Terima kasih buat kalian yang sudah mengikuti cerita ini sejauh ini. Kalau kalian suka kasih gem yang banyak, ya. Tolong promosiin juga ke teman-teman kalian biar makin ramai yang baca kisah Citra dan Atala. Yuhu. Terima kasih, Gaes.
Mata Citra spontan membuka lebar seiring dengan napasnya yang memburu. Begitu menatap plafon kamar yang sangat dia kenal, dia menyadari ternyata dia hanya mimpi.Kalau bukan karena suara kokok ayam dan suara kicauan burung yang terdengar samar dari luar sana, dia tidak akan sadar kalau hari sudah pagi. Karena gordennya masih saja berlabuh, tidak ada yang membukanya.Gadis itu bangun dan duduk di atas kasur. Dia merenungkan mimpinya."Kenapa sih kok gue bisa mimpiin momen itu? Apa karena semalam gue berantem sama tuh cowok dan gue kepikiran sampai susah tidur? Makanya sampai terbawa mimpi?" Citra berdecak. Tak kuasa memikirkan hal itu, dia turun dari kasur.***"Masuk kedokteran lewat jalur SBMPTN itu butuh skor UTBK yang tinggi loh, Sayang," ucapan Dimas tadi malam masih membekas diingatan Citra pagi ini."Kamu harus punya target yang tinggi. Di kampus aku rata-rata yang diterima di kedokteran minimal skornya 800. Untuk bisa mencapai angka itu kamu harus kuasai dua-duanya, TPS dan TKA,
Di depan pintu sudah berdiri Tasya. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman--mungkin karena merasa sudah mengganggu. Gadis itu menggendong ransel, di tangannya juga ada tootbag warna coklat.Seketika Citra teringat dengan janji yang mereka buat lewat chat tadi malam. Tasya akan datang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas dan belajar bersama."Sorry ... gue--""Silakan masuk, Sya," suruh Citra yang langsung berjalan mendekati Tasya. "Ayo." Citra menarik lengan Tasya yang masih terlihat tidak nyaman.Citra mengajaknya duduk di ruang tamu dan mengusir Atala dari hadapannya mereka. Citra juga mengatakan kalau Tasya tak perlu merasa tidak enak, juga tak usah memikirkan apa yang baru saja dia lihat tadi.Citra langsung mengalihkan pikiran temannya itu dengan langsung mengajaknya belajar."Gue nggak nyangka kalian bisa seromantis itu." Tapi ternyata Tasya masih saja memikirkannya.Tasya menatap Citra dengan senyum menggoda
Citra mengernyit dalam mengamati wajah Tasya. Dia tak mengerti dengan apa yang sahabatnya itu katakan. "Ngomong apa sih lo? Nggak ngerti gue."Tasya lantas teringat sesuatu. Nyaris saja dia kelepasan. "Enggak, Cit, udah lupain aja. Hmm lo belum pertanyaan gue yang lain. Kalian tidur bareng?""Enggak. Gue dan Atala tidur di kamar yang beda."Tasya menatapnya tak percaya. "Serius kalian pisah kamar?""Iya. Jadi sekarang masih mau bahas Atala?" Sungguh, kesabaran Citra mulai habis. Sepertinya tak lama lagi dia benar-benar mengusir temannya itu."Ini minumannya, Kak." Bi Rahma datang mengantarkan teh leci buat Tasya, juga sepiring kue lapis kuning yang banyak, menginterupsi bicara mereka. "Silakan diminum." Bi Rahma tersenyum ramah menatap Tasya.Tasya balas tersenyum. "Makasih, Bi.""Sama-sama, Kak." Bi Rahma lalu berbalik badan menuju dapur.Tasya lantas melirik Citra. "Gue minum, ya.""Oh minum aja. Kue lapisnya juga maka
Ketika Kak Shinta muncul di depan pintu dan mengucapkan salam, Citra dan Tasya sibuk menonton video belajar.Citra menatap ke arah pintu, menyambut Kak Shinta dengan ramah dan menyuruhnya masuk. Dan ternyata Kak Shinta tak hanya sendiri. Dia membawa seseorang."Eyang Putri ...." Citra menyalami eyang putri.Mereka berempat--termasuk Tasya--duduk di ruang tamu."Atala mana, Cit?" tanya Kak Shinta. Lalu tatapannya mengedar pada buku yang berserakan di meja. Juga jamuan buat Tasya. "Kalian pada ngapain?"Citra tersenyum tak nyaman. "Maaf, ya, Kak, rumahku agak berantakan." Cepat Citra menyusun buku-bukunya. Tangannya dia usahakan sebisa mungkin menutup cover buku itu biar Kak Shinta tidak melihat kalau buku itu adalah buku berisi kumpulan soal tes masuk PTN.Siapa pula yang butuh buku itu? Siapa pula yang hendak masuk PTN kalau bukan dirinya? Tidak mungkin Tasya. Citra lalu menaruh bukunya dalam tas ransel Tasya."Nggak ma
"Gimana, Cit? Kamu setuju?" Pertanyaan Kak Shinta membuyarkan lamunan Citra sejak tadi. "Hmm maaf, Kak." Citra lalu menatap eyang. "Maaf, Eyang. Untuk masalah itu agaknya rumit, ya. Aku belum bisa mutusin. Aku mau diskusi sama Atala dulu.”Citra tahu sebenarnya alasan Kak Shinta menumpangkan eyang ke rumahnya bukan karena tidak ada yang mengurusi, tapi memang dia tidak mau mengurusi eyang. Hingga tugas itu dibebankan kepada Citra sebagai cucu kesayangan eyang. Dengan menerima eyang di rumah ini, itu sama saja membuat beban Kak Shinta lepas. Tidak, Citra tidak akan biarkan itu.Melihat wajah Kak Shinta lama-lama, mengingatkan Citra akan kenangan buruk masa lalu itu. Kenangan yang amat dia benci. Yang membuat hidupnya jadi menderita. Ya, penderitaannya ini sedikit banyak disebabkan oleh kakak kandungnya. Setidaknya begitu pemikiran Citra selama ini. Hubungan Citra dengan kedua kakaknya memang kurang baik. "Oh soal Atala. Atala itu anak baik, iya kan Eyang?" sahut Kak Shinta yang lag
Rupanya Atala--dan Tasya--mendengar cekcok itu sejak tadi. Mati-matian Tasya menahan Atala agar tidak keluar dan menimbrung percakapan itu."Kalau lo mau nemuin mereka harus lewat depan," bisik Tasya saat Atala sekali lagi menatapnya, meminta persetujuan apa yang harus dia lakukan? "Please, demi nama baik Citra." Karena Citra sudah telanjur mengatakan Atala tidak di rumah.Atala memperhatikan penampilannya yang memakai pakaian santai. Baju kaos dan celana pendek."Lo ganti baju dulu sana," bisik Tasya seolah tahu apa yang dia pikirkan.Atala mendengus kesal. "Ngerepotin aja."Atala pun berganti baju, mengenakan celana jins dan jaket yang biasa dia pakai saat bepergian. Sekitar lima menit kemudian dia keluar kamar dan bergegas menuju pintu samping untuk kemudian memutar lewat pintu depan.Atala menggelengkan kepala tak habis pikir. "Ngapain sih dia pake bilang gue keluar segala. Ada-ada aja tuh cewek." Atala mendengus.
Tangisan eyang yang terdengar menyayat hati sungguh membuat Citra merasa sangat bersalah. Ucapan eyang putri yang terakhir kali sungguh melukai hati Citra. Dia masih ingat jelas bagaimana eyang mengatakannya. Dia juga bisa merasakan sakit hati eyang.Citra masih ingat bagaimana kejadian itu terjadi.Setelah mengucapkan kalimat itu, eyang berdiri dan berjalan keluar, nyaris sempoyongan karena terlalu cepat bergerak.Citra mengejar eyang, memegangi tangan eyang yang berdiri di depan pintu. "Eyang maafin aku, Eyang .... Eyang jangan benci aku, ya ...."Eyang hanya menangis. Dan itu membuat Citra makin sedih."Citra!" Kak Shinta lalu menyahut. Dan melepas pegangan Citra dari lengan eyang. "Nggak ada gunanya kamu minta maaf kalau nggak mau menampung Eyang. Kamu nggak pikirin gimana sakit hatinya Eyang melihat perlakuan cucu kesayangannya? Cucu macam apa kamu?" Kak Shinta sampai mendorong Citra, membuat Citra nyaris jatuh kalau Atala tak sigap menahan tu
"Dulu waktu Mama dan Papa gue meninggal dalam kecelakaan pesawat, pihak maskapai memberi ganti rugi buat gue sebagai ahli waris Mama dan Papa. Waktu itu gue masih SMP. Dan kedua kakak gue ..." Citra berhenti. Membuat Atala bertanya-tanya penasaran."Gue lupa umur mereka berapa waktu itu, tapi yang pasti mereka udah nggak di bawah umur lagi. Mereka udah dewasa.""Beda usia Kak Shinta sama Kak Nadia berapa?"Citra menoleh. Tak menyangka dengan pertanyaan yang Atala lontarkan. "Kak Shinta lebih tua dua tahun sama Kak Nadia.""Tapi Kak Nadia juga udah nikah? Berarti keluarga lo nikahnya muda, ya."Citra mengangguk. Lalu terkekeh culas. "Makanya gue juga dipaksa nikah muda.""Hmm kalau sama lo beda jauh, ya. Maksud gue jarak usia Kak Nadia sama lo.""Iya. Soalnya katanya gue anak bungsu yang paling nggak diinginkan. Dulu Mama dan Papa gue cuman berencana punya dua anak, persis kayak peraturan pemerintah. Hingga bertahun-tahun kemudian, tan