Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak.
Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang putri yang semakin memprihatinkan.
Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung padahal orang tua itu sudah sekarat.
Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.
Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.
Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan celana jins. Lalu kepala keduanya dilabuhi kain tipis. Atala berjabat tangan dengan Pak Penghulu.
Citra duduk mematung menatap satu arah, yakni dinding ruang rawat inap yang berwarna putih. Atala menyadari wajah Citra yang sejak tadi terlihat sedih. Kentara sekali cewek itu terpaksa. Seandainya tak ada papanya dan Pak Penghulu di hadapannya, sudah pasti Atala menegur cewek itu. Cewek itu memang sulit diajak kerja sama.
"Sudah siap, Nak Atala?" tanya Pak Penghulu menyadarkan Atala.
Atala menatap Pak Penghulu. "Siap, Pak."
"Nak Citra?" tanya Pak Penghulu pada Citra.
Citra menatap Pak Penghulu. Wajah cewek itu masih terlihat sedih sekaligus tegang, dan tergugup ketika menatap Atala. Atala memegang tangannya di bawah meja, mencoba menenangkan tapi Citra malah menepisnya.
"Santai ...," bisik Atala menahan geram.
Citra memaksakan senyum. "Siap, Pak," jawabnya lirih.
"Siap ijab kabul, ya," ucap Pak Penghulu pada Atala yang langsung mengangguk. Mereka berjabat tangan.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Atala Sudiharto bin Johan Sudiharto dengan Citra Putri Kusuma binti Kusuma Wijaya dengan mahar satu juta dibayar tunai." Pak Penghulu mengucap kalimat ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Citra Putri Kusuma binti Kusuma Sudiharto dengan mahar yang tersebut tunai." Atala membalas dengan kalimat kabul.
Pak Penghulu menoleh pada para saksi. "Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sahh ....!!"
Bersamaan dengan itu, air mata Citra lolos di pipi. Pak Penghulu, kedua mempelai dan para saksi mengangkat tangan untuk berdo'a. Citra juga mengangkat tangan, tapi dia tidak berdo'a, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Walau pun ini hanya sementara, rasanya dia tidak percaya, di usianya yang amat belia, dia telah menjadi seorang istri. Istri dari laki-laki yang sama sekali tidak dia cintai.
"Kalian sudah sah menjadi sepasang suami-istri," ucap Pak Penghulu pasca berdo'a.
Harusnya momen ini menjadi momen yang amat membahagiakan, tapi bagi Citra momen ini adalah musibah terburuk dalam hidupnya. Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan dia dan Atala sudah membuat perjanjian, tetap saja dia tidak ikhlas.
"Suami sudah boleh mencium kening istrinya," ucap Pak Penghulu.
Belum sempat Atala menjawab, Citra sudah menyahut. "Nggak usah!" Citra lalu melempar Atala tatapan tajam.
"Citra ...."
Citra mendengar eyang kakung yang terbaring di tempat tidur, memanggilnya. Citra langsung berdiri dan menghampirinya. "Iya, Eyang, ini aku. Aku udah menikah dengan Atala sesuai dengan yang Eyang harapkan." Citra memaksakan senyum.
"Alhamdulillah." Eyang kakung tersenyum. "Nak Atala ...," lirihnya amat pelan.
Citra menoleh ke Atala. "Lo dipanggil Eyang!"
Atala pun berdiri, mendekati eyang kakung, berdiri di samping Citra.
"Ada apa, Eyang?" tanya cowok itu hati-hati.
Eyang lalu meraih tangan Citra dan Atala. Lalu dia menyatukan tangan keduanya di atas perutnya. Beliau menatap Citra. "Cit, Atala ini anak baik. Berasal dari keluarga baik-baik. Dia bisa jadi suami yang baik buatmu. Kamu harus yakin itu. Jadi, kamu juga harus bisa menjadi istri yang baik untuknya. Jadilah istri yang berbakti untuknya." Kakik menasihati dalam bahasa Jawa yang kental.
Citra menatap Atala sekilas dengan raut datar, lalu kembali menatap eyang kakung. "Iya, Eyang."
Lalu eyang kakung menatap cucu menantunya. "Kamu Nak Atala, jaga Citra baik-baik, ya. Jadikan dia istri yang merasa paling bahagia di dunia. Perlakukan dia sebagaimana seharusnya."
"Iya, Eyang," jawab Atala.
"Kalian harus selalu bahagia. Harus selalu sama-sama sampai maut memisahkan," pesannya lagi.
"Insya Allah, Eyang," jawab Atala. Sedangkan Citra hanya diam.
Eyang kakung memaksakan senyum. Citra bisa melihat parit matanya yang berair, mungkin menangis karena haru. "Eyang sudah tenang sekarang," lirihnya lagi. Lalu orang tua itu menatap plafon, pandangannya menerawang, terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi kesusahan. "La ... ilaha ... ilallah ...."
"Eyang!" Citra menangis. Dia tak percaya eyangnya benar-benar akan meninggal secepat itu. Semua orang-orang yang ada di sana serta-merta mengelilingi tempat tidurnya. Tak terkecuali papa Atala dan Pak Penghulu.
Pak Penghulu membantunya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan akhirnya dengan bimbingan Pak Penghulu, eyang kakung berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lancar sebelum akhirnya orang tua itu menutup mata untuk selamanya.
"Innalilahi Wa Innailaihi Raji'un," ucap Pak Penghulu.
"Eyang!" Citra berteriak histeris sambil mendekap jasad eyang kakung.
"Yang sabar, Cit, yang kuat." Atala coba menepuk-nepuk pundak cewek itu, menenangkannya.
Tapi ternyata cewek itu pingsan di tempat, dalam keadaan memeluk jasad eyang kakung.
Seketika semua yang ada di sana panik. "Citra! Citra!"
***
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Mereka berangkat menggunakan mobil Johan.Selama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Dia yang juga masih berkabung atas kepergian eyang kakung lebih banyak diam. Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Dia benar-benar tak menyangka eyang kakung meninggal secepat itu. Dan kini dia malah menikah dengan cowok yang paling dia benci di dunia.Atala mencolek lengan Citra membuat Citra menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjian awal, ekting lo di depan keluarga gue harus bagus," bisik Atala.Citra hanya diam."Maklum, ya, Pa. Citra masih sedih," jawab Atala mewakili Citra, seolah sangat mengerti.Johan yang menyetir di depan, mengangguk. "Iya. Kami semua mengerti kesedihanmu, Citra. Sekarang kamu tin
"Jangan-jangan cowok itu mau dinikahin sama gue karena supaya dibeliin rumah?" tiba-tiba pikiran buruk tentang Atala menyerang kepala Citra. Terlebih mengingat bagaimana wajah Atala yang tampak semringah tadi saat tahu dibelikan rumah mewah oleh papanya."Dia manfaatin gue? Iya, dia manfaatin gue! Kurang ajar!" Citra menjawab pertanyaannya sendiri. Tangis yang sejak tadi tertahan pun seketika pecah. Merasa amat miris. "Kenapa sih nasib gue begini banget?"Kenapa takdirnya seperti ini?Orang bilang takdir bisa diubah, tapi kenapa dia tidak bisa mengubah takdirnya? Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengubahnya sesuai dengan takdir yang dia harapkan. Dia tidak bisa memilih."Ehem!"Suara dehaman yang keras membuyarkan lamunan Citra akan nasibnya. Bahu Citra agak tersentak. Cepat dia menghapus air matanya yang mengalir deras sejak tadi, lalu menutup album foto keluarganya yang dia pandangi sejak tadi. Yang membuatnya semakin rindu dengan momen-momen terdahulu bersama keluarga. Yang
"Jam segini biasanya gue nongkrong sama teman-teman atau jalan sama Rani," gumam Atala setelah melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, tujuh malam. Lalu duduk di pinggir ranjang. Bingung harus berbuat apa. Dia tiba-tiba merasa bosan.Atala menatap wajah Cristiano Ronaldo yang menempel di dinding kamarnya yang bercat biru. Ruang kamar itu kini sudah tersedia dan ditata sedemikian rupa. Kamar itu juga lengkap dengan segala perlengkapan yang dia butuhkan termasuk lemari penyimpanan alat musik. Kamar itu sesuai dengan yang diimpikannya. Seperti yang tertera dalam surat perjanjian, Atala dan Citra akan tidur pisah kamar. Maka, Atala meminta dayang-dayangnya--yang sudah papanya persiapkan--alias mbak-mbak yang bekerja di rumah untuk membantu mereka menyiapkan kamar. Jadilah kamar ini.Suara notifikasi ponsel di saku celana menyadarkan lamunannya, dia mengecek ponselnya.From Rani (PPP): Hai, seharian ini kok nggak ngasih kabar? Gimana pernikahannya? Jadi? Sekarang lagi apa?Ata me
Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur dan marah-marah.Siapa lagi kalau bukan Citra?"Apaan, sih? Pagi-pagi udah teriak aja? Dorong-dorong gue lagi!" kesalnya setelah sadar apa yang terjadi.Citra melotot mendengarnya. "Apaan-apaan? Lo tidur di kamar gue! Apa aja yang udah lo lakuin hah?!"Atala terkejut mendengarnya. Dia memindai seluruh penjuru kamar itu. Iya, kamar itu memang kamar Citra, tapi bagaimana dia bisa masuk ke sini? Dia menatap Citra bingung. "Gu-gue kok bi-bisa ada di sini?""Harusnya gue yang tanya. Kenapa lo bisa masuk ke kamar gue? Lo pasti sengaja kan?! Dasar mesum!" Atala terdiam, mengingat apa yang terjadi tadi malam terakhir kali. Yang dia ingat dia masuk ke kamarnya lagi setelah dari toilet.Ternyata dia masuk ke kamar Citra yang ada di sebelah kamarnya dan kebetulan kamar cewek itu gelap juga. Dia tak habis pikir kenapa dia bisa sampai salah masuk kamar. Dia salah masuk kamar, tapi dia gengsi untuk
"Kamu kenapa sih mukanya kok keliatan betek gitu?" tegur Dimas, pacar Citra, saat mereka sudah berduaan dalam mobil dan menuju perjalanan. "Padahal tadi di telepon suaranya ceria, beda banget sama sekarang. Pasti ada yang bikin kamu badmood, kamu sedih karena Eyang Kakung meninggal?"Mendengar Eyang Kakung disebut, Citra teringat lagi akan sosok eyangnya. Jika menuruti perasaan, memang dia masih sedih. Rasanya juga belum sepenuhnya ikhlas. "Iya, Sayang, itu pasti. Tapi ...." Citra terdiam teringat hal lain yang membuatnya kesal. Yaitu tingkah laku Atala selama serumah dengannya. "Tapi apa? Coba cerita ke aku. Oh iya, aku turut berduka cita, ya, atas meninggalnya eyang kamu. Maaf kemarin aku nggak ada waktu pemakamannya eyang. Aku benar-benar sibuk waktu itu--""Iya, Sayang. Nggak pa-pa, kok." Citra memaksakan senyum saat menatap Dimas sekilas. Lalu wajahnya kembali murung saat menatap jalanan depan. "Dan sebenarnya bukan cuman itu yang aku pikirin.""Apa? Coba cerita sama aku."Citra
"Kenapa?" tanya Dimas. "Si Talas barusan ngirim pesan, nyuruh aku pulang ke rumah. Soalnya papa mertua aku mau datang. Dan nggak cuma papa mertua. Eyang putri dan kedua kakakku katanya juga ada. Mereka barengan." Citra menoleh pada Dimas dengan pandangan melotot. "Gawat ini, Sayang. Aku harus pulang sekarang." Citra terlihat panik.Dimas terdiam sesaat, kemudian baru mengangguk. "Oke, deh. Kita putar haluan, ya."Citra memperhatikan wajah sang kekasih lamat-lamat. "Tapi nggak pa-pa, kan, Sayang? Kamu nggak masalah, kan?" Dia bertanya dengan hati-hati.Dimas menggeleng tanpa ragu. "Enggak, kok. Aku paham posisi kamu sekarang. Yang penting aku yakin kamu sayang sama aku."Citra tersenyum. "Aku sayang kamu itu pasti. Makasih, ya, Sayang. Kamu emang yang paling ngerti aku. Aku janji lain kali kita bakal cari waktu buat quality time. Oke? Atau ... atau ... nanti sore atau malam kalau keluarga aku udah balik atau masalahnya udah kelar, kita jalan lagi, Oke?""Iya, Sayang. Kamu santai aja."
"Kalian berantem?" tanya Johan dengan nada curiga."Eng ... Berantem bercanda gitu, loh, Pa, maksudnya. Berantem sayang, bukan yang gimana-gimana." Lagi Atala menjelaskan sambil menatap istrinya. "Iya kan, Sayang?"Citra meringis, memaksakan senyum. "Iya, Pa ....""Bener?" Kali ini Kak Shinta bertanya memastikan seakan tak percaya. Tatapannya menyelidik penuh kecurigaan. Membuat Atala dan Citra agak panik. "Kalian lucu." Berbeda dengan Kak Shinta, Kak Nadia malah terlihat santai dan menganggap hubungan adiknya dan adik iparnya itu lucu, tidak terlihat curiga tentang apa pun.Atala dan Citra hanya meringis, lagi dan lagi.Selanjutnya mereka melanjutkan obrolan di ruang tamu itu. Lebih ke Atala dan Citra yang menceritakan keseharian mereka. Tentu Atala tak menceritakan keadaan yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya rumah megah yang biasanya sepi itu terasa ramai. Citra dan Atala minta maaf karena tak menyediakan mereka makanan enak. Hanya meminta bibi menyiapkan minuman teh hangat dan
"Pantasan saja tadi pagi saya dengar suara Non Citra teriak-teriak di kamar. Rupanya mereka lagi berantem."Setelah menyelesaikan perdebatannya dengan Citra dan berakhir dengan kemenangan cewek itu, Atala langsung mendatangi para ART-nya di dapur. Tapi ternyata mereka sibuk bercengkrama di taman belakang. Karena tidak ada pekerjaan yang harus mereka kerjakan lagi. Dan Atala sempat mendengar para ART itu bergosip ria. "Iya, mereka emang ndak akur. Ndak saling cinta, tapi kenapa ya mereka mau-maunya dinikahkan?""Banyak rahasia orang yang kita nggak tahu. Kalau kata saya sih kita nggak usah ikut campur. Mending kita fokus aja sama kerjaan kita jadi ART di sini. Selama mereka baik sama kita, nggak ada masalah.""Kita kan cuman cerita, bukan mau mencampuri!" ART lain seakan tak terima dengan tuduhan mencampuri itu.Atala berdeham membuat para ART itu terdiam, lalu menoleh menatap Atala dengan pandangan tak nyaman."Eh, Tuan Atala," sapa salah satu ART di sana. Wanita paruh baya yang bert