"Pantasan saja tadi pagi saya dengar suara Non Citra teriak-teriak di kamar. Rupanya mereka lagi berantem."Setelah menyelesaikan perdebatannya dengan Citra dan berakhir dengan kemenangan cewek itu, Atala langsung mendatangi para ART-nya di dapur. Tapi ternyata mereka sibuk bercengkrama di taman belakang. Karena tidak ada pekerjaan yang harus mereka kerjakan lagi. Dan Atala sempat mendengar para ART itu bergosip ria. "Iya, mereka emang ndak akur. Ndak saling cinta, tapi kenapa ya mereka mau-maunya dinikahkan?""Banyak rahasia orang yang kita nggak tahu. Kalau kata saya sih kita nggak usah ikut campur. Mending kita fokus aja sama kerjaan kita jadi ART di sini. Selama mereka baik sama kita, nggak ada masalah.""Kita kan cuman cerita, bukan mau mencampuri!" ART lain seakan tak terima dengan tuduhan mencampuri itu.Atala berdeham membuat para ART itu terdiam, lalu menoleh menatap Atala dengan pandangan tak nyaman."Eh, Tuan Atala," sapa salah satu ART di sana. Wanita paruh baya yang bert
Citra berdiri di teras rumahnya yang megah, menunggu kedatangan sang kekasih yang telah berjanji akan menjemputnya. Mereka akan jalan-jalan lagi. Sebenarnya Citra bisa saja menunggu di dalam, tapi dia tidak betah, dia tidak senang melihat wajah Atala lama-lama hingga lebih rela menunggu di teras begini. Setelah terbangun dari mimpi buruk sore tadi, Citra langsung menghubungi pacarnya. Sebenarnya Citra tak ingin mengganggu pacarnya yang sibuk dengan tugas kuliah, tapi perasaan takut yang dia rasakan akibat mimpi itu tadi tak dapat dibendung. Dia merasa sangat butuh ketemu Dimas. Hanya Dimas yang bisa menghiburnya saat ini. Saat tatapannya sibuk menatap gerbang, tiba-tiba keluar mobil lain dari garasi. Mobil itu mengeluarkan klakson nyaring, tapi tak membuat Citra terkejut. Citra melirik sekilas mobil itu yang kaca pintunya mulai terbuka. "Ngapain, sih, itu anak," gumamnya.Wajah songong Atala yang dia benci muncul. Laki-laki itu mengenakan kaca mata hitam. "Mau ke mana, Mbak? Ayok Ma
"Rani?" Atala menatap perempuan bernama Rani itu tak percaya.Gadis dengan tubuh semampai dan rambut bergelombang sepinggang itu tersenyum. "Iya, ini aku."Rahang Atala terlihat mengeras. Lelaki itu lalu berdiri lantas menarik lengan Rani. "Kita butuh bicara empat mata. Ikut aku!"Rani terkejut. "Ma-mau ke mana?"Atala langsung menarik Rani ke tempat yang agak jauh dari meja teman-temannya. Sikap Atala yang demikian menjadi pembicaraan temannya lagi, tapi Atala tak peduli."Lepasin, Atala, sakit!" Rani meringis saat dia merasakan Atala memegang lengannya terlalu kuat. Susah payah dia menyamakan langkah Atala yang panjang. Sampai akhirnya mereka berhenti di suatu tempat, di pelataran cafe yang agak sepi."Siapa yang nyuruh kamu kasih tahu mereka kalau aku udah nikah? Kamu lupa pesan aku?" Atala langsung mencercanya dengan pertanyaan bernada tuduhan. Kentara sekali lelaki itu tidak suka dengan apa yang Rani lakukan barusan.Rani menatap Atala takut-takut. "Sorry, La. Tapi aku terpaksa."
"Mimpi itu datang lagi," ungkap Citra dengan suara lirih saat pacarnya bertanya penyebab kesedihannya kali ini.Dimas berkernyit menatap wajah Citra. "Mimpi?"Dia membuka telapak tangan yang menutup wajahnya sejak tadi Lalu menatap pacarnya. "Iya. Mimpi buruk itu loh, Sayang." "Mimpi orang tuamu meninggal?" Ya, Dimas ingat. Citra sudah sering menceritakan padanya sejak mereka masih SMA. Sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat, Citra seringkali memimpikan kejadian itu.Dulu mimpi itu datang secara berkala. Terakhir kali dia mimpi waktu pas lulus SMA dua tahun lalu, sebelum dia pacaran dengan Dimas. Mimpi itu sudah lama tidak ada lagi. Tetapi tadi siang dia kembali memimpikannya.Citra mengangguk. "Aku takut. Aku jadi keingat lagi sama peristiwa itu. Padahal aku udah lama ngelupainnya."Citra tak senang dengan mimpi itu karena kedatangan mimpi itu selalu mengingatkannya dengan masa lalunya yang suram. Mengingatkannya dengan awal mula kenapa hidupnya bisa menderita seperti
"Jadi Citra belum pulang, Mbak? Serius?"Atala merasa tak percaya mendengar jawabannya saat dia bertanya pada Tyas, ART-nya. Apakah Citra sudah pulang atau belum?"Iya, Tuan. Belum. Memangnya kenapa?""Enggak. Saya nanya aja." Atala tak menyangka dia malah pulang lebih dulu daripada cewek itu. Tadinya dia pikir dia yang paling telat."Tuan nggak perlu khawatir. Bentar lagi mungkin Non Citra bakal pulang. Mungkin sekarang sedang di jalan." Tyas menenangkan.Tapi tetap saja, nyatanya dia yang tiba ke rumah lebih dulu. Atala lalu mengangguk-angguk. "Mungkin. Ya udah kalau gitu. Makasih, Mbak.""Sama-sama, Tuan."Sepeninggal Tyas, Atala diam merenung. "Nggak nyangka gue jam segini cewek itu belum pulang juga. Ke mana sih dia sama pacarnya itu? Jangan-jangan mereka ke club malam juga?" Pikiran buruk Atala tentang Citra mulai menyerang. "Wah nggak bisa dibiarin, nih."Atala merogoh ponselnya, hendak menghubungi cewek itu untuk menyuruhnya pulang, tapi ... tiba-tiba dia ragu. Pergerakannya me
"Ngapain sih lo sembarangan kayak tadi?"Mereka akhirnya melanjutkan perdebatan itu di rumah. Ketika Citra sudah berganti baju dan hendak tidur. Mereka kini duduk berdua di ruang tamu. Citra menatap tajam Atala yang tertunduk malu, terlihat seperti lelaki bodoh, seperti sedang dihakimi."Ya, maaf soalnya kan gue kira ....""Dasar emang otak lo aja yang isinya busuk. Mikirnya tentang orang lain busuk juga." Citra marah. Tentu saja.Bagaimana tidak? Pacarnya dituduh ingin berbuat mesum padanya, padahal setelah mendengar penjelasan Dimas tadi, lelaki itu hanya berusaha membangunkannya yang sedang tidur. Karena Citra sejak tadi memang susah dibangunkan. Bukan ingin menciumnya. Sedangkan Atala hanya melihat sekilas dari balik kaca jendela. Tentu itu tidak valid. Dan tentu Citra lebih percaya pada pacarnya, Dimas. Atala diam."Lagian kalau Dimas mau mesum sama gue, terus kenapa? Apa urusannya sama lo?! Lo nggak lupa kan kalau kita nikah ada perjanjiannya? Lo nggak berhak melarang gue berhu
"Perkenalkan nama saya Citra Putri Kusuma. Panggilan saya Citra." Gadis remaja mengenakan seragam putih abu-abu itu memperkenalkan diri di depan kelas, di depan teman-teman dan gurunya. Citra tak tahu kenapa, tapi dia bisa merasakan teman-temannya itu memperhatikannya dengan tatapan aneh, seperti meremehkan, mengejek atau sejenisnya. Bahkan sejak awal kehadirannya di kelas ini.Dia juga mendengar beberapa siswi berbisik mengatainya penampilannya yang katanya cupu. Itu semua membuatnya makin gugup dan tidak percaya diri.Maka setelah menyebutkan biodata diri lainnya, Citra kembali duduk di bangkunya yang paling belakang. Jantungnya berdebar seiring dengan tatapan teman-temannya yang terus memandangi, sampai dia duduk di bangkunya. Di sebelah cewek yang juga baru dia kenal."Santai." Teman sebangkunya bersuara.Citra menoleh. "Iya?" Citra tak mengerti kenapa teman sebangkunya itu berkata demikian."Tadi gue liat lo tegang banget. Nervous, ya, ngomong di depan kelas?""Lumayan, Sya." Ci
Mata Citra spontan membuka lebar seiring dengan napasnya yang memburu. Begitu menatap plafon kamar yang sangat dia kenal, dia menyadari ternyata dia hanya mimpi.Kalau bukan karena suara kokok ayam dan suara kicauan burung yang terdengar samar dari luar sana, dia tidak akan sadar kalau hari sudah pagi. Karena gordennya masih saja berlabuh, tidak ada yang membukanya.Gadis itu bangun dan duduk di atas kasur. Dia merenungkan mimpinya."Kenapa sih kok gue bisa mimpiin momen itu? Apa karena semalam gue berantem sama tuh cowok dan gue kepikiran sampai susah tidur? Makanya sampai terbawa mimpi?" Citra berdecak. Tak kuasa memikirkan hal itu, dia turun dari kasur.***"Masuk kedokteran lewat jalur SBMPTN itu butuh skor UTBK yang tinggi loh, Sayang," ucapan Dimas tadi malam masih membekas diingatan Citra pagi ini."Kamu harus punya target yang tinggi. Di kampus aku rata-rata yang diterima di kedokteran minimal skornya 800. Untuk bisa mencapai angka itu kamu harus kuasai dua-duanya, TPS dan TKA,