Share

3. Terpaksa Menikah

Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. 

Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang putri yang semakin memprihatinkan.

Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung padahal orang tua itu sudah sekarat. 

Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.

Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.

Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan celana jins.  Lalu kepala keduanya dilabuhi kain tipis. Atala berjabat tangan dengan Pak Penghulu.

Citra duduk mematung menatap satu arah, yakni dinding ruang rawat inap yang berwarna putih. Atala menyadari wajah Citra yang sejak tadi terlihat sedih. Kentara sekali cewek itu terpaksa. Seandainya tak ada papanya dan Pak Penghulu di hadapannya, sudah pasti Atala menegur cewek itu. Cewek itu memang sulit diajak kerja sama.

"Sudah siap, Nak Atala?" tanya Pak Penghulu menyadarkan Atala.

Atala menatap Pak Penghulu. "Siap, Pak."

"Nak Citra?" tanya Pak Penghulu pada Citra.

Citra menatap Pak Penghulu. Wajah cewek itu masih terlihat sedih sekaligus tegang, dan tergugup ketika menatap Atala. Atala memegang tangannya di bawah meja, mencoba menenangkan tapi Citra malah menepisnya.

"Santai ...," bisik Atala menahan geram.

Citra memaksakan senyum. "Siap, Pak," jawabnya lirih.

"Siap ijab kabul, ya," ucap Pak Penghulu pada Atala yang langsung mengangguk. Mereka berjabat tangan.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Atala Sudiharto bin Johan Sudiharto dengan Citra Putri Kusuma binti Kusuma Wijaya dengan mahar satu juta dibayar tunai." Pak Penghulu mengucap kalimat ijab.

"Saya terima nikah dan kawinnya Citra Putri Kusuma binti Kusuma Sudiharto dengan mahar yang tersebut tunai." Atala membalas dengan kalimat kabul.

Pak Penghulu menoleh pada para saksi. "Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sahh ....!!"

Bersamaan dengan itu, air mata Citra lolos di pipi. Pak Penghulu, kedua mempelai dan para saksi mengangkat tangan untuk berdo'a. Citra juga mengangkat tangan, tapi dia tidak berdo'a, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Walau pun ini hanya sementara, rasanya dia tidak percaya, di usianya yang amat belia, dia telah menjadi seorang istri. Istri dari laki-laki yang sama sekali tidak dia cintai.

"Kalian sudah sah menjadi sepasang suami-istri," ucap Pak Penghulu pasca berdo'a.

Harusnya momen ini menjadi momen yang amat membahagiakan, tapi bagi Citra momen ini adalah musibah terburuk dalam hidupnya. Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan dia dan Atala sudah membuat perjanjian, tetap saja dia tidak ikhlas.

"Suami sudah boleh mencium kening istrinya," ucap Pak Penghulu.

Belum sempat Atala menjawab, Citra sudah menyahut. "Nggak usah!" Citra lalu melempar Atala tatapan tajam.

"Citra ...."

Citra mendengar eyang kakung yang terbaring di tempat tidur, memanggilnya. Citra langsung berdiri dan menghampirinya. "Iya, Eyang, ini aku. Aku udah menikah dengan Atala sesuai dengan yang Eyang harapkan." Citra memaksakan senyum.

"Alhamdulillah." Eyang kakung tersenyum. "Nak Atala ...," lirihnya amat pelan.

Citra menoleh ke Atala. "Lo dipanggil Eyang!"

Atala pun berdiri, mendekati eyang kakung, berdiri di samping Citra.

"Ada apa, Eyang?" tanya cowok itu hati-hati.

Eyang lalu meraih tangan Citra dan Atala. Lalu dia menyatukan tangan keduanya di atas perutnya. Beliau menatap Citra. "Cit, Atala ini anak baik. Berasal dari keluarga baik-baik. Dia bisa jadi suami yang baik buatmu. Kamu harus yakin itu. Jadi, kamu juga harus bisa menjadi istri yang baik untuknya. Jadilah istri yang berbakti untuknya." Kakik menasihati dalam bahasa Jawa yang kental.

Citra menatap Atala sekilas dengan raut datar, lalu kembali menatap eyang kakung. "Iya, Eyang."

Lalu eyang kakung menatap cucu menantunya. "Kamu Nak Atala, jaga Citra baik-baik, ya. Jadikan dia istri yang merasa paling bahagia di dunia.  Perlakukan dia sebagaimana seharusnya."

"Iya, Eyang," jawab Atala.

"Kalian harus selalu bahagia. Harus selalu sama-sama sampai maut memisahkan," pesannya lagi.

"Insya Allah, Eyang," jawab Atala. Sedangkan Citra hanya diam.

Eyang kakung memaksakan senyum. Citra bisa melihat parit matanya yang berair, mungkin menangis karena haru. "Eyang sudah tenang sekarang," lirihnya lagi. Lalu orang tua itu menatap plafon, pandangannya menerawang, terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi kesusahan. "La ... ilaha ... ilallah ...."

"Eyang!" Citra menangis. Dia tak percaya eyangnya benar-benar akan meninggal secepat itu. Semua orang-orang yang ada di sana serta-merta mengelilingi tempat tidurnya. Tak terkecuali papa Atala dan Pak Penghulu.

Pak Penghulu membantunya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan akhirnya dengan bimbingan Pak Penghulu, eyang kakung berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lancar sebelum akhirnya orang tua itu menutup mata untuk selamanya.

"Innalilahi Wa Innailaihi Raji'un," ucap Pak Penghulu.

"Eyang!" Citra berteriak histeris sambil mendekap jasad eyang kakung.

"Yang sabar, Cit, yang kuat." Atala coba menepuk-nepuk pundak cewek itu, menenangkannya.

Tapi ternyata cewek itu pingsan di tempat, dalam keadaan memeluk jasad eyang kakung.

Seketika semua yang ada di sana panik. "Citra! Citra!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status