Citra mengernyit dalam mengamati wajah Tasya. Dia tak mengerti dengan apa yang sahabatnya itu katakan. "Ngomong apa sih lo? Nggak ngerti gue."
Tasya lantas teringat sesuatu. Nyaris saja dia kelepasan. "Enggak, Cit, udah lupain aja. Hmm lo belum pertanyaan gue yang lain. Kalian tidur bareng?"
"Enggak. Gue dan Atala tidur di kamar yang beda."
Tasya menatapnya tak percaya. "Serius kalian pisah kamar?"
"Iya. Jadi sekarang masih mau bahas Atala?" Sungguh, kesabaran Citra mulai habis. Sepertinya tak lama lagi dia benar-benar mengusir temannya itu.
"Ini minumannya, Kak." Bi Rahma datang mengantarkan teh leci buat Tasya, juga sepiring kue lapis kuning yang banyak, menginterupsi bicara mereka. "Silakan diminum." Bi Rahma tersenyum ramah menatap Tasya.
Tasya balas tersenyum. "Makasih, Bi."
"Sama-sama, Kak." Bi Rahma lalu berbalik badan menuju dapur.
Tasya lantas melirik Citra. "Gue minum, ya."
"Oh minum aja. Kue lapisnya juga maka
Ketika Kak Shinta muncul di depan pintu dan mengucapkan salam, Citra dan Tasya sibuk menonton video belajar.Citra menatap ke arah pintu, menyambut Kak Shinta dengan ramah dan menyuruhnya masuk. Dan ternyata Kak Shinta tak hanya sendiri. Dia membawa seseorang."Eyang Putri ...." Citra menyalami eyang putri.Mereka berempat--termasuk Tasya--duduk di ruang tamu."Atala mana, Cit?" tanya Kak Shinta. Lalu tatapannya mengedar pada buku yang berserakan di meja. Juga jamuan buat Tasya. "Kalian pada ngapain?"Citra tersenyum tak nyaman. "Maaf, ya, Kak, rumahku agak berantakan." Cepat Citra menyusun buku-bukunya. Tangannya dia usahakan sebisa mungkin menutup cover buku itu biar Kak Shinta tidak melihat kalau buku itu adalah buku berisi kumpulan soal tes masuk PTN.Siapa pula yang butuh buku itu? Siapa pula yang hendak masuk PTN kalau bukan dirinya? Tidak mungkin Tasya. Citra lalu menaruh bukunya dalam tas ransel Tasya."Nggak ma
"Gimana, Cit? Kamu setuju?" Pertanyaan Kak Shinta membuyarkan lamunan Citra sejak tadi. "Hmm maaf, Kak." Citra lalu menatap eyang. "Maaf, Eyang. Untuk masalah itu agaknya rumit, ya. Aku belum bisa mutusin. Aku mau diskusi sama Atala dulu.”Citra tahu sebenarnya alasan Kak Shinta menumpangkan eyang ke rumahnya bukan karena tidak ada yang mengurusi, tapi memang dia tidak mau mengurusi eyang. Hingga tugas itu dibebankan kepada Citra sebagai cucu kesayangan eyang. Dengan menerima eyang di rumah ini, itu sama saja membuat beban Kak Shinta lepas. Tidak, Citra tidak akan biarkan itu.Melihat wajah Kak Shinta lama-lama, mengingatkan Citra akan kenangan buruk masa lalu itu. Kenangan yang amat dia benci. Yang membuat hidupnya jadi menderita. Ya, penderitaannya ini sedikit banyak disebabkan oleh kakak kandungnya. Setidaknya begitu pemikiran Citra selama ini. Hubungan Citra dengan kedua kakaknya memang kurang baik. "Oh soal Atala. Atala itu anak baik, iya kan Eyang?" sahut Kak Shinta yang lag
Rupanya Atala--dan Tasya--mendengar cekcok itu sejak tadi. Mati-matian Tasya menahan Atala agar tidak keluar dan menimbrung percakapan itu."Kalau lo mau nemuin mereka harus lewat depan," bisik Tasya saat Atala sekali lagi menatapnya, meminta persetujuan apa yang harus dia lakukan? "Please, demi nama baik Citra." Karena Citra sudah telanjur mengatakan Atala tidak di rumah.Atala memperhatikan penampilannya yang memakai pakaian santai. Baju kaos dan celana pendek."Lo ganti baju dulu sana," bisik Tasya seolah tahu apa yang dia pikirkan.Atala mendengus kesal. "Ngerepotin aja."Atala pun berganti baju, mengenakan celana jins dan jaket yang biasa dia pakai saat bepergian. Sekitar lima menit kemudian dia keluar kamar dan bergegas menuju pintu samping untuk kemudian memutar lewat pintu depan.Atala menggelengkan kepala tak habis pikir. "Ngapain sih dia pake bilang gue keluar segala. Ada-ada aja tuh cewek." Atala mendengus.
Tangisan eyang yang terdengar menyayat hati sungguh membuat Citra merasa sangat bersalah. Ucapan eyang putri yang terakhir kali sungguh melukai hati Citra. Dia masih ingat jelas bagaimana eyang mengatakannya. Dia juga bisa merasakan sakit hati eyang.Citra masih ingat bagaimana kejadian itu terjadi.Setelah mengucapkan kalimat itu, eyang berdiri dan berjalan keluar, nyaris sempoyongan karena terlalu cepat bergerak.Citra mengejar eyang, memegangi tangan eyang yang berdiri di depan pintu. "Eyang maafin aku, Eyang .... Eyang jangan benci aku, ya ...."Eyang hanya menangis. Dan itu membuat Citra makin sedih."Citra!" Kak Shinta lalu menyahut. Dan melepas pegangan Citra dari lengan eyang. "Nggak ada gunanya kamu minta maaf kalau nggak mau menampung Eyang. Kamu nggak pikirin gimana sakit hatinya Eyang melihat perlakuan cucu kesayangannya? Cucu macam apa kamu?" Kak Shinta sampai mendorong Citra, membuat Citra nyaris jatuh kalau Atala tak sigap menahan tu
"Dulu waktu Mama dan Papa gue meninggal dalam kecelakaan pesawat, pihak maskapai memberi ganti rugi buat gue sebagai ahli waris Mama dan Papa. Waktu itu gue masih SMP. Dan kedua kakak gue ..." Citra berhenti. Membuat Atala bertanya-tanya penasaran."Gue lupa umur mereka berapa waktu itu, tapi yang pasti mereka udah nggak di bawah umur lagi. Mereka udah dewasa.""Beda usia Kak Shinta sama Kak Nadia berapa?"Citra menoleh. Tak menyangka dengan pertanyaan yang Atala lontarkan. "Kak Shinta lebih tua dua tahun sama Kak Nadia.""Tapi Kak Nadia juga udah nikah? Berarti keluarga lo nikahnya muda, ya."Citra mengangguk. Lalu terkekeh culas. "Makanya gue juga dipaksa nikah muda.""Hmm kalau sama lo beda jauh, ya. Maksud gue jarak usia Kak Nadia sama lo.""Iya. Soalnya katanya gue anak bungsu yang paling nggak diinginkan. Dulu Mama dan Papa gue cuman berencana punya dua anak, persis kayak peraturan pemerintah. Hingga bertahun-tahun kemudian, tan
"Berapa lama Papa menghabiskan waktu untuk membangun perusahaan sebesar ini?"Atala tak tahu kenapa dia bisa punya pertanyaan seperti itu? Begitu sampai di ruang kerja papanya, sempat makan siang bersama yang dipesan lewat aplikasi online, mengobrol hal-hal receh, merenungkan apa-apa yang telah terjadi belakangan ini, tiba-tiba saja dia penasaran bagaimana papanya bisa membangun perusahaan? Yang anehnya pertanyaan itu baru muncul sekarang."Kenapa memangnya? Apa pedulimu? Bukannya selama ini kamu cuman pengin uang Papa aja, tanpa mau tahu bagaimana Papa menghasilkannya?" jawab papanya yang tengah sibuk membaca koran di sofa yang ada di ruang kerjanya.Pertanyaan itu membuat Atala tertampar. Dia memutar kursinya, menatap papa. "Ya, tapi sekarang aku pengin tahu, Pa.""Serius?""Iyalah, Pa." Atala memutar kursinya lagi.Mengingat cerita masa lalu Citra yang begitu sulit dan menyedihkan, Atala jadi sedikit bersyukur. Selama ini dia
Citra masih belum bisa tenang sebelum dia memastikan eyang putri tidak benci padanya. Rasanya dia ingin melakukan sesuatu agar eyang memaafkannya. Dia ingin melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya itu, tanpa membiarkan eyang tinggal di sini.Maka hari ini, mumpung dia tidak ada rencana ke mana-mana, dia memanfaatkan waktu untuk membuat masakan.Citra mengecek bahan-bahan masakan di kulkas, hendak memasak makanan kesukaan eyang."Cari apa, Non?" Saat Citra sibuk menggeledah kulkas, Bi Rahma bertanya.Citra menoleh. "Emm ngecek bahan-bahan, masakan, Bi. Aku mau masak.""Bibi udah masakin tuh buat Non dan Tuan Atala." Bi Rahma mengedar pandang pada sajian di atas meja makan. Seperti biasa di sana sudah tersaji berbagai aneka lauk pauk yang siap disantap. Para ART yang menyiapkannya."Tapi aku mau masak lain, Bi. Aku mau masak sendiri khusus buat Eyang aku." Citra menjawab apa adanya."Memangnya Non Citra mau masak ap
"Non Citra ternyata bisa bikin kue kering juga?" ucap Bi Rahma. Daripada pertanyaan, kalimat itu lebih terdengar seperti pernyataan. "Bibi ndak nyangka loh." Bi Rahma membantu Citra menaburi choco chips ke atas adonan kue yang sudah Citra cetak sedemikian rupa, adonan berwarna coklat itu berbentuk bulat tak beraturan.Sementara ART lain sibuk berkemas rumah. Beberapa ada yang mendengar percakapan mereka, sesekali ikut menimbrung.Citra tertawa singkat sambil mencetak adonan kue coklat kukis itu ke atas loyang kosong. "Kenapa nggak nyangka, Bi? Emangnya penampilanku kayak anak-anak orang kaya yang nggak pandai masak gitu, ya, nggak pernah ke dapur gitu?" Ya, setelah selesai masak sop ayam, Citra membuat kue juga."Bukan, Non. Cuman kan mengingat pesan Pak Johan yang bilang kalau bisa Non jangan dibiarkan beres-beres rumah atau memasak ....""Pak Johan, eh, Papa bilang gitu?" Citra menatap Bi Rahma terkejut tak menyangka. Papa mertuanya ternyata pernah berp