yuk."Atala berbicara di telepon dengan pacarnya, Rani. Sejak tadi dia merusing dan merasa bosan menetap di kamar. Dia memang terbiasa keluyuran dan pulang malam waktu masih tinggal bersama papanya. Rumah semewah itu ternyata tak cukup membuatnya betah."Keluar ke mana, Sayang?" sahut suara di seberang."Ke mana aja. Asal sama kamu. Ke Sunset Cafe juga boleh. Suntuk banget aku di rumah." Atala duduk di pinggir kasur melempar pandang ke taman samping yang terlihat dari jendela kamarnya."Istri kamu mana?"Atala tak menyangka dengan pertanyaan itu. "Ngapain nanyain dia, sih?""Ya enggak pa-pa. Kamu sekamar sama dia?""Enggak, dong, Sayang. Nggak sudi banget aku tidur sama dia. Kami tidur pisah kamar, dong.""Terus sekarang dia di mana?""Ya, mana aku tahu. Aku juga nggak peduli dia di mana dan ngapain ya terserah dia lah. Jadi kamu mau nggak jalan sama aku, nih?""Boleh, tapi habis itu singgah ke Mall, yah. Beliin tas yang kemarin itu ...." Suara Rani terdeng
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo