"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.
Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ...."
"Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ...."
"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.
Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membeli buku soal tes masuk perguruan tinggi di Mall bersama Tasya, tiba-tiba ditelepon oleh eyang putri, mengabarkan kalau eyang kakung sedang di rumah sakit karena jantungnya kumat lagi. Dan kali ini eyang kakung ingin bicara dengan Citra.
Citra pikir ada apa eyang kakung memanggilnya. Ternyata mereka memintanya menikah dengan calon cucu menantu pilihan mereka yang bernama Atala.
"Citra, jadi dokter itu biayanya ndak murah. Hidup kita selama ini pas-pasan. Mending kamu menikah sama Nak Atala. Menikah dengannya lebih dari menjamin kebutuhan hidupmu dan kami yakin dia bisa menjaga kamu, dia bisa jadi suami yang baik buat kamu. Kita juga sudah kenal bibit, bebet dan bobotnya. Ini juga amanah terakhir dari Eyang Kakung. Apa kamu tega sama Eyang, Citra?" Eyang putri masih berusaha memberinya pengertian.
Mata Citra yang sudah berlinang air mata melirik lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu. Lelaki itu kini hanya tertunduk polos, berdiri di samping ayahnya. Citra muak melihatnya. Lelaki itu paling pintar bersandiwara di depan keluarganya. Bersikap seolah laki-laki yang paling baik budi pekertinya, padahal ....
Pantas saja dia juga ada di sini sekarang. Kenapa mereka selalu dipertemukan? Bahkan pada kondisi yang tidak memungkinkan.
"Dia nggak mungkin bisa jadi suami yang baik!" ketus Citra lagi. "Aku benci dia! Aku nggak mungkin bisa nikah sama dia!" Dengan derai air mata, gadis itu keluar dari ruangan, tak peduli dengan eyang putri yang terus memanggilnya.
Johan, Papa Atala yang berdiri di sebelah Atala, menyuruh anaknya untuk mengejar Citra dan memberikan pengertian. Atala terpaksa menuruti keinginan papanya.
***
Usia Citra masih sembilan belas tahun. Citra sama dengan remaja kebanyakan yang ingin sukses di usia muda. Banyak mimpi yang belum dan ingin dia capai. Tak sedikit pun terbetik dihatinya untuk menikah di usia muda.
Namun, kabar yang dia dengar hari ini menyatakan sebaliknya, seolah takdir tidak merestui rencananya. Bahkan keluarganya sendiri tak mendukung cita-citanya. Dan itu membuat Citra sangat kecewa.
Gadis itu duduk di kursi panjang sambil menangis, di temani Tasya yang sejak tadi berusaha menghiburnya. Bahkan temannya itu juga ikut mendengar percakapan Citra dengan keluarganya dalam ruangan tadi.
Citra ingat eyang putri memang tak pernah mendukung keinginannya untuk kuliah seperti Dimas, pacarnya.
Percakapannya dengan eyang putri waktu lalu pun terngiang.
"Kamu yakin mau lanjut kuliah?" tanya eyang waktu itu dengan bahasa jawa yang kental ketika Citra mengemasi dagangan usus gorengnya dalam kemasan plastik.
"Yakinlah, Eyang. Nih, liat yang order usus goreng aku banyak. Aku jadi makin semangat menabung kalau kayak gini tiap hari. Eyang Putri dan Eyang Kakung do'akan aku ya biar aku bisa kuliah dan menyelesaikannya tepat waktu." Sesungguhnya Citra tahu, jauh dalam lubuk hati eyang kakung dan eyang putri tak pernah mengizinkan dia kuliah, lebih tepatnya pesimis akan biaya kuliah yang tidak murah itu.
"Mending uangnya kumpulkan buat biaya nikah. Nikah itu harus, Cit, sedangkan pendidikan tinggi endak. Nikah itu wajib dalam islam. Sedangkan pendidikan endak."
Citra tertawa saja. "Ah, Eyang nikah muluk yang dibahas. Kalau udah waktunya nanti aku pasti nikah, kok."
Bukan pertama kali eyang putri berkata demikian. Secara tidak langsung mereka sering mengatakan sebaiknya Citra tak perlu kuliah. Cari pekerjaan saja, atau jualan saja. Sampai menunggu usianya genap untuk menikah kelak. Tapi Citra menepis hal itu dan berusaha menunjukkan pada keluarganya kalau dia bisa kuliah dengan beasiswa dan dibantu dengan hasil jualannya.
Pola pikir eyang kakung dan eyang putri Citra sebagai orang terdahulu memang masih tertinggal. Mereka tidak begitu mementingkan pendidikan. Bagi mereka lebih baik menikah muda daripada pacaran lama-lama.
Dan Citra tak sepaham dengan mereka. Dia sering berandai-andai, seandainya orang tuanya masih hidup, dia yakin orang tuanya akan mendukung mimpinya dan membantu membiayai pendidikannya.
Ya, Citra tahu sejak dulu mereka menginginkannya menikah muda, tapi Citra pikir mereka tidak serius. Dan sekarang ketika eyang kakung sudah sekarat, orang tua itu malah serius memintanya menikah bahkan menyiapkan jodoh untuknya.
Menikah dengan Atala.
Itu adalah musibah terburuk yang menimpa hidupnya. Musibah yang tak pernah dia bayangkan dalam hidupnya.
Citra tak ingin menikah muda, apalagi dengan manusia songong yang amat dia benci bernama Atala. Tapi dia juga tidak tega menolak permintaan eyang kakung yang mungkin akan menjadi permintaan terakhir. Dia jadi serba salah. Dia harus bagaimana?
"Kenapa sih nasib gue begini banget. Cita-cita gue belum tercapai. Dan sekarang gue malah disuruh nikah sama laki-laki yang sama sekali nggak gue cintai." Citra bicara seorang diri. "Eyang bilang dia orang baik itu karena Eyang nggak tahu sifat cowok berengsek itu yang sebenarnya. Gue benci dia! Gue benci!" Citra teriak-teriak sambil menangis.
"Sabar, Citra ...," hibur Tasya. "Jangan marah-marah gitu. Menurut gue coba lo pikirin permintaan mereka dengan kepala dingin, nggak ada salahnya, kok. Lagian gue heran kenapa lo nggak mau nikah sama Atala? Kan dia tajir, dia anak semata wayang tauk. Dia nanti yang akan menjadi pewaris tahta di keluarganya. Lo beruntung bisa jadi istri dia. Gue yakin hidup lo bakal bahagia sama dia. Eyang lo bener. Lagian gue lihat kalian itu cocok, kok. Kalian--"
"Kalau lo mau nikah sama dia, lo aja sana!" Citra membentak Tasya.
Tasya menatap Citra agak terkejut dan kecewa. "Ih, Citra kok gitu sih. Kok jadi gue yang disuruh nikah. Yang mau nikah sama Atala kan elo. Elo juga yang cocok buat dia--"
"Lo sama mereka tuh sama aja. Nggak ada yang bisa ngertiin gue. Kenapa sih lo suka jodoh-jodohin gue sama dia? Lo kan tahu dari orok gue emang benci sama tuh cowok!"
"Dari orok kalian belum kenalan kali, Cit."
"Gue serius, Sya. Gue--"
"Citra."
Panggilan itu menginterupsi bicara Citra dan Tasya. Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara.
Citra langsung mengusap air matanya. Menatap tajam sosok yang barusan memanggilnya itu. "Ngapain lo ke sini?!"
***
"Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memberi Papa
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang kakung yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung.Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung di waktu subuh. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan c
Pagi harinya, pukul tujuh. Prosesi eyang kakung di lakukan di TPU Umum Jakarta. Sanak keluarga berdatangan melayat dengan pakaian serba hitam. Mereka adalah keluarga dekat yang sedarah, tetangga, dan teman baik eyang kakung semasa hidup. Proses pemakaman eyang kakung berjalan lancar, tidak terkendala apa pun sampai jasadnya di masukkan ke liang kubur.Dan tangis Citra pecah seketika seiring dengan jasad eyang kakung yang ditimbus tanah sedikit demi sedikit. "Eyang, kenapa pergi secepat ini, Eyang. Maafin Citra belum bisa jadi cucu yang berguna buat Eyang Kakung, belum bisa bahagiakan Eyang Kakung. Maafin Citra, Eyang ...." Citra menatap liang kubur eyang kakung penuh penyesalan. Ada banyak hal yang dia sesalkan. Seandainya dia bisa memutar waktu."Sudah, Citra, jangan menangis berlebihan. Ikhlaskan Eyang Kakung," hibur eyang putri yang sejak tadi berdiri di sisi cucunya itu sambil mengusap-usap bahu gadis itu. "Dengan kamu mau menikahi Atala itu sudah cukup membuat Eyang Kakung bahag
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Sekaligus untuk menghibur Citra yang sedih. Mereka berangkat menggunakan mobil Pajero milik JohanSelama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Perasaannya campur aduk. Sedih atas kepergian eyang kakung, juga sedih melihat eyang kakung meninggal dalam keadaan belum melihatnya sukses. Kesal, dendam, sakit hati juga dengan kakaknya dan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia memutar ulang waktu. Dia pasti akan bergerak cepat dan melakukan apa saja agar eyang kakung tak perlu bekerja keras lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Citra tak bisa mendefinisikan apa yang dia rasakan kini.Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Atala mencolek lengan Citra membuat gadis itu menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjia
"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?""Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini.""Maaf, Pa." Tiba-tiba Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pri
Sore harinya, orang kepercayaan Johan datang bersama mobil khusus yang membawakan barang-barang Citra. Semua barang-barang Citra yang ada di rumah eyang putri dibawa ke mari. Begitu juga barang Atala yang dari rumah papanya.Pak Jono, orang kepercayaan Johan juga membawa beberapa bodyguard untuk mengangkut barang-barang itu ke dalam rumah. Tak hanya itu, Pak Jono juga sudah menyeleksi para ART yang akan bekerja di sini. Totalnya ada lima orang.Singkat cerita semuanya sudah beres. Rumah mereka yang sudah lengkap dengan perabotan dan bahan makanan itu pun sudah siap huni. Semuanya diurus sama Papa Johan. Citra dan Atala tinggal menikmati."Terima kasih, ya, Pak," ucap Atala di teras saat Pak Jono hendak pamit pulang. "Maaf udah repot-repot." Lelaki belasan tahun itu cengar-cengir."Nggak pa-pa, Mas Atala. Nggak perlu merasa sungkan begitu. Ini juga sudah bagian dari tugas saya. Kalau Mas Atala dan istri ada perlu apa-apa jangan sungkan bilang saya. Ini pesan dari Pak Johan," jelas pria
"Apa-apaan, nih?" Citra melotot menatap lembaran kertas itu. Lalu menatap Atala tak percaya."Kenapa?" tanya Atala bingung."Kenapa isi surat perjanjiannya kayak nguntungin lo doang, ya.""Iya, memangnya kenapa? Lo keberatan?" Atala bersidekap dada. Menatap Citra angkuh karena merasa dirinyalah yang paling berhak menentukan bagaimana isi perjanjian itu."Iyalah, gue nggak setuju.""Nggak bisa gitu. Setuju nggak setuju, lo tetap harus setuju.""Enak aja nggak bisa gitu dong. Ini ngerugiin gue banget." Citra kembali menatap kertas itu."Kayak poin nomor dua, gue harus ngelayanin lo selayaknya istri melayani suami sebagaimana mestinya, tapi nggak boleh tidur bareng, cuman ngelayanin yang lain seperti memberi perhatian, mengingatkan makan, menyucikan pakaian, bersih-bersih rumah ...." Citra membaca seluruh tugasnya secara singkat. Lalu menatap Atala sengit. "Eh, lo pikir gue babu lo. Itu babu lo udah banyak, ya, terus mereka ngapain kalau ngurusin semuanya harus gue.""Bukannya emang itu y
"Sayang, temenin aku keluar, yuk."Atala berbicara di telepon dengan pacarnya, Rani. Sejak tadi dia merusing dan merasa bosan menetap di kamar. Dia memang terbiasa keluyuran dan pulang malam waktu masih tinggal bersama papanya. Rumah semewah itu ternyata tak cukup membuatnya betah."Keluar ke mana, Sayang?" sahut suara di seberang."Ke mana aja. Asal sama kamu. Ke Sunset Cafe juga boleh. Suntuk banget aku di rumah." Atala duduk di pinggir kasur melempar pandang ke taman samping yang terlihat dari jendela kamarnya."Istri kamu mana?"Atala tak menyangka dengan pertanyaan itu. "Ngapain nanyain dia, sih?""Ya enggak pa-pa. Kamu sekamar sama dia?""Enggak, dong, Sayang. Nggak sudi banget aku tidur sama dia. Kami tidur pisah kamar, dong.""Terus sekarang dia di mana?""Ya, mana aku tahu. Aku juga nggak peduli dia di mana dan ngapain ya terserah dia lah. Jadi kamu mau nggak jalan sama aku, nih?""Boleh, tapi habis itu singgah ke Mall, yah. Beliin tas yang kemarin itu ...." Suara Rani terdeng
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka